Oleh Much. Khoiri
Sumber gambar: https://www.harapanrakyat.com/ 2019/10/manfaat-jagung-manis/ |
Kangen jagung itu persis menggodaku petang ini, seperti halnya dua pekan silam, aku juga membeli jagung ke penjual yang sama. Matanya berbinar-binar, dan selalu tergopoh-gopoh menyambutku. “Duapuluh ribu saja, Pak,” kataku. Dia memilihkan enam biji jagung rebus, dan berterima kasih dengan santun. Dalam hitungan detik, sekresek jagung rebus itu sudah berpindah tangan. Dan sekarang, petang ini, kami melahapnya.
Subhanallah, betapa sederhananya hidup ini—jika disyukuri dengan hati yang sareh penuh syukur. Jagung rebus sebiji atau dua saja sudah amat mengenyangkan perut. Non-kolesterol pula—jauh lebih sehat daripada fastfood atau makanan ala resto asing modern di mal-mal. Sementara itu, di luar sana masih banyak saudara kita yang masih kelaparan, atau belum makan seharian. Sungguh, aku tahu maknanya lapar karena memang pernah mengalaminya di musim paceklik, berkali-kali.
Hal ini menyadarkan bahwa hidup tidak perlu rakus alias serakah. Bekerja keras dan cerdas ya, tapi jangan serakah. Berupaya maksimal itu harus, tapi jangan rakus. Mengapa? Karena yang kita butuhkan sebenarnya hanya sedikit dari yang kita kejar-kejar sampai lupa segalanya, termasuk kadang lupa saudara sendiri. Petang ini saya hanya butuh jagung rebus, dan ternyata cukuplah sudah. Murah sekali, hanya duapuluh ribu rupiah!
Aku tak tahu persis apakah orang-orang yang berpenghasilan jutaan atau milyaran per jam atau per hari juga sama puasnya dengan aku kalau makan jagung rebus? Aku hanya tahu bahwa tubuh manusia itu relatif sama, membutuhkan asupan makanan yang relatif sama—meski sumber dan jenisnya berbeda. Aku juga tahu, manusia seharusnya makan sesuai kebutuhan, bukan sesuai keinginan. Hanya saja, apakah mereka sadar bahwa jagung rebus itu lebih sehat dari pada pizza daging?
Keinginan memang tidak ada habisnya, berbeda dengan kebutuhan. Keinginan tak akan mungkin dibatasi oleh horizon langit, bahkan oleh batas-batas semesta ini, termasuk batas ruang dan waktu. Namun, kebutuhan bisa dibatasi oleh rasa puas dan rasa syukur atas anugerah yang manusia terima bahwa sebelum jadi orang, manusia terlahir telanjang tak punya apa-apa.
Nah, aku di sini bersama jagung rebus. Ternyata jagung rebus pun membukakan pintu hikmah bersyukur. Kita diingatkan dalam QS. Ar-Rahman berkali-kali, “Fabiayyi âlâ'i Rabbikumâ tukadzdzi bân’. Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan? Sungguh, Lâ bisyay-in min âlâika Rabbî akdzibu (tidak ada satu pun nikmat-Mu, duhai Tuhanku, yang aku dustakan).*
*Much. Khoiri adalah
penggerak literasi, dosen dan penulis 45 buku dari Unesa Surabaya.