Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Monday, August 17, 2020

GORESAN CINTA: BERBAGI YANG MENYENANGKAN

Sumber gambar: Dok Pribadi
 Oleh: Much. Khoiri

Adalah Horace, filosof Yunani kuno, yang meyakini bahwa karya sastra diciptakan manusia dengan tujuan ganda, yakni mengajarkan suatu pelajaran moral dan sekaligus menghibur pembaca (audiens). Dia merangkum gagasannya itu ke dalam frase Latin “dulce et utile” yang artinya manis (sweet) dan bermanfaat (useful). Baginya, karya sastra yang baik adalah sastra yang mendidik dan sekaligus menghibur. 

Konsep “dulce et utile” itu telah diadopsi oleh dunia sastra, termasuk Inggris, selama beberapa generasi. Artinya, banyak orang sepakat dengan Horace. Meski para Modernis dan Postmodernis pernah menolak Horace, dengan menegaskan bahwa tujuan karya seni adalah semata mencipta atau menghibur audiens, sebagaimana genesis Teater Absurd yang diasosiasikan ke Harold Pinter dan kawan-kawan, toh konsep Horace masih tetap diakui dan berlaku sampai sekarang.

Ada yang mengidentikkan “dulce” dengan “entertainment” (hiburan), sedangkan “utile” dengan “understanding” (pemahaman). Karya sastra dipandang sebagai karya yang menghibur pembaca atau audiens, dan sekaligus memberikan pemahaman akan hakikat hidup dan kehidupan. Dalam konteks ini, karya sastra tidaklah bebas nilai, karena ia bertugas mendidik (moral) masyarakat, dan bermanfaat bagi masyarakat untuk memahami hidup dan kehidupan, secara menyenangkan.

Pada aras demikianlah himpunan cerpen dalam buku ini mengambil posisi. Entah disadari atau tidak, cerpen-cerpen dalam buku ini sebenarnya dihadirkan untuk berbagi gagasan, pengalaman, imajinasi, moralitas, dan sebagainya dengan cara menyenangkan atau menghibur. Cerpen merupakan sarana untuk berbagi kebenaran dan kebaikan tanpa menggurui. “Menjadi kewajiban kita untuk selalu mensyiarkan nilai-nilai kebaikan melalui karya tulis sebagai pegangan berkehidupan,” demikian bunyi kutipan dalam Prakata buku ini. 

Dalam buku ini pembaca dapat menemukan berbagai hikmah dan pelajaran secara menyenangkan dan tanpa tekanan (dogma, doktrin) tertentu. Pembaca diajak untuk memahami makna cinta yang luas, harapan bagi generasi penerus, serta nilai-nilai luhur yang masih dipegang teguh dalam masyarakat. Bahkan, pembaca diajak untuk melakukan refleksi secara mendalam tentang nasib generasi mendatang.

Pembaca diajak memahami aneka hikmah hidup dalam cerpen-cerpen yang ada: “Impian”, “Kehilangan”, “Pesan Mama”, “Adab Istimewa”, “Belajar Bahasa Arab Semudah Senyum”, “Belajar Sabar dari Arin”, “Dilema saat Liburan”, “Daniar dan Ken”, “Matahari di Atas Surau”, “Mbah Laning Pun Update Status”, “Atap Kasih Ajeng”, “Seragam dari Bapak”, “Supriku Sayang”, “Tanteku Cerewet”, “Bubur Asmara”, “Mengejar Kereta Malam”, “Lorong Sunyi”, “Kekuatan Cinta”, “Jejak Langkah Pengabdian”, dan “Jaran Dawuk.”

Meski demikian, di sini saya tidak secara khusus membahas kualitas cerpen-cerpen dalam buku ini. Sebaliknya, saya lebih suka mengapresiasi para penulis buku. Mereka adalah para guru, tepatnya guru penulis, yang tergabung dalam Ikatan Guru Penulis Tuban (IGPT). Di samping bertugas sebagai pengajar dan pendidik, mereka pun terlibat di dalam pembudayaan literasi di lembaganya. Menyukseskan pembudayaan literasi adalah tugas dan tanggung-jawabnya pula. Dalam konteks ini, para penulis buku ini sedikit guru yang mewujudkan praktik literasi. Mereka berbagi yang menyenangkan.

Dengan kalimat lain, guru penulis “yang langka” ini hendak menunjukkan bahwa keteladanan itu penting dalam pembudayaan literasi. Guru harus lebih dulu membiasakan banyak membaca (dalam arti luas) sebelum menganjurkan orang lain (terutama siswa) untuk membaca. Guru juga harus menulis (buku) sebelum menganjurkan atau mengajak orang lain untuk menulis buku. Dengan keteladanan, mereka berhak untuk diikuti.

Makna keteladanan semacam itu tercermin dari bagaimana harapan yang disampirkan oleh para guru penulis kepada para pembaca.  Dalam pengantar Ikatan Guru Penulis Tuban, samar-samar kita menangkap harapannya agar pembaca terbakar semangatnya, tersulut inspirasinya, dan kemudian mengikuti jejak langkahnya menulis buku yang bakal tak lekang oleh waktu.

Bagaimanapun, pembaca yang dapat mengikuti jejak penulis adalah mereka yang terbakar sumbu semangatnya untuk mengembangkan ilmu dan pengetahuan yang telah ditangkapnya.  Mereka pun sadar bahwa selain mengembangkan ilmu dan pengetahuan, “menulis itu, adalah bekerja untuk keabadian,” kata Pramoedya Ananta Toer. Betapa mulianya kedudukan penulis.

Akhirnya, selamat membaca buku ini dengan segenap hati dan penghayatan. Mudah-mudahan pembaca sekalian mampu memetik hikmah dan inspirasinya. Mudah-mudahan pembaca mengikuti keteladanan yang ada. Mudah-mudahan pula pembaca sungguh ditakdirkan menjadi penyambung kontinuitas peradaban.[] 

*Artikel ini adalah kata pengantar untuk buku Sriyatni dkk. berjudul “Goresan Cinta Sang Dwija" (Jakarta, MediaGuru Digital Indonesia, 2020). Terima kasih disampaikan kepada para penulis buku dan penerbit. *Pesan buku, hubungi HP/WA: 081331450689 / 081233838789

Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts