Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Saturday, March 28, 2020

WRITING IS SELLING


Oleh: MUCH. KHOIRI

"Everybody lives by selling something," ungkap Robert Louis Stevenson (1850-1894), novelis, penyair, esais, dan penulis perjalanan Skotlandia. Penulis yang sangat inspiratif itu menegaskan bahwa setiap orang hidup dengan menjual sesuatu.

Sesuatu di sini, tentu, bisa diisi dengan apapun yang bisa ditransaksikan dalam hitungan nominal dan non-nominal. Saking luasnya, sesuatu itu bisa diganti dengan sebarang "kata benda" yang produktif. Dan ia jelas dilakukan oleh setiap orang yang masih hidup.

Ya, setiap orang, tanpa kecuali, menjual sesuatu dalam hidup ini: gagasan, produk, jasa, keterampilan, talenta, atau kesempatan. Menjual kepada siapa? Tentu, kepada "calon konsumen" dari apa yang dijual. Ada transaksi antara penjual dan pembeli "sesuatu", dan akhirnya akan terjadi penjualan, penundaan, atau penolakan.

Menulis, hakikatnya, juga menjual sesuatu gagasan, dengan mendeskripsikan, menarasikan, memaparkan, atau mengargumentasikannya. Tujuan utamanya untuk meyakinkan pembaca agar menerima gagasan itu. Penulis menjual, pembaca membelinya. Jika diterima, gagasan itu laku, dan jika ditolak, gagasan itu layu.

Dalam sejarahnya, Stevenson adalah "penjual" karya yang luar biasa. Pengaruhnya dalam dunia sastra begitu luas dan abadi. Sebagian pengagumnya para pemenang hadiah Nobel Sastra, di antaranya Jorge Luis Borges, Ernest Hemingway, and Rudyard Kipling. Belum lagi para pecinta sastra yang tersebar si seluruh dunia. Maksudnya, ibaratnya, barang dagangannya dibeli oleh begitu banyak orang.

Tentu saja, siapapun boleh meneladani Stevenson. Ungkapan tersebut diucapkan karena dia telah menjalaninya. Dia telah menunjukkan keteladanan. Karya-karyanya hebat, itulah pula yang menjadi basis kemasyhurannya sehingga dia menerima anugerah berbagai hadiah sastra.

Maka, menulis yang berpengaruh adalah menulis dengan berbagai kekuatan. Kekuatan itu terpancar, bukan hanya karena mutu gagasan, melainkan juga kemasan gagasan dan penggunaan bahasa yang meyakinkan. Di mana, siapa, dan bagaimana menjualnya juga amat menentukan laku-tidaknya tulisan itu.

Tentu saja, produk tulisan yang diciptakan haruslah bagus, jangan asal-asalan. Inilah modal awal bagi katerjualan sebuah tulisan. Mutu tulisan adalah harga mati (fixed price), tak bisa ditawar-tawar lagi. Selagi kualitas bagus, jika dijual dengan cara tepat, hasilnya akan menggembirakan. Semut selalu mencari gula manis, karena baginya rasa manis sangat menarik dan melenakan.

Kemasan juga penting. Gagasan bagus tidak akan menarik pembaca jika penyajian tulisan, termasuk logika dan bahasa, tidak menarik dan salah terap. Banyak tulisan gagal terbit gara-gara kegagalan penulis dalam mengelola dan mengolah gagasannya. Sebaliknya, gagasan sederhana bisa "menjual" karena ada sentuhan kemasan yang sangat menarik.

Bukan itu saja, menulis harus pula dibarengi dengan keterampilan menjual tulisan dengan proaktif, efektif, dan percaya diri. Banyak media tempat menjual tulisan, di antaranya website, blog, medsos, seminar, jurnal, dan buku. Semakin banyak orang yang membaca karya kita, semakin banyak kemungkinan melakukan transaksi, semakin besar pula angka penjualannya.

Banyak keteladanan yang bisa dipetik dari para penulis dunia dan nasional. Stevenson, Borges, Hemingway, Kipling, dan sederet sastrawan dunia telah membuktikannya. Jika Shakespeare "menjual" karyanya, sejunlah 34 buku, maka kita jangan sampai cepat puas diri. Entah berapa karya yang ditulis Hamka, Pramoedya Ananta Toer, Putu Wijaya, Emha Ainun Nadjib, dan para penulis prolifik negeri ini yang karyanya bertebaran di mana-mana.

Maka, kini saatnya kita membekali diri dengan niat kuat untuk lebih banyak menulis. Targetnya, pembaca harus membeli penawaran gagasan yang disampaikan. Bahkan, setelah membeli gagasan kita, mereka juga akan menjual gagasan mereka ke pembaca yang lebih luas. Siapa tahu kita menjadi agen kontinuitas pengetahuan dari generasi ke generasi.*

*Much. Khoiri adalah dosen, editor, dan penulis 42 buku dari Unesa Surabaya

MOMEN FILOSOFIS


Oleh: MUCH. KHOIRI

SETIAP orang memiliki momen filosofis ( philosophical moment), yakni momen yang di dalamnya ia bisa melakukan permenungan atau menghayati pengalaman filosofis. Perbedaannya hanya  terletak pada intensitas penghayatan dan hasil permenungannya.

Mengapa setiap orang merenung, tentu karena ia memiliki masalah atau sesuatu yang harus dipikirkan dan direnungkan. Ia berpikir dan merenung karena punya akal dan jiwa (nafs), yang memungkinkannya untuk melahirkan pemikiran atau kebijaksanaan.

Makhluk tak berakal dan tak berjiwa tidak perlu merenung, karena perangkatnya tidak sempurna.  Jika ada manusia tidak mau merenung, ia tidak mau menggunakan akal dan jiwa yang dimilikinya. Ia tidak lebih penting dari pada makhluk tak berakal dan tak berjiwa. Maka, agar tetap dianggap sebagai manusia, merenung itu sebuah kewajiban yang harus ditunaikan. Dalam Al-Quran Tuhan kerap mempertanyakan: "Apakah kamu/kalian tidak berpikir (merenungkan)?"

Jika ia menghayati momen filosofis dengan tekun dan sungguh-sungguh, akan lahirlah hasil permenungan yang bermutu dan berbobot. Sebaliknya, jika momen filosofis dijalaninya sepintas lalu, hasilnya juga hasil permenungan sepintas lalu. Mana ada hasil lebih jika hanya dijalani secara pas-pasan, apalagi kurang? Kata Einstein, hanya orang gila yang berharap lebih ketika memberikan upaya sedikit.

Orang yang suka merenung lazim menjadi orang yang penuh kebijaksanaan: ucapan, sikap dan perilakunya mencerminkan kebijaksanaan. Tentu, karena ia telah melampaui dirinya, melintasi kepintarannya dan menyatu dalam kebijaksanaannya. Dia sudah selesai dengan dirinya; ia ada untuk manusia lain (baik individu, komunitas, masyarakat, maupun bangsa).

Untuk menjadi pintar, syaratnya banyak belajar dan berlatih. Sementara, untuk menjadi bijaksana, syaratnya bukan hanya banyak belajar, melainkan juga banyak mengamati, menghayati, merenungkan, dan memetik hikmahnya. Semua ini hanya berlangsung dalam momen filosofis yang kondusif. Semuanya dihayatinya sungguh-sungguh.

Para filsuf tentu tak terpisahkan dari momen filosofis. Itu dunianya, itu pertapaannya, dan dari sanalah hasil pemikiran dan renungan mewujud dalam berbagai bentuk. Ada ungkapan bijak yang terlisankan, ada sikap yang ditunjukkan, ada pula kumpulan gagasan yang dibukukan. Kita bukan filsuf, namun kita perlu belajar pada mereka bagaimana menghayati momen folosofis.

Tentu saja ada momen-momen filosofis di seputar kita, seakan laksana sebuah kelas  perguruan filsuf yang sedang dibuka. Kelas dibuka bagi siapa saja. Adakah kita memanfaatkannya dengan segenap hati? Adalah sensitivitas (kepekaan) yang membuat kita memberikan jawaban yang sesungguhnya. Di sana pula sumbernya kita akan dianggap ada.[]

*Much. Khoiri hanyalah penggerak literasi, dosen, editor, dan penulis 42 buku dari Unesa Surabaya. Tulisan ini pendapat pribadi.

VIRUS EMCHO MELINTAS BATAS RUANG DAN WAKTU: Sebuah Apresiasi


Oleh RITA AUDRIYANTI

Covernya  menarik dan elegan. Kalau kita jajarkan dengan buku-buku lain di atas meja, tak salah, buku teranyar Pak Haji Much. Khoiri ini yang pertama menarik perhatian. Artinya, si pembuat cover berhasil mengalihkan pandangan kita untuk memilih buku ini.

Isinya?

Mantap. Menyimpulkan pendapat dalam Prakata buku “Virus Emcho: _Edifikasi dan Lintas Ruang-Waktu”, mentor yang saya sangat suka dengan gaya menulisnya ini mengatakan bahwa buku ini sebagai sebuah upaya menyusun mini-biografi, atau bolehlah disebut memoar untuk kenangan masa depan. Sungguh, terasa sebuah kegembiraan yang membuncah. Dan terbukti, buku ini hadir ketika beliau memperingati hari ulang tahunnya. Sebuah hadiah yang _priceless_.

Dilihat dari bentuk isi tulisan dalam buku dengan ketebalan 180 halaman ini,  merupakan kompilasi dari berbagai tulisan kolega, sahabat, maupun “follower”. Ada 40 penulis terlibat dalam buku ini.  Ekspresi berbagai tulisan tersebut pada umumnya berbentuk opini tentang karya dan figur Pak Emcho selaku seorang penulis produktif yang mampu melihat berbagai aspek literasi dari sisi yang diminatinya. Setidaknya, ini menjadi menarik di tengah kebingungan penulis pemula yang tak tahu harus mulai dari mana.

Selain itu, aktivitas beliau juga menularkan ilmu kepenulisan yang beliau miliki tanpa pilih-pilih waktu dan tempat. Padahal kita tahu, tugas utama beliau _seabrek_ di UNESA Surabaya. Di sinilah saya, pada waktu itu masih bermukim di Kuala Lumpur, Malaysia,  dan kawan-kawan Perempuan Menulis yang berdomisili di tiga benua, mendapat manfaat dari beliau. Kami mendapat pelatihan menulis berbasis online. Kesyukuran saya itu dapat Anda baca pada halaman 92: “Virus Emcho Melintas Dunia.

Kalau sudah begini, kita yang sudah _kadung nyemplung_ ke dalam dunia literasi, apapun profesi dan latar belakang kita, menulislah. Setidaknya satu buku seumur hidup. Itu pesan Pak Emcho yang masih saya ingat. Apalagi, yang sudah menjadikan menulis mengalir dalam nafas dan darah, mari kita jadikan sebagai hamparan ide yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Jangan takut tidak akan dibaca. Sebab, setiap tulisan (buku) pasti ada pembacanya sendiri. Dan saya adalah salah seorang pembaca buku-buku karya mentor saya ini, Bapak Much. Khoiri.

Selamat  ya, Pak Emcho. Makin moncer. Berkibar. Bermanfaat.
Mari kita ikuti langkah beliau.

Jkt, 29/3/20 

*Rita Audriyanti adalah penulis produktif dari komunitas SPK dengan 7 buku mandiri dan 45 buku antologi. Kini tinggal di Jakarta.

DAHSYATNYA VIRUS EMCHO, SEDAHSYAT VIRUS CORONA


Oleh: HUSNI MUBARROK

Wabah Corona begitu mengemparkan. Merajalela. Menyerang umat manusia. Keberadaannya, begitu ditakuti. Tak ubahnya, sang monster terkutuk. Biadab, begitu orang menyebutnya. Karena, saking jengkelnya.

Semua menjauh, membentengi diri agar selamat, tak terpapar olehnya.

Virus Corona memang dahsyat. Larinya begitu cepat. Menyebar. Membabi buta. Menyerang paru umat manusia.

Lihatlah. Tak perlu waktu lama, virus ini menguncangkan dunia. Konon, awalnya dari Wuhan, Cina. Tapi kini, merebak di mana-mana. Lintas benua dan samudera. Semua terjangkit. Semua merana. Sungguh, nestapa tiada tara.

Korbannya sudah tak terbendung. Ribuan nyawa direnggut olehnya. Melayang dengan mudahnya. Cina pada awalnya. Kini Italia, Spanyol, Iran, Korea, Jerman, Amerika dan yang lainnya bahkan Indonesia mulai terpapar, ganasnya api Corona. Oh, negeriku, malangnya nasibmu.

Semoga cepat berlalu. Kembali ke sedia kala. Tak ada kecemasan dan ketakutan. Semuanya tenang, tersenyum lebar. Semoga.

Corona memang mengerikan. Penyebarannya yang cepat lewat kontak fisik membuat segalanya membatasi diri. Social distancing menjadi satu solusi. Stay at Home menjadi satu alternatif. Bahkan lockdown mulai tersaji di banyak negeri. Semuanya bersatu, melawan musuh dahsyat bernama "Covid-19".

Iya, itulah virus Corona, yang datang mengguncang dunia, di akhir tahun Desember yang lalu adalah awal dari ceritanya.

Sahabat. Tak semua virus itu nakal, menyebalkan dan menakutkan. Tidak percaya, silahkan cari dan buktikan!

Ada lho, virus yang dirindukan. Didambakan dan diidolakan. Mau tahu?

Iya, seperti virus yang saat ini ada dalam genggamanku.

Virus ini lahir dari sang pakar. Unesa adalah tempat sang pakar bekerja. Gresik adalah tempatnya sang pakar virus ini tinggal. Virusnya ganas lho, bikin tangan bergetar, tak mau tinggal diam. Selalu saja, ingin berbagi cerita. Lewat tutur pena yang sungguh asyik, menyenangkan.

Virusnya bikin otak meleleh. Tak mau tinggal diam. Selalu saja merontah. Memunculkan ide dan gagasan. Membuncah, sungguh!

Virusnya bikin hati ketagihan. Mendongkrak jiwa, mendorong siapa saja agar gemar berbagi ide lewat tulisan.

Virusnya sungguh dahsyat. Barangkali sedahsyat virus Corona. Kalau Corona semuanya menjauh, tak mau mendekat sebab takut terpapar virusnya. Namun, virus ini tentu saja berbeda.

Siapa yang terpapar, pastinya senang. Berucap syukur, tanda bahagia. Woow, alhamdulillah!

Iya, virus Emcho adalah namanya. Virus literasi, pembawa inspirasi bagi penduduk anak negeri.

Virus ini, menyebarkan inspirasi. Menggerogoti setiap insan agar bisa berkarya.

Siapapun yang terkena virusnya pastinya bergetar jiwanya. Jari jemarinya, dibuatnya tak berhenti menulis. Ide dan gagasannya, dibuatnya terus berkembang. Bekerja melahirkan berjuta inspirasi.

Wahai virus Emcho datanglah kemari. Mendekat dan lekatlah. Biarkanlah, jiwa ini terjangkit oleh ganasnya virusmu. Agar jiwa ini mampu berkarya. Mengukir cerita, meninggalkan jejak sejarah. Mengikat ilmu lewat tutur pena.

Wahai virus Emcho. Teruslah mewabah. Menjangkiti umat manusia agar semakin banyak insan manusia yang mampu berkarya. Gemar menulis dan suka membaca.

Wahai virus Emcho, teruslah membahana. Jangan biarkan virus Corona membabi buta. Cukuplah, engkau yang merajalelah, yang tenar dan menggaungkan dunia.

Bravo virus Emcho! 

*Husni Mubarrok adalah guru penulis asal Gresik yang telah menerbitkan 11 buku mandiri dan 15 buku antologi.

SETIAP ORANG BERBAKAT PENYAIR


Oleh MUCH. KHOIRI


SIAPA bilang setiap orang di negeri ini berbakat menjadi seorang penyair? Siapa yang akan percaya, jika ada, pernyataan yang berlebihan semacam itu? Mana buktinya?

Buktikan dengan strategi berikut: Buatlah lomba menulis puisi pada tiap-tiap sekolah, universitas, lembaga, komunitas, dan sebagainya di seluruh Indonesia---dengan hadiah utama 10 mobil mewah, dan ratusan hadiah semi utama semisal mobil pribadi tak mewah, atau jutaan hadiah hiburan semisal ponsel seharga dua jutaan.

Sosialisasi lomba jangan tanggung-tanggung. Ia harus bisa masuk ke seluruh lapisan sosial masyarakat kita--bahkan sampai Talaud, Aceh Singkil, dan ujung Papua sana. Libatkan sponsor yang banyak untuk membakar "kompor kreatif" masyarakat. Jika perlu, kegiatan nasional ini digelar dengan melibatkan dinas-dinas lintas kementerian. O ya, perusahan-perusahaan IT dan jejaring internet, perlu digandeng. Tentu, agar  acara fenomenal dan masuk MURI atau The Guinness Book of Records.

Maka, saksikanlah. Begitu pendaftaran dibuka, akan berjubel orang mendaftarkan diri sebagai peserta lomba menulis puisi. Website panitia bisa ngadat oleh arus pendaftar yang amat padat. Sementara itu, yang daftar darat, bisa melebihi jumlah pendaftar audisi New AFI 2013, yang begitu gila-gilaan, di beberapa kota besar. Setidaknya, ada hasrat utk mendaftarkan diri—bagaimana pun caranya—untuk ikut lomba menulis puisi tersebut.

Dengan lomba puisi yang berhadiah menggiurkan begitu, orang "mendadak dangdut", eh, "mendadak jadi penyair". Tiba-tiba bakatnya bangkit dan menggelora, karena terpancing hadiah mobil atau ponsel jutaan rupiah. Orang tiba-tiba bisa meromantis, belajar memilih-milih  diksi, atau mematut-matut gayanya dalam membaca "puisi"-nya. Singkatnya, orang mendadak menjadi "penyair"--pokoknya penyair, apapun genre puisinya.

Tentu saja, panitia harus bekerja superkeras untuk memilih puisi yang layak dari tumpukan puisi yang menggunung. Dan, tentu saja, puisi yang terpilih adalah puisi yang terbaik, dan memang layak mendapat hadiah. Sisanya disimpan saja di almari arsip—atau malah dibuang saja ke bak mobil sampah.

Sama dengan peserta audisi New AFI 2013, peserta lomba puisi juga merasa berbakat jadi penyair. Dan tidak salah, setiap orang punya bakat untuk melakukan setiap kegiatan—tak peduli seberapa kadar bakatnya. Mereka mengandalkan bakat, untuk mengikuti lomba, dengan harapan untuk memboyong hadiah. Dalam setiap lomba, pede itu penting; bakat harus dianggap top (menurut ukuran sendiri). Peserta lomba menulis puisi juga wajib (merasa) berbakat.

Namun, dewan juri pastilah tahu, mana puisi yang ditulis oleh peserta yang (1) berbakat besar dan banyak berlatih, (2) berbakat tapi kurang berlatih, (3) berbakat kecil dan kurang berlatih. Jurinya pastilah pakar dalam dunia puisi, dan juga mengenali bakat orang dalam menulis puisi. Mustahil dewan juri hanya memberi komentar-komentar, tanpa memahami kualitas puisi.

Di mata juri tiga kelompok peserta lomba itu semuanya berbakat jadi penyair, namun kapasitas bakatnya dan intensitas latihannya berlainan. Dan inilah kuncinya: Ada bakat besar, ada juga banyak latihan. Memang, semua peserta berbakat, tapi hanya amat sedikit yang memupuknya terus-menerus dengan serangkaian latihan.

Memang hadiah bisa jadi katalisator bagi bangkitnya (kembali) bakat seseorang. Ia bisa menjadi iming-iming atau stimulan yang ampuh. Dan ini terjadi di masyarakat yang terhegemoni oleh gebyar budaya massa dan pertarungan kuasa ekonomi. Sebagai masyarakat "fantasia maniac", kita suka kesengsem kalau ada lomba berhadiah. Tujuan akhirnya bukanlah lomba itu sendiri, melainkan hanya hadiah yang diperebutkan.

Jadi, kembali ke pertanyaan awal, “Siapa bilang setiap orang di negeri ini berbakat menjadi seorang penyair?” Belum bisa dipastikan. Harus diuji dengan penyelenggaraan lomba baca puisi tingkat nasional, yang pesertanya meliputi seluruh atau sebagian besar masyarakat Indonesia. Kata “setiap” identik dengan “seluruh—dan karena itu perlu diteliti dengan sebenarnya.

Meski demikian, saya pernah menggelar lomba menulis puisi dan cerpen di kampus—dengan tahun pelaksanaan berbeda. Dengan hadiah utama sekitar 2,5 juta rupiah saja, pesertanya sudah ratusan mahasiswa. Ternyata, mereka menyimpan bakat menulis puisi atau cerpen. Ketika bakat itu dipancing stimulan tertentu, dalam hal ini, iming-iming hadiah, maka bangkitlah bakat terpendamnya.

Namun, apa gunanya bakat jika tidak dipupuk dan selalu dikembangkan? Lebih baik, bakat pas-pasan saja, tapi latihannya terus-menerus tanpa lelah dan mengeluh. Bakat dikembangkan dengan harga perjuangan latihan yang besar. Jika ada orang mengaku berbakat menjadi penyair, namun dia tak pernah mau berlatih menulis puisi, maka semua itu ‘KKC’ (kakehan cangkem) alias omong kosong belaka.

Singkatnya, siapapun bisa dianggap berbakat atau menganggap diri berbakat menjadi penyair; namun penentu hasilnya tetap seberapa bakat itu dilatih dan dikembangkan. Emas atau berlian akan tampak kinclongnya berkat olahan dan gosokannya. Semua berbakat jadi penyair, namun itu bergantung juga pada proses latihannya.[]

*Much. Khoiri adalah penggerak literasi, editor, trainer, dan penulis 42 buku dari Unesa Surabaya. Artikel ini pendapat pribadi.

HARGAI PENULIS, BELI KARYANYA


Oleh MUCH. KHOIRI

JUDUL di atas mungkin tidak sepenuhnya benar dan tepat. Nyatanya, ada orang yang mendebat bahwa menghargai penulis itu jika ia bisa memahami ilmu yang disampaikan dan kemudian mengembangkannya. Nyatanya, ada pula yang sepakat bahwa menghargai penulis bukan semata dengan memberikan imbalan serupa uang—mungkin berkat pertemanan!

Anggapan bahwa menghargai penulis tidak harus dengan membeli bukunya, tentu ada benarnya. Kapan? Biasanya ketika si penulis dianggap kaya atau tidak berkesulitan dalam soal keuangan, atau berkat pertemanan. Lalu, orang begitu berbunga-bunga hatinya ketika diberi buku gratis oleh penulisnya, dengan menganggap (lagi) bahwa buku itu sebuah hadiah, dan hadiah memiliki makna tersendiri selain uang belaka.

Namun, marilah kita realistis. Berapa sih jumlah penulis yang kaya dari menulis dan membagi-bagikan karyanya secara gratis? Jika ada penulis kaya, kebanyakan bukan dari hasil menulis. Lalu, seberapa kuatkah penulis semacam itu akan mendermakan karya-karyanya ke depan? Berapa judul buku lagi yang akan mampu disedekahkan atau di-jariyah-kan?

Penulis yang tergolong ‘penulis dermawan langka’ semacam itu tentulah amat sulit ditemukan. Yang jumlahnya sedikit lebih banyak adalah penulis yang sukses, dengan penjualan karya yang meledak, semacam J.K Rowling dengan Harry Potter-nya, Andrea Herata dengan tetralogi Laskar Pelangi-nya, dan Kang Abik dengan Ketika Cinta Bertasbih.

Sementara, penulis kebanyakan adalah mereka yang bukunya tidak selalu laku, dan mereka yang baru memulai karirnya menulis (buku). Dari tingkat penghasilan penulis, mereka belum beruntung. Dari hitungan finansial, mereka bukanlah termasuk “penulis dermawan langka” tersebut. Mereka masih butuh kesejahteraan.

Mencermati kenyataan ini, tampak bahwa selain penulis yang memang kaya dari sono-nya, adalah sama-sama berangkat dari penulis biasa, yakni penulis yang memulai dari nol ibaratnya. Mungkin sama-sama keras usahanya, namun satunya lebih beruntung daripada lainnya. Namun, judulnya tetaplah sama, bahwa penulis kaya seperti J.K Rowling, Andrea Herata, dan Kang Abik semula juga penulis biasa—namun dengan keberuntungan (royalti) yang lebih baik.

Sekarang, dari manakah royalti itu diperoleh oleh penulis? Tentu saja dari sekian persen penjualan buku karya si penulis. Artinya, semakin banyak royalti, semakin banyak buku yang telah dibeli oleh pembaca. Maknanya, jika Anda telah membeli buku itu, Anda tentu ikut menambah omset penjualan buku, dan akhirnya mendongkrak besaran royalti bagi penulis. Dengan demikian, ada hubungan lurus antara pembelian buku oleh pembaca dan besar-kecilnya royalti penulis.

Itu berlaku jika buku yang dihasilkan penulis itu diterbitkan dan dipasarkan oleh penerbit mayor. Penulis hanya bertugas menulis, selebihnya (termasuk editing, layout, pengurusan ISBN, pencetakan, dan pemasaran) adalah tanggungjawab penerbit. Namun, jika buku itu diterbitkan secara indie publishing (dengan menyewa penerbit tapi atas biaya sendiri), tidak ada royalti khusus kecuali keuntungan dari penjualan (dikurangan biaya produksi).

Nah, jika ada orang hanya suka menerima (hadiah) buku dari penulis tanpa membelinya, itu artinya mengurangi pemasukan atau imbalan finansial bagi penulisnya. Jika bukunya diterbitkan oleh penerbit mayor, minta gratisan itu artinya menyunat jatah royalti penulisnya; sedangkan jika diterbitkan secara indie, itu juga menyunat keuntungan finansialnya. Buku gratisan sama-sama tidak menghargai penulis secara finansial.

Padahal, secara jujur, perlu diakui bahwa penulis juga memiliki keluarga yang harus ditanggung, ada impian yang harus diwujudkan. Sederhana saja, penulis tidak bisa membeli bensin atau sepiring nasi pecel dengan sebuah buku—melainkan harus dengan uang. Dari manakah uang itu kalau bukan dari royalti penerbit mayor atau penjualan buku mandiri, dan kegiatan yang terkait dengan penulisan bukunya?

Oleh karena itu, mungkin kita perlu membiasakan diri untuk membeli buku karya penulis dalam rangka untuk menghargai jerih payah dan kreativitasnya. Menerima hadiah buku berkat pertemanan tentu tidak ada salahnya; namun, menggantinya dengan uang seharga buku itu agaknya lebih realistis dan beradab.

Menghargai penulis dengan membeli karyanya berarti bahwa pembeli ikut membantu penulis dalam menjaga motivasi dan spirit menulisnya, karena mereka merasa dihargainya karya mereka. Motivasi dan spirit menulislah yang menjadi motor penulis untuk selalu berproses kreatif, dan sekaligus menjaga stamina dan kegigihannya dalam menghasilkan tulisan.

Pada sisi lain, jika karya mereka dibeli pembaca, itu membantu kesejahteraan mereka; dan pada dasarnya juga membuat mereka lebih fokus pada penciptaan, tidak lagi terganggu secara signifikan oleh upaya untuk mengais penghasilan. Dengan begitu, secara rekapitulatif, membeli karya penulis itu termasuk tindakan mulia dan barakah. 
 
Sejauh itu, tulisan ini hanya dimaksudkan untuk kondisi standar dan normal, dalam hitungan manusia, bukan keajaiban yang turun dari langit. Bahwa membeli buku penulis termasuk memperpanjang nafasnya untuk berkarya. Pun membeli bukunya, secara tak langsung, ikut berinvestasi dalam memajukan peradaban.[]

*Much. Khoiri hanyalah penggerak literasi, dosen, editor, dan penulis 42 buku dari Unesa Surabaya. Tulisan ini pendapat pribadi.

LITERASI NAIK PESAWAT

Oleh Much. Khoiri

Jangan kira naik pesawat bebas literasi. Sebaliknya, naik burung logam itu kita harus berliterasi---cerdas membaca, memahami, dan menyikapi segala informasi. Jika tidak, bisa blaen (berdampak buruk)!

Terlebih, di era sekarang ini, bandara-bandara (apalagi bandara internasional) sudah canggih. Media audio dikurangi atau dihilangkan. Media tulis dan tanda (simbol) telah diterapkan di sebarang penjuru bandara. Sumber informasi siap dikunyah setiap saat, tinggal kita mau belajar atau tidak.

Perkara tiket saja, kita tidak perlu mengantri hanya untuk membelinya. Pesan tiket daring (online), sudah biasa dilakukan lewat gawai yang kita genggam setiap waktu. Bayarnya lewat e-banking, tidak perlu antri panjang, kita bisa mendapatkan tiket pesawat. Tiket pun cukup disimpan di dalam memori ponsel, tidak wajib untuk dicetak.

Bahkan, ada fasilitas untuk melakukan online check-in, sebuah loncatan dari check-in di hotel, kantor, atau domisili kita. Dengan check-in daring ini, kita tidak perlu ketir-ketir dan stress jika kita hanya punya waktu pendek menjelang terbang. Jika kita manusia literat gawai, urusan tiket dan check-in bukan masalah sama sekali.

Sementara, untuk kita yang masih suka yang manual, ke mana kita harus check-in secara manual, misalnya, di Juanda atau Soeta saja, informasi tidak perlu diumumkan lewat speaker. Cukup dengan tanda panah dan pesan "check-in", orang harus berjalan mengikutinya. Mau lihat jam penerbangan, cukup lihat papan pengumuman otomatis. Demikian pun kalau mau ambil bagasi, di sana ada tulisan "baggage claim".

Maka, orang yang naik pesawat benar-benar awas dengan semua informasi yang ada. Jangan hanya tanya orang lain. Temukan info secukupnya, dan lakukan apa yang seharusnya dilakukan. Naik pesawat pun merupakan proses belajar menjadi insan mandiri.

Menemukan sinyal untuk ponsel, itu juga penting. Memasang kartu baru (Eropah misalnya), menuntut kita untuk mengeset ponsel kita sedemikian rupa. Juga, saat ada wifi-free di bandara atau kafe-kafe, kita harus sigap mencari info bagaimananya. Jika tidak, komunikasi dengan keluarga, kolega, atau sahabat di tanah air akan terhambat.

Mau memotret diri sendiri, jangan suka meminta tolong orang lain. Ada gawai yang canggih. Di manapun kita bisa swafoto (selfie), tinggal cari tempat yang pas, lalu cekrak-cekrek sesuka kita, jadilah foto kita. Jika kurang manis, ada tongsis yang menggantikan fungsi tangan orang lain. Juru foto profesional gulung tikar, karenanya. Maka, beli ponsel dan tongsis yang bisa diajak foto dengan hasil maksimal.

Kalau masih berada di negeri sendiri, bolehlah kita masih meminta tolong orang lain. Di Juanda atau Soeta kita masih menemukan petugas-petugas yang ramah untuk menjawab pertanyaan atau membantu kita. Maklum, masih di negeri sendiri. Kita masih dimaklumi. Bangsa kita bangsa penolong dan baik hati, kalau hanya ditanya atau minta difotokan.

Namun, jika kita sedang di bandara luar negeri, sebutlah di Hamad International Airport, Doha Qatar, maka jangan andalkan bertanya pada petugas. Bandara Hamad bersuasana lengang, tidak sesekali terdengar halo-halo petugas, meski ia juga bandara besar dan luas. Kita harus awas berbagai tanda atau pesan di dalam bandara.

Mencari pintu (gate) saja, apalagi di boarding pass tidak tertulis gate, kita harus melihat papan pengumuman tidak hanya sekali, bisa dua atau tiga kali. Untuk apa? Memastikan gate tidak berubah. Sebab, menurut info travel, di bandara Hamad itu, berganti jadwal terbang dan pintu (gate) bisa terjadi. Terlebih, jika kita penumpang transit, harus lebih awas.

Demikian pun saat kita berada di kantor imigrasi di dalam bandara. Biasanya kita ditanya tentang alasan dan tujuan bepergian, untuk bisnis atau tugas. Bukti dokumen diperiksa. Dalam Bahasa Inggris lagi. Jadi, wajib kiranya kita memahami Bahasa Inggris meski hanya untuk komunikasi. Tidak harus cas-cis-cus, tapi wajib paham.

Di dalam pesawat, setali tiga uang. Kita harus paham ketika pramugari cantik bilang, "Sir, what would you like to drink?" Itu artinya, "Bapak mau minum apa?" Jika kita paham bahasa Inggris, mudah bagi kita untuk menjawabnya. Juga jika kita tidak paham, kita tidak akan bisa membedakan antara 'beef' (daging sapi) dan 'pork' (daging babi).

Bahkan, jika tidak paham, kita tidak akan fokus pada pertanyaan si pramugari, melainkan pada kemolekannya. Stop, jangan lanjutkan, ada anak isteri di rumah, MasBro. Ingat kata Kang Dul: "Setia itu bukan kok tidak mengagumi orang lain, namun berani berkata 'tidak' ketika rasa cinta bergerak melampaui batas-batasnya."

Belum lagi kalau kita mau lihat-lihat film, flight map, dan lain-lain di layar TV di depan tempat duduk kita. Mengoperasikannya juga perlu kemampuan literasi. Ada petunjuk-petunjuk yang harus diikuti. Termasuk apa yang perlu dilakukan saat di toilet pesawat, kita harus belajar.

Atau ketika kita harus bersapa dan berbincang dengan tetangga kursi kita. Kita perlu memahami bahwa kita memiliki perbedaan atau kekhasan (partikularitas) dengan mereka, terutama dalam berbudaya, meski kita pun memiliki kesamaan atau kemiripan (universalitas) dengan mereka. Literasi bahasa adalah jembatan untuk saling memahami.

Singkat kata, naik pesawat perlu kemampuan generasi milenial, yang canggih dalam menggunakan gawai, dan lincah dalam berkomunikasi. Kuncinya, melek teknologi, membaca cerdas dan mengamalkan hasil bacaan, itulah syarat wajib bagi prnumpang pesawat. Sekali lagi, literasi naik pesawat itu penting dan urgen, dan bukan sebaliknya.[]

Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts