Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Saturday, May 2, 2020

JAGUNG REBUS PUN PINTU HIKMAH


Oleh: Much. Khoiri

TAK JARANG sesuatu benda atau kejadian bisa memantik dan menggugah kembali kenangan masa silam, baik kenangan pedih maupun kenangan manis. Ini terjadi petang ini, padaku, tatkala makan jagung rebus manis, di ruang keluarga. Tiba-tiba, tanpa bisa kutahan, aku mewek alias menangis, dan air mata berlinangan.

Loh, kenapa kok nangis?” tanya yang di sampingku, tampak heran.

“Teringat masa-masa susah ketika masih kecil dulu,” jawabku, sambil memandang ke seluruh ruang keluarga. Terbayang Bapak-Ibuk di desa, orangtua tercinta yang dulu tetap tegar dalam mengarungi masa-masa susah.

“Maksudnya bagaimana?” Dia menyelidik.

“Ya, saat paceklik, kami makan nasi gaplek atau jagung.”

Tangannya mengusap pipiku. “Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah. Tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik...” Dia mulai melantunkan reffrain lagu D’Masiv (“Jangan Menyerah”) itu.
………
Reff 1:
Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugerah
Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik
Reff 2:
Tuhan pasti kan menunjukkan
Kebesaran dan kuasanya
Bagi hambanya yang sabar
Dan tak kenal putus asa

Begitulah, lantunan lagu itu membuatku lebih adem ayem. Hidup adalah anugerah, yang patut selalu disyukuri. Ya, jagung yang kupegang dan kumakan adalah anugerah belaka, tidak kurang dan tidak lebih. Meski hanya jagung hangat, rasanya begitu nikmat. Aku bersyukur dalam-dalam bahwa Tuhan telah menganugerahi aku dan keluarga dengan hidup yang jauh lebih baik.

Aku mewek bukan karena aku sedih dan sesal makan jagung sekarang. Justru aku ingat masa-masa paceklik ketika aku masih seusia SD, tahun tujuh puluhan. Sebagai petani kecil, orangtuaku harus berhemat dalam menjalani musim hujan tatkala panen padi belum tiba. Kami harus makan nasi gaplek atau nasi jagung—yang dicampuri nasi putih. Sayur-mayur tinggal petik di sawah, dan ikan kali dan belut tak sulit menangkapnya.

Berbeda dengan nasi gaplek plus nasi putih (sawut), nasi jagung tidak awet kenyangnya. Nasi yang dulu “menu ikon” Madura itu terasa enteng, maksudnya (setelah makan pun) cepat terasa lapar kembali. Terlebih di musim hujan yang dingin atis, orang mudah lapar. Tak jarang Bapak dhawuh begini, “Makan saja kalau lapar, di rumah. Jangan pernah rakus di luar rumah.” Itulah prinsip Bapak, jangan rakus dan tidak tahu malu. “Rakus itu seperti babi. Meski miskin, jangan pernah seperti babi.”

Jika ada acara Mauludan bersama di masjid, biasanya masyarakat membuat tumpeng yang disajikan di atas nampan dari pelepah pisang; atau nasi bungkus daun pisang. Setelah membaca shalawat diba’, diiringi musik rebana al-banjari, jamaah makan tumpeng per kelompok duduk. Tak jarang, orang-orang berebutan. Nah, menjelang semua itu terjadi, Bapak selalu membawa kami pulang. “Jangan berebut makanan. Ayo kita pulang dan makan di rumah,” dhawuh-nya, sambil menuntun kami pulang. Di rumah, selain nasi (ekstra bahan) tumpeng, juga ada nasi jagung. “Kalian mesti tirakat. Banyak puasa, banyak salat. Kelak insyaAllah diijabahi cita-cita kalian.”

Sungguh, semua itu berkesan hingga sekarang kini. Aku dan tiga adikku sudah punya keluarga masing-masing, dan bukan pemakan jagung—para tetangga bilang, kami sudah “kenyang” (berkecukupan). Tapi, sekali tempo aku sering kangen makan nasi jagung atau nasi gaplek. Bukan untuk menu sehari-sehari seperti musim paceklik dulu, melainkan untuk tamba kangen saja, sambil mengenang masa kecil dulu, juga menambah rasa syukur atas anugerah hidup ini.

Kangen jagung itu persis menggodaku petang ini, seperti halnya dua pekan silam, aku juga membeli jagung ke penjual yang sama. Matanya berbinar-binar, dan selalu tergopoh-gopoh menyambutku. “Sepuluh ribu saja, Pak,” kataku. Dia memilihkan enam biji jagung rebus, dan berterima kasih dengan santun. Dalam hitungan detik, sekresek jagung rebus itu sudah berpindah tangan. Dan sekarang, petang ini, kami melahapnya.

Subhanallah, betapa sederhananya hidup ini—jika disyukuri dengan hati yang sareh penuh syukur. Jagung rebus sebiji atau dua saja sudah amat mengenyangkan perut. Non-kolesterol pula—jauh lebih sehat daripada fastfood atau makanan ala resto asing modern di mal-mal. Sementara itu, di luar sana masih banyak saudara kita yang masih kelaparan, atau belum makan seharian. Sungguh, aku tahu maknanya lapar karena memang pernah mengalaminya di musim paceklik, berkali-kali.

Hal ini menyadarkan bahwa hidup tidak perlu rakus alias serakah. Bekerja keras dan cerdas ya, tapi jangan serakah. Berupaya maksimal itu harus, tapi jangan rakus. Mengapa? Karena yang kita butuhkan sebenarnya hanya sedikit dari yang kita kejar-kejar sampai lupa segalanya, termasuk kadang lupa saudara sendiri. Petang ini saya hanya butuh jagung rebus, dan ternyata cukuplah sudah. Murah sekali, hanya sepuruh ribu rupiah!

Aku tak tahu persis apakah orang-orang yang berpenghasilan jutaan atau milyaran per jam atau per hari juga sama puasnya dengan aku kalau makan jagung rebus? Aku hanya tahu bahwa tubuh manusia itu relatif sama, membutuhkan asupan makanan yang relatif sama—meski sumber dan jenisnya berbeda. Aku juga tahu, manusia seharusnya makan sesuai kebutuhan, bukan sesuai keinginan. Hanya saja, apakah mereka sadar bahwa jagung rebus itu lebih sehat dari pada pizza daging?

Keinginan memang tidak ada habisnya, berbeda dengan kebutuhan. Keinginan tak akan mungkin dibatasi oleh horizon langit, bahkan oleh batas-batas semesta ini, termasuk batas ruang dan waktu. Namun, kebutuhan bisa dibatasi oleh rasa puas dan rasa syukur atas anugerah yang manusia terima bahwa sebelum jadi orang, manusia terlahir telanjang tak punya apa-apa.

Nah, aku di sini bersama jagung rebus. Ternyata jagung rebus pun membukakan pintu hikmah bersyukur. Kita diingatkan dalam QS. Ar-Rahman berkali-kali, “Fabiayyi âlâ'i Rabbikumâ tukadzdzi bân. Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan? Sungguh, Lâ bisyay-in min âlâika Rabbî akdzibu (tidak ada satu pun nikmat-Mu, duhai Tuhanku, yang aku dustakan).*

*Much. Khoiri adalah penggerak literasi, dosen dan penulis 42 buku dari Unesa Surabaya.


Friday, May 1, 2020

MENGEJA CINTA DALAM DIAM*

Sumber gambar: Dok. Pribadi

Oleh: MUCH. KHOIRI

Cinta seakan tidak pernah habis untuk dibahas dan diekspresikan ke dalam ungkapan bahasa. Cinta telah menyusup ke dalam karya-karya fiksi dan nonfiksi sepanjang sejarah manusia, namun ia tetap tidak pernah kehilangan eksistensinya. Ia telah berkembang setiap masa. Sebab, cinta itu sebuah substansi, sedangkan perbedaan waktu telah memungkinkan cinta mengambil variasinya sendiri.

Tentu, cinta merupakan bagian dari hidup dan pengalaman manusia. Sepanjang manusia berubah, berubah pulalah bentuk ekspresi cintanya, meski substansinya sebenarnya tetaplah sama. Air tetaplah air, namun kini air dapat dikemas ke dalam gelas, botol, galon, dan sebagainya. Rasanya sama, kemasannya berbeda.

Substansi hakikatnya endapan, bukan yang beriak-riak atau bergelombang di permukaan. Hanya dengan ketenangan, substansi terasa sebagai keindahan yang membahagiakan.  Penulis buku ini menyebutnya “cinta dalam diam”, sebuah ekspresi untuk menikmati substansi cinta dalam ketenangan, serta mencecap keindannya dalam keterdiaman.

“Cinta dalam Diam” adalah salah satu cerita pendek dari buku kumpulan cerpen ini, yang agak dapat mewakili tema keseluruhan, yakni variasi-variasi cinta manusia. Agaknya penulis telah sengaja memilih tema ini untuk mengekspresikan gagasan dan imajinasinya tentang cinta dalam arti luas ke dalam karya sastra.

Sahkah hal ini dilakukan? Mengapa tidak? Sastra bukan semata imajinasi, apalagi khayalan tanpa isi. Sastra adalah abstraksi hidup manusia beserta pengalamannya. Artinya, sastra dapat diciptakan berdasarkan fakta dan ditambah imajinasi. Inilah yang ditempuh oleh penulis buku ini. Lebih dari semua itu, setiap penulis memiliki ars poetica sendiri.

Dalam prakatanya, penulis buku ini mengakui: “[Buku] cerpen Cinta Dalam Diam ini terlahir setelah penulis mengakomodir beberapa ide/gagasan yang muncul dalam realita kehidupan sehari-hari. Ide/gagasan itu dibumbui rekayasa konflik dan dipadukan dengan sejumlah deskripsi imajinasi dari kehidupan nyata. Ada pun akhir cerita disesuaikan dengan keselarasan hidup yang penulis tentukan.”

Gabungan fakta dan imajinasi hadir di dalam belasan cerpen yang terhimpun dalam antologi ini. Masing-masing memantulkan kisah hidup dan pengalaman manusia yang dijumpai penulis, dan kemudian diimajinasikannya dengan intensitas tertentu, hingga cerpen-cerpen mewujud menjadi teks sastra yang maknanya dapat ditangkap dan ditafsirkan oleh pembaca. Tak ketinggalan, ada nuasa dan warna cinta di dalamnya.

Meski demikian, saya sendiri tidak dalam posisi menilai atas kualitas setiap cerpen dalam buku ini. Sebaliknya, saya lebih berminat untuk memberikan apresiasi tinggi kepada penulisnya. Mengapa? Penulis buku ini adalah seorang guru—yang kemudian dapat disebut guru penulis. Guru penulis tidaklah banyak jumlahnya, meski dewasa ini berbagai pelatihan telah gencar dilakukan untuk mencetak guru-guru penulis. Dengan kata lain, penulis buku ini termasuk manusia langka.

Keberaniaan penulis menghimpun cerpen-cerpen yang telah dia tulis merupakan upaya kultural yang luar biasa. Itu sebuah praktik literasi yang tidak sebarang guru mampu melakukannya. Perjuangan yang dia tunjukkan patutlah memperoleh acungan jempol dobel dari para penggerak literasi dan masyarakat umum.

Agaknya penulis buku ini hendak memberikan keteladanan kepada sesama guru, dan seakan berpesan bahwa untuk menggerakkan literasi guru harus siap menjadi teladan literasi. Guru perlu menjadi teladan, bukan hanya untuk sesama guru di sekolahnya sendiri, melainkan juga untuk guru dan siswa di berbagai sekolah lain di negeri ini serta masyarakat umum.

Akhirnya, selamat membaca dan mengeja cinta dalam diam. Selamat menjelajahi hamparan makna dari cerpen-cerpen dalam buku ini. Mudah-mudahan pembaca nanti mampu memetik hikmah dan inspirasi yang mencerahkan untuk menghayati praktik-praktik literasi selanjutnya. Dengan demikian, pembaca akan mampu menjadi subjek aktif yang menghidupkan kontinuitas peradaban.[]

Gresik, 15 November 2019

*Artikel ini adalah epilog untuk buku Iyus Yusandi berjudul “Cinta dalam Diam” (Pandeglang, Banten: Penerbit Komentar, 2019). Terima kasih disampaikan kepada penulis buku dan penerbit. 

**Pesan buku, hubungi HP/WA: 081331450689 / 081233838789

Thursday, April 30, 2020

MENGHIMPUN KARYA PESERTA WORKSHOP LITERASI*

Sumber Gambar: Dok. Pribadi

Oleh MUCH. KHOIRI

Alhamdulillah, saya turut bangga dan bahagia dengan hadirnya buku Mengakrabi Literasi ini. Buku ini adalah karya peserta Workshop Literasi yang diselenggarakan atas kerja sama Majelis Pustaka dan Informasi, Foskam dan Pemuda Muhammadiyah. Saya menjadi salah satu pembicara pada waktu itu, meski sebelumnya saya hendak mengurungkan tawaran untuk menjadi pembicara, lantaran jadwalnya bersamaan dengan acara di tempat lain.

Panitia, waktu itu Mas Agus Hariono, mengharap dengan sangat saya untuk hadir dan mengisi acara worksop tersebut. Mengingat yang meminta adalah orang yang sudah sangat saya kenal, plus sambil jalan-jalan ke Kediri, akhirnya saya bernegosiasi dengan panitia yang sebelumnya meminta saya untuk menjadi pemateri. Alhamdulillah, saya berhasil meminta reschedule pada hari yang lain, lagipula tempatnya dekat rumah saya. Singkat cerita, saya mengiyakan tawaran kedua ini dan bersedia hadir.

Sebelum saya memberi materi, saya mendapat penjelasan dari panitia tentang maksud dan tujuan diselenggarakan workshop ini, serta target-target yang hendak dicapai. Panitia menjelaskan bahwa dalam workshop tersebut akan ada dua jenis materi: penulisan buku dan penulisan berita. Saya kebagian menyampaikan materi tentang penulisan buku. Waktu itu saya menawarkan kepada panitia tentang beberapa materi yang bisa disampaikan pada acara tersebut. Materi tersebut antara lain: Menulis dan Menerbitkan Buku; Menulis Berbagai Genre Tulisan; Menulis di Ponsel untuk Media Online dan Cetak, dan 6 Jurus Menjadi Writerpreneur. Dari beberapa tawaran itu panitia memilih materi yang pertama: Menulis dan Menerbitkan Buku.

Nampaknya, materi yang dipilih oleh panitia sangat tepat. Artinya, ia sesuai dengan harapan panitia, yakni  agar peserta mampu menulis dan menerbitkan buku. Memang bagi sebagian orang, menulis merupakan aktivitas yang sulit. Jarang orang yang bisa, apalagi suka. Merampungkan satu buku saja dibutuhkan waktu bertahun-tahun. Kebanyakan orang demikian. Hanya orang-orang tertentu yang bisa menyelesaikan satu buku dalam waktu yang relatif pendek. Mereka tentu orang yang terpilih dan pilih tanding.

Hadirnya buku ini di tangan Anda mematahkan anggapan banyak orang bahwa menulis itu sulit. Justru perlu dihayati bahwa menulis itu mudah, apalagi kalau keroyokan. Jika ada orang takut ketemu dengan orang takut, maka jadilah dua pemberani. Sama dengan orang menulis, jika takut menulis buku sendirian, maka harus menulis keroyokan. Ada kekuatan tertentu dalam kebersamaan, termasuk dalam menulis buku.

Sudah ada banyak contohnya. Ketika menulis buku solo tidak juga kunjung selesai, mau menerbitkan buku tidak berani (lantaran calon buku belum kelar),  plus takut di-bully orang,  maka cara yang paling efektif untuk meningkatkan kepercayaan diri dalam mengawali berkarya dalam bentuk tulisan adalah menulis dengan cara keroyokan.

Meski buku ini hanya sebuah antologi, yang ditulis oleh sejumlah penulis, bukan mustahil di antara penulis tersebut kelak akan menghasilkan buku solo alias mandiri. Dari aneka pelatihan yang saya dampingi, terbukti bahwa antologi mengobsesi penulis ke penulisan buku mandiri. Agaknya, mereka menganggap bahwa buku mandiri adalah bukti eksistensi diri.

Buku ini agaknya tepat dibaca oleh para pegiat dan pelaku literasi, khususnya bagi mereka yang masih pemula. Anggaplah buku ini sebagai salah satu sumber inspirasi yang penting. Tidak ada yang tidak mungkin  sepanjang diperjuangkan. Tidak ada yang berat sepanjang terus dikerjakan. Keberhasilan tidak jatuh tiba-tiba dari langit, melainkan harus dijolok dan diperjuangkan. Demikian pula menulis buku.

Akhir kata, saya ucapkan selamat kepada para penulis dalam buku ini yang telah menjadikannya tonggak prasasti bagi kreativitas mereka. Semoga hadirnya buku ini dapat memberikan warna pelangi dalam dunia literasi dan menginspirasi yang lain untuk mengikuti jejak yang sama yaitu berkarya menghasilkan sesuatu yang bermakna.[]

Driyorejo, 22 Desember 2018

*Artikel ini adalah kata pengantar untuk buku Agus Hariono dkk. berjudul “Mengakrabi Literasi: Senarai Pembelajar dalam Menguak Potensi Menulis” (Yogyakarta, Penerbit Rupakata, 2019). Terima kasih disampaikan kepada para penulis buku dan penerbit. 

**Pesan buku, hubungi HP/WA: 081331450689 / 081233838789




Wednesday, April 29, 2020

MENDIDIK DIRI MENULIS

Sumber gambar: Dok. Pribadi

Oleh: Much. Khoiri

MENDIDIK diri menulis juga membangun dan menjaga spirit. Filosofinya, mendidik orang lain agar menjadi apa yang kita inginkan, tidaklah mudah. Lebih sulit lagi adalah mendidik diri sendiri agar mampu mendidik orang lain untuk menjadi apa yang kita inginkan. Terlebih, makna mendidik diterapkan secara sportif dan adil. 
Untuk membuat orang lain memiliki pengetahuan, sikap, dan perilaku sejalan dengan apa yang kita inginkan, kita harus memiliki pengetahuan, sikap, dan perilaku yang patut dididikkan. Implikasinya, kita harus bisa dijadikan cermin atau suri tauladan.
Seorang kiai, pendeta, pedanda, atau tokoh religi lain harus sudah ahli dalam kitab suci yang merupakan pedoman dan pegangan untuk berdakwah. Dia juga mengamalkan dzikir, semedi, sembahyang atau ritual lain dengan sebenar-benarnya. Lalu, perilaku kesehariannya mencerminkan kesalehan kalbu dan jiwanya.
Jika ada kiai, pendeta, pedanda, atau tokoh religi lain tidak lagi mengamalkan dzikir, semedi, sembahyang atau ritual lain; dan  perilaku kesehariannya tidak lagi mencerminkan kesalehan kalbu dan jiwanya; maka gugurlah predikatnya sebagai kiai, pendeta, pedanda, atau tokoh religi lain.
Mendidik diri adalah memperdalam pengetahuan dan memperluas wawasan mengenai sesuai yang kita didikkan kepada orang lain. Mendidik diri juga membangun sikap dan perilaku agar patut diteladani; karena itu, ia harus menghayatinya lebih dulu sebelum menerapkannya pada orang lain.
Ada ilustrasi yang relevan. Keimanan orang beriman harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Aristoteles, kebajikan dalah praktik, bukan sekadar perasaan atau keyakinan. Susanto (2008: 175) menulis: Kebajikan diekspresikan melalui tindakan, bukan kata-kata. Buka apa yang Anda harapkan, Anda inginkan, atau maksudkan, hanya apa yang Anda lakukan yang akan menunjukkan karakter sejati....Dan kebajikan hanya bisa dipraktikkan bukan dikatakan. Jadi anak-anak akan melihat praktik, yang dikerjakan orangtuanya daripada yang sekadar diucapkannya. Maka anakn yang kita didik kebajikan akan melihat kesesuaian antara yang kiat ucapkan dan lakukan. 
Ilustrasi tersebut mengisyaratkan, bahwa kita harus mempraktikkan kebajikan, bukan hanya mengatakannya, atau memerintahkannya. Jika kita berhasil mendidik diri, tidaklah sulit bagi kita untuk mendidik orang lain. Orang lain akan mendengarkan apa yang kita katakan, dan mencontoh atau terinspirasi apa yang kita lakukan. Bahkan, amat mungkin dia berkembang lebih baik dari pada harapan kita.
Demikian pun dalam hal menulis. Misalnya, dosen yang suka menulis tak akan berkesulitan menugasi mahasiswa untuk menulis. Dia bukan omong kosong, asbun (asal bunyi), karena dia juga menulis. Dengan begitu, apa yang dia ajarkan dan didikkan kepada mahasiswa memiliki daya pengaruh yang kuat, signifikan, dan mengesankan.
Coba bayangkan, bagaimana pandangan mahasiswa yang ditugasi menulis oleh dosen yang hampir tak pernah menulis? Di depan sang dosen mungkin saja mahasiswa itu tampak takdzim dan oke-oke saja. Namun, amat mungkin, mereka ngrasani begini, Ah, teori melulu.  Mana buktinya?”
Rasan-rasan semacam itu representasi kekurangpercayaan mahasiswa terhadap sang dosen.  Mahasiswa belum merasa yakin bahwa sang dosen juga mampu menulis,  sesuatu  yang selalu diperintahkan kepada mahasiswa untuk melakukannya. Seharusnya dia menunjukkan bahwa dia kredibel dan membangun kedekatan dengan mahasiswa. Guna membuktikan keandalanya, dia seharusnya juga menulis.
Kekaguman saya terhadap Prof. Budi Darma sudah tumbuh sejak saya duduk di bangku SMA tahun 1982-1985. Kekaguman itu membuncah saat beliau memberikan kuliah di kelas saya Literary Appreciation, lalu menjadi bapak dan kolega senior saya di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. Hingga kini pun, dalam menulis, beliau adalah satunya kata dan perbuatan!   
Begitulah, mendidik diri juga membudayakan diri dalam apa yang kita tularkan kepada orang lain. Kita harus membudayakan diri dengan mengaji, shalat, bersedekah, dan sebagainya sebelum kita mendidik anak-anak untuk membudayakan hak serupa.  Demikian pula kita harus membaca dan menulis dulu sebelum mengajak orang lain membaca dan menulis.[]
*Much. Khoiri: penggerak literasi, dosen, editor, dan penulis 42 buku dari Unesa Surabaya.

Tuesday, April 28, 2020

MOTTO PEMBAKAR SPIRIT MENULIS

Sumber gambar: Dok. Pribadi

Oleh: Much. Khoiri

APAKAH Anda pernah merasakan kemandekan dalam menulis, baik mandek di tengah jalan maupun mandek di ujung jalan tapi tidak bangkit kembali? Jika jawaban Sahabat ya, lanjutkan membaca tulisan ini. Jika jawabannya tidak, segera tutup dan lupakan.
Setahu saya, siapa pun penulis mengalami “writer’s block”, kemandekan menulis. Hanya porsinya yang berbeda, juga bagaimana menghadapinya. Namun, jika ditelusuri, sumbernya pada sikap mental penulis itu sendiri. Bagaimana mengatasinya juga bergantung pada sikap mentalnya.
Sikap mental positif untuk menggilas kemandekan menulis, di antaranya, adalah membuat dan menegakkan motto yang membakar semangat dan spirit menulis dan mengubah kebiasaan menulis. Motto ini harus menjadi daya dorong (untuk berkarya) dan daya tahan (menghalau godaan) yang kokoh bagi penulis.
Sejak 2013 saya punya motto yang membakar dan mengubah spirit menulis. Yakni, write every day, menulislah setiap hari. Terinspirasi Prof. Imam Suprayoga, motto itu benar-benar cespleng, sungguh membakar dan mengubah spirit menulis saya. Saya merasakan dahsyatnya the power of motto.
Motto itu saya pasang di sejumlah tempat agar selalu tampak di mata dan tervisualisasikan di dalam benak. Ia saya pasang di pintu ruang kerja, meja kerja, layar laptop, wallpaper ponsel, papan agenda harian, dashboard mobil, dan sebagainya. Pokoknya, harus terlihat sewaktu-waktu. Ia harus jadi pengingat (reminder) paling setia dan tegas!
Dengan motto itu, saya segera bangkit ketika malas, dan mencari kesempatan dalam kesempitan pun untuk (merancang atau) menulis. Jika ada gangguan atau godaan, motto itu menguatkan saya agar tidak mudah berpaling. Apalagi kemudian saya menetapkan pukul 03.00 sebagai waktu kreatif saya, maka motto itu bekerja sangat dahsyat. Itu yang telah saya rasakan selama ini.
Dua tahun kemudian, motto itu saya tingkatkan menjadi “Write or Die” (Menulis atau Mati!). Ini lebih kenceng lagi. Menulis setiap hari sudah jadi kewajiban yang harus ditunaikan. Menulis dalam segala kesibukan pun harus jalan. Jika tidak menulis sehari saja, itu adalah utang satu tulisan dan harus dilunasi di hari lain. 
Itulah mengapa sejak 2013 produktivitas menulis saya cukup tinggi, baik buku mandiri, antologi, artikel ilmiah, esai kreatif, atau karya sastra. Hingga Januari 2017 ini saya sudah menerbitkan 29 judul buku, baik mandiri maupun antologi. Tulisan genre (ragam) lain, entah berapa puluh, saya tidak hitung di sini. Semua itu berkah motto yang mendarah-daging itu.
Sekarang, silakan Sahabat menciptakan sebuah motto yang paling menggetarkan, menggerakkan, membakar dan menjaga spirit menulis Sahabat. Jangan membuat sesuatu motto yang mustahil dijalankan, namun yang paling bisa dilakoni dengan aksi nyata. Kalau sudah jadi, Sahabat boleh memasangnya di mana pun Sahabat suka, agar jadi reminder setia dan tegas sewaktu-waktu.
Dengan izin Allah, mudah-mudahan motto itu membuat Sahabat selalu istiqamah menulis dengan niat berbagi pengetahuan dan kebaikan. Kemudian, buktikan berapa buku yang kelak akan Sahabat selesaikan dan terbitkan. Hingga waktu itu tiba, kita perlu tetap saling berbagi dan saling menguatkan.[]
*Much. Khoiri: penggerak literasi, dosen, editor, dan penulis 42 buku dari Unesa Surabaya.


Monday, April 27, 2020

BECOMING A WRITER: TEORI PENTING, LATIHAN WAJIB*

Sumber gambar: Dok. Pribadi

Oleh: MUCH. KHOIRI

Judul buku ini Be A Writer bisa dimaknai sebagai kalimat perintah 'jadilah seorang penulis'. Namun, secara lebih halus, ia dimaknai ajakan untuk mencapai status seorang penulis. Yang disasar adalah status jadi (being a writer, sebagai seorang penulis), meskipun dalam ajakannya tersirat adanya proses menjadi (becoming a writer, menjadi seorang penulis).

Saya sendiri lebih sreg untuk mengatakan bahwa sejatinya penulis yang sesungguhnya senantiasa mengalami proses menjadi (becoming). Mengapa demikian? Tatkala seseorang ingin mengejar status sebagai penulis, ia sejatinya juga melakukan proses yang terus-menerus dan tanpa kenal lelah hingga impiannya tercapai. Kemudian, tatkala status penulis telah diraihnya (berdasarkan pengakuan masyarakat atau pembaca), ia akan terus melakukan proses peningkatan kualitas diri dan karya secara berkelanjutan.

Bagi penulis sejati, tidak ada kata berhenti belajar dan berlatih menulis. Dia senantiasa meluangkan waktu kedua kegiatan ini, tentu agar kualitas diri dan karyanya lebih meningkat dari sebelumnya. Selaku orang pintar penulis selalu suka membaca; dan itu sangat mempengaruhi karya yang dihasilkannya. Itu identik dengan pisau--semakin sering ia diasah, semakin tajamlah ia, dan semakin bagus hasilnya jika digunakan untuk menyayat buah atau daging.

Dengan demikian, menjadi penulis itu bukan tujuan akhir yang akan dituju oleh seorang penulis, melainkan tujuan antara, yang selalu dinamis dan berkelanjutan. Sebagaimana fitrah manusia yang senantiasa berkembang; demikian pun status seseorang sebagai penulis. Ada serangkaian proses yang berjalin kelindan dari fase ke fase berikutnya. Apakah penulis-penulis dalam buku ini juga merasakannya, cobalah cermati uraian-uraian mereka.

Pertanyaannya, dalam mengarungi proses menjadi tersebut, apakah teori menulis memang diperlukan oleh seorang (calon) penulis. Pertanyaan ini kerap muncul dalam diskusi atau obrolan di dalam berbagai fora yang melibatkan publik dan komunitas penulis. Ada yang menganggapnya tidak perlu, namun sebagian lain sangat perlu dan bahkan wajib. Saya sendiri berada pada posisi kedua ini.

***
KATA siapa teori menulis itu tidak penting? Untuk memotivasi orang agar tidak takut menulis, itulah yang kerap disampaikan oleh tutor atau motivator kepenulisan. Katanya, jangan pedulikan teori, langsung tulis, tulis, dan tulis. Belajar menulis ya dengan menulis, bukan dengan belajar teori menulis. Namun, nanti dulu, mari renungkan sejenak, benarkah demikian? 

Kalimat motivatif itu benar adanya jika dialamatkan untuk menggerakkan orang menulis, dan membuatnya tidak takut menulis. Itu untuk mereka yang menghadapi kecemasan besar untuk menulis. Terlebih bagi para pemula atau mereka yang akan belajar menulis, kalimat itu tepat konteksnya. Namun, bagi yang sudah masuk ke dalam lingkaran pembelajaran menulis, kalimat itu akan menemukan tuntutan yang lebih realistis: bahwa untuk menulis, teori itu penting dan latihan itu wajib.

Jika Arswendo Atmowiloto menulis buku Mengarang Itu Gampang, bukan berarti bahwa mengarang itu sah mengabaikan teori dan kaidah-kaidah penulisan sama sekali.  Sementara, Budi Darma pernah menulis artikel di harian Kompas (29/9/1993) yang berjudul "Menulis Itu Sulit." Dua sastrawan kenamaan kita itu, dengan gayanya masing-masing, tidak akan memungkiri betapa pentingnya penerapan kaidah menulis ketika orang menulis. Saya yakin, keduanya sudah memiliki teori menulis sendiri.

Jika ada pernyataan penulis mengatakan bahwa dirinya menulis tanpa teori apapun, itu sebenarnya pantas diperdebatkan. Sebab, dalam menulis, dia pastilah telah mempraktikkan teori-teori menulis yang telah dikuasainya dan menyatu dengan dirinya selama ini. Dia telah memiliki dan menerapkan _ars poetica_nya sendiri, yang telah dia bangun berdasarkan teori dan praktik dirinya selama ini. Sedangkan teorinya dia peroleh dari membaca buku teori atau karya-karya penulis (terdahulu) lain, entah disengaja atau tidak. Ada konstruksi teori menulis yang menjadi basis bagi praktik menulisnya.

Mustahil penulis menolak kehadiran berlakunya teori menulis dalam dirinya. Teori menulis itu luas jangkauannya, bisa tentang hakikat tulisan, menangkap inspirasi, menentukan ide, mencari informasi pendukung, membuat kerangka tulisan, menulis draf, mereview, dan merevisi. Dengan kata lain, teori menulis bisa tentang seluk-beluk ide, mengorganisasikannya, dan menerapkan penggunaan bahasa dengan baik. Khusus tentang penggunaan bahasa sendiri, ada teori tentang sintaks, semantik, diksi, dan sebagainya.

Terus terang, apakah kita bisa mengabaikan unsur-unsur teori menulis di atas pada saat  menulis? Bisa diyakini, semua itu penting dan tidak bisa diabaikan. Masalah kapan seseorang harus mempelajari dan menguasainya, itu yang layak ditakar. Ada yang menuntut orang lain untuk mempelajari teori dulu dan kemudian melakukan praktik atau latihan. Ada pula yang meminta orang lain untuk menguasai teori dengan teknik membaca ngemil, dan menerapkannya secara bertahap di dalam tulisan. Karena pada dasarnya orang Indonesia telah "menguasai" bahasa Indonesia, motivasi yang diberikan lebih mengarah ke wajibnya praktik menulis.

Padahal untuk menghasilkan tulisan yang  bagus, teori menulis itu perlu dikuasai, setidaknya dipelajari dengan baik. Lebih dari itu, praktik dan latihan menulis wajib adanya. Teori naik sepeda itu penting, termasuk bagaimana memedal, mengerem, membelokkan, dan sebagainya. Tapi praktik dan latihan naik sepeda jauh lebih penting. Untuk bisa mahir naik sepeda, jangan hanya menguasai teori naik sepeda, namun perlu praktik dan latihan naik sepeda secara nyata. 

Salah dan jatuh saat praktik/latihan bersepeda, itu biasa. Kali lain, jangan sampai jatuh lagi. Jika terpaksa jatuh, ya bangkit lagi, dan latihan lagi, hingga kita mahir mengendarai sepeda. Yang penting bukan berapa kali jatuhnya, melainkan berapa kali kita bangun kembali dari kejatuhan. Analoginya, tulisan kita dinilai salah atau kurang, itu wajar. Kita revisi lagi, dan berlatihan lagi, sebanyak-banyaknya. Kesuksesan bukan diperoleh dengan satu lompatan besar, melainkan dengan puluhan atau ratusan langkah kecil yang dilakoni dengan istikamah.

Jika orang menulis tanpa penguasaan teori menulis yang mumpuni, bisa dicermati bagaimana dia telah menuangkan kekayaan idenya, penataan idenya dalam paragraf-paragraf yang koheren, dan penggunaan bahasanya. Bisa dijamin, tulisan orang itu tidak mudah diikuti dan cenderung membingungkan. Pembaca yang kritis, termasuk para editor, mengenali perbedaan antara tulisan yang ditulis oleh penulis yang menguasai teori menulis dan penulis yang kurang menguasai teori menulis. 

Maka, jangan alergi dengan teori menulis. Pun tak usah ragu  untuk banyak berlatih menulis. Menulis banyak itu adalah belajar menulis yang berkualitas. Kemahiran itu lahir karena latihan yang tanpa kenal lelah. Tentu, kita tidak mau selamanya menulis sekadar menulis. Ke depan tulisan kita harus lebih berkualitas. Jika menulis sekadar menulis, anak kecil pun bisa. Masak kita orang dewasa hanya menulis seperti anak kecil?[]

*Artikel ini adalah epilog untuk buku Dr. M. Arfan Mu’ammar berjudul “Be A Writer: Panduan Praktis Menjadi Penulis Eksis” (Gresik, Sahabat Pena Kita, 2019). Terima kasih disampaikan kepada penulis buku dan penerbit.

**Pesan buku, hubungi HP/WA: 081331450689 / 081233838789

Sunday, April 26, 2020

MENULIS BUKU UNTUK WARISAN

Sumber gambar: Dok. Pribadi
Oleh MUCH. KHOIRI 

MANAJER kompasiana Pepih Nugraha, dalam sambutannya pada bedah buku saya ‘Rahasia TOP Menulis’ (RTM) di TB Gramedia Matraman Jakarta (28/3/2015), mengingatkan pentingnya menulis buku sebagai warisan. Beberapa kali beliau menyebut buku sebagai legacy (warisan), pertanda bahwa hal ini perlu mendapat atensi dan aksentuasi tersediri dari hadirin.

Jika kita berbicara warisan, yang terlintas dalam pikiran kita biasanya memang berupa harta benda. Ahli warisnya biasanya akan menerima limpahan warisan itu setelah si pemberi warisan meninggal dunia. Ada syarat dan ketentuan tertentu yang mengatur pembagian warisan. Karena berupa harta benda yang memikat hasrat manusiawi, warisan tak jarang bisa merenggangkan hubungan kekeluargaan ahli waris. 

Buku sebagai warisan, tentu saja, bisa diperlakukan sebagai harta benda seandainya ia mendatangkan royalti (sebagai imbalan hak cipta penulis, ya pemberi warisan). Namun, dalam konteks Indonesia, seberapa besar sih royalti yang bisa diterima dari terbitnya sebuah buku? Jika ia benar-benar mega-best-seller, buku baru bisa mendatangkan royalti yang pantas untuk diwariskan. Jika tidak, tak usah bermimpi tentang royalti untuk warisan. 

Pertanyaannya, berapa dari penulis yang mencapai “rezeki” (nasib baik) untuk menempati posisi dengan royalti yang pantas diwariskan kepada ahli waris? Jumlahnya tentu hanyalah sedikit alias tidak banyak. Kebanyakan penulis di Indonesia tidak bisa menggantungkan hidupnya semata pada menulis—apalagi memberikan royalti sebagai warisan kepada generasi penerusnya. Penulis biasanya juga berprofesi tertentu, entah formal entah nonformal. 

Jika demikian, tampaknya konsep warisan dalam konteks ini tidaklah mengacu kepada warisan materiil atau finansial berupa royalti. Lebih dari itu, warisan yang dimaksud mengacu ke warisan imaterial, yakni warisan ilmu atau pengetahuan yang dikandung di dalam buku yang ditulisnya. Sementara, ahli warisnya bukan semata keluarganya, melainkan masyarakat pembaca. 

Dalam perspektif penulis, buku merupakan hasil permenungan dan pemikiran yang telah dilakoninya dalam waktu tertentu. Dengan buku penulis menyampaikan sesuatu pesan penting kepada pembaca, dengan harapan bahwa kandungan ilmu atau pengetahuan dalam buku itu berkembang dan meluas secara berkesinambungan di kalangan pembacanya—baik keluarga maupun pembaca umum. 

Dengan kalimat lain, lewat bukulah penulis memeberikan amal jariyah, suatu amal yang pahalanya terus mengalir selama amal itu tetap bekerja atau dikerjakan oleh orang lain. Bahkan, alirannya akan menderas jika amal jariyah ilmu dalam buku itu dikembangkan lebih bermanfaat lagi—dan oleh lebih banyak orang lain yang mengembangkannya. 

Oleh karena itu, marilah menulis buku untuk warisan bagi anak cucu. Bila warisan harta benda kerap mendatangkan perpecahan dan malapetaka, percayalah: warisan buku tidaklah demikian. Setidaknya, jika hanya untuk dibaca dan dipelajari, buku bisa digandakan atau dicetak dalam jumlah besar, sehingga tidak perlu menjadi bahan perebutan satu sama  lain. 

Paling tidak, marilah menulis sebuah buku sepanjang hidup kita—jika memang kita tidak bisa menulis lebih. Jika Anda ahli dalam menulis, tuangkan gagasan dan pesan Anda ke dalam buku, agar anak cuku Anda bisa memahami apa yang Anda tuangkan. Jika Anda ahli beternak lele, tulislah buku tentang bagaimana teknik membuat kolam, memilih benih lele, merawat lele, memanennya, dan memasarkannya—agar anak-cucu Anda bisa meneruskan bisnis perlelean Anda. 

Tentu saja, yang bakal membaca buku tentang menulis dan bagaimana beternak lele bukan hanya anak-cucu Anda, melainkan anak-cucu teman Anda, tetangga Anda, dan masyarakat secara luas. Pada titik inilah warisan pengetahuan Anda menemukan keberkahan yang melimpah, jariyah ilmu Anda berkembang dan meluas pada generasi penerus. 

Marilah kita teladani tokoh-tokoh negeri ini yang telah mewariskan buku-buku mereka kepada bangsa kita. R.A Kartini mewariskan kumpulan surat pentingnya dalam Habis Gelap Terbitlah Terang. Hamka telah mewariskan lebih dari 100 buah buku kepada kita. Gus Dur juga mewariskan puluhan buku, dan pendapatnya dibukukan ke dalam banyak buku. Iwan Simatupang mewariskan Merahnya Merah, demikian pula Budi Darma dengan Olenka-nya, atau Emha Ainun Nadjib dengan Seribu Masjid Satu Jumlahnya. 

Praktisnya, silakan Anda temukan tokoh panutan di mana Anda akhirnya memutuskan untuk menulis buku. Anggaplah tokoh itu guru Anda dalam menulis buku. Berkat obsesi yang Anda bangun, percayalah Anda akan mampu merampungkan buku Anda sendiri. Tokoh itu akan memberikan kekuatan tersendiri bagi Anda dalam menulis buku. Anggaplah Anda sedang membuktikan kepada guru Anda itu bahwa Anda akan mampu mewariskan sebuah buku untuk anak cucu. Lalu, lihatlah apa yang akan terjadi. 

Jadi, rahasia besar dari menulis buku sebagai warisan ada di sini: Bahwa apapun yang kita tulis dalam buku akan dipahami dan akhirnya dikembangkan secara luas oleh generasi kita. Benih-benih ilmu atau pengetahuan yang kita tanam akan tumbuh dan berkembang. Maka, tidak ada pilihan lain, marilah menulis buku yang isinya benih baik-baik, agar di kemudian hari tumbuh dan berkembang yang baik-baik.
[] 

*Much. Khoiri: penggerak literasi, dosen, editor, dan penulis 42 buku dari Unesa Surabaya. 

Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts