Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Thursday, July 16, 2020

Masa Pemulihan (2): ADAPTASI MAMIN DAN KEBIASAN SEHAT

Sumber gambar: Dokumen pribadi

Oleh: MUCH. KHOIRI

MASIH dalam rangka adaptasi di masa pemulihan, inilah program adaptasi saya dalam hal makanan-minuman (mamin) dan kebiasaan sehat. Program ini bukan tanpa maksud. Ibarat mobil, semua itu dijalani agar mesinnya beres dan bisa bekerja normal kembali.

Tentang air hangat sudah saya sebutkan dalam tulisan sebelumnya, betapa ia wajib digunakan untuk mandi dan minum sehari-hari. Masih ada lagi, berkumur-kumur pun juga menggunakan air hangat. Berkat pembiasaan berhari-hari, ada kebiasaan baru yang melekati saya. Ada semacam budaya pribadi yang baru: Hidup bersahabat air hangat.

Kemudian, urusan makan. Jika ada sabda Rasulullah (lebih kurang berbunyi), “Makanlah ketika engkau lapar, dan sudahi sebelum kenyang”, saat inilah saya memengamalkannya. Kebiasan makan saat sakit saya, dengan makan berporsi sedikit, masih terbawa sampai kini. Maksimum sepertiga piring nasi putih—syukurlah kalau ketemu nasi merah atau hitam.

Itu menu untuk makan siang dan/atau petang. Untuk sarapan, saya mencoba oatmeal dan roti gandum; atau roti bakar dan omelet-roti. Bagaimana membuat omelet-roti, saya mengamati di youtube bagaimana sebuah keluarga PKL India membuat omelet-roti di sebuah sudut kota Mumbay. Saya coba, dan jreng-jreng: berhasil.

Lalu, guna menambah imunitas, saya minum wedang jahe hangat satu kali sehari. Adapun minuman utama sepanjang hari adalah air hangat tadi. Sekali tempo, saya manfaatkan temulawak dan kunir—diparut dan dimasukkan ke dalam gelas untuk ditambah madu, kemudian diminum. Saat ini, susu belum cocok, terlalu keras untuk lambung saya! Saya tunggu hingga waktu yang indah itu tiba.

Saya pecinta sayur-mayur. Dengan hadirnya sakit kemarin, ada banyak sayur-mayur yang harus saya pantangi. “Puasa dan puasa!” gumam saya. Jadilah jenis sayur-mayur pun jadi terbatas bagi saya. Maka, dalam daftar menu harian, saya cantumkan sayur-mayur yang sarat seratnya: brokoli, buncis, asparagus, kentang, mentimun, sayur hijau (kangkung, gambas). Dan syukurlah, lidah saya kini mulai terbiasa.

Sementara itu, untuk lauk, saya masih boleh mengonsumsi daging rendah lemak: ayam (kampung), kalkun, ikan, dan produk laut rendah lemak—dan semua bagus jika dibakar, dipanggang, atau direbus. Di luar itu, sementara ini, daging merah semacam daging sapi atau kambing saya jauhi. Pernah saya coba, saya jadi oleng: kepala langsung pusing berat seperti migran. “Begitulah, namanya adaptasi.”

Sebagai tambahan, saya perlu asupan buah. Ini saya harus memilah dan memilih buah mana yang aman. Saya catat, buah yang cocok (nonsitrus) meliputi: alpukat, melon, pisang, apel, pir, persik. Dimakan langsung atau di-jus satu kali sehari. Sementara, buah-buah yang potensial gas atau rasa masam, semisal manga, jeruk, saya harus menjauhinya. Durian? Istirahat sajalah dulu.

Tentu saja, saya juga wajib membiasakan perilaku sehat. Saya wajib hindari makan yang berlebihan, kurangi berat badan, hindari makanan berlemak, cokelat, kopi, alkohol, makanan pedas, makanan masam, bersantan, soda, dan tomat.

Yang berat itu menghindari makanan pedas dan bersantan! Saya penyuka sayur lodeh yang bersantan dan pedas—bahkan kerap ikan pun saya masak ala sayur lodeh. Tidak pedas amat sih, tapi harus ada pedasnya. Nah, sekarang, semua ini stop dulu. Andaikata makan ikan bakar pun, ya dengan bumbu yang tanpa cabai.  

Selain itu, dalam praktiknya, saya juga harus mengatur makan sedikit-sedikit, 3-4 kali sehari (atau kurangi pula frekwensinya, misalnya 2 kali dengan porsi 1/3 dari biasanya). Saya juga harus makan secara perlahan, tak perlu segesa-gesa, agar makanan terkunyah sempurna. Terpenting lagi, saya tidak boleh makan sebelum tidur (maksimum 2-3 jam sebelum tidur).

Lebih dari itu, saya wajib tidak merokok dan berbaring setelah makan. Syukurlah saya sudah lama tidak merokok (teringat artikel saya “Pengalaman Berhenti Merokok” dalam buku saya Jejak Budaya Merentas Peradaban, 2014). Untuk tidak berbaring setelah makan, inilah yang harus dilatih keras; sebab, kemarin-kemarin selama sakit saya lebih banyak terbaring di tempat tidur.

Namun, jika sudah waktunya, tidurlah saya dengan cukup (“nyaman”: 5-6 jam). Ini nasihat diri untuk saya sendiri. Mengapa saya tegaskan? Sebab, saya sendiri jarang tidur selama 6 jam dalam sehari semalam—selama ini saya tidur sekitar 4 jam. Karena itu, tidur 6 jam itu juga masih saya latihkan. Tidak mudah, sebab karena usia, saya lebih sering bangun di malam hari. (Barangkali, ini pertanda saya harus lebih rajin shalat malam.)

Posisi tidur pun perlu mengikuti kebiasaan baru. Sebagaimana saran dokter, saya diminta untuk tidur dengan dada dan kepala lebih tinggi. Tentu, katanya, agar asam lambung tidak naik---sebab, jika sampai  naik, akibatnya bisa berabe. Sementara, agar lebih aman, jangan lakukan gerakan yang menekan perut (goyang, lompat). Lebih dari itu, saya kenakan pakaian yang longgar.

Begitulah, mamin dan kebiasaan sehat---sebagaimana dijelaskan di atas---yang sedang saya jalani. Namun, semua itu bergantung pada komitmen si pasien, dalam hal ini ya saya sendiri. Jika saya punya komitmen untuk mengamalkannya, “mesin” diri saya akan segera kembali sehat. Sebagai subjek, sayalah penentu yang mengendalikan keberhasilannya. Tentu, semua itu atas izin Allah.[]

Driyorejo, 15-16 Juli 2020

*Much. Khoiri adalah dosen dan penulis 42 buku dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Tulisan ini pendapat pribadi.

Tuesday, July 14, 2020

Masa Pemulihan (1): MENIKMATI ADAPTASI FISIK

Swafoto setelah gerak badan dan caring, Selasa 14-7-2020
(Sumber foto: Dokumen pribadi).

Oleh MUCH. KHOIRI

IBARAT mobil, saya baru saja turun mesin. Dibongkar lalu diletakkan bagai rongsokan, menunggu ditangani. Selama hampir dua bulan, pembongkar itu adalah sakit, beruntun, sejak ramadhan hari ke-10. Fisik saya tidak bisa berfungsi normal, lemah dan nyaris tak berguna. Singkatnya, secara fisik, seperti rongsokan itu.

Bagaimana akhirnya saya dikembalikan lagi seperti sekarang, bagaimana proses perakitannya, tidak akan saya kisahkan di sini ya---akan ada ruang dan waktu lain untuk membaginya [agar Anda penasaran, dan kita punya waktu ketemu lagi]. Sekarang, saya akan berkisah tentang masa pemulihan “mobil” saya ini, wabil-khusus tentang adaptasi fisik.

Adaptasi itu seperti orang pacaran, minimal pe-de-ka-te (pendekatan), dengan orang yang dicintai. Belajar memahami karakter baru, situasi baru, masalah baru, gejolak baru, dan seterusnya. Saya sendiri juga seperti manusia baru. Setelah memahami hal-hal baru, saya menyesuaikan dengan semuanya—agar saya kembali eksis sebagai manusia yang normal atau new normal!

Ini perlu perjuangan, kadang saya jatuh bangun dibuatnya.

Pertama, air hangat. Saya harus membiasakan diri mandi air hangat setiap kali mandi. Ini membongkar kebiasaan lama saya, yakni mandi dengan air segar biasa (setengah dingin), yang menyegarkan. Ada semacam kehilangan kenikmatan tersendiri karena berubah ke kebiasaan mandi air hangat.

Sekarang, kapan pun mandinya, tak peduli cuaca gerah, pokoknya saya wajib ‘ain menggunakan air hangat. Pernah melanggar, akibatnya, badan meriang! Sudah pernah saya punya pengalaman. Semua pakai air hangat, kecuali pas cuci tangan (protokol kesehatan) dan berwudlu (beberapa kali sehari untuk selalu jaga wudlu).

Demikian pun minum. Minum air hangat, dua gelas menjelang subuh—minumnya sih sebuah kebiasaan, namun ‘hangatnya’ ini baru sekarang. Dan minum air hangat mendominasi konsumsi air dalam tubuh sehari-hari—untuk sementara, saya pantang mimum kopi (mana tahan?). Susu atau teh saja harus yang tipis-tipis. Sekali lagi, semua harus hangat. Jika dilanggar, perut bisa mual.

Masalah makan, saya juga harus berjuang. Saya membuat daftar jenis makanan yang boleh dikonsumsi agar aman bagi tubuh. (Rinciannya akan saya tuangkan dalam tulisan lain, insyaa Allah.) Otomatis, banyak bahan makan yang semula aman bagi saya, kini harus saya hindari. Sambal, misalnya, itu menu pendamping makan favorit saya setiap kali makan; sekarang, no way, saya harus stop sama sekali. Bayangkan, bagaimana rasanya pecinta sambal yang berpisah dengannya?

Untuk melatih fisik, sebelum berjemur pagi (sesuai himbauan dokter), saya melatih diri dengan berjalan kaki. Ini bertahap, pertama saya jalan kaki pelan-pelan hanya 100 m PP (pergi-pulang), kemudian naik 250 m PP, kemudian 1000 m PP. Sekarang, saya sudah mulai terbiasa jalan kaki 1000-1500 m PP, setelah itu saya berjemur 30 menit. Rencananya, kalau sudah cukup kuat, saya akan berlatih gowes (naik sepeda) lagi. Sudah kangen.

Jangan tanyakan kerja secara normal. Ini sering ditanyakan para sahabat di mana pun berada. Jawaban saya sama: “Alhamdulillah, saya mulai beraktivitas.” Kata “mulai” di sini ya mengacu ke masa adaptasi tadi. Masih latihan. Kalau baca buku-buku agama, buku filsafat, buku sastra, atau menyimak pengajian di youtube, masih kuat. Namun, kalau disuruh membaca buku-buku teoretik, apalagi bekerja keras, nanti dulu. Kepala langsung cekot-cekot, dan itu tandanya saya harus istirahat.

Untuk aktivitas produktif, saya benar-benar harus melatih diri secara perlahan, tidak bisa memforsir diri. Butuh perjuangan untuk kembali ke keadaan semua. Jatuh bangun, ibaratnya, tak apa-apa. Saya sedang menghayati dan melaluinya. Saya akan kembali ke kebiasaan membaca setiap hari, menulis setiap hari, menjadi ayah yang baik dalam keluarga, dosen yang baik bagi mahasiswa, dan teman yang baik bagi para sahabat dan masyarakat.

Saya hanya yakin, adaptasi ini akan membuahkan hasil yang manis. Semua akan indah pada waktunya. Orang Barat bilang, “Every cloud has a silver lining.” Lebih dari itu, Allah meyakinkan saya dengan “Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” Dengan kata lain, setiap ada masalah, pastilah ada solusi dan jalannya. Tentu, atas izin Allah, badai akan berlalu.[]

Driyorejo, 14 Juli 2020

­*Much. Khoiri adalah dosen dan penulis buku dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Tulisan ini pendapat pribadi.

Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts