Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Friday, January 8, 2021

PENYAIR GUGAT LEWAT PUISI

 Oleh Much. Khoiri (Dosen, penggerak literasi, blogger, penulis buku dari Unesa Surabaya)


MEDIUM penyampaian aspirasi gugatan sebaiknya sesuai dengan status dan wadah ekspresi  seseorang. Anggota parlemen akan tampil di podium atau berdebat di ruang DPR(D), ilmuwan lewat forum akademik,  dan mahasiswa mungkin lewat demonstrasi.  Lalu, medium apakah yang pas bagi penyair? Puisi-puisinya!

Gugat ditempuh karena situasi “darurat” yang kuat: Mungkin ketika aspirasi tak lagi mendapat tempat dan terakomodasi sebagaimana mestinya. Mungkin ketika wakil rakyat dan para pemimpin tak lagi mengindahkan suara rakyat. Mungkin ketika ruang ekspresi  praktis tersumbat. No way out. Maka, penyair pun mengugat dengan diamnya: menulis puisi.

Menurut Suhartoko (2011), puisi, sebagai instrumen ekspresi hati dan pikiran, bisa menjadi alternatif yang ampuh untuk menumpahkan segala keluh kesah dan kejengkelan atas karut-marut tata kelola di negeri ini. Lewat puisi, segala situasi—tidak saja yang secara kasat mata bisa dilihat, tetapi termasuk yang tersembunyi sekalipun—bisa dipotret dan direkam sebagai bagian penting dari lintasan sejarah.

Inilah yang terangkum dan tersaji dalam kumpulan puisi (kumpuis) alumni Universitas Negeri Surabaya (Unesa), berjudul GUGAT (Ika Unesa Publishing, 2011), yang dieditori oleh Eko Prasetyo, Much. Khoiri, dan Suhartoko.  Ketiganya kini termasuk Kompasianer yang aktif menulis, dengan berbagai genre tulisan.

Adapun penulis yang terlibat dalam buku  kumpuis ini adalah (1) Much. Khoiri, (2) Suhartoko, (3) Ardi Nugroho, (4) Eko Pamuji, (5) Rukin Firda, (6) Etik Andriani, (7) Rizka Amalia, (8) Suyatno, (9) Fafi Inayatillah, (10) Sirikit Syah, (11) Dody Kristianto, (12) Mh. Zaelani Tammaka, (13) Sugiono, (14) Habe Arifin, (15) M. Anis, (16) Arif Mustofa, (17) Eko Prasetyo, (18) Umar Fauzi Ballah, (19) Bonari Nabonenar, (20) Set Wahedi, (21) A. Rohman, (22) Ashif Hasanuddin, (23) Ria Fariana, (24) M. Hari Nurdi, (25) Mochammad Asrori.  

Lewat ketajaman mata hati dan pikiran 25 penulisnya, GUGAT memang banyak memuat ekspresi kejengkelan dan “gugatan” atas situasi di negeri ini dalam segala aspek kehidupan, baik politik dan pemerintahan, sosial dan kemasyarakatan, hukum, lingkungan dan tata kota, pendidikan, dan sebagainya. GUGAT menjadi prasasti sejarah sebagian anak negeri atas kesaksian dan pengalaman mereka dalam menjalani hidup  yang penuh kesumpekan dan ketidakpastian.

Berikut ini salah satu puisi dari 118 puisi yang ada. Judulnya “Kembalikan Indonesia Padaku” (Sirikit Syah), yang pernah dimuat harian Jawa Pos, pada 20 Mei 1998, bertepatan dengan lengsernya Soeharto.

 

Kembalikan Indonesia Padaku

 

Ini bukan negara empat musim dan ini bukan musim gugur

Tapi pohon-pohon di Jawa Tengah berwarna kuning

Keindahan alam Indonesia telah dinodai!

 

Hutan Kalimantan menjadi sabana

Dilibas para kerabat yang memegang HPH

Gunung di Irian menjadi telaga

Digali emas, tapi dilaporkan tembaga

Kekayaan alam nusantara telah dijarah!

 

Pohon-pohon cengkih ditebangi

Dan cengkih-cengkih dibakar

Kesejahteraan petani dirampok!

 

Rakyat harus bayar hutang konglomerat

Harga-harga naik dan pabrik-pabrik tutup

Kini rakyat merampok

Kini rakyat menjarah

Kini rakyat menodai cita-cita reformasi

Dan para pejuang dituduh telah ditunggangi!

 

Wahai pengelola negara

Kalau engkau tidak becus,

Kembalikan saja Indonesia padaku!

  

Surabaya, Mei 1998


Buku kumpulan puisi GUGAT ini merupakan karya kreatif (buku) kedua para alumni Unesa, setelah sebelumnya menerbitkan buku kumpulan cerpen Ndoro, Saya Ingin Bicara (IKA Publishing, Juni 2011). Saat ini ada beberapa buku lain yang sedang dipersiapkan untuk penerbitannya—ada yang dalam proses penulisan, ada yang dalam proses penyuntingan.  

Buku yang lahir dari tangan kreatif 25 penulis ini menghimpun 118 puisi yang terbagi dalam lima bagian atau subtema, yakni (1) Ironi Kekuasaan; (2) Jati Diri dan Nasionalisme Kelabu; (3) Urban Roda Zaman; (4) Semesta Serpihan Kehidupan; dan (5) Kontra-Pasrah. Jumlah puisi dalam masing-masing subtema beragam, lebih-kurangnya 20-an judul.

Beragamnya profesi para penulisnya, seperti penyair, guru/dosen, jurnalis, editor, praktisi kehumasan, juga karyawan perusahaan, membuat puisi-puisi yang terhimpun dalam GUGAT bak taman bunga yang menghadirkan aneka warna dan aroma beragam pula. Apalagi, ke-25 penulis puisi ini berasal dari lintas generasi (angkatan) dan disiplin ilmu yang digeluti semasa kuliah di Unesa. Karena itu wajar jika gaya penulisan dan style  puisi yang ada juga gado-gado, mengikuti figur penulisnya.

Sebagai salah satu simpul berantai dari kehadiran kumcer terdahulu, GUGAT  diharapkan juga mampu memberikan apa yang Horace (Horatius) sebut “dulce et utile” (rasa nikmat dan manfaat/kegunaan) kepada pembaca. Maksudnya, sebagai karya sastra, kumpulan puisi ini diharapkan hadir bukan hanya memberikan kesenangan (enjoyment), melainkan juga manfaat (utility) yang berlimpah.

Harapan itu akan terwujud jika pembaca berposisi sebagai pembaca yang kreatif dan bermutu, sehinga pembaca memperoleh kekayaan batin, wawasan kehidupan (insight into life), dan moral. Lebih penting lagi, GUGAT juga diharapkan menemukan tempatnya di alam pikiran dan kreativitas pembaca.  Hanya dengan demikian, proses inspirasi berkembang dari satu orang ke orang lain secara tak terduga dan tak terbayangkan. 

Terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah memungkinkan penerbitan buku ini. Semoga amal baik para pihak yang telah membantu proses penerbitan kumpuis GUGAT ini bakal membuahkan berkah dan pahala yang melimpah dan tanpa henti alirnya.* [Surabaya, 1/12/ 2011].

Wednesday, January 6, 2021

Refleksi Akhir Tahun 2020: BERSYUKUR SEPANJANG TAHUN (Bagian 2- Habis)

 Oleh Much. Khoiri

(Dosen, penggerak literasi, blogger, penulis buku dari Unesa Surabaya)

Sumber gambar: Dokumen Pribadi


Lebih jauh, syukur saya sepanjang tahun 2020: Saya bisa mencurahkan waktu untuk dunia menulis saya. Mungkin, Anda tahu semboyan menulis saya—sebagaimana judul salah satu buku teori menulis saya, yakni “Write or Die, Jangan Mati sebelum Menulis Buku” (2017). Jadi, menulis itu kewajiban bagi saya—yang sama wajibnya dengan membaca. Tahun 2019 saya kehilangan waktu untuk menulis; namun, tahun 2020 waktu menulis saya luas dan leluasa. Jadi, tahun 2020, ibarat kereta api, saya sudah berada pada rel yang benar.

Apakah yang telah saya tulis? Saya menulis artikel-artikel harian untuk konsumsi grup-grup WA literasi saya—semisal Rumah Virus Literasi, Sahabat Pena Kita, GBL Sidoarjo, GGM Nusantara, Laskar Literasi 41, Kreasi Penggerak Literasi, Workshop PGRI Menulis, AlKhairiyah Menulis, IP3-Literasi Jatim, Pegiat Literasi Nusantara, Guru Spandela Menulis, Omah AsahAsihAsuh Literasi, dan sebagainya. Pada saat bersamaan, sebagian karya (kerap dalam versi pendek) saya pasang di facebook dan instagram.

Saya juga menulis untuk blog-blog Sahabat Pena Kita, Jalindo, Gurusiana, Yayasan Thamrin Dahlan, dan blog pribadi saya. Bolehlah saya disebut blogger. Untuk blog-blog itu saya menggilir pengunggahan artikel saya—ada yang dua pekan sekali, ada yang sepekan sekali, ada yang hampir setiap dua hari sekali. Biasanya saya men- share tautan tulisan saya di blog itu ke grup-grup WA literasi. Ini strategi saya agar tulisan saya di blog tetap dikunjungi oleh para sahabat penulis.

Lalu, saya juga menulis untuk surat kabar, sekitar dua pekan sekali. Tahun 2020 saya memiliki belasan artikel opini/refleksi yang dimuat di Harian Duta Masyarakat, Radar Surabaya, dan Bhirawa. Saya memang tidak berjuang keras menulis ke surat kabar seperti dulu sewaktu saya masih agak muda—sekarang, menulis ke surat kabar hanya untuk selingan saja, obat kangen, bukan untuk mencari tambahan penghasilan. Tahun depan saya targetkan menulis untuk surat kabar Jawa Pos dan Kompas.

Selain itu, sejalan dengan menulis artikel ilmiah untuk jurnal terakreditasi, saya tentu menulis buku—passion terbesar saya dalam dunia menulis. Alhamdulillah, untuk tahun 2020 saya mampu menyusun tiga buah buku, dan ketiganya hadiah ulang-tahun saya pada bulan Maret 2020, judulnya “Praktik Literasi Guru Penulis Bojonegoro” (2020), “Virus Emcho: Melintas Batas Ruang dan Waktu” (2020), dan “SOS Sapa Ora Sibuk: Menulis dalam Kesibukan” (edisi revisi, 2020).

Sayang sekali, saya tidak berhasil menerbitkan dua naskah buku lagi, yang saya susun di paruh kedua tahun 2020. Buku pertama berisi pelangi kata pengantar yang telah saya berikan untuk buku-buku para sahabat penulis dalam tahun-tahun terakhir. Buku kedua berisi hasil refleksi dalam memaknai dan menjalani hidup—dengan mendasari pemaknaan dengan sebuah tesis bahwa hakikatnya dunia ini adalah sebuah madrasah, tempat belajar dalam arti luas. Mudah-mudahan tahun 2021, dua buku ini menjadi hadiah ultah saya yang ke-56.

Kemudian, yang patut saya syukuri lagi adalah saya masih cukup sering berbagi tentang sastra dan literasi ke berbagai forum. Sebelum pandemi, saya masih mengisi acara literasi di Sidoarjo, Surabaya, dan Mojokerto dengan tatap-muka dalam forum besar. Lalu, pandemi hadir, seminar atau workshop pun digelar daring; saya mengisi tak kurang dari 10 acara, terutama bagaimana menulis dan menerbitkan buku. Hanya dua kali selama New Normal saya mengisi seminar dan workshop literasi, namun itu cukup mengobati kerinduan.

Yang tak kalah berharganya adalah saya benar-benar memiliki lebih banyak kesempatan untuk merenung. Inilah momentum yang sangat saya senangi. Merenung itu memasuki keheningan, dan kehehingan memungkinkan saya menghasilkan mutiara pemikiran yang layak saya abadikan, berupa kata-kata mutiara atau ungkapan filosofis yang selama 2020 saya memasang mereka sebagai status WA saya setiap hari, dengan label Quote of the Day.

Sebenarnya, masih banyak yang bisa saya paparkan sebagai perwujudan rasa syukur saya sepanjang tahun 2020. Namun, saya bisa ringkas begini: Tahun 2020 adalah tahun yang penuh syukur sepanjang tahun, baik dalam ujian sakit maupun ujian sehat—keduanya menempatkan saya dalam keheningan untuk lebih mampu menikmati hidup dan berkarya sejalan dengan khittah saya yang sesungguhnya.[]


Releksi Akhir Tahun 2020: BERSYUKUR SEPANJANG TAHUN (Bagian 1)

Oleh Much. Khoiri 

(Dosen, penggerak literasi, blogger, penulis buku dari Unesa Surabaya)

Sumber gambar: Dokumen pribadi


TATKALA saya ditodong untuk mengisahkan catatan refleksi akhir tahun 2020, jawaban saya mengerucut pada sebuah frase sederhana, yakni bersyukur sepanjang tahun. Saya tidak sedang sok bergaya santri kali ini, namun saya bahagia berkat rasa syukur yang selalu dilimpahkan Allah ke dalam hati dan pikiran saya. 

Mungkin Anda bertanya, apakah saya mendapat hadiah besar di tahun 2020? Ataukah saya mungkin telah naik pangkat dua tingkat, misalnya? Ataukah saya menemukan harta karun dengan nominal milyaran rupiah? Mohon maaf, janganlah diteruskan! Mohon izin saya obati penasaran Anda: Bahwa rasa syukur saya melimpah di dalam diri saya karena pada tahun 2020 saya kembali ke khittah saya sendiri secara utuh.

Khittah saya sebagai manusia adalah sebagai diri sendiri, dosen, dan penulis. Kembali ke khittah ini berarti saya kembali dari status artifisial atau suplemen pada tahun 2019 ke status eksistensial saya yang sesungguhnya pada awal tahun 2020. Selama 2019 saya menunaikan sebuah jabatan di kampus yang menguras waktu, pikiran dan tenaga—sehingga saya seakan kehilangan _khittah_ saya; sedangkan tahun 2020 saya menjadi dosen biasa tanpa tambahan jabatan.

Di penghujung 2019, menjelang 2020, saya sudah merenung dalam-dalam, dan memutuskan untuk menjadi dosen biasa, sebab tugas jabatan akan makin menenggelamkan jika diteruskan. Banyak tugas-tugas pribadi yang tak terurus (terutama disertasi saya) di tahun 2019, sehingga kehadiran 2020 adalah momentum untuk kembali ke khittah dan membayar utang-utang akademik dan personal.

Pertama, sejak awal 2020 saya bersyukur untuk bisa kembali ke keluarga. Utang kebersamaan ini saya tumpuk selama menjabat, saya kekurangan waktu untuk membersamai mereka—namun semua itu saya bayar di tahun 2020. Terlebih dengan adanya pandemi covid-19, saya juga work-from-home, maka setiap hari saya bersama mereka di rumah: Mengerjakan tugas domestik bersama, makan bersama, shalat berjamaah, atau outing bersama—dalam ketaatan protokol kesehatan, tentunya.

Keluarga menjadi kekayaan yang luar biasa, yang berbeda dengan tahun sebelumnya. Kali ini saya merasakan kuantitas dan kualitas kebersamaan itu. Pandemi bahkan semakin menguatkan soliditas dan solidaritas internal keluarga kami. Pernah saya sakit selama dua bulan, sejak 10 hari ramadhan, dan rentang itulah saya benar-benar sangat menikmati kedekatan kami. Di luar rentang waktu sakit, tahun 2020 adalah waktu terbaik bagi saya untuk bersama keluarga

Kedua, saya terkondisikan mengajar secara daring (dalam jaringan, online). Ada perubahan signifikan kali ini. Saya yang terbiasa dengan pertemuan luring (tatap-muka) mau tak mau bermigrasi ke mode daring, sehingga saya harus beradaptasi dengan cepat, mulai persiapan mengajar hingga penilaian. Demikian pun dalam menguji skripsi atau paper untuk jurnal. Bahkan, dalam urusan administrasi, semisal bertanda-tangan, juga harus dilakukan secara virtual. Ini pengalaman baru yang tak pernah terbayangkan terjadi secepat ini. Inilah era disrupsi dengan aneka perubahan cepat tak terduga.

Ada yang menarik untuk kelas angkatan 2020. Saya mengajar dua kelas matkul “Indonesian Society and Culture” di sini. Bayangkan bagaimana saya dan mahasiswa harus saling mengenal, dan akhirnya menjadi akrab satu sama lain, padahal kami belum pernah bertatap muka sekali pun. Maka, zoom atau google-meet menjadi media yang berkah, sehingga kami bisa saling melihat wajah atau penampilan masing-masing. Di akhir semester ini kami rasakan kedekatan satu sama lain—hingga ketika saya sampaikan kerinduan saya untuk bertatap muka, mereka langsung meneriakkan persetujuan.

Ketiga, dengan menjadi dosen baisa, saya berkesempatan untuk lebih banyak membaca, suatu kewajiban yang menjadi hobi saya selama ini. Membaca apa saja yang ada di rak-rak perpustakaan keluarga—buku literasi, sastra budaya, filsafat, dan sebagainya. Sekali tempo, saya rindu membaca kembali karya Pramoedya Ananta Toer, Budi Darma, Naguib Mahfouz, Orhan Pamuk, dan sebagainya. Mahabharata, karya epos sejarah itu, atau Al-Hikam-nya Ibn Athaillah kerap saya buka-buka lagi untuk memantik inspirasi menulis. Kurang? Saya membeli belasan baru semisal Lentera Kegelapan.

Mengapa membaca sangat membahagiakan, dan selalu saya syukuri? Sebab, bagi saya, membaca itu mengarungi lautan pengetahuan dan berupaya untuk mengambil mutiara yang berada di dalamnya. Pada sisi lain, membaca itu jendela dunia—sehingga membaca membuat saya mengetahui apa saja yang terhampar di sudut-sudut dunia, sebagaimana dikandung di dalam buku. Semakin banyak buku atau bahan baca saya lahap, semakin luas pula hamparan dunia yang bisa saya jelajahi. Ada ungkapan, “Kalau ingin mengenal dunia, membacalah; jika ingin dikenal dunia, menulislah.”


BERSAMBUNG

Sunday, January 3, 2021

JANGAN MAIN MEDSOS SAAT KERJA

Oleh Much. Khoiri

PADA suatu ketika Prof. Dr. Anita Lie, seorang kolega dosen (tepatnya seorang guru besar) dari sebuah perguruan tinggi swasta di Surabaya memberitahu bahwa jika saya mengirimkan pesan penting dan panjang (terkait dengan endorsement buku baru saya), sebaiknya saya mengirimkannya lewat email saja—jangan lewat inbox fesbuk.

Mengapa demikian, tanya saya. Saat itu dia dalam perjalanan menuju kampusnya. Dia menjawab, setiba di kampus dia akan segera memeriksa emailnya—tanpa harus membuka fesbuknya. Soalnya, ada etika disiplin, bahwa dosen dan karyawan dilarang fesbukan atau bermedsos di kampus, selama jam kerja. Email masih diizinkan penggunaannya.

Sepintas, pengakuan kolega ini sederhana, namun sejatinya itu mengandung makna yang penting. Pertama, larangan bermedsos di kampus selama jam kerja. Ini sebuah kebijakan yang tegas dan patut diapresiasi ketika begitu banyak institusi—termasuk institusi pemerintah (negeri)—yang di dalamnya banyak karyawan melakukan medsos ria selama jam kerja.

Sumber gambar: Kompas Tekno

Kalau tak percaya, silakan adakan kunjungan atau inspeksi mendadak (sidak) ke kantor-kantor (pemerintah, bahkan). Hampir pasti, Anda akan menemukan karyawan yang main fesbukan atau bermedsos lain—website, blog, twitter, BBM, dan sebagainya. Jika mereka sedang mengerjakan tugas, tak urung mereka juga membuka lapak medsos. Kilahnya, itu selingan tatkala jenuh dan capek dengan tugas, tinggal klik lapak medsos yang ada.

Dengan memberikan larangan pada karyawan bermedsos selama jam kerja, itu merupakan langkah penting untuk meluruskan pemahaman bahwa kerja ya kerja (work), jangan dicampuradukkan dengan istirahat dan nyantai (leisure). Lazimnya karyawan-karyawan kita mencampuradukkan antara kerja dan leisure—dan akibatnya produktivitas kerja terganggu. Tidak jelas mana work, mana leisure.

Makna kedua, pelarangan bermedsos itu sebenarnya menegakkan etika dan disiplin. Mereka seharusnya sadar bahwa disiplin harus ditegakkan, sebab disiplin merupakan salah satu unsur penting untuk suksesnya people menagement. Sudah jelas, bermedsos selama jam kerja adalah sejatinya pelanggaran disiplin—bahkan melakukan korupsi waktu dan tenaga. Bukankah menajemen karyawan sangat menentukan kesuksesan produktivitas? Jadi, pelarangan bermedsos untuk kondisi karyawan kita sudah tepat sasaran.

Makna ketiga, ingatlah, kolega saya itu seorang guru besar. Sebagai guru besar, kalau mau, dia bisa “memanfaatkan” privilege (hak istimewa) yang dimilikinya untuk meminta tolong pejabat kampus agar diperkenankan membuka medsos. Namun, tidak, dia tidak mau mengambil langkah salah ini. Dia tetap patuh pada aturan yang ditetapkan. Dia juga wajib menghindari penggunaan medsos di kampus selama jam kerja.

Kepatuhan dia terhadap peraturan yang ada menunjukkan betapa dia telah menjadi seorang literat (melek budaya) yang utuh dan mapan. Dia tidak hanya pintar dan lihai dalam berwacana, melainkan juga hebat dalam mengamalkan praktik-praktik yang baik dan mulia. Dia tidak sekadar asbun (asal bunyi), omong kosong. Justru, sebaliknya, dia satunya kata dan perbuatan.

Makna keempat, mungkin itulah yang hendak dia tularkan, yakni nilai keteladanan. Dia mematuhi peraturan, meski dia seorang guru besar. Dia tidak imun dari sanksi. Itu semua dalam rangka memberikan keteladanan. Dia harus memberi teladan bahwa seorang profesor pun juga wajib menaati peraturan—tidak ada perkecualian, tidak ada hak istimewa yang disalahgunakan.

Keteladanan, memang, jauh lebih penting daripada sekadar petuah, imbauan, larangan, dan sebagainya. Action speaks more loudly than words. Tindakan berbicara lebih lantang ketimbang sekadar kata-kata. Bagi sang guru besar, memberikan teladan harus didahulukan, sebelum kemudian dia sendiri ikut mengampanyekan pelarangan bermedsos di kampus selama jam-jam kerja atau jam belajar.

Pertanyaannya, apakah kita telah berada di posisinya yang taat aturan? Apakah kita juga meminta orang lain mengirimkan pesan lewat email saja—dan bukan lewat fesbuk—saat ada larangan bermedsos di tempat kerja selama jam kerja? Apakah kita benar-benar tak ingin mencuri-curi lapak fesbuk sepanjang jam kerja (nyaris) seharian utuh?

Pertanyaan bisa diperpanjang, sebenarnya. Namun, semuanya bermuara pada satu pertanyaan mendasar, sudahkah kita menghormati peraturan yang ditetapkan dengan atau tanpa pengawasan orang lain? Lain kata, sudahkah kita memiliki kesadaran sendiri (dari lubuk hati terdalam) untuk menaati peraturan yang ada—dalam hal ini: larangan bermedsos di kantor selama jam kerja.

Jika kita belum berada di posisi itu, ada baiknya kita merenung sekarang. Masihkah kita termasuk pegawai yang profesional dan loyal terhadap segala peraturan di institusi kita? Atau, masihkah kita tetap mau menjalankan tugas, sekaligus menyelinginya dengan bermedsos? Sungguh, jawaban kita secara jujur menunjukkan siapa diri kita dan seberapa kualitas dan integritas kita.[]

*Much. Khoiri adalah dosen penulis, penggerak literasi, blogger, editor dari Universitas Negeri Surabaya. Tulisan ini pendapat pribadi. 


Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts