Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Saturday, April 25, 2020

KOPI HITAM NO, KOPI SUSU YES

Sumber gambar: Dok. Pribadi
Oleh: MUCH. KHOIRI

SATU LAGI kenikmatan hidup dicabut oleh Allah dari diri Dulgemuk selepas usia separuh abad. Ya, satu lagi. Lainnya apa, tak perlu disebutkan di sini. Saya hanya mengupas singkat tentang dicabutnya kenikmatan minum kopi murni hitam. Sekarang ini berlakulah baginya: "kopi murni hitam no, kopi susu yes."

Sungguh, soal nikmatnya kopi, jangan ditanya. Bagi pecinta kopi, minum kopi adalah kebutuhan primer, sejalan dengan makanan pokok. Tanpa kopi, hidup terasa hampa dan tidak bergairah. Kopi menjadi darah daging bagi para pecintanya. Bahkan seakan kopi adalah napas mereka. Lebih baik tidak makan daripada tidak ngopi. Terlebih jika kopinya serasa kupu-kupu.

Tentang nikmatnya kopi pernah dirasakan Dulgemuk. Dia telah mencicipi aneka rasa kopi dengan aneka rasa dan aneka efeknya: mulai kopi murni semacam Robusta dan kawan-kawan (yang tersaji di coffee shop) hingga kopi beras (yang tersaji di warung kopi pinggir jalan). Minum kopi pun ada kisah petualangannya. Favoritnya, tentu, kopi murni yang disuguhkan Yu Tun yang legit dan khas--serta menimbulkan kerinduan.

Sayangnya, saat ini dia harus menjatuhkan talak pada kopi hitam. Mengapa? Kemarin sore, setelah minum kopi murni hitam, sontak kepalanya pening berat tak tertahankan. Jika pada hari atau minggu sebelumnya dia merasakan pening sedikit, kemarin sore rasa pening itu sangat dahsyat. Di samping itu, perutnya menjadi mual yang serius. Rasanya ada yang salah dengan lambungnya.

Bergegaslah Dulgemuk menemui dokter keluarga. Setelah cek sana-sini, dia memdapat warning untuk tidak meminum kopi hitam murni. Lambungnya telah menolaknya. Dulgemuk sadar, dia tidak lagi muda, alias sudah tua untuk berkopi ria. Organ-organ tubuhnya sebagian sudah dol alias aus dimakan usia. Organ-organ ini tak berfungsi dengan normal. Wajar kiranya jika terjadi kesalahan(error) di sana-sini.

Maka, dia memutuskan untuk mengonsumsi kopi susu atau kopi krimer. Kopi jenis ini "lebih bersahabat" alias berterima dari pada Robusta dkk. Setidaknya Dulgemuk tidak mual dan pusing seketika selepas minum kopi susu. Jadi alarm-nya sederhana, apakah mual dan pusing menyerang setelah minum kopi. Nah, karena dia baik-baik saja, kopi susu atau kopi krimer jadi pilihan yang tepat baginya.

Untuk semua sahabat yang masih tetap setia dengan kopi murni hitam, Dulgemuk sangat menghormati mereka dalam-dalam. Hidup adalah pilihan. Keputusan Dulgemuk ini hanya berlaku baginya, bukan untuk orang lain, bukan pula untuk warung kopi atau coffee shop. Semua ini semata demi kesehatan Dulgemuk.

Maka, mulai saat ini Dulgemuk tidak perlu resah lagi. Masih ada peluang baginya untuk minum kopi, meski itu bukan kopi murni. Tiada kopi hitam, kopi susu pun berguna. Ada sebuah pelajaran hidup untuk menerima takdir apa adanya. Di situlah Dulgemuk menemukan perlunya rasa syukur yang mendalam. Maka, dalam hati dia berbisik: "Nikmat dari Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" Syukuri apa adanya; hidup adalah anugerah.*[]

*Much. Khoiri: penggerak literasi, dosen, editor, dan penulis buku. 

Friday, April 24, 2020

MAMIN-HIDUP SEHAT


Sumber gambar: Dok. Pribadi
Oleh: Much. Khoiri
Pak Suwardi--seorang provokator kesehatan dan kebugaran-- memposting video tentang kondisi usus manusia, mulai usus sehat hingga usus sakit. Begitu rinci tayangan video itu, sehingga bisa diamati dan dijadikan bahan renungan: apakah usus kita sehat atau sakit?

Melihat usus yang sehat dan bersih, saya begitu senang. Namun, saat melihat usus orang yang suka makan-minum segalanya, miris rasanya: tampak kotor dan menjijikkan. Apalagi usus orang yang sakit kolesterol, obesitas, dan sejenisnya, saya hanya mengelus dada. Video itu bahkan menggetarkan.

Kondisi usus tentu banyak berkaitan dengan konsumsi makanan-minuman (mamin). Apakah mamin kita ngawur--begitu istilah P Wardi--ataukah sehat? Mamin sehat bukan hanya bersih, melainkan juga apa kandungannya dan berapa kadarnya.

Mamin sehat adalah mamin yang sehat dan menyehatkan. Daging sehat dan menyehatkan bila jumlahnya secukupnya. Jika berlebihan, ia akan tidak menyehatkan karena tertimbun menjadi lemak. Sementara, mamin tidak sehat (minuman keras, misalnya) pastilah tidak menyehatkan.

Di samping itu, jumlah kalori standar juga menjadi ukuran sehat-tidaknya mamin sehat. Mamin sehat yang melebihi kebutuhan kalori standar (angka ajaib), juga tidak menyehatkan. Kelebihan kalori, jika tidak dibakar dengan olahraga cukup, hanya akan menumpul lemak.

Mari kita perhatikan mamin kita masing-masing. Mulai pagi hingga malam. Yang maminnya masih ngawur, mari bertobat: stop mamin ngawur dan ganti ke mamin sehat. Yang maminnya belum ngawur, mari jaga dan pertahankan sampai mati. Apa yang kita makan-minum sangat mempengaruhi kesehatan kita.

Berbagai macam penyakit, selain karena pikiran mendalam dan luka, juga disebabkan oleh ngawurnya mamin kita. Karena itu, agar badan kembali sehat, kita harus kembali menyantap mamin sehat. Satu lagi: secukupnya alias berlebihan.

Sudah diingatkan dalam agama, makanlah, namun jangan berlebihan. Di sini ada makna, selain mamin itu sehat, juga secukupnya saja. Bahkan, akan lebih bagus jika makan ketika lapar dan sudahi sebelum kenyang. Begitu implisit sabda Nabi SAW.

Sungguh, lambung dan usus kita hanya memerlukan mamin yang sehat, menyehatkan, dan secukupnya. Bukan yang ngawur, meskipun terasa lezat di lidah. Sekali lagi: sehat, menyehatkan, dan secukupnya.*

*Much. Khoiri adalah penggerak literasi, dosen, dan penulis buku dari Unesa Surabaya. Tulisan ini pendapat pribadi.



Thursday, April 23, 2020

Utang Menulis Buku Pun Wajib Dibayar

Sumber gambar: Dok. Pribadi

Oleh MUCH. KHOIRI

Di awal tahun 2020 ini saya punya utang menulis buku yang harus saya bayar. Dalam setiap waktu luang saya berniat kuat harus membayarnya. Ini sedang saya tunaikan sekarang, tanpa ditunda-tunda. Mau kapan lagi?

Mengapa utang menulis buku dan mengapa saya harus segera membayarnya? Bukankah ini masih suasana liburan yang sepatutnya waktu diberikan untuk keluarga dan  handai taulan?

Utang uang dibayar dengan uang, utang menulis buku harus dibayar dengan menulis buku. Utang pada siapa? Utang pada diri sendiri. Ya, saya berutang menulis dua-tiga buku pada diri sendiri karena tahun 2019 saya tidak sempat merampungkan penulisan dan penerbitan buku pada waktu yang seharusnya. Waktu dan tenaga habis untuk kegiatan kerja (terutama di kehumasan), urusan dengan mitra, dan kebersamaan dengan keluarga.

Memang saya telah berkomitmen menulis setiap hari. Jika sehari saja saya tidak menulis, karena alasan sangat kuat sekali pun, maka itu jadi utang yang harus saya bayar esoknya atau lusanya. Jika 3 hari saya tidak menulis, maka pada hari ke-4 saya harus menulis 4 artikel sekaligus. Begitu seterusnya. Maka, karena tahun 2019 saya mentargetkan menerbitkan dua-tiga buku, dan itu tidak terlaksana, maka itulah utang yang harus saya bayar.

Sungguh, tahun 2019, saya tidak bisa menerbitkan buku karena saya bertugas di kehumasan, sebuah tugas yang sangat menyita waktu, perhatian, energi. Akibatnya, saya hampir "meliburkan" diri dari profesi tambahan saya sebagai penulis—kecuali tugas-tugas penulis (buku) yang memang terkait dengan tugas kedinasan.

Memang, tahun 2019 itu saya memimpin tim untuk menulis buku Inilah Unesa 2019 (2019) dan Harapan Mahasiswa untuk Unesa (2019), namun itu bukan buku mandiri saya. Saya juga mengeditori buku empat guru, yakni Endang Suasaningdyah dengan buku Berani Menulis Artikel PTK (2019), Mas’ulah Merajut Hari Mengukir Mimpi (Mas’ulah, 2019), Yulistyawati Selaksa Asa Menjadi Nyata (2019), dan Wiwik Yulianti Jejak Memimpin Basalok (2020). Namun, sekali lagi, itu bukan buku karya saya.

Maka, tahun 2020 saya punya utang dua-tiga buah judul buku. Yang sekarang sedang proses penyusunan adalah buku Praktik Literasi Guru Penulis Bojonegoro, yang dijadwalkan akan terbit bulan Februari 2020. Lalu, saya merancang buku untuk hadiah ulangtahun saya, yakni buku Virus Emcho Melintas Batas Ruang Waktu dan SOS [Sapa Ora Sibuk]: Menulis dalam Kesibukan, edisi Revisi—keduanya terbit Maret 2020. Setelah itu, barulah saya akan menulis calon buku yang lain.

Di samping itu, setelah saya cermati, ternyata, saya masih punya utang materi untuk seminar dan pelatihan menulis. Pertama adalah materi dalam seminar “Menulis dan Menerbitkan Buku” di Wisma Guru PGRI Surabaya, tanggal 26 Januari 2020. Kedua, materi untuk bedah buku Membincang Literasi yang akan digelar di SMPN 1 Sidoarjo, tanggal 1 Februari 2020, atas undangan sahabat saya, Dr. Tirto Adi.

Ketiga, saya juga perlu menyiapkan materi untuk motivasi dan strategi menulis, atas undangan sahabat Dr. M Arfan Muammar, di Prodi PAI Unmuh Surabaya, tanggal 19 Februari 2020. Keempat, materi untuk workshop implementasi literasi dalam pembelajaran, di Wisma Guru PGRI Surabaya, tanggal 29 Februari 2020. Dan satu lagi, materi untuk pelatihan jurnalistik di MAN 2 Mojokerto, tanggal 7 Maret 2020.

Itu belum termasuk kewajiban saya menyetor menulis buku ke website Jalindo atau sejumlah grup menulis, semisal Sahabat Pena Kita (SPK),Asosiasi Guru Menulis (AGM), dan sebagainya. Kesibukan demi kesibukan seakan memenjara saya. Namun, begitulah, hidup memang harus sibuk. Tanpa kesibukan, manusia hanya subjek yang kehilangan makna kontekstualitasnya.

Maka, tidak ada pilihan: saya harus segera membayarnya. Kerja keras dan cerdas. Mengapa harus sekarang? Saya yakin, hari-hari ke depan saya tidaklah kosong alias menganggur, melainkan ditunggu sederet kesibukan yang juga harus dipuaskan, termasuk deretan inspirasi menulis yang juga harus dituangkan. "Sekarang atau tidak sama sekali!" teriak saya dalam hati.

Segala sesuatu ada haknya. Tugas ada haknya, berupa kewajiban untuk menunaikannya. Utang juga ada haknya, berupa kewajiban untuk membayarnya. Maka, saya harus membayar utang menulis buku segera, agar hubungan hak dan kewajiban di sini mencapai keseimbangan. Bukankah hidup ini mesti berada dalam keseimbangan yang purna?

Ini memang masih suasana liburan. Namun, utang tidaklah mengenal liburan atau hari aktif. Utang tetaplah utang pada tataran syar'i. Utang wajib dibayar, termasuk utang pada diri sendiri. Jika tidak terbayar, saya akan menanggung "dosa" yang berat. Maka, tiada pilihan lagi, saya harus memaksa diri untuk membayar utang buku pada diri sendiri ini.

Justru saya terus belajar mendidik diri, bahwa membayar utang pada diri sendiri itu sejatinya lebih berat dari pada menbayar utang pada orang lain. Utang semacam ini sering diabaikan orang, seakan dia tak merasa berutang, padahal utangnya banyak. Mendidik diri membayar utang pada diri sendiri juga harus saya biasakan. Di sana akan ada kenikmatan tersembunyi.

Maka, bismillah, Ya Allah, saya memohon limpahan kekuatan dan ilmu untuk membayar utang-utang menulis buku saya. Saya juga mohon Allah memudahkan saya dalam urusan ini dalam rangka menjariyahkan sedikit ilmu dan kebaikan yang (Insyaallah) pahala-Mu mengalir setiap waktu.*

Gresik, 2 Januari 2020

#Dosen Unesa, penggerak literasi
#Trainer, editor, penulis 42 buku
#Blog-1: muchkhoiriunesa.blogspot.com
#Blog-2: muchkhoiri.gurusiana.id
#Web-1: jalindo.net
#Web-2:  sahabatpenakita.id
#FB:  much.khoiri.90
#IG-1: @much.khoiri
#IG-2: @emcho_bookstore




Prakata: Tiga Ranah Praktik Literasi*

Sumber gambar: Dok. Pribadi

Oleh MUCH. KHOIRI

Untuk memahami konsep praktik literasi, perlu kiranya kita menelisik dua konsep penting dalam New Literacy Studies (NLS) yang melihat literasi sebagai bagian dari praktik sosial secara luas. Dua konsep itu adalah praktik literasi (literacy practices) dan peristiwa literasi (literacy events).
Dalam studi literasi tentang tiga komunitas di South Carolina, AS, Shirley Heath (1983) (dalam Dewayani dan Retnaningdyah 2017: 10-12), mendefinisikan peristiwa literasi sebagai peristiwa apa pun di mana bentuk teks menjadi bagian dari interaksi peserta dan pemaknaan teks. Lebih sederhana lagi, istilah peristiwa literasi bisa dipahami sebagai peristiwa apa pun — yang bisa diamati — di mana produk tertulis dimungkinkan. Sementara itu, praktik literasi tidak hanya mencakup peristiwa yang bisa diamati tetapi juga nilai-nilai dan perilaku yang ditunjukkan oleh orang-orang yang terlibat dalam praktik literasi.
Dalam kalimat lain, dalam buku Situated Literacies, Barton, Hamilton & Ivanic (2000) menyatakan, praktik-praktik literasi adalah sebarang kegiatan yang dilakukan oleh orang-orang dalam kaitannya dengan literasi. Praktik-praktik literasi bisa diasumsikan sebagai sesuatu yang abstrak karena mereka mencakup "nilai, sikap, perasaan, dan relasi sosial." Sementara itu, peristiwa literasi adalah komponen-kompomen praktik sosial yang bisa dilihat dan diamati.
Dalam pengertian ini, Barton, Hamilton, dan Ivanic (2000) mengusulkan konsepsi penting untuk memahami literasi sebagai praktik sosial: (1) Literasi dimaksudkan sebagai serangkaian praktik sosial yang bisa dilacak dari berbagai peristiwa yang berkaitan dengan teks tertulis; (2) Ada berbagai bentuk literasi dalam berbagai aspek kehidupan; (3) Praktek literasi dibangun melalui institusi sosial dan hubungan kekuasaan. Beberapa praktik literasi lebih dominan dan berpengaruh daripada yang lain; (4) Praktik literasi memiliki tujuan tertentu dan terkait erat dengan tujuan sosial dan praktik budaya secara umum; (5) Literasi terjadi dalam konteks historis; dan (6) Praktik literasi terus berubah, dan bentuk-bentuk baru litrerasi secara teratur diperoleh melalui proses pembelajaran informal dan pembuatan makna.
Berdasarkan konsepsi tersebut, pembelajaran literasi terjadi lebih dekat pada model ideologis literasi daripada model literasi otonom. Street (1995) mengusulkan "model otonom" dan "model ideologis" literasi. Model otonom mengasumsikan literasi sebagai pengembangan kognitif: keterampilan atau seperangkat keterampilan yang dikembangkan oleh seorang individu, terlepas dari konteks sosial. Sementara itu, model ideologis adalah literasi kritis yang berakar pada agensi sosial yang melihat individu sebagai tertanam erat dalam konteks sosial dan budaya di mana praktik literasi memiliki makna (Lotherington 2007).
Pertanyaannya, apakah praktik  literasi dan pembelajaran literasi juga terjadi di negeri ini, serta mengacu pada konsepsi di atas? Literasi dewasa ini dipahami bukan hanya kemampuan melek aksara, melainkan lebih jauh lagi, termasuk melek informasi dan melek hidup. Literasi bukan hanya dipelajari, melainkan juga harus dipraktikkan. Sejak gerakan literasi nasional (GLN) dideklarasikan tahun 2016, ada tiga ranah gerakan literasi yang dijalankan, yakni gerakan literasi sekolah (GLS), gerakan literasi keluarga (GLK), gerakan literasi masyarakat (GLM). 
Dalam praktiknya, gerakan literasi sekolah (GLS)  dilaksanakan dengan mengintegrasikannya dengan kegiatan kurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Pelaksanaannya bisa dilakukan di dalam kelas atau di luar kelas yang didukung oleh orang tua dan masyarakat.
Gerakan literasi keluarga (GLK) dilaksanakan dalam bentuk penyediaan bahan bacaan keluarga, penguatan pemahaman tentang pentingnya literasi bagi keluarga, dan pelaksanaan kegiatan literasi bersama keluarga. Semua anggota keluarga bisa saling memberikan tauladan dalam melakukan literasi di dalam keluarga dengan berbagai macam variasi kegiatan.
Gerakan literasi masyarakat (GLM) dilaksanakan dalam bentuk penyediaan bahan bacaan yang beragam di ruang publik, penguatan fasilitator literasi masyarakat, perluasan akses terhadap sumber belajar, dan perluasan pelibatan publik dalam berbagai bentuk kegiatan literasi. (Retnaningdyah et.al. 2016).
Di beberapa daerah di negeri ini gerakan literasi dalam tiga ranah tersebut telah dilaksanakan dengan intensitas masing-masing. Ada daerah yang baru melaksanakan gerakan literasi sekolah, namun ada juga daerah yang telah mulai menjalankan ketiga ranah tersebut dengan baik. Surabaya termasuk salah satu kota yang telah menjadi pionir dalam menjalankan gerakan literasi tiga ranah itu.
Dengan demikian, guru, orangtua, dan masyarakat terlibat, langsung atau tidak langsung, dalam praktik dan pembelajaran literasi--tentu dengan model yang berbeda. Dalam ranah keluarga dan masyarakat, model ideologis amat boleh jadi lebih dominan ketimbang ranah sekolah. Pembelajaran literasi ranah sekolah cenderung bermodel onotom, yakni lebih mengedepankan pengembangan kognitif siswa: keterampilan atau seperangkat keterampilan yang dikembangkan oleh siswa, cenderung terlepas dari konteks sosial; meski dalam praktiknya, kegiatan-kegiatan "sosial" juga dilibatkan.
Karena pelaksanaan gerakan literasi nasional sangat beragam antara daerah satu dan daerah lain, beragam pulalah pengalaman para penggiat literasi (termasuk guru) dalam mengemban tugas literasi mereka. Menariknya, ada penggiat literasi yang memiliki kekayaan pengalaman menggerakkan literasi di sekolah, keluarga, dan masyarakat--mengingat ada di antara mereka yang juga terlibat langsung di dalamnya.  Yang lebih menarik, ada pula guru yang peduli untuk mengabadikan pengalaman praktik literasi mereka ke dalam tulisan.
Buku ini menghimpun tulisan-tulisan tentang praktik-praktik literasi berdasarkan pemahaman dan pengalaman penulisnya--tentu, dengan kapasitas dan gaya penulisan masing-masing. Mereka ingin berbagi praktik-praktik literasi lewat tulisan dengan pembaca. Mereka keluar dari zona nyaman yang biasanya melenakan sesama teman sejawat mereka. Mereka ingin berbeda. Tak dimungkiri, lewat tulisan, mereka sedang melakukan konstruksi identitas mereka sendiri, yakni identitas sebagai penulis. Lengkapnya, mereka akhirnya bisa menyandang status sebagai "guru penulis".
Barangkali tulisan-tulisan dalam buku ini hanya merupakan potret lanskap kecil dari hamparan praktik dan pembelajaran literasi di negeri ini. Di luar sana kiranya masih banyak lanskap luas yang perlu diabadikan. Ke depan, bahkan, lanskap itu akan makin kaya dengan beragam tanaman praktik literasi. Yang indah bukan banyaknya lanskap itu, melainkan itikad kuat para penulis dalam memotretnya. Kata Pramoedya Ananta Toer,  “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” 
Mudah-mudahan praktik-praktik literasi yang tertuang di dalam buku ini mampu memberikan hikmah dan inspirasi bagi pembaca sekalian. Bahkan, sangat diharapkan, hikmah dan inspirasi itu berkembang dan dikembangkan menjadi tulisan-tulisan yang kelak juga menawarkan hikmah dan inspirasi berantai. Dengan aras demikian, ditulisnya praktik-praktik literasi ini menemukan makna sesungguhnya.[]

*Artikel ini adalah prakata editor untuk buku Sri Sugiastuti dkk. berjudul “Pelangi Praktik Literasi: Antologi Praktik Lterasi 21 Penulis AGM” (Karanganyar, CV Pupa Media, 2019). Terima kasih disampaikan kepada para penulis buku dan penerbit. 
**Pesan buku, hubungi HP/WA: 081331450689 / 081233838789
#Dosen Unesa, penggerak literasi
#Trainer, editor, penulis 42 buku
#Blog-1: muchkhoiriunesa.blogspot.com
#Blog-2: muchkhoiri.gurusiana.id
#Web-1: jalindo.net
#Web-2:  sahabatpenakita.id
#FB:  much.khoiri.90
#IG-1: @much.khoiri
#IG-2: @emcho_bookstore


Wednesday, April 22, 2020

Penulis Sebagai Pencipta dan Penyebar Virus Literasi


Oleh Much. Khoiri

Inilah "rumah" kreatif kita, rumah virus literasi, komunitas yang kita cintai. Namun, mari maknai rumah di sini sebagai tempat hunian (home), bukan hanya bangunan rumah (house). Loh, memang apakah bedanya?

Hunian itu wujudnya bisa macam-macam---bisa gedung, gubuk reyot, ruang di bawah jembatan. Yang penting, penghuninya merasa nyaman dan kerasan di dalamnya. Di situ ada sumber kebahagiaan. Karena bahagia, penghuninya riang melakukan apa yang disukainya.

Sementara, rumah itu merujuk ke bentuk fisik bangunan. Ada rumah orang kota, ada rumah orang desa. Ada rumah cor, ada rumah gedhek, ada rumah triplek. Ada rumah khas orang Arab, orang Jawa, orang Eskimo, dan sebagainya. Bentuk rumah itu sejalan dengan nilai-nilai budaya setempat.

Orang membangun rumah, tentu agar menjadi tempat hunian, agar merasa kerasan, nyaman, dan bahagia di dalamnya. Namun, faktanya tidak selalu begitu. Rumah kadang sama sekali bukan serasa hunian, malah seperti neraka. Sebaliknya, 'rumah kardus' di bawah jembatan bisa jadi surga bagi penghuninya.

Maka, pada aras inilah kita perlu melihat komunitas WAG komunitas kita. Kita anggap WAG komunitas kita sebagai sebuah hunian yang menyamankan dan membahagiaan, dari mana kita menjadi kreatif dan produktif dalam berkarya, terutama bertekun dalam dunia literasi tulis-menulis.

Mari kita membuat diri nyaman di WAG komunitas ini. Lebih sering melihat grup, syukur-syukur memberi apresiasi dan krisan (kritik saran) kepada tulisan anggota keluarga sendiri. Syukur lagi kalau ajeg (istikamah) memposting tulisan sendiri, betapa pun tulisan itu sederhana. Jangan hanya jadi silent reader (membaca tapi tidak berani atau kurang berminat komen), apa lagi hanya terdaftar namanya di dalam keluarga.

Mari jadikan WAG komunitas ini hunian tempat kegiatan homeschooling berlangsung. Kita saling belajar, saling mendukung, untuk meningkatkan pengembangan diri dan kualitas tulisan. Mari posting tulisan agar memperoleh krisan; jangan tidak sama sekali. Jika tidak posting sama sekali, bagaimana anggota lain memberi krisan untuk peningkatan diri. Menulis dan memberi krisan tidak bisa hanya lewat angan-angan!

Mengapa kita harus mendidik diri dalam literasi (membaca dan) menulis di homeschooling WAG komunitas ini? Ya, sebagai (calon) penulis, kita adalah kreator (produsen) dan penyebar virus literasi kepada masyarakat. Virus literasi di sini merujuk kebiasaan membaca dan menulis, terutama dalam tataran praktiknya.

Pembudayaan literasi perlu keteladanan, dan di homeschooling ini kita mengasah diri untuk menjadi teladan. Karena itu, wajib bagi kita untuk mendidik diri untuk menjadi mahir membaca dan menulis, agar ke depan kita pantas dijadikan teladan. Jika kita rakus membaca dan gila menulis, amatlah mudah bagi kita mengajak orang lain untuk membaca dan menulis.

Maka, WAG komunitas ini perlu kita manfaatkan untuk mengkreasi dan berbagi karya tulis. Apa pun tulisan yang diminati, kita pasang: reportase oke, feature boleh, opini yes, catatan perjalanan siip, cerpen atau puisi silakan. Kalau dapat menguasai berbagai genre menulis, malah lebih bagus. Yang penting: menulis, menulis, dan menulis. Banyak menulis akan meningkatkan kuantitas dan kualitas sekaligus.

Lalu, tatkala tulisan (yang mengandung virus literasi) kita posting, kita sejatinya sedang menyebarkan virus-virus literasi kita. Tulisan melesat ke berbagai WAG, website, blog, facebook, dan media lain. Atau, tulisan itu mengendon ke dalam buku mandiri atau antologi, entah di sini entah di luar sana. Virus literasi akan menyebar secara halus ke puluhan, ratusan, atau jutaan pembaca.

Begitulah cara kerja virus literasi berlangsung. Ia menjangkiti pembaca tanpa disadari, dan akhirnya menghegemoni. Bahkan, virus literasi (misalnya gagasan tulisan atau teknik menulis) akan dicontoh, dikutip, dan dikembangkan menjadi tulisan baru. Adakah? Mari yakini, pastilah ada rekreator dari apa yang kita kreasikan. Hanya tinggal menunggu waktu.

Sekarang kita duduk di sini, menyaksikan bahwa kita belum optimal berperan dalam keluarga virus literasi kita ini. Mari renungkan, apakah kita siap menjariyahkan waktu-tenaga-pikiran untuk menjadi kreator dan penyebar virus literasi? Tak usah dijawab dengan kata-kata, cukup kita buktikan dengan tindakan nyata. Titik.[]

Driyorejo Gresik, 20/4/2020

#Dosen Unesa, penggerak literasi
#Trainer, editor, penulis 42 buku
#Blog-1: muchkhoiriunesa.blogspot.com
#Blog-2: muchkhoiri.gurusiana.id
#Web-1: jalindo.net
#Web-2:  sahabatpenakita.id
#FB:  much.khoiri.90
#IG-1: @much.khoiri
#IG-2: @emcho_bookstore


Tuesday, April 21, 2020

Prakata “Write or Die: Jangan Mati sebelum Menulis Buku”

Sumber gambar: Dok. Pribadi

Oleh: Much. Khoiri

Semasa perang para pejuang berteriak, “Merdeka atau Mati!”
Kini, hai pejuang literasi, ayo tekadkan, “Menulis atau Mati!”

SELAMAT DATANG di buku ini, sebuah buku yang bakal mengajak Anda untuk berniat dan bertekad mengamalkan ibadah menulis dengan semboyan “Menulis atau Mati!”, dan pada irisan waktu yang sama Anda juga menunaikan ibadah membaca. Selamat datang di taman pawiyatan literasi membaca dan menulis ini.
Pertama, saya akui bahwa buku ini saya kembangkan dari semboyan menulis yang saya tetapkan pada tahun baru 2014, yakni “Menulis atau Mati!” (write or die!). Di luar sepengetahuan saya, Scott Nicholson juga memberi judul bukunya yang sangat menggugah, ‘Write Good or Die: Survival Tips for the 21st Century”. Nicholson, dalam merampungkan bukunya, pastilah telah menerapkan semboyan yang kemudian mengejawantah menjadi judul buku tersebut. Ada kekuatan tak terkendalikan ketika sebuah semboyan bekerja mempengaruhi dan menguatkan seorang penulis.
Bagi saya sendiri, semboyan “Menulis atau Mati!” saya adaptasi dari semangat semboyan Arek-Arek Surabaya ketika mempertahankan negeri tercinta, yakni Merdeka atau Mati! Pada tahun 1945 perjuangan Arek-Arek Surabaya telah diperkuat dengan semboyan yang diteriakkan bertalu-talu lewat radio oleh Bung Tomo. Dan itu berhasil, tentu dengan izin Tuhan. Maka, semangat ini saya adaptasi menjadi “Menulis atau Mati!”. Dengan semboyan ini, saya berharap mewarisi semangat para pejuang dalam konteks berbeda, bukan dalam mengusir tentara Inggris, melainkan dalam menulis.
Selanjutnya, saya memberikan makna lebih pada semboyan “Menulis atau Mati!” itu, yakni kewajiban menulis. Dalam pemahaman saya terhadap firman Tuhan dalam QS. Al-‘Alaq: 1-5, menulis (uktub) itu sama wajibnya dengan membaca (iqra). Allah-lah yang mengajarkan (menulis) dengan pena. Mengapa wajib? Sebab, kewajiban membaca diperintahkan Tuhan agar manusia membaca sesuatu, yakni qalam. Sementara itu, qalam perlu disediakan dengan menulis (uktub). Meski membaca di sini bermakna luas, bukan sekadar teks tertulis, kehadiran qalam yang tertulis mutlak diperlukan untuk memuaskan pembaca. Maka, saya wajib menulis, sebagaimana saya juga wajib membaca. Sebagai sebuah kewajiban, menulis harus saya tunaikan. Terus terang, saya takut akibat dosa yang harus saya tanggung seandainya saya tidak menulis. Inilah hakikat semboyan yang telah menguatkan saya.
Kedua, marilah kita melihat hubungan tak terpisahkan antara membaca dan menulis. Keduanya merupakan unsur keterampilan literasi yang memengaruhi satu sama lain. Membaca itu keterampilan reseptif, dan menulis itu keterampilan produktif. Produk kegiatan menulis menjadi bahan untuk dibaca; dan hasil bacaan memungkinkan orang untuk menulis. Maka, kehadiran salah satu unsur mewajibkan kehadiran unsur yang lain.
Orang membaca karena ada sesuatu yang dibaca. Sesuatu yang dibaca itu adalah naskah atau teks yang berupa tulisan—berarti sesuatu yang telah ditulis. Kita diperintahkan membaca Kitab Suci, karena Kitab itu telah ditulis sebelumnya; dan membaca pun harus atas nama Tuhan. Dalam pengertian yang sederhana ini saja terbukti bahwa hubungan membaca dan menulis sangatlah dekat dan tak terpisahkan.
Jika ada perlambang bahwa manusia diperintahkan untuk “membaca ayat-ayat Tuhan yang tak tertulis”—berupa berbagai kondisi alam dan fenomena yang terjadi di sekeliling kita setiap hari—, kita juga bisa berdiri dalam posisi perlambang. Sangat boleh jadi Tuhan sengaja “menulis ayat-ayat-Nya” pada lembar-lembar hidup dan kehidupan manusia untuk dibaca dan dipelajari demi kemaslahatan. Ayat-ayat tak tertulis yang terhampar di atas bumi ini adalah buku-buku yang mesti kita baca untuk memahami makna dan memetik hikmahnya.
Praktisnya, ada hubungan sebab-akibat antara membaca dan menulis. Jika Anda mau menulis, Anda harus suka membaca, terutama bahan-bahan bacaan tentang apa yang akan Anda tulis. Jika Anda menulis tanpa membaca secara memadai, tulisan Anda akan miskin gagasan, data, dan informasi mutakhir.  Jika tulisan Anda miskin gagasan, data dan informasi mutakhir, Anda dipastikan tidak akan digemari (dan dirindukan) pembaca karena tulisan Anda kering, kaku, dan monoton.
Sejenak bukalah fakta menyedihkan tentang minat baca masyarakat kita yang rendah. Menurut Djaelani (2012), Human Development Report 2008/2009 menunjukkan, minat baca masyarakat Indonesia berada pada peringkat 96 dari negara di seluruh dunia. Kondisi ini sejajar dengan Bahrain, Malta, dan Suriname. Pada medio 2009 ada berita berdasarkan data yang dilansir Organisasi Pengembangan Kerja sama Ekonomi (OECD) bahwa budaya baca msyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur.
Dalam buku Sapa Ora Sibuk: Menulis dalam Kesibukan (2016), jujur saya prihatin menyimak hasil tes Program of International Student Assessment (PISA) 2012: Siswa Indonesia menempati ranking 64 dari 65 negara peserta dalam hal reading literacy (comprehension and habit). Sementara, hasil tes Progress of International Reading Literacy Study (PIRLS) 2011 : Ranking 42 dari 45 negara peserta, dengan skor 420 (di bawah standar minimal 500). Karena itu, seribu persen saya mendukung Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang sekarang sedang dijalankan Pemerintah, dengan program awal pentingnya ‘’15 Menit Membaca di Sekolah”.
Saya mengajak Anda untuk menggelorakan kebiasaan membaca, agar ranking di atas bisa diubah secara drastis. Memang perlu perjuangan yang habis-habisan, dan hal itu bukan suatu kemustahilan. Satu-dua dekade silam, Jerman dan Prancis termasuk bangsa yang literasinya sangat tinggi, sekarang posisi itu telah bergeser. Berikut ini urutan 10 negara paling literat di dunia: (1) Finland, (2) Norway, (3) Iceland, (4) Denmark, (5) Sweden, (6) Switzerland, (7) USA, (8) Germany, (9) Latvia, dan (10) Netherlands. Untuk mengejar ranking itu, memang tidak mudah, namun kita harus gigih memperjuangkannya.
Sementara itu, budaya menulis masyarakat kita masih jauh tertinggal dari budaya membaca, dan budaya membaca mereka juga jauh tertinggal dibandingkan masyarakat negeri-negeri maju. Masyarakat kita masih lebih suka sebagai konsumen buku atau tulisan daripada sebagai produsen. Meski seseorang suka membaca, misalnya, dia tidak serta-merta menuliskan (tentang atau terkait dengan) apa yang dibacanya. Maksudnya, budaya menulis belum membuahkan banyak hasil.  
Buktinya, jumlah buku yang dihasilkan sangat sedikit.  Menurut International Publisher Association (IPA) Kanada, Indonesia hanya mampu menerbitkan 5.000 judul/tahun, jauh lebih kecil dibandingkan dengan Jepang 65.000 judul/tahun, Jerman 80.000 judul/tahun, dan Inggris 100.000 judul/tahun. Dari 250.000 sekolah di Indonesia hanya 5% yang memiliki perpustakaan. Dengan kondisi demikian, bagaimana penanaman budaya membaca dapat diharapkan akan menuai keberhasilan?
Padahal, untuk membangun bangsa yang berbudaya menulis, dibutuhkan ribuan atau jutaan penulis. Inilah peluang dan tantangan untuk menjalani kewajiban menulis.  Hanya, untuk menekuninya, kita harus siap mengobarkan semboyan “Menulis atau Mati!”. Semboyan ini akan memberikan kekuatan motivatif kepada kita untuk senantiasa berproses dalam menulis atau mencurahkan segala tenaga, pikiran, dan energi ke dalam menulis. Mengapa semboyan itu pantas kita canangkan? Lalu, apakah sejatinya yang menyebabkan kita memutuskan untuk mencanangkan semboyan itu?
Kata kunci yang menggerakkan kita mencanangkan semboyan “Menulis atau Mati!” adalah impian yang berlandaskan kewajiban menulis. Dalam hal ini istilah “impian” mengacu pada cita-cita (dreams), tujuan hakiki dari suatu gerak hidup kita, atau target utama yang harus dicapai.  Impian tentu tidak identik dengan angan-angan kosong, sekadar keinginan atau harapan (wish). Impian menyimpan kekuatan jauh lebih kuat, dan daya motivatif yang dahsyat.
Ketika kita memiliki impian kuat biasanya impian itu menjadi obsesi, bahwa impian hidup kita haruslah terwujud; sebab jika tidak, kita mungkin tidak akan sanggup menanggung akibatnya.  Ada semacam kewajiban yang harus ditunaikan dalam mengejar impian itu; dan jika tidak menunaikan kewajiban itu kita akan merasa berdosa dan bersalah sepanjang masa.
Dalam sebuah puisinya “Dreams” yang inspiratif dan aspiratif, Langston Hughes, seorang penyair kulit hitam Afrika-Amerika, bertutur berikut ini:
Hold fast to dreams
For if dreams die
Life is a broken-winged bird
That cannot fly

Hold fast to dreams
For when dreams go
Life is a barren field
Frozen with snow

Menurut Hughes, tanpa impian, hidup adalah burung yang patah sayapnya yang tak kuasa terbang melanglang angkasa. Pun tanpa impian, hidup adalah ladang tandus yang membeku bersama salju. Dus, impian haruslah dipegang erat-erat, dirawat dan diwujudkan. Hanya dengan impian kuat, manusia memiliki arah hidup jelas dan selalu terdorong untuk “menghidupkan” hidup dan menjadi manusia sesungguhnya. Kualitas kehidupan yang sempurna dimulai dengan impian besar.
Ketiga, dalam buku ini akan dipaparkan 8 sumber impian yang mendasari kita bersemboyan “Menulis atau Mati!”: menulis sebagai kewajiban, menulis untuk melatih berpikir, menulis untuk penghidupan, menulis untuk perjuangan, menulis untuk personal branding, menulis untuk warisan, menulis untuk berbagi kebaikan, dan menulis membangun peradaban.
Bagaimana cara kerja sumber impian itu dalam diri kita? Menulis sebagai kewajiban, misalnya, menjadi sumber impian yang dahsyat. Selagi ia mengobsesi dalam diri kita, misalnya, ia akan menggerakkan kita menulis setiap saat yang kita inginkan. Jika tidak, kita akan merasa berdosa karena telah mengabaikan kewajiban. Kekuatan menunaikan kewajiban inilah yang mengejawantah menjadi kekuatan dahsyat sumber impian. Analogi yang sama berlaku untuk sumber-sumber impian yang lain.
Secara akumulatif, semboyan “Menulis atau Mati!” akan menjadi kekuatan tersendiri bagi pengamalnya. Menulis itu kewajiban; dan jika tidak ditunaikan, dosalah yang menjadi akibatnya. Ekstrimnya, jika tidak menunaikan kewajiban menulis, itu sama saja dengan memperpanjang daftar kesalahan dan dosa. Daripada menanggung akibat seberat ini, mati itu agaknya lebih terhormat. Maka, jika tidak ingin mati, menulis harus ditunaikan!
Semua itu akan dipaparkan di dalam buku ini. Bahkan, buku ini juga membahas tentang apa yang sebaiknya ditulis, agar tulisan langsung laris dalam pasar gagasan dan menginspirasi pembaca luas. Di sini tren dan kecenderungan selera pembaca dibincangkan. Di dalamnya juga disinggung tentang hakikat menulis sebagai ekspresi dan komunikasi dan sebagai seni. Bahkan, menulis itu hakikatnya menjual.
Pada bagian berikutnya, buku ini membeberkan ulasan khusus tentang keajaiban semboyan “Menulis atau Mati!”, terutama pengalaman penulis dalam menghasilkan buku. Saya berharap Anda memerik buah-buah keajaiban sebagaimana yang pernah saya alami, di antaranya terjaganya semangat dan stamina menulis, meningkatnya produktivitas dan kreativitas, serta terbukanya peluang meniti jalur writerpreneurship.
Lebih dari itu, buku ini akan berusaha menguatkan semangat pembaca untuk bertekad menulis, bahkan dengan persuasi yang mendesak dan menantang: menulis dari kata pertama. Di dalamnya disajikan tentang hakikat dari satu kata topik, ide kebetulan, pengembangan tulisan, sisipan humor dalam tulisan, ungkapan filosofis dalam tulisan, dan ars poetica penulis.
Mengingat menulis itu kewajiban yang begitu penting, guna melengkapi kewajiban membaca, di bagian akhir buku ini ada saran bagi pembaca untuk dilakukan guna meniti jalan menulis. Saran itu berbunyi: Ayo menulis setiap hari. Kemudian, sebagai epilog, ada sebuah catatan penting untuk direnungkan dan dicamkan secara mendalam: Jangan mati sebelum menulis buku.
Nah, sekarang silakan rileks sejenak, dan endapkan pemahaman Anda saat ini betapa pentingnya kewajiban menulis dalam hidup ini. Lalu, silakan endapkan lebih dalam lagi, guna menemukan mutiara semangat untuk menulis sebuah buku Anda sendiri. Setelah itu, silakan Anda mengikuti buku ini dengan membuka pikiran dan hati sebagaimana payung yang terbuka. Mari belajar dan berbagi bersama untuk kebaikan.[] 

Surabaya, 01 April 2017


#Dosen Unesa, penggerak literasi
#Trainer, editor, penulis 42 buku
#Blog-1: muchkhoiriunesa.blogspot.com
#Blog-2: muchkhoiri.gurusiana.id
#Website-1: jalindo.net
#Website-2:  sahabatpenakita.id
#Facebook:  much.khoiri.90
#Instagram-1: @much.khoiri

#Instagram-2: @emcho_bookstore
*Tulisan di atas diambil dari buku Much. Khoiri “Write or Die: Jangan Mati sebelum Menulis Buku” (Pagan Press, Lamongan, 2017), halaman 2-7.
**Pesan buku, hubungi HP/WA: 081331450689 / 081233838789


Monday, April 20, 2020

MENULIS, MEMBANGUN BUDAYA LITERASI, Sebuah Kata Pengantar

Sumber gambar: Dok Pribadi

Oleh Much. Khoiri

Dunia literasi di Indonesia saat ini mengalami perkembangan yang semakin pesat, setidaknya terdapat praktik-praktik literasi yang dinamis terjadi di lingkungan sekolah. Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang menjadi salah satu pokok muatan kurikulum pendidikan memberikan andil besar. Sinergitas dari berbagai pihak juga menggerakkan arus  literasi ke segala pelosok. Memang harus diakui bahwa menggalakkan literasi menjadi budaya butuh serangkaian perjuangan yang tidak ringan. Masih ada jalan panjang terbentang.
Pada saat kita membangun budaya literasi di segala lini secara bersamaan, masyarakat kita dikelilingi berbagai konten melalui media online dan media sosial. Akibatnya, ada kegagapan di antara sebagian besar masyarakat dalam memaknai gerakan (budaya) literasi. Pelajar dan guru pun mengonsumsi karya literasi melalui media online dan media sosial secara parsial. Akibatnya, karya tulis di media online yang tidak jelas sumbernya dianggap sebagai sumber kebenaran.
Sementara itu, tak dimungkiri, gerakan (budaya) literasi merupakan kebutuhan dan tuntutan yang mendesak untuk membangun dan meningkatkan martabat bangsa. Untuk itulah, gerakan kultural ini perlu dilakukan secara terus-menerus dan berkelanjutan guna menebarkan virus literasi.
Pada praksis pendidikan, menggerakkan budaya literasi merupakan langkah strategis. Ada berbagai pihak yang akhirnya terlibat langsung jika dimulai dari sekolah, yakni siswa, guru, orangtua, dan masyarakat. Gerakan literasi sekolah yang dimulai dengan membaca 15 menit sebelum pelajaran harus bergerak ke kemampuan literasi yang menghasilkan karya.
Dengankalimat lain, gerakan literasi perlu melewati tiga tahap yang dasariah, yakni pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran. Membaca 15 menit hanyalah gong awal kegiatan pembiasan, yang harus dilanjutkan dengan pengembangan dan pembelajaran. Pada tahap terakhir ini, hasil karya layak diharapkan dari para pembelajar literasi. Inilah tantangan yang harus dijawab secara nyata.
Guru sebagai katalisator harus memiliki inisiatif untuk menjadi role model (teladan) dalam literasi. Keteladanan itu jauh lebih berkekuatan daripada sekadar perintah atau larangan lisan. Mereka tidak hanya sebagai pengatur jadwal membaca, melainkan juga harus tergerak untuk menghasilkan karya tulis. Sebab, dengan karya yang dihasilkan, guru dapat menjadi inspirasi bagi murid.
Sayangnya, banyak guru yang identik dengan kegiatan tulis menulis, faktanya, masih berkesulitan dalam menghasilkan karya tulis berupa artikel, penelitian ilmiah, dan buku. Tuntutan karya tulis pada jenjang karir dan kepangkatan semakin dirasakan menjadi beban oleh sebagian besar guru. Sudah sangat banyak fakta guru kesulitan tidak mudah naik pangkat karena ketiadaan karya tulis.
Padahal keterampilan menulis bisa dipelajari dan dikuasai oleh siapa saja, lebih-lebih oleh profesi guru. Yang dibutuhkan hanyalah ketekunan untuk berlatih secara konsisten. Keterampilan perlu banyak praktik dan latihan, bukan semata pengetahuan teoretik. Cukup banyak guru yang berhasil. Mereka sebelumnya tidak mahir dalam menulis tapi akhirnya bisa menghasilkan karya berupa buku setelah tekun berlatih secara konsisten.
Maka, para sahabat guru yang belum mampu dan mahir menulis disarankan untuk mengikuti jejak-jejak guru yang telah menulis buku. Ada baiknya guru mengikuti pelatihan menulis, dan kemudian mempraktikkannya--yakni menulis, menulis, dan terus menulis guna menghasilkan karya yang hebat. Pratice makes all things perfect, praktik dan latihan membuat segala sesuatu sempurna. Sekali lagi, tekun berlatih itu kunci penting.
Salah satu bukti ketekunan itu adalah buku Cara Mudah Menulis Kreatif, Reportase 350 Kata yang Anda pegang ini. Berkat ketekunan dalam menulis, akhirnya berbagai tulisan dalam rubrik 'Citizen Reporter' bisa dihimpun menjadi buku. Di dalamnya tersimpan mutiara semangat, komitmen, kerja keras, dan harapan untuk berbagi ilmu dan pengetahuan bagi sesama.
Akhirnya, saya berharap, setiap tulisan dalam buku akan menemukan takdirnya sendiri, untuk berkembang dan dikembangkan menjadi tulisan-tulisan berikutnya. Semoga hadirnya buku ini memantik semangat dan inspirasi untuk terus berkarya bagi siapa saja yang membacanya.  Salam literasi!*

#Dosen Unesa, penggerak literasi
#Trainer, editor, penulis 42 buku
#Blog-1: muchkhoiriunesa.blogspot.com
#Blog-2: muchkhoiri.gurusiana.id
#Website-1: jalindo.net
#Website-2:  sahabatpenakita.id
#Facebook:  much.khoiri.90
#Instagram-1: @much.khoiri

#Instagram-2: @emcho_bookstore
*Artikel ini adalah kata pengantar buku Abdul Majid Hariadi berjudul Cara Mudah Menulis Kreatif, Reportase 350 Kata” (Yogyakarta, Diva Press, 2018). Terima kasih disampaikan kepada para penulis buku dan penerbit.

**Pesan buku, hubungi HP/WA: 081331450689 / 081233838789



Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts