Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Friday, April 3, 2020

DARI TANTANGAN, MENULIS SEJARAH DIRI

Buku karya Risa Elvia

Oleh MUCH. KHOIRI

KEKUATAN tantangan (the power of challenge) telah teruji oleh berbagi zaman. Mulai kisah mitos, legenda, hingga sejarah masa kini, tantangan (dengan aneka bentuk) telah ditawarkan bagi orang-orang terpilih untuk memenangkan. Yang terpilih—dan berani menjawab tantangan—juga bukan orang sembarangan. Tantangan dianggap bukan sebagai hantu menakutkan, melainkan sebagai motivasi kuat untuk meraih kesuksesan.

Beberapa bulan silam tantangan yang lebih-kurang sama juga saya berikan kepada penulis buku ini, Risa Elvia. Saya menantangnya begini: “Jika Mba Risa siap menulis setiap hari dalam sebulan penuh, saya siap untuk memeriksa tulisan-tulisan itu setiap hari pula. Lalu, ketika akhir bulan tulisan-tulisan itu sudah disusun ke dalam sebuah buku, saya siap untuk memberikan kata pengantar.” Begitulah kira-kira tantangan itu. Bagaimana bekerjanya tantangan ini di dalam dirinya, saya tidak tahu.

Namun, ternyata benar, penulis buku ini menjawab tantangan saya—sebagaimana dugaan saya sebelumnya bahwa dia bukan orang sembarangan; dia orang yang terpilih. Nyatanya, dalam sebulan penuh dia mampu menulis setiap hari. Sekelarnya dia menulis, dia selalu mengirimkan tulisannya ke WA saya untuk saya periksa dan beri masukan seperlunya. Setelah itu, dia mempostingnya di grup WA komunitas menulis Gerakan Guru Menulis (GGM) Kabupaten Malang. Atas postingan-potingannya, para anggota komunitas memberikan apresiasi, tanggapan, pujian, dan sebagainya.

Maka, sengaja atau tak sengaja, penulis buku ini, dengan menjawab tantangan, pada hakikatnya juga menulis lembaran “sejarah diri”. Ya, setiap manusia memiliki sejarahnya sendiri—betapapun kecilnya sejarah itu di mata manusia lain. Meski demikian, bagi si empunya sejarah itu sendiri, sejarah dirinya pastilah sejarah terpenting di sepanjang hidupnya—bahkan, mungkin, mengabadi dan bahkan melebihi batas ruang-waktunya sendiri.

Setidaknya, di mata anggota komunitas GGM, penulis buku ini telah dianggap sebagai seseorang yang rajin menulis—berbeda dengan anggota lain yang agak jarang atau hampir tidak pernah memposting artikel; dan berbeda dengan orang-orang yang hanya suka mengkopi dan menyebarkan artikel yang tak jelas asal-muasalnya. Selain itu, penulis buku ini jelas menulis sejarah diri lewat buku ini—mengabadikan apa yang dia pikirkan dan lakukan dalam waktu-waktu dari fragmen usia yang dimilikinya.

Sebagaimana diakui penulis buku, buku ini “berisi ulasan, pemaparan bagaimana untuk belajar menjadi manusia, ya manusia yang sesungguhnya! Bukan manusia yang setengah-setengah bahkan bukan pula manusia yang hanya manusia. Ya, manusia yang harus menghamba kepada Rabb-Nya, manusia yang senantiasa harus bersabar, teguh, optimis, ikhlas dan juga senantiasa berhusnudzan kepada-Nya, seperti paparan artikel-artikel di dalamnya.

Praktisnya, dalam buku ini dia mengelompokkan ulasannya ke dalam empat bagian: Pertama, mutiara ramadhan, dengan 16 artikel yang mengulas pemikiran dan refleksinya tentang dinamika hidup dalam rentang ramadhan: mulai “Marhaban Ya Ramadhan”, “Idul Fitri, Prasasti Ibadah Ramadhan” hingga “Memaknai Kupatan”. Bagian kedua, muhasabah diri, dengan 18 artikel yang mengulas tentang makna niat, ikhlas, syukur, jujur, berbaik sangka, sabar, pantang menyerah, dan sebagainya. Karena berbasis amatan dan pengalaman, tulisan-tulisan yang ada terkesan meyakinkan.

Bagian ketiga memaparkan tentang mendidik anak. Dia memulainya dengan artikel “Ibu, Pendidik Utama bagi Anak”—kemudian diikuti tujuh artikel lainnya seperti “Renungan bagi Orang Tua”, “The Power of Mom’s Hugs”, “Dongeng sebelum Tidur”, “Teknik Membangun Motivasi dan Kepercayaan Diri Anak”, “Membentuk Karakter Anak di Bulan Ramadhan”, serta “Bakti Tiada Henti”. Nuansa pengalaman pribadi penulis buku terasa kental di dalam artikel-artikel tersebut, sehingga pembaca diajak untuk menyelaminya dengan segenap hati.

Bagian keempat, dengan 20 artikel, membagikan aneka ulasannga tentang proses belajar tanpa jeda, sesuatu yang sangat diyakini penulis buku ini. Dialah pembelajar tanpa jeda, yang selalu belajar setiap saat. Dimulai dengan artikel “Bagai Mata Air Muncul Di Tengah Padang Pasir” dan diakhiri dengan artikel “Cinta Yang Benar”, bagian ini menyiratkan bagaimana penulis buku ini menikmati proses belajar tanpa jeda. Katanya, “Saya selalu belajar agar bisa selalu memetik hikmah dalam setiap peristiwa dari yang saya baca, saya dengar bahkan terkadang yang saya alami sendiri.

Buku ini bisa jadi bagian dari sejarah diri penulis buku—dan tentu saja merupakan hasil literasi diri, dan literasi diri hakikatnya adalah sebuah praktik budaya individu. Apakah literasi diri, juga budaya individu, mampu mempengaruhi budaya orang lain? Perlu dicatat bahwa budaya individu yang aktif akan berpotensi mempengaruhi dan mewarnai orang lain, lalu budaya komunitas, kemudian budaya masyarakat dan bangsa.

Kuncinya, jika budaya individu ini memiliki kekuatan pengaruh yang besar; maka, warna budaya yang dipengaruhi juga kentara. Kumpulan individu penulis sangat potensial untuk ikut memberi warna bagi budaya orang lain, komunitas, masyarakat, dan pelangi budaya bangsa. Praktisnya, menulis itu memiliki kekuatan keabadian yang jauh lebih kokoh dari pada pikiran, ucapan, dan tindakan. Apa yang kita pikirkan akan lenyap, apa yang kita ucapkan dan lakukan akan tak berbekas—kecuali benar-benar dituliskan.

Sementara itu, hasil tulisan itu akan dibaca sekian banyak orang. Tulisan-tulisan yang ada akan menyegarkan, mencerahkan, dan menginspirasi orang lain. Tulisan-tulisan itu mungkin akan beranak-pinak menjadi dua kali lipat, sepuluh kali lipat, atau seribu kali lipat dari pada sebelumnya. Jumlah tulisan yang tumbuh belakangan dapat tak terhingga karena melampaui batas ruang dan batas waktu. 

Tentu saja, tugas penulis buku ini adalah menulis dengan sebaik-baiknya; selebihnya pembacalah yang akan menindaklanjutinya— tepatnya, membaca dan mengembangkannya ke dalam gagasan atau tulisan selanjutnya. Generasi peneruslah yang akan membuktikannya—baik lewat ungkapan maupun karya mereka. Puncaknya, sejarah akan mencatat apakah buku ini memberikan kontribusi yang signifikan di masa depan.

Mudah-mudahan tulisan-tulisan yang terhimpun di dalam buku ini memberikan tantangan baru bagi pembaca yang budiman. Mudah-mudahan inspirasi yang dipetik akan berkembang dan berbuah tulisan-tulisan yang kelak juga akan menginspirasi pembaca selanjutnya. Betapa indahnya buah-buah artikel tersebut bergelantungan di kebun buah gagasan yang dihuni oleh para intelektual kreatif.[]

*Artikel ini kata pengantar untuk buku Risa Elvia berjudul “Belajar Menjadi Manusia” (Lamongan, Pagan Press, 2014). Terima kasih disampaikan kepada penulis buku dan penerbit.

**Pesan buku, hubungi HP/WA: 081331450689 / 081233838789

BELAJAR MENULIS PUISI SECARA DARING

Ini judul salah satu puisi karya Robert Frost

Oleh: Much. Khoiri

PUKUL 19.30 malam ini, hanya selepas shalat isya’,  saya diundang untuk berbagi tentang puisi oleh sebuah komunitas yang sedang menyiapkan buku antologi puisi. Mereka menulis puisi, tampaknya terkait dengan work from home (WFH) akibat korona. Kami berbagi dengan medium grup WA. Agar materi tidak lenyap dimakan waktu, berikut ini materi yang telah saya sampaikan.

Saya mengajak menyegarkan pemahaman tentang hakikat puisi. Sebagai salah satu genre utama Sastra, puisi (poem, poetry) merupakan abstraksi kehidupan dan pengalaman manusia. Kata kunci "abstraksi" ini penting, sebab puisi atau karya sastra secara umum bukan semata fakta mentah, melainkan saripati,cerminan, pantulan dari fakta.

Dengan kata lain, puisi hakikatnya sudah merupakan hasil olahan dari fakta. Ia adalah olahan dari fakta kehidupan dan pengalaman manusia, yang dibumbui dengan imajinasi. Jadi, puisi itu bukan semata fakta, juga bukan semata fiksi (imajinasi), melainkan gabungan dari keduanya.

Karena itu, jika kita ingin menulis puisi, kita perlu memegang prinsip bahwa kita tidak sedang menulis berita, fakta, fenomena secara mentah dan apa adanya. Fakta sebagai bahan puisi harus diolah, sesuai dengan kaidah penulisan puisi. Mengapa demikian? Puisi itu, sebagaimana genre sastra yang lain, memiliki kaidahnya sendiri. Kaidahnya berbeda dengan kaidah prosa (cerpen, novel, novelet) dan drama atau lakon. Meski prosa, puisi dan drama adalah abstraksi kehidupan manusia dan pengalamannya, namun puisi memiliki kaidah penulisan sendiri.

Puisi, antara lain, bentuknya terikat, tidak seperti prosa atau drama. Prosa lebih luwes; sedangkan drama melibatkan dialog. Kalau puisi, lebih terikat sejumlah "kaidah" yang sedikit rumit, yang sebenarnya tidak sulit jika terbiasa. Menulis puisi perlu mempertimbangkan imagery, simbol, rima dan ritma, serta majas. Unsur-unsur ini penting bagi puisi.

Imagery itu pembentukan suasana citraan (image) agar pembaca menangkap suasana, tempat, atmosfir mana puisi itu gambarkan. Dengan pilihan diksi yang tepat, pembaca bisa menangkap betapa penunggang kuda dalam puisi Robert Frost “Stopping by Woods on A Snowy Evening” berada dalam daerah bersalju yang atis. Pelukisan setting di sebuah hutan di musim dingin dan sunyi, membuat pembaca membayangkan betapa suara ringkik kuda pun menjadi sahabat yang baik.
Simbol juga perlu diperhatikan. Simbol bisa mengacu ke bentuk benda atau warna, misalnya. “Wajahnya mendung kelam”, ini simbolisasi atas kondisi sedihnya seseorang, yang sedang menahan air mata. Amat boleh jadi, ambrolnya air mata terbayang untuk segera terjadi. Kata “mendung” itu sendiri sudah merupakan symbol, dipertegas dengan kata “kelam”.

Lalu, apakah perlu rima setiap kali menulis puisi? Sebaiknya ya, sebab itu salah satu kaidah puisi, yang ada baiknya diikuti meski tidak sesaklek puisi tempo dulu (seperti syair, pantun). Ada puisi bebas (free verse) yang dulu sudah digelorakan Chairil Anwar lewat sajak "Aku". Dalam sajak itu rima-nya agak luwes. Demikian pun dalam puisi "Aku Ingin" karya Sapardi Djoko Damono.

Namun, jangan lupa rima itu perlu ditunjang dengan ritma. Ritma itu semacam ketukan atau stress yang bertumpu pada suku kata, yang lazimnya perlu dihitung ketika menulis. Tatkala dibaca di depan umum, ia terdengar enak. Ingat, dalam sebuah buku ditegaskan, bahwa puisi itu “sense and sound.”

Pertanyaannya, apakah harus berjumlah ritma tertentu seperti tembang Jawa? Untuk puisi-puisi lama semacam syair dan pantun, misalnya, jumlah ritma dan bunyi rima itu wajib diperhatikan. Namun, jika puisi itu sajak bebas, ritma ya tidak harus seragam per baris misalnya. Kalau tembang Jawa, itu masih sangat kuat dalam memegang guru lagu (rima) dan ritma-nya. Tembang Jawa bukan sajak bebas.

Sekarang, kita bicara tentang majas (figures of speech). Mengapa kita perlu majas? Ya karena puisi itu bukan semata fakta, melainkan abstraksi dari fakta kehidupan dan pengalaman manusia. Jadi, menyampaikannya ya tidak lewat bahasa lugas dan literal (denotatif), melainkan ada baiknya lebih banyak yang konotatif. Kalau lugas dan apa adanya itu bahasa untuk tulisan fakta, semisal opini atau PTK, tapi kalau bahasa puisi itu lebih "estetik".

Bukan berarti bahwa bahasa puisi itu harus berbunga-bunga (flowery words), namun diksi yang indah yang punya makna. Barisan diksi yang berbunga-bunga mungkin kosong makna, sebaliknya diksi yang tidak terlalu berbunga malah mengandung makna yang indah. “Kutitipkan rinduku pada angin….” Apakah makna di dalam barisan kata ini?

Perhatikan ini. Ketika Chairil Anwar menyebut "Aku ini binatang jalang dari kumpulannya terbuang....", adakah diksi yg indah? Tidak. Tapi isinya lah yang indah. Indah apanya? Ya maknanya yang dalam. Bahwa "aku" (termasuk kita) adalah binatang yang punya nafsu jalang. Wis duwe bojo ayu, ya matane jelalatan kalau ketemu wong ayu. Wis sarapan isuk, jam 10 ditawari bakso ya oke, jam 12 diajak maksi ya mangga, jam 3 siang diajak makan rujak ya budal. Itulah kejalangan kita. Chairil bisa mengabstraksikan nafsu jalang manusia.

Maka, kita memakai majas, misalnya personifikasi, metafora, simile, hiperbola, dsb. Personifikasi, itu menganggap benda mati seperti manusia, sehingga bilangnya misalnya: "Nyiur melambai", "Ombak yang menari-nari", "Angin yang membelai tanah seberang". Sementara, matafora itu pembandingan dua objek tanpa kata "seperti, laksana, bak, bagaikan". Misalnya: "Engkau matahariku, sayang", "Engkau nafasku, engkau hidupku, engkau segalaku"....

Adapun simile, mirip dengan metafora, tapi menggunakan kata "laksana, seperti, bak, bagai". Contohnya: "Engkau bagaikan bintang di langit", "Engkau laksana awan yang mengintai isi hatiku". Lalu hiperbola, melebih2kan, untuk memberi penyangatan atau aksentuasi. Misalnya: "Hatiku ambrol karena hantaman cintamu", "Matanya nanar memabakar bumi",

Itulah empat majas yang paling sering muncul di dalam puisi. Namun, masih ada beberapa yang lain. Silakan bisa ditanyakan Kiai Google saja. Yang penting, adalah bagaimana kita malatih diri dalam menulisnya. Untuk sementara, berikut ini saya berikan sebuah contoh puisi saya:

MENGAPA AKU RINDU KAU?

Puisi Much. Khoiri

Jika kau bertanya mengapa aku rindu kau?
Kini kujawab, laksana hujan tak perlu mendung
Untuk menjawab mengapa air tercurah
Menggenangi setiap jengkal tanah.

Jika kau bertanya mengapa aku rindu kau?
Kan kujawab, laksana angin tak perlu rumput
Untuk menjawab mengapa seluruh desaunya
Mendendang senandung gunung dan telaga.

Jika kau bertanya lagi mengapa aku rindu kau?
Kan kujawab lagi, laksana petang tak perlu subuh
Atau laksana malam tak perlu rembulan
Untuk menjawab mengapa rindu kita
Merentang tanpa batas rasa manusia.

Engkau matahariku, percayalah:
Jauhmu melimpahiku kekuatan
Dekatmu adalah jalan penyatuan
Kita akan menjadi abu bersama
Untuk menerima takdir: Cinta!

Gresik, 18.11.2013

Jika ada pertanyaan apakah kita perlu belajar pada karya-karya terdahulu? Saya tegaskan ya: Kita harus lebih banyak membaca karya penyair-penyair yang bagus. Di Indonesia, kalau mau belajar puisi dengan bahasa yang kelihatannya sederhana tapi dalam, silakan membaca karya WS Rendra, Sapardi Djoko Damono, Taufik Ismail, Emha Ainun Nadjib.

Di dunia Barat kita bisa membaca karya Emily Dickinson, Robert Frost, Langston Hughes misalnya. Tidak perlu membaca yang berat semisal William Shakespeare misalnya. Pengarang yang tersebut terakhir ini memang kelas berat, yang perlu konsentrasi lebih hanya untuk memahami puisi-puisinya.

Meski demikian, belajar menulis puisi itu, sebagaimana belajar menulis genre tulisan lain, kembali ke penulisnya. Kaidah ya kaidah, yang perlu dipertimbangkan untuk diikuti, agar tulisan yang dihasilkan berbeda bentuk dengan genre lain. Namun, setiap penulis akan berusaha berlatih dan akhirnya menemukan style-nya sendiri, tentu setelah mengarungi proses panjang. Bagaimana pun, practice makes all things perfect, praktik dan latihan membuat segalanya sempurna.*

Gresik, 2 April 2020


Thursday, April 2, 2020

GURU PENULIS: MELITERASI DIRI UNTUK KETELADANAN


Buku karya Husni Mubarrok
Oleh MUCH. KHOIRI

SESAAT selesai membaca naskah buku ini, setidaknya ada tiga hal penting yang melekati benak. Pertama, penulis buku ini, dengan antusiasme dan kelancaran bertutur, mengajak sesama guru untuk menjadi guru berbeda alias guru istimewa. Katanya, “Menjadi guru yang berbeda itu harus, menjadi guru yang istimewa itu keren.” Untuk itu, tiada cara lain bagi guru kecuali mengenali potensi diri—menulis, khususnya—untuk dikembangkan. Tak ayal, penulis buku mengarahkan guru untuk menjadi guru penulis.

Siapakah yang dimaksud dengan guru penulis? Memang, konsep guru penulis (teacher-writer) dalam buku ini belum dinyatakan secara tegas sebagaimana yang digunakan Christine M. Dawson dalam bukunya The Teacher Writer: Creating Writing Groups for Personal and Professional Growth (2016). Namun, penulis buku ini memaksudkan guru penulis sebagai guru yang profesional dan melengkapi diri dengan vokasi tambahan sebagai penulis. Guru penulis itu seorang guru dan sekaligus penulis.

Kedua, penulis buku yakin, menjadi guru penulis itu pasti dapat diwujudkan. Lewat judul buku dia mengabarkan: Menjadi Guru yang Berbeda: Merajut Asa, Mewujudkan Mimpi Menjadi Guru Penulis.  Penulis buku begitu yakin dalam hal ini karena dia sangat percaya nilai sebuah impian. Impian akan terwujud manakala dijalani dengan penuh komitmen, aksi nyata, dan kegigihan dalam meraihnya. Tegasnya, menjadi guru penulis, pasti bisa diraih; menjadi guru penulis, pasti bisa direngkuh.

Ketiga, penulis buku juga mengajak guru dengan memberikan berbagai uraian dan jurus jitu yang mudah dipraktikkan. Penulis buku menyebutnya sebagai “ramuan” mujarab yang berjumlah lima, yakni (1) percikan motivasi guru, (2) menyelami curhatan siswa, (3) jalan menuju guru penulis, (4) celoteh perjalanan menulisku, (5) Alhamdulillah, akhirnya aku bisa menjadi guru penulis. Masing-masing “ramuan” memiliki sejumlah artikel yang kaya dan mencerahkan. Kelima “ramuan” disajikan dengan cara dan bahasa yang mudah dipahami.

Sekarang, mengapa penulis lancar menyampaikan gagasannya? Satu dan lain hal, dia mendasarkan tulisan pada pengalaman dan proses reflektif atas aneka fenomena yang terjadi dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Sementara itu, dia menulis apa yang paling diketahui dan diakrabi, bahkan menyatu dengan dirinya. Dengan kondisi demikian, dia begitu kaya bahan untuk disampaikan kepada orang lain—termasuk, dalam hal ini, lewat tulisan dalam aneka sub-topik.

Selain itu, dia memiliki kemampuan public speaking yang bagus—namun dimanfaatkan untuk berkomunikasi secara tertulis. Dia juga cerdas memilih sudut pandang menulis, dan menempatkan guru sebagai pembaca pada posisi teman berbincang yang menyenangkan. Seakan tidak ada jarak emosional dan sosial-psikologis antara dia dan pembacanya. Pada kesempatan tertentu, dia seakan sedang bercakap kepada sahabatnya: Ayo kenali potensimu, gali bakatmu dan poles ketrampilanmu hingga ia menjadi istimewa dan menjadikanmu guru yang berbeda.
***
Catatan penting lain adalah bahwa penulis buku ini telah menjalani dunia literasi diri hingga “lulus” menjadi guru penulis, dan ingin menularkannya kepada orang lain. Dalam hal ini dia bertindak sebagai teladan dalam pembudayaan literasi.  Dia menjalani literasi diri untuk kemudian mengarah ke orang lain.

Literasi diri, yang hakikatnya juga bagian dari budaya individu, memiliki potensi untuk mewarnai budaya kolektif suatu komunitas atau masyarakat. Seberapa besar intensitas literasi diri menentukan seberapa signifikan pewarnaan yang ditimbulkannya. Sebagai budaya individu, literasi diri urgen dipraktikkan bagi siapapun—tak terkecuali penulis buku ini—juga yang berghirah besar untuk memperkaya budaya komunitas atau masyarakat. Semakin banyak individu yang mempraktikannya, semakin cepat proses pewarnaan budaya itu.

Lalu, bagaimana budaya individu, khususnya literasi menulis, berperan dalam mewarnai budaya kolektif masyarakat? Perlu dicatat, budaya individu yang aktif akan berpotensi mempengaruhi dan mewarnai budaya komunitas. Kemudian, budaya komunitas yang aktif akan mempengaruhi budaya masyarakat. Kuncinya, jika budaya individu ini memiliki kekuatan pengaruh yang besar; maka, warna budaya yang dipengaruhi juga kentara. Kumpulan individu penulis sangat potensial untuk ikut memberi warna pelangi budaya masyarakat luas.

Praktisnya, menulis itu memiliki kekuatan keabadian yang jauh lebih kokoh dari pada pikiran, ucapan, dan tindakan. Apa yang kita pikirkan akan lenyap, apa yang kita ucapkan dan lakukan akan tak berbekas—kecuali benar-benar dituliskan. Padahal, gerak pikiran, ucapan, dan tindakan itu sendiri merupakan praktik budaya. Dalam hal ini literasi menulis merekam dan mengabadikan praktik budaya manusia. 

Sementara itu, hasil tulisan itu akan dibaca sekian banyak orang. Tulisan-tulisan yang ada akan menyegarkan, mencerahkan, dan menginspirasi sekian banyak orang. Tulisan-tulisan itu akan beranak-pinak menjadi dua kali lipat, sepuluh kali lipat, atau seribu kali lipat dari pada sebelumnya. Jumlah tulisan yang tumbuh belakangan dapat tak terhingga karena melampaui batas ruang dan batas waktu. Inilah yang agaknya diimpikan oleh penulis buku ini.

***
Lalu, mengapa keteladanan? Sebeb, keteladanan sangat penting dalam pembudayaan literasi. Keteladanan itu sebetulnya bersumber dari proses mendidik diri (meliterasi diri), sebelum kemudian seseorang mendidik orang lain. Sementara itu, tak dimungkiri, mendidik orang lain agar menjadi apa yang kita inginkan, tidaklah mudah alias sangat sulit. Lebih sulit lagi adalah mendidik diri sendiri agar mampu mendidik orang lain untuk menjadi apa yang kita inginkan. 

Untuk membuat orang lain memiliki pengetahuan, sikap, dan perilaku sejalan dengan apa yang kita inginkan, kita harus memiliki pengetahuan, sikap, dan perilaku yang patut dididikkan. Implikasinya, kita harus bisa dijadikan cermin atau suri tauladan yang pantas. 

Dalam hal ini seorang kiai, pendeta, pedanda, atau tokoh religi lain harus sudah ahli dalam kitab suci yang merupakan pedoman dan pegangan untuk berdakwah. Dia juga mengamalkan dzikir, semedi, sembahyang atau ritual lain dengan sebenar-benarnya. Lalu, perilaku kesehariannya mencerminkan kesalehan kalbu dan jiwanya. Jika tidak demikian, hilanglah segala statusnya.

Mendidik diri untuk keteladanan adalah memperdalam pengetahuan dan memperluas wawasan mengenai sesuai yang kita didikkan kepada orang lain. Mendidik diri untuk keteladanan juga membangun sikap dan perilaku agar patut diteladani; karena itu, ia harus menghayatinya lebih dulu sebelum menerapkannya pada orang lain. 

Maka, mendidik diri untuk keteladanan juga “membudayakan” diri dalam apa yang kita tularkan kepada orang lain. Kita harus membudayakan diri dengan mengaji, shalat, bersedekah, dan sebagainya sebelum kita mendidik anak-anak untuk membudayakan hak serupa.  Demikian pula kita harus berbudaya literasi (termasuk membaca dan menulis) dulu sebelum mengajak orang lain untuk berbudaya literasi. 

Begitulah, penulis buku ini telah meliterasi diri dan berupaya untuk memberikan teladan pada orang lain, terutama mereka yang belum  menjadi guru penulis. Di bagian penutup dia, antara lain, menulis: Teruslah berjuang kawan, jangan pernah patah arang. Teruslah berkarya kawan, jangan pernah merasa bosan. Teruslah menulis kawan dengan goresan karya-karya indahmu agar dunia mengenalmu dan mencatatmu dalam keabadian. Sebuah ungkapan yang sarat ajakan dan harapan yang menggelora dan yakin akan hadirnya kenyataan.

Selamat membaca buku ini dengan riang dan menemukan mutiara-mutiara hikmah dan inspirasi dari dalamnya. Jika perlu, silakan baca lagi dan lagi, dan setelah itu menulislah. Dalam hal ini, bahkan sejak awal pengantar ini, Anda memasuki proses literasi diri untuk kemudian diharapkan mampu meliterasi orang lain. Mudah-mudahan.[]

*Artikel ini adalah kata pengantar untuk buku Husni Mubarrok berjudul “Menjadi Guru yang Berbeda (Merajut Asa, Mewujudkan Mimpi Jadi Guru Penulis” (Bojonegoro, Pustaka Intermedia, 2017). Terima kasih disampaikan kepada penulis buku dan penerbit.

**Pesan buku, hubungi HP/WA: 081331450689 / 081233838789




Tuesday, March 31, 2020

MENGIKAT KARYA GURU DAN SISWA SIDOARJO

Empat buku karya guru dan siswa Sidoarjo

Oleh MUCH. KHOIRI

Puji syukur saya panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memungkinkan seluruh penulis menyelesaikan karya mereka dan menjadi bagian dari buku ini. Tanpa daya dan kekuatan dari-Nya, tiada mungkin serentetan perjuangan dalam penyusunan buku ini membuahkan hasil yang menggembirakan.

Perjuangan bukan hanya dialami oleh para penulis, melainkan oleh seluruh tim kreatif bentukan Dinas Pendidikan Sidoarjo, termasuk menggelar workshop menulis dan menampung naskah fiksi dan nonfiksi karya guru dan siswa. Setelah seluruh naskah masuk, seleksi kelayakan dilakukan, yang kemudian menemukan empat naskah buku: nonfiksi guru-siswa, fiksi guru, fiksi siswa SMA, dan fiksi siswa SMP.

Memang, untuk diterbitkan, naskah harus diseleksi berdasarkan bobot kelayakan yang dapat dipertanggungjawabkan. Layak itu bisa berkaitan dengan substansi dan bentuk. Substansi itu terkait dengan bobot gagasan; sedangkan bentuk terkait dengan organisasi tulisan dan penggunaan bahasa. Dari tiga aspek inilah penyeleksian dijalankan. Dan diperolehlah naskah awal buku ini sebelum menjalai proses penyuntingan.

Meski demikian, kecermatan penulis dalam penulisan identitas juga diperhatikan. Sejumlah artikel ditulis belasan lembar alias terlalu panjang; ada juga yang hanya separuh halaman alias terlalu pendek; sementara, artikel lain malah tidak mencantumkan nama penulis. Sejumlah tulisan, meski layak secara kualitas, namun tidak bisa terpilih dan terhimpun dalam buku ini, ya karena tiada identitas jelas. Saya berharap, naskah yang sebenarnya bermutu tapi tidak ada kejelasan status identitas penulisnya, diharapkan dapat ditampung pada buku selanjutnya.

Kemudian, terkait pekerjaan menyunting, saya melakukannya hanya pada naskah yang sudah lulus dari proses seleksi. Tentu saja, baik gagasan maupun pengorganisasian ide dan penggunaan bahasa, saya dapati begitu beragam. Tak jarang saya harus menambah kesabaran tanpa batas. Tak sedikit penulis dalam buku ini yang seharusnya meningkatkan kualitas bahasa Indonesia. Namun, tentu, dari kreativitas mereka, mereka termasuk penulis yang dahsyat. Tugas saya dalam menyunting tentulah membuat naskah yang ada memiliki nilai keterbacaan lebih baik.

Untuk menyunting, saya telah berusaha untuk tidak mengubah substansi tulisan. Yang paling banyak adalah membenahi pengorganisasian tulisan, pemilihan kata, ketatabahasaan, pemagrafan, ejaan, dan sejenisnya. Tugas saya hanyalah sebagai katalisator, agar maksud penulis dapat mencapai pembaca dengan baik. Tanggung-jawab gagasan, dengan demikian, masih tetap berada di tangan penulis.

Lalu, pemilihan judul buku ini dibuat berdasarkan irisan gagasan yang secara simbolis, konotatif, dan asosiatif mampu menaungi bias-bias gagasan semua judul yang ada. Meski demikian, dunia kreatif tidak sepenuhnya mampu menunaikan tugas pencakupan dengan dengan sempurna. Dengan demikian, jika judul diambil dari salah satu tulisan yang ada, itu bukan berarti bahwa tulisan itu yang terbaik—melainkan karena ia saya harapkan memenuhi syarat pencakupan itu. Masalah kualitas tulisan semata-mata tersimpan pada masing-masing tulisan.

Untuk para penulis, saya memberikan apresiasi setinggi-tingginya. Sungguh, saya berani menegaskan bahwa para penulis dalam buku ini telah membuktikan dirinya bekerja keras dan menghalau setiap godaan dan gangguan untuk menulis. Bagi sebagian mereka, menulis karya merupakan perjuangan heroik yang mengalahkan diri sendiri. Karya mereka menjadi saksi atas kegigihan dan keteguhan yang tak terbatas.

Maka, saya berharap mereka menghayati komitmen kuat untuk senantiasa menghidupkan dunia literasi, dalam hal ini dengan menulis. Yakni, menulis tanpa jeda, dengan komitmen kuat serta semangat membara. Tidak hangat-hangat tahi ayam, melainkan laksana lampu yang selalu menyala berkat minyak yang tersedia sewaktu-waktu.

Untuk semua ini, menulis perlu dimaknai sebagai proses latihan menulis, baik teknik maupun objek tulisan. Seberapa hebat pun manusia, latihan masih wajib dilakukan dan dihayati sepenuh hati. Tiada manusia yang sempurna. Di atas langit ada langit yang membentang. Maka, untuk menjadi penulis yang baik, latihan adalah pelajaran yang wajib diikuti hingga lulus.

Mari
mari camkan ungkapan ini: Practice makes all things perfect. Praktik dan latihan membuat segalanya sempurna. Latihan itu bukan teori belaka, melainkan teori yang dipraktikkan. Mudah-mudahan semboyan ini mendarahdagingi semua penulis dalam buku ini dan seluruh pembaca yang terinspirasi karenanya.

Selamat membaca dan memetik hikmah serta inspirasi.


*Artikel ini kata pengantar untuk 4 buku:  Memori Cermin Sekumpulan Cerpen dan Puisi Siswa”;  Mutiaraku Sekumpulan Cerpen dan Puisi Guru”;  Berkarya Tanpa Jeda”, danOrigami Burung Sekumpulan Cerpen dan Puisi Siswa.” (Lamongan, Pagan Press, 2017). Terima kasih disampaikan kepada para penulis buku dan penerbit.

**Pesan buku, hubungi HP/WA: 081331450689 / 081233838789

MENGHIMPUN GEGAR BUDAYA DOSEN UNESA


Oleh MUCH. KHOIRI

GEGAR budaya (culture shock) kerap menimpa dan dialami siapapun yang masuk ke dalam lingkup budaya baru dan “asing”. Di dalam prosesnya terjadi perubahan dan pemertahanan sistem nilai dalam diri seseorang tatkala berhadapan dengan sistem nilai komu-nitas barunya. Sebagai pendatang baru, ia mengalami keterkejutan budaya tertentu yang kerap tak diperhitungkan—dalam bathin ia bertanya begini,”Kok begini ya?”

Ungkapan spontan semacam itu, misalnya, bisa ke-luar dari kita andaikata kita orang desa dengan segala kesederhanaannya tiba-tiba diundang untuk menghadiri hajatan mantu di gedung megah sebuah kota metropolit-an. Melihat gedungnya saja kita bisa termangu lama—teramat berbeda dengan hajatan mantu a-la pedesaan. Di gedung itu kita bisa bingung tatkala dipersilakan untuk makan prasmanan; sebab, kita sudah terbiasa dengan makan duduk bersila dan tak pernah makan sambil ber-diri. Terlebih, jika harus diinapkan hotel berbintang dengan ranjang mendut-mentul, yang sangat berbeda dengan “pring bed” (ranjang dari bambu), bisa-bisa kita tidak bisa tidur akibat kasur empuk seperti kisah negeri dongeng.

Memang, begitulah, gegar budaya beragam gejalanya. Seseorang mungkin mengalami keterpanaan, keheranan, hingga kekhawatiran dan ketakutan, baik terang-terang-an maupun tersembunyi. Orang lain dapat membaca per-tanda gegar budaya seseorang itu bergantung pada ung-kapan-ungkapan verbal, sikap dan perilaku orang itu.

Itulah sebabnya tingkat intensitas gegar budaya pun hakikatnya berbeda-beda antara orang satu dan orang lain, mengingat setiap orang berbeda dengan orang lain dalam berbagai hal, termasuk kepribadian, usia, setting, pola transaksi, intensitas pertemuan, dan sebagainya.  Karena itu, “sembuhnya” seseorang dari gegar budaya juga beragam, ada yang dalam waktu singkat, ada yang dalam waktu panjang.

Buku ini menghimpun tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh para dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris FBS Universitas Negeri Surabaya. Kapasitasnya per individu bercampur-aduk antara penulis sebagai individu dan sebagai akademisi. Sebab, tulisan-tulisan yang hadir di sini kebanyakan dibuat berdasarkan pengalaman penu-lis, sebagai individu dan sebagai akademisi. Karena itulah tampak keanekaragaman di antara tulisan yang ada.

Tentu saja, tidak semua naskah yang masuk layak terbit dari segi gagasan, organisasi, dan penggunaan bahasa. Sebagai editor, saya perlu menempatkan diri sebagai orang yang membantu memoles tulisan-tulisan tersebut dari tiga segi yang penting itu. Dari gagasan, tidak banyak saya lakukan; karena, soal substansi hakikatnya adalah wewenang, hak, dan tanggungjawab penulis.

Meski demikian, dari segi organisasi gagasan, tak jarang saya perlu membantu pembenahan keorganisasian tulisan. Paragraf yang terlalu panjang, misalnya, perlu dipecah menjadi dua atau tiga paragraf lebih pendek, agar tidak membosankan pembaca. Hubungan antar ka-limat (termasuk koherensi dan keterpaduan) perlu saya jaga, sehingga kerangka pikir penulis mudah diikuti (ti-dak membingungkan).

Sementara itu, dalam hal penggunaan bahasa, saya melakukan pemolesan seperlunya (tidak merusak sub-stansi), agar komunikasi penulis dengan pembaca tidak sampai terjadi. Kaidah-kaidah kebahasaan lebih saya condongkan pada kontekstualitas bahasa daripada seka-dar gramatikalitas bahasanya. Disadari bahwa tulisan-tulisan dalam antologi ini merupakan hasil kreatif dari dosen-dosen yang berlatar bahasa Inggris, bukan bahasa Indonesia. Tidak semua dari mereka mahir dalam Bahasa Indonesia.

Kendati demikian, ghirah (passion) para dosen dalam karya ini menunjukkan kesadaran literasi yang membaik. Bahkan, bagi sebagian kolega, penyertaan karya mereka dalam buku ini merupakan tonggak penting dalam pro-ses kreatif mereka ke depan. Mereka juga mengakui, ada keinginan besar yang membuncah untuk selalu ber-karya—di tengah kesibukan yang hampir tak pernah ber-henti. Ibaratnya, kesibukan itu mati satu tumbuh seribu.

Barangkali peristiwa gegar budaya dalam buku ini pernah dialami oleh  banyak orang lain. Peristiwanya belum tentu instimewa. Namun, yang istimewa ialah ke-mauan para pelaku peristiwa-peristiwa budaya itu untuk menuliskan apa yang diamati, dialami, dan dipikirkan. Mereka menyadari bahwa apa yang dipikirkan akan hi-lang, apa yang dirasakan akan lenyap, dan apa yang dialami akan musnah tak berbekas—kecuali bila semua itu ditulis alias diabadikan. Menuliskan semua itu berarti mengabadikan peristiwa-peristiwa yang ada, dan sebagi-an langkah mengabadikan sejarah pribadi masing-ma-sing.

Lebih lanjut, penghimpunan tulisan dalam buku ini adalah bukti nyata bahwa keteladanan perlu ditunjuk-kan. Keteladanan dosen sangatlah penting di mata maha-siswa. Tatkala dosen membuktikan karya-karyanya, apa yang disampaikan kepada mahasiswa memiliki dampak yang meyakinkan. Keteladanan bergaung jauh lebih ke-ras daripada sekadar kata-kata kosong. Dengan ketela-danan, amat boleh jadi mahasiswa akan terinspirasi dan mengikuti jejak produktif dan kreatif yang dicontohkan oleh para dosen.

Adapun bagaimana pemaknaan hikmah dan inspirasi dari tulisan-tulisan dalam buku ini banyak bergantung pada siapa pemakna dan bagaimana cara memaknainya. Lebih lanjut, bagaimana hikmah dan inspirasi itu kelak akan mengembang-biakkan dan menebarkan virus-virus hikmah dan inspirasi baru adalah harapan besar yang saya titipkan kepada pembaca budiman.

Untuk semua itu, saya berterima kasih kepada Wakil Rektor 1 Bidang Akademik Dr. Yuni Sri Rahayu yang telah memfasilitasi penerbitan himpunan tulisan ini. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Slamet Setiawan, Ph.D., dan para penulis yang telah berkontribusi tulisan untuk buku ini.

Akhir kata, mudah-mudahan buku ini menemukan tempatnya yang tepat dan subur di hati pembaca se-hingga ia akan tumbuh dan berkembang menjadi tulisan-tulisan yang inspiratif di masa depan. Hanya dengan demikianlah harapan besar penyusunan buku ini mene-mukan jawabannya.*

*Artikel ini adalah kata pengantar editor untuk buku “Gegar Budaya: Menabur Hikmah Merajut Makna.” (Surabaya: Unesa University Press, 2016). Terima kasih disampaikan kepada para penulis buku dan penerbit.

MEMBANGUN RUANG UNTUK BERKARYA DAN BERBAGI

Buku karya Dwi Arianti, M.Pd.

Oleh: MUCH. KHOIRI

Dalam pengantar kumpulan cerpennya Malam Terakhir (2017), sastrawan Leila S. Chudori mengaku bahwa seorang penulis membutuhkan sebuah ruang, baik ruang fisik maupun ruang imajinatif. Bahkan, baginya, penulis perempuan membutuhkan ruang yang lebih besar, lebih kukuh dan pribadi untuk membuat sebuah karya yang jujur dan bercahaya.

Di luar ruang khusus tersebut, Leila S. Chudori tentu terlibat di dalam ruang-ruang yang mengikatnya, semisal tugasnya sebagai jurnalis dan ibu rumah tangga, serta tugas-tugas lain di luar kendalinya. Pembatas-pembatas inilah yang sejatinya "menyiksa" dirinya sehingga memaksanya untuk menciptakan ruang baru. Dengan ruang baru itu, Leila S. Chudori berkarya dan berbagi untuk pembacanya.

Demikian pula yang dihayati oleh penulis kumpulan cerpen ini (Karena Jarang Goyang, 2018), Ryanti Corliss alias Dwi Arianti, entah disadari atau tidak. Di tengah kesibukannya sebagai guru dan ibu bagi dua anaknya, dia juga membutuhkan ruang pribadi dan imajinatif untuk berkarya dan berbagi. Tidak cukup rasanya berbagi hanya lewat lisan dan medium pembelajaran di kelas, yang terasa seperti pembatas bagi ruang geraknya. Maka, lewat menulis cerpenlah dia merasa lebih bebas menyampaikan suaranya.

Kelahiran tujuh-belas cerpen dalam kumpulan ini adalah buah ekspresi penulis dari ruang khusus yang dimilikinya. Ada perjuangan dan pengorbanan yang telah dipertaruhkan dalam rangkaian prosesnya. Sebagai buah kreativitas, cerpen-cerpen yang ada beragam temanya, laksana pelangi di rintik hujan, namun tak terlepas dari tema induknya, yakni hakikat cinta dan pernik-perniknya. Mungkin tak disadari, penulis sedang menebarkan quiz untuk memahami cinta dengan apa adanya.

Meski demikian, tak dimungkiri, selain sebuah ekspresi, menulis hakikatnya juga sebuah komunikasi. Dalam perspektif ini, penulis kumpulan cerpen ini sejatinya ingin mengkomunikasikan suaranya, aspirasinya, tentang tema yang dimaksud, dengan caranya sendiri. Bagaimanapun, cerpen, sebagai sebuah karya sastra, diciptakan untuk memanggul fungsi ganda: dulce et utile (keindahan dan kemanfaatan).

Adapun bagaimana dulce, nilai keindahan atau estetika, dimainkan pada cerpen-cerpen dalam buku ini, saya tidak membahasnya secara khusus. Saya persilakan pembaca menikmatinya sendiri, dan memberikan penafsiran masing-masing. Sebaliknya, saya lebih tertarik untuk sekilas menyinggung dimensi utile-nya, kemanfaatannya, bagi pembaca, termasuk orang-orang di sekitar penulis.

Dalam konteks ini, menulis cerpen bagi penulis adalah upaya untuk menebarkan amanat atau pesan kepada pembaca. Sementara, cerpen, sebagai karya sastra, terbuka bagi penafsiran siapapun juga. Karena cerpen terbuka bagi aneka penafsiran, dan penulis berhasrat menyampaikan amanat tertentu, termasuk tentang cinta, maka pilihan penulis untuk menggunakan cerpen sebagai medium ekspresi tepat adanya. Dengan cerpen, amanat bukanlah doktrin, melainkan sebuah entitas sumber penafsiran. Penulis memposisikan diri sebagai teman berbagi bagi pembaca. Sementara, pembaca adalah subjek yang aktif dan bebas dalam penafsiran.

Untuk itu, penulis mengedepankan sebuah keteladanan alih-alih memberikan doktrin atau ceramah. Keteladanan inilah yang bisa ditangkap dari upaya penulis dalam penyusunan buku ini. Keteladanan bukan hanya diucapkan dan diperintahkan, melainkan perlu dipraktikkan dan diwujudkan dengan sungguh-sungguh. Penulis telah memberikan teladan bahwa untuk menanamkan pemahaman tentang cinta, cerpen bisa digunakan sebagai medium. Sebuah teladan pula, bahwa untuk mengajak orang lain membaca dan menulis, dirinya sendiri harus sudah membaca dan menulis. Implisitnya, dia ingin mengajak orang lain menulis buku, karena dia juga telah menulis buku.

Penulis buku ini memang belum menjadi Leila S. Chudori. Baik kuantitas maupun kualitas bukunya belum bisa disandingkan pada posisi sejajar. Namun, jika Leila S. Chudori telah membangun ruang pribadi dan imajinatif untuk menciptakan karya-karyanya, dan penulis buku ini juga telah melakukan hal yang sama, maka apakah yang membedakannya? Intelektualitas dan kepekaan dalam berkarya. Inilah yang perlu dibayar lunas oleh penulis buku ini, agar berkarya sebagus karya Leila S. Chudori. Masalah hasilnya, itu hanya soal waktu.

Sebelum penutup, saya berikan ilustrasi Leila S. Chudori yang sangat menarik direnungkan: "Di rumah ini, di ruang-ruamg kedap suara ini, saya kembali  bertemu dengan huruf, kata yang kemudian lahir, tumbuh, dan kawin antar  satu sama lain, dan memilih bentuknya menjadi sebuah cerita. Ketika berhubungan dengan pembaca, maka terciptalah ruang baru yang pribadi. Cerita itu menjadi milik pembaca. Dan saya perlahan mundur ke belakang dan menghilang ke dalam ruang pribadi itu."

Nah, pertanyaannya, Andakah pembaca dengan ruang baru itu, yang siap menciptakan karya baru dan berbagi dengan pembaca berikutnya? Andakah pula yang siap menjadi penyangga kontinuitas pengetahuan yang mencerahkan dan menginspirasi bagi anak-anak bangsa? Silakan jawab pertanyaan ini dengan hati yang lapang.[]

*Much. Khoiri adalah penggerak literasi, trainer, editor, dan penulis 42 buku dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa). 

Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts