Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Monday, August 3, 2020

OJO NGGEGE MANGSA


Sumber gambar: Dok. Pribadi
Sumber gambar: Dok. Pribadi
Oleh: Much. Khoiri

MUNGKIN Anda pernah mendengar ungkapan Jawa yang berbunyi “ojo nggege mangsa”. Lebih-kurang artinya, jangan mempercepat waktu hadirnya suatu ketentuan hidup, jangan buru-buru melampaui waktu yang ditakdirkan Tuhan.    

Ungkapan itu bisa dimaknai sebagai jangan melawan ketentuan waktu, di luar kapasitas dan kemampuan. Semua akan indah pada waktunya, dan jangan terlalu ambisius untuk menyegerakan kehadirannya. Manusia wajib berusaha keras, memang, namun usaha manusia hanya sebatas kemampuannya. Selain itu, manusia yang memimpikan suatu keinginan tertentu, ia harus mengukur diri kapan dan bagaimana ia mencapainya. Sebab, manusia diuji dengan anugerah dan cobaan sesuai kemampuannya.

Misalnya, ada seorang karyawan yang bergaji lima juta rupiah sebulan. Seharusnya, jika ingin memiliki rumah, ia akan rajin menabung untuk membayar uang muka—baik dari sebagian gajinya maupun dari pemasukan tak terduga. Setelah beberapa waktu, ia bisa membayar uang muka. Sisa bulan dan tahun angsuran, ia jalani dengan perjuangan. Sebutlah, dalam 10 tahun ke depan, dia barulah melunasi pembayaran rumah itu; semua itu sesuai ukuran kemampuannya. Nah, inilah manusia yang “lumrah”, alamiah, dan tidak nggege mangsa.

Sementara, andaikata ia nggege mangsa, ia sangat ambisius dan akan melakukan apa pun agar memperoleh uang untuk membayar uang muka atau tunai. Ia memaksakan diri untuk melakukan sesuatu di luar ukuran kemampuannya. Ia lebih peduli untuk secepatnya menghuni rumah itu, meski sesungguhnya ia belum mampu membelinya. Memang sebuah keajaiban jika ia mampu mencapainya. Namun, matematika manusia tetap bisa dihitung. Nggege mangsa namanya tatkala ia yang bergaji lima juta rupiah memaksa diri untuk memilki rumah baru yang berharga ratusan juta atau milyaran rupiah dalam waktu singkat.

Bukan berarti bahwa berkembang secara alamiah itu buruk dan tanpa semangat. Namun, itu cerminan sikap tawakal manusia setelah ia melakukan berbagai upaya terkait dengan keinginan yang diharapkan. Sebaliknya, nggege mangsa adalah ambisi sebagai cerminan nafsu. Ada semacam nafsu serakah yang harus terpuaskan dengan segera dan instan, tanpa mengukur kemampuan diri. Mungkin saja upayanya berhasil, namun kegagalannya justru akan lebih masuk akal.

Dalam dunia menulis pun, ungkapan ojo nggege mangsa juga relevan untuk dicamkan sebagai pelajaran diri. Maksudnya, jangan buru-buru dan menyegerakan waktu atau capaian yang seharusnya diikuti serangkaian prosesnya. Perlu dipahami bahwa kenikmatan (belajar) menulis bukan semata hasil menulis berupa tulisan-tulisan yang diinginkan, melainkan juga proses menulis itu sendiri. Menulis, ojo nggege mangsa.

Adakah orang yang suka nggege mangsa dalam (belajar) menulis. Kayaknya ada, namun saya tidak perlu menunjuk hidung. Sebagai ilustrasi saja, dalam pelatihan menulis, ada orang yang begitu menggebu untuk cepat menghasilkan buku karya sendiri, padahal dia belum pernah suka menulis. Ketika ditanya, dia belum tahu bagaimana membuat outline buku, bagaimana membuat prakata, bagian-bagian dalam outline buku, mengorganisasikan gagasan ke dalam paragraf, menyusun bab dan subbab, menggunakan bahasa efektif, dan seterusnya. Singkatnya, ia sedang meksa! Ia-lah suatu contoh orang yang nggege mangsa dalam menulis.

Kasus lain, orang nggege mangsa jika ia ambisius menerbitkan buku mandiri sebelum ia ikut menyusun antologi atau sebelum ia mampu menyusun artikel-artikel yang bagus. Ia juga nggege mangsa jika ia menulis ngebut (speed writing) tatkala tulisannya masih sangat kacau alias belum mahir. Lebih parah, ia nggege mangsa tatkala menerbitkan tulisan di medsos atau website sebelum ia melakukan swasunting. Ia seperti dikejar-kejar bayangan keberhasilan instan. Juga sebuah nggege mangsa jika penulis pemula berharap meraup royalti besar dari buku pertamanya.

Agaknya, sikap nggege mangsa tidak banyak manfaatnya, lebih banyak mendatangkan mudharat (kerugian). Sikap demikian memanjakan ambisi yang penuh nafsu. Dalam sebuah hikmahnya pada buku Al-Hikam, Ibn Athaillah menyebut, bahwa tidak menerima ketentuan Tuhan dalam berbagai aspek kehidupan adalah kebodohan, yakni kebodohan tidak menerima takdir Tuhan. Maka, mudah-mudahan kita tidak suka nggege mangsa, dan bersedia mengikuti proses dengan upaya keras dan tawakal.

Tentu saja, konteks nggege mangsa sangat luas dan beragam. Karena itu, insyaallah saya akan membahas beberapa poin tersebut dalam tulisan mendatang. Meski demikian, karena seiring berjalannya waktu, poin-poin itu bisa saja berkembang, dan dengan demikian, tulisan-tulisannya mungkin juga akan berkembang. Jika Anda penasaran, Anda boleh menunggunya.[]


*Much. Khoiri adalah dosen, penggerak literasi, editor, dan penulis buku dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Tulisan ini pendapat pribadi.


Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts