Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Wednesday, October 28, 2020

KANGEN JAGUNG REBUS

Oleh Much. Khoiri

Sumber gambar: https://www.harapanrakyat.com/
2019/10/manfaat-jagung-manis/

Kangen jagung itu persis menggodaku petang ini, seperti halnya dua pekan silam, aku juga membeli jagung ke penjual yang sama. Matanya berbinar-binar, dan selalu tergopoh-gopoh menyambutku. “Duapuluh ribu saja, Pak,” kataku. Dia memilihkan enam biji jagung rebus, dan berterima kasih dengan santun. Dalam hitungan detik, sekresek jagung rebus itu sudah berpindah tangan. Dan sekarang, petang ini, kami melahapnya.

Subhanallah, betapa sederhananya hidup ini—jika disyukuri dengan hati yang sareh penuh syukur. Jagung rebus sebiji atau dua saja sudah amat mengenyangkan perut. Non-kolesterol pula—jauh lebih sehat daripada fastfood atau makanan ala resto asing modern di mal-mal. Sementara itu, di luar sana masih banyak saudara kita yang masih kelaparan, atau belum makan seharian. Sungguh, aku tahu maknanya lapar karena memang pernah mengalaminya di musim paceklik, berkali-kali.

Hal ini menyadarkan bahwa hidup tidak perlu rakus alias serakah. Bekerja keras dan cerdas ya, tapi jangan serakah. Berupaya maksimal itu harus, tapi jangan rakus. Mengapa? Karena yang kita butuhkan sebenarnya hanya sedikit dari yang kita kejar-kejar sampai lupa segalanya, termasuk kadang lupa saudara sendiri. Petang ini saya hanya butuh jagung rebus, dan ternyata cukuplah sudah. Murah sekali, hanya duapuluh ribu rupiah!

Aku tak tahu persis apakah orang-orang yang berpenghasilan jutaan atau milyaran per jam atau per hari juga sama puasnya dengan aku kalau makan jagung rebus? Aku hanya tahu bahwa tubuh manusia itu relatif sama, membutuhkan asupan makanan yang relatif sama—meski sumber dan jenisnya berbeda. Aku juga tahu, manusia seharusnya makan sesuai kebutuhan, bukan sesuai keinginan. Hanya saja, apakah mereka sadar bahwa jagung rebus itu lebih sehat dari pada pizza daging?

Keinginan memang tidak ada habisnya, berbeda dengan kebutuhan. Keinginan tak akan mungkin dibatasi oleh horizon langit, bahkan oleh batas-batas semesta ini, termasuk batas ruang dan waktu. Namun, kebutuhan bisa dibatasi oleh rasa puas dan rasa syukur atas anugerah yang manusia terima bahwa sebelum jadi orang, manusia terlahir telanjang tak punya apa-apa.

Nah, aku di sini bersama jagung rebus. Ternyata jagung rebus pun membukakan pintu hikmah bersyukur. Kita diingatkan dalam QS. Ar-Rahman berkali-kali, “Fabiayyi âlâ'i Rabbikumâ tukadzdzi bân. Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan? Sungguh, Lâ bisyay-in min âlâika Rabbî akdzibu (tidak ada satu pun nikmat-Mu, duhai Tuhanku, yang aku dustakan).*

*Much. Khoiri adalah penggerak literasi, dosen dan penulis 45 buku dari Unesa Surabaya.


Tuesday, October 27, 2020

MENULIS BUKU, BERKEMBANG BERSAMA TULISAN: Sebuah Kata Pengantar

Oleh: Much. Khoiri 

SESUNGGUHNYA bersama kesulitan ada kemudahan. Sepenggal firman Allah itu sengaja saya kemukakan di sini, guna memperteguh keyakinan kita akan pesan terdalam dari ayat tersebut. Seberapa sulitnya urusan atau masalah yang kita hadapi, pastilah ada solusi, jalan keluar, kemudahan—tentu bagi kita yang mengimaninya dan berusaha keras untuk mengatasi kesulitan itu.

Pandemi covid-19 hadir di antara kita, bahkan menjadi ujian untuk kita semua. Pada sisi tertentu, ia dipandang sebagai kesulitan, mengingat ada perubahan besar dalam tata kehidupan yang harus disesuaikan. Tak terkecuali dalam dunia pendidikan, ada perubahan mendasar dalam pembelajaran, yakni diberlakukannya pembelajaran jarak jauh (PJJ) dengan aneka konsekwensinya.

Namun, para guru SMPN 13 Surabaya yakin bahwa bersama kesulitan ada kemudahan. Maka, mau tak mau mereka harus mendisrupsi diri dan sekaligus melakukan berbagai inovasi dalam pembelajaran, baik materi, metode, media, maupun asesmen. Semua menjadi pengalaman mahal bagi para guru. Saking mahalnya, pengalaman itu urgen untuk diabadikan ke dalam tulisan. Buku ini adalah bukti nyata para guru mengabdikan pengalaman PJJ selama pandemi ke dalam tulisan.

Demikianlah pesan pertama yang hendak disampaikan dalam buku ini. Meski kesulitan menghantui PJJ, beberapa penulis dalam buku ini mampu menyulap kesulitan itu sebagai tantangan untuk menulis. Mereka berhasil menjawab tantangan itu dengan karya nyata—berupa tulisan yang amat mungkin dibaca publik, lalu menginspirasi dan dikembangkan menjadi berbagai tulisan, yang intesitasnya tak terduga.

Pesan lainnya, meski hanya beberapa saja, mereka berhasil menambah jumlah guru penulis di negeri tercinta ini. Itu sebuah prestasi yang tak dapat diabaikan. Di tengah kebutuhan buku yang tinggi, kehadiran guru penulis dalam buku ini ibaratnya angin segar yang berhembus di tengah layunya dunia perbukuan. Bahkan, jika mereka ingin meniti profesi tambahan sebagai penulis buku, inilah saatnya mereka untuk memulainya. Dan buku ini adalah tonggak momentum yang terbaik!   

Dalam hal ini, marilah buka kartu! Menurut data statistik nasional, pada 2020 angka melek huruf telah mencapai 98% dari sekitar 268 juta jiwa penduduk Indonesia. Semestinya ini merupakan ladang penerbitan buku sangat subur. Sayangnya, profesi penulis sering dipandang sebelah mata karena kurang menjanjikan penghasilan yang layak, terlebih adanya miskonsepsi tentang kegiatan menulis buku yang kurang memberikan manfaat bagi perkembangan perbukuan di Indonesia.

Mari bandingkan perbukuan di Amerika dan Indonesia. Di Amerika Serikat sejak tahun 2018 telah terbit 75 ribu buku; di Indonesia hanya 10% dari buku terbit di Amerika, bahkan dapat lebih kecil lagi. Padahal dari segi jumlah penduduknya, tahun 2020 penduduk Amerika 330 juta jiwa dan Indonesia 268 juta jiwa. Inilah saatnya kita seharusnya belajar banyak tentang penerbitan buku ini.

Tentu saja ada variabel lain yang menjadi penyebab perbedaan penerbitan buku antara Amerika dan Indonesia, antara lain rendahnya daya beli buku dan budaya membaca masyarakat kita. Dua variabel penting inilah yang justru harus kita perhatikan untuk digarap secara sungguh-sungguh. Karena itu, hadirnya buku-buku karya guru tampaknya akan membantu menyelesaikan masalah yang ada.

Selain itu, hingga saat ini masih ada miskonsepsi mengenai profesi menulis buku. Banyak yang berpandangan bahwa menulis buku adalah pekerjaan yang sulit sekali, memerlukan waktu yang banyak, perlu serius dan memerlukan bakat yang luar biasa untuk buku-buku (genre tertentu). Bahkan ada mitos bahwa menulis buku adalah pekerjaan orang orang yang superkreatif dan para petualang. Semua ini kadang dianggap sebagai mitos-mitos.

Pemerintah memang telah memasukkan program literasi ke dalam kurikulum pendidikan dengan harapan program ini mampu menumbuhkan minat baca bagi masyarakat Indonesia, dan berharap pula bahwa kegiatan membaca nantinya dapat menjadi budaya yang ditumbuhkan mulai dari sekolah-sekolah di Indonesia. Diharapkan pula, program literasi mampu menumbuhkan generasi yang mampu dan hobi membaca serta menulis buku.

Dalam konteks demikian, penting kiranya untuk mengapresiasi para guru penulis yang telah berjuang keras dalam menyusun buku ini. Mereka telah mengalahkan mitos-mitos dalam menulis. Bahkan mereka telah menjadi teladan untuk diri sendiri dan orang-orang sekitarnya, serta berkembang bersama tulisan.  Mudah-mudahan budaya literasi membaca dan menulis di Indonesia segera berkembang pesat dan mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju.[]

Surabaya, 21 Oktober 2020

*Much. Khoiri adalah dosen, penggerak literasi, editor, dan penulis 45 buku dari Unesa Surabaya. Buku terbaru berjudul “SOS Sapa Ora Sibuk: Menulis dalam Kesibukan” (Edisi revisi, 2020).

 

Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts