Oleh Much. Khoiri (Dosen, penggerak literasi, blogger, penulis buku dari Unesa Surabaya)
MEDIUM penyampaian aspirasi gugatan sebaiknya sesuai dengan status dan wadah ekspresi seseorang. Anggota parlemen akan tampil di podium atau berdebat di ruang DPR(D), ilmuwan lewat forum akademik, dan mahasiswa mungkin lewat demonstrasi. Lalu, medium apakah yang pas bagi penyair? Puisi-puisinya!
Gugat ditempuh karena situasi “darurat” yang kuat: Mungkin ketika aspirasi tak lagi mendapat tempat dan terakomodasi sebagaimana mestinya. Mungkin ketika wakil rakyat dan para pemimpin tak lagi mengindahkan suara rakyat. Mungkin ketika ruang ekspresi praktis tersumbat. No way out. Maka, penyair pun mengugat dengan diamnya: menulis puisi.
Menurut Suhartoko (2011), puisi, sebagai instrumen ekspresi hati dan pikiran, bisa menjadi alternatif yang ampuh untuk menumpahkan segala keluh kesah dan kejengkelan atas karut-marut tata kelola di negeri ini. Lewat puisi, segala situasi—tidak saja yang secara kasat mata bisa dilihat, tetapi termasuk yang tersembunyi sekalipun—bisa dipotret dan direkam sebagai bagian penting dari lintasan sejarah.
Inilah yang terangkum dan tersaji dalam kumpulan puisi (kumpuis) alumni Universitas Negeri Surabaya (Unesa), berjudul GUGAT (Ika Unesa Publishing, 2011), yang dieditori oleh Eko Prasetyo, Much. Khoiri, dan Suhartoko. Ketiganya kini termasuk Kompasianer yang aktif menulis, dengan berbagai genre tulisan.
Adapun penulis yang terlibat dalam buku kumpuis ini adalah (1) Much. Khoiri, (2) Suhartoko, (3) Ardi Nugroho, (4) Eko Pamuji, (5) Rukin Firda, (6) Etik Andriani, (7) Rizka Amalia, (8) Suyatno, (9) Fafi Inayatillah, (10) Sirikit Syah, (11) Dody Kristianto, (12) Mh. Zaelani Tammaka, (13) Sugiono, (14) Habe Arifin, (15) M. Anis, (16) Arif Mustofa, (17) Eko Prasetyo, (18) Umar Fauzi Ballah, (19) Bonari Nabonenar, (20) Set Wahedi, (21) A. Rohman, (22) Ashif Hasanuddin, (23) Ria Fariana, (24) M. Hari Nurdi, (25) Mochammad Asrori.
Lewat ketajaman mata hati dan pikiran 25 penulisnya, GUGAT memang banyak memuat ekspresi kejengkelan dan “gugatan” atas situasi di negeri ini dalam segala aspek kehidupan, baik politik dan pemerintahan, sosial dan kemasyarakatan, hukum, lingkungan dan tata kota, pendidikan, dan sebagainya. GUGAT menjadi prasasti sejarah sebagian anak negeri atas kesaksian dan pengalaman mereka dalam menjalani hidup yang penuh kesumpekan dan ketidakpastian.
Berikut ini salah satu puisi dari 118 puisi yang ada.
Judulnya “Kembalikan Indonesia Padaku” (Sirikit Syah), yang pernah dimuat
harian Jawa Pos, pada 20 Mei 1998, bertepatan dengan lengsernya Soeharto.
Kembalikan Indonesia Padaku
Ini bukan negara empat musim dan ini bukan musim gugur
Tapi pohon-pohon di Jawa Tengah berwarna kuning
Keindahan alam Indonesia telah dinodai!
Hutan Kalimantan menjadi sabana
Dilibas para kerabat yang memegang HPH
Gunung di Irian menjadi telaga
Digali emas, tapi dilaporkan tembaga
Kekayaan alam nusantara telah dijarah!
Pohon-pohon cengkih ditebangi
Dan cengkih-cengkih dibakar
Kesejahteraan petani dirampok!
Rakyat harus bayar hutang konglomerat
Harga-harga naik dan pabrik-pabrik tutup
Kini rakyat merampok
Kini rakyat menjarah
Kini rakyat menodai cita-cita reformasi
Dan para pejuang dituduh telah ditunggangi!
Wahai pengelola negara
Kalau engkau tidak becus,
Kembalikan saja Indonesia padaku!
Surabaya, Mei 1998
Buku kumpulan puisi GUGAT ini merupakan karya kreatif (buku) kedua para alumni Unesa, setelah sebelumnya menerbitkan buku kumpulan cerpen Ndoro, Saya Ingin Bicara (IKA Publishing, Juni 2011). Saat ini ada beberapa buku lain yang sedang dipersiapkan untuk penerbitannya—ada yang dalam proses penulisan, ada yang dalam proses penyuntingan.
Buku yang lahir dari tangan kreatif 25 penulis ini menghimpun 118 puisi yang terbagi dalam lima bagian atau subtema, yakni (1) Ironi Kekuasaan; (2) Jati Diri dan Nasionalisme Kelabu; (3) Urban Roda Zaman; (4) Semesta Serpihan Kehidupan; dan (5) Kontra-Pasrah. Jumlah puisi dalam masing-masing subtema beragam, lebih-kurangnya 20-an judul.
Beragamnya profesi para penulisnya, seperti penyair, guru/dosen, jurnalis, editor, praktisi kehumasan, juga karyawan perusahaan, membuat puisi-puisi yang terhimpun dalam GUGAT bak taman bunga yang menghadirkan aneka warna dan aroma beragam pula. Apalagi, ke-25 penulis puisi ini berasal dari lintas generasi (angkatan) dan disiplin ilmu yang digeluti semasa kuliah di Unesa. Karena itu wajar jika gaya penulisan dan style puisi yang ada juga gado-gado, mengikuti figur penulisnya.
Sebagai salah satu simpul berantai dari kehadiran kumcer terdahulu, GUGAT diharapkan juga mampu memberikan apa yang Horace (Horatius) sebut “dulce et utile” (rasa nikmat dan manfaat/kegunaan) kepada pembaca. Maksudnya, sebagai karya sastra, kumpulan puisi ini diharapkan hadir bukan hanya memberikan kesenangan (enjoyment), melainkan juga manfaat (utility) yang berlimpah.
Harapan itu akan terwujud jika pembaca berposisi sebagai pembaca yang kreatif dan bermutu, sehinga pembaca memperoleh kekayaan batin, wawasan kehidupan (insight into life), dan moral. Lebih penting lagi, GUGAT juga diharapkan menemukan tempatnya di alam pikiran dan kreativitas pembaca. Hanya dengan demikian, proses inspirasi berkembang dari satu orang ke orang lain secara tak terduga dan tak terbayangkan.
Terima kasih disampaikan kepada semua pihak yang telah
memungkinkan penerbitan buku ini. Semoga amal baik para pihak yang telah
membantu proses penerbitan kumpuis GUGAT
ini bakal membuahkan berkah dan pahala yang melimpah dan tanpa henti alirnya.*
[Surabaya, 1/12/ 2011].