Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Saturday, January 23, 2021

Dulgemuk Berbagi (1): JALANI HIDUP DENGAN IKHLAS

 Oleh Much. Khoiri

“Kamu harus memahami hidup secara keseluruhan, bukan hanya satu bagian kecil saja. Itu sebabnya kamu harus membaca, itu sebabnya kamu harus memandangi langit, itu sebabnya kamu harus bernyanyi, menari, dan menulis puisi. Kamu harus mau menderita dan mengerti, karena semua itu adalah hidup.” (Quote of the Day, emcho)

Tatkala Dulgemuk duduk memandangi tanaman aglonema dan bunga-bunga gantung yang memenuhi teras rumahnya, kutipan tersebut telah menamparnya. Meski dia selama ini telah berupaya keras untuk menjadi manusia yang selalu berpasrah kepada Allah, kutipan Pak Dosen itu benar-benar membuat sesak napas. “Kamu harus memahami hidup secara keseluruhan, bukan hanya satu bagian kecil saja.” Berarti aku belum menerima hidup secara kaffah, bathin Dulgemuk.

Ya, Dulgemuk tertampar Pak Dosen karena belum ajeg membaca (dalam arti luas). Membaca diri sendiri, buku, surat kabar, majalah, hidup serta pengalaman manusia lain. Belum utuh (kaffah), masih amatiran. Karena belum rajin membaca, Dulgemuk merasa berdosa, sebab Iqra itu kewajiban membaca yang diturunkan Allah untuk ummat manusia. Membaca memperluas wawasan, menambah kedalaman pemahaman. Tamparan Pak Dosen wajib diikuti dengan tindak-lanjut; membaca tak bisa ditawar lagi.

Sumber gambar: Dokumen Pribadi


Memandangi langit menurut Pak Dosen di sini tentu bukan bermakna harafiah (literal, denotatif). Jika harafiah saja, Dulgemuk pastilah sering melihat langit, terlebih di musim hujan di masa pandemi begini. Dia kerap melihat langit tatkala mendung tak kunjung tersibak mentari, dan deras hujan sering hadir tiba-tiba. Di mata Dulgemuk, langit hanya hamparan teramat luas tak berbatas yang titik ufuk-ufuknya hanya bisa dilihat dari tempat ketinggian.

Pastilah itu mesti dimaknai secara konotatif. Memandangi langit, melihat langit, adalah membaca (iqra) terhadap keluasan dan ketinggian makhluk ciptaan Allah, yang begitu taat menjalankan amanah-Nya untuk menaungi bumi dari panasnya matahari. Dulgemuk harus membaca, mengkaji dan memahami bahwa ciptaan Allah saja begitu luar biasa, maka bagaimana Sang Maha Pencipta? Allahu Akbar, begitu kecil dan tak berdaya Dulgemuk saat ini.

Kemudian, “kamu harus bernyanyi, menari”. Ini juga bukan arti harafiah. Sebab, jika diharafiahkan, Dulgemuk juga ketawa sendiri, sebab selama ini dia hanya menyanyi di dalam kamar mandi—tak sekali pun menyanyi untuk pesta atau acara hiburan! Menari? Sama saja! Waktu dia kecil sih pernah main drama dan menari bersama di panggung perpisahan SD, namun setelah itu stop sudah. Terlebih, sejak dia berguru mengaji pada ustadz yang tidak suka seni, maka “minat” kecil menari Dulgemuk ikut amblas sudah.

Maka, Dulgemuk memaknai “bernyanyi dan menari” itu sebagai simbol kebahagiaan. Maksudnya, teriakkan ke dalam hati sanubari untuk selalu bahagia. Kebahagiaan penting, dan sejatinya ia sederhana wujudnya, yang penting bersumber dari hati. Bukan di puncak gunung atau di hamparan lembah. Maka, selalu bahagiakan hati, dengan membawa segala urusan kepada-Nya. Itu dzikir namanya. Alaa bidzikrillah tathma’innul quluub, berdzikir kepada Allah itu membuat hati tenang dan tenteram.

Tentang bahagia ini, Dulgemuk memang telah mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari—meski belum seutuhnya. Maklum, Dulgemuk juga manusia, sama dengan politisi, pejabat pemerintah, Pak Dosen, dan seluruh tetangga dan teman-temannya. Namun, tersenyum dan menebarkan senyum dan salam adalah bagian hidupnya selama ini. Senyum itu ibadah, apalagi menyenyumkan sesama. Orang-orang yang mengenalnya juga mengakuinya.

Tentu saja, ada bahagia, ada sedih. Bahagia harus disyukuri, kesedihan jangan dikeluhkan dan dicaci-maki. “Ambil hikmahnya saja,” batin Dulgemuk. Jika orang diuji dengan kesedihan, orang itu harus mengambil hikmahnya: bahwa ujian itu justru mendekatkan manusia kepada Allah. Dengan ujian sedih, dia akan banyak berdoa untuk memohon solusi bagi masalah yang dihadapinya. Jika pintar memetik hikmah, sedih dan bahagia itu tak jauh beda—semua ujian dari Allah.

Satu lagi, menulis puisi. Kalau ini sebenarnya tidak menampar Dulgemuk, justru mengapresiasinya. “Menulis puisi” di sini dimaknai sebagai menulis tentang kebaikan, keindahan, yang disebarkan kepada masyarakat—lewat berbagai media dan forum. Hobinya memang menulis, yakni menulis kebaikan, baik berupa artikel untuk media sosial maupun untuk blog, website Jalindo, dan buku-bukunya. Jadi, plong rasanya, Pak Dosen tidak mengulik-ulik hobinya ini.

Intinya, Dulgemuk, merasa bahwa ada kekurangan baginya dalam menjalani hidup ini. Kurang ikhlas menerima apa adanya. Dalam setahun, dia lebih lama sehatnya, namun kadang mengeluh ketika diuji dengan sakit meski hanya dua minggu atau satu bulan. Maunya sehat terus, maunya bahagia terus—itu egois namanya. Padahal seharusnya tidak begitu. Dulgemuk menyadarinya sekarang.

Tap pelak lagi, hidup harus dijalani dengan ikhlas dan ridha. Setelah merenung di beranda rumah yang penuh tanaman hias aglonema itu, Dulgemuk menegaskan keyakinannya di dalam hati: “Saya harus lebih ikhlas dan ridha menerima apa yang ditentukan Allah. Raadhiyatan mardhiyyah, saya ridha dulu, baru mengharapkan ridha-Nya. Ridha sedih-bahagia, dan selebihnya serahkan kepada-Nya.”[]

Kabede Gresik, 22-01-2021

*Much. Khoiri adalah dosen Sastra/Kajian Budaya/Creative Writing, penggerak literasi, blogger, dan penulis buku dari Jalindo dan Unesa Surabaya. Tulisan ini pendapat pribadi.

Thursday, January 21, 2021

WANITA, TAS, DAN IDENTITAS

Oleh MUCH. KHOIRI (Dosen Sastra/Kajian Budaya/Creative Writing, penggerak literasi, blogger, penulis buku dari Unesa Surabaya)


Inilah saatnya saya mengajak Anda untuk menelisik adakah hubungan tertentu antara wanita, tas, dan identitas? Tidak diragukan lagi: Ada! Wanita sangat dekat tak terpisahkan dengan tas, sementara tas itu merepresentasikan identitas pemakainya.

Saking dekatnya, di mana ada wanita, di situ pula ada tasnya. Dalam perspektif Eksistensialisme, kehadiran tas itu membuat wanita eksis alias ada. Ibaratnya, "Aku pakai tas ini, maka aku ada." Hampir tak pernah didapati wanita datang ke suatu acara tanpa terlihat tas di tangan. Apapun isinya, tas itu wajib 'ain adanya.

Sumber gambar: Grid.id

Lalu, bagaimana tas menunjukkan identitas pemakainya? Itu ketika individu pemakai dan komunitas (atau masyarakat) menganggap bahwa tas itu simbol prestise, sombol status, dan simbol gaya hidup. Saat membeli tas, seakan dia telah membeli prestise, status, dan simbol itu sendiri; sedangkan fungsi dasarnya diabaikan dan tidak penting lagi.

Simbol-simbol prestise, status, dan gaya hidup bertebaran di mal-mal atau pasar modern. Mal sendiri simbol modernitas. Karena itu, marketer memasang aitem-aitem nya di mal dan bukan di pasar tradisional. Mereka paham, kastamer kelas sosial tertentu akan berbelanja tas di pasar yang "pantas" dan "pas" guna memuaskan hasrat konsumtifnya. Malu dong harus menawar harga barang seperti terjadi  di pasar tradisional. Gak level, tau ga sih?

Dengan berbelanja tas di mal besar yang prestisius, wanita ini sedang mengidentifikasi diri pada identitas personal dan sosial sedang atau tinggi. Singkatnya, bukan orang sembarangan. Jika wanita itu mengenakan tas Hermes, dengan harga 1,5 milyar misalnya, dia menilai dirinya sebagai orang berduit dan wah. Orang lain  pun tidak mengecapnya miskin atau kampungan ketika dia mengenakan tas merek Louve Paris, London Berry, Alibi,Gatsuone, Lexalin, Philipe Jourdan, Leno, Dilvarrie, Gucci, dan masih banyak lagi.

Sebaliknya, jika ada wanita mengenakan tas non-branded, segera ketahuan bahwa dia bukan wanita yang cukup kaya dan punya selera. Selera juga bisa menjadi penanda status, bukan? Lalu, apakah reaksi sesama wanita yang hadir dalam acara di mana ada wanita berpenampilan sederhana dengan tas tangan yang "murahan"? Sssst! Jangan keras-keras. Mereka asyik menggosip, ngrasani atau menggunjingnya di belakang panggung. Tak jarang mereka melancarkan bullying.

Memang, secara spiritual sebaik-baik manusia di mata Tuhan karena takwanya, namun secara fisikal wanita bisa dianggap berharga karena berbagai kategori tas cukup mahal miliknya: dompet unik, clutches, tote bags, shoulder bag, hand bags, saling bags, backpacks, satchel bags, serta aitem lain. Yang tidak pakai barang branded, minggir sajalah sejenak.

Ingat, dalam komodifikasi budaya oleh industri budaya secara masif, plus dukungan media yang tanpa henti, si artifisial bisa lebih dipuja ketimbang alamiah, profan bisa lebih memikat ketimbang sakral, kecantikan fisik lebih dipilih ketimbang inner beauty, dan tas (kelihatan) bermerek ketimbang tas tembakan (produk industri rumah). Realitas semu berjaya laksana penguasa.

Maka, ke manakah kita perlu berguru lagi, untuk menjawab pertanyaan: setelah kepuasan tercapai dengan terpenuhinya hasrat memakai tas branded, lalu keinginan apa lagi selanjutnya? Identitas apa lagi yang hendak diperjuangkan? Saya curiga, hasrat konsumtif ibarat minum air laut, semakin banyak meminumnya, manusia semakin kehausan, tanpa kepuasan di dalamnya.[]

Driyorejo, 20.01.1721

Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts