Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Friday, August 14, 2020

MENDAMPINGI ANAK DI MASJID

Sumber gambar: Harakah.id
Oleh: Much. Khoiri

Kehadiran anak-anak di masjid menyenangkan, dan sekaligus menggemaskan. Menyenangkan karena itu pertanda mereka cinta masjid, setidaknya ada kemauan pergi ke masjid. Menggemaskan ketika mereka (sebagian dari semua) hanya sibuk ramai sendiri, bahkan sewaktu shalat berjamaah, sehingga tingkah polah mereka mengganggu kekhusyu’an jamaah lain.

Tentu, sebagai jamaah kita tidak hendak menolak kehadiran anak-anak di masjid. Sebab, jika sebuah masjid menolak kedatangan anak-anak, itu pertanda awal bagi “kiamat”-nya masjid itu di masa depan. Begitulah yang diamanahkan dalam hadits-hadits terkait. Mereka justru harus dibuat untuk merasa nyaman dan suka pergi ke masjid.

Satu hal itu beres, dan tak perlu dibahas. Nah, hal lain yang jadi persoalan adalah ramainya sebagian anak-anak di masjid, terutama ketika shalat berjamaah. Dalam amatan, mereka berkelompok-kelompok. Shalat pun mereka berdekatan atau bersebelahan. Tak jarang mereka mengeluarkan suara-suara di luar bacaan shalat. Begitu salam, tanpa mengikuti wiridan, mereka cepat-cepat keluar masjid (kadang dengan melintasi jamaah yang masbuk shalatnya)—itu pun sambil berkata-kata entah apa saja.

Sepengetahuan saya, tak kurang-kurang pengurus masjid untuk menegur atau mengingatkan mereka, agar tidak ramai selama shalat berjamaah. Bahkan, ada pengurus yang mengawasi dan mengatur mereka, terutama sebelum mengikuti shalat berjamaah. Tak jarang pengurus mendelik, mengisyaratkan perintah untuk diam dan tertib. Dan hal ini sudah dilakukan bertahun-tahun lamanya. Namun, apa yang terjadi? Mereka kembali melakukan “kesenangan” mereka untuk ramai dan bergurau.

Andaikata mereka masih balita (bawah lima tahun), mungkin tingkah polah mereka masih bisa dimaklumi. Balita belum tahu apa makna shalat dan apa fungsi masjid. Namun, mereka sudah berusia di atas balita! Mereka sudah jadi kanak-kanak seusia sekolah dasar. Mereka berarti sudah di atas tujuh tahun. Sementara, mereka masih bergurau saat menunaikan ibadah shalat berjamaah. Sudah diingatkan pun, mereka juga masih bergurau seperti sebelumnya.

Karena itu, tanpa mengurangi rasa hormat dan upaya pengurus selama ini, ada baiknya untuk sosialisasi ke orangtua anak-anak tersebut untuk mendampingi mereka sewaktu bershalat jamaah di masjid. Dengan kata lain, orangtua perlu disadarkan bahwa anak-anak mereka harus didampingi. Jangan biarkan mereka ke masjid tanpa pengawalan dan pendampingan.

Praktisnya, setiap anak akan shalat di samping orangtua masing-masing. Dan orangtua perlu mengkondisikan demikian. Jangan lepaskan mereka bersama teman-teman sekelompoknya. Kalau sudah selesai shalat dan berdoa, silakan mereka bermain atau bergaul dengan teman mereka. Sebagai pendamping, orangtua bisa mengawasi dan mengendalikan anak-anak.

Masjid kita ini bukan pondok pesantren di mana pendidikan anak-anak santri diserahkan kepada pengurus pondok. Ini masjid umum di mana pengurus tidak diserahi oleh orangtua untuk mendidik agama bagi anak-anak mereka. Misalnya, untuk menjewer atau memarahi anak-anak itu, pengurus tidak memiliki hak dan wewenang. Posisi pengurus lemah untuk memberikan sanksi. Apalagi jamaah lain, justru berposisi lebih lemah lagi.

Maka, pengelolaan anak-anak di masjid perlu dipikirkan pula oleh orangtua mereka. Orangtua wajib peduli terhadap hal ini. Jangan hanya melepas anak, tanpa mengetahui apa yang mereka lakukan. Bagaimanapun, pendidikan agama anak, utamanya, adalah tanggungjawab orangtua. Orangtua muslim wajib mendidik anak-anak untuk menunaikan shalat sejak berusia tujuh tahun.

Abu Daud (no. 495) dan Ahmad (6650) telah meriwayatkan dari Amr bin Syu'aib, dari bapaknya dari kakeknya, dia berkata, "Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, "Perintahkan anak-anak kalian untuk melakukan shalat saat usia mereka tujuh tahun, dan pukullah mereka saat usia sepuluh tahun. Dan pisahkan tempat tidur mereka." (Dishahihkan oleh Al-Albany dalam Irwa'u Ghalil, no. 247).

Dalam hadits tersebut, jelas apa yang seharusnya dilakukan orangtua kepada anak-anak yang suka bergurau di dalam masjid. Selain pendampingan, orangtua bisa saja mendidik anak-anak dengan memberikan sanksi tertentu. Namun, untuk melakukan tindakan, orangtua juga harus sportif. Karena menyuruh anak-anak ke masjid, orangtua juga harus ke masjid dan mendampingi mereka. Ini barulah adil. Ini sekaligus saatnya orangtua memberi keteladanan.

Dengan cara demikian, mudah-mudahan anak-anak bisa berjamaah dengan tertib dan tenang. Situasinya menjadi semakin kondusif. Akibatnya, jamaah lain dapat menunaikan shalat dan ibadah mereka dengan lebih khusyu’. Situasi sedemikian lah yang sangat diharapkan: Kita bisa berjamaah dengan penuh kekhusyu’an.**

Driyorejo, 13 Agustus 2020

#Dosen Unesa, penggerak literasi #Trainer, editor, penulis 42 buku

#Blog-1: muchkhoiriunesa.blogspot.com #Blog-2: muchkhoiri.gurusiana.id

#Website-1: jalindo.net #Website-2:  sahabatpenakita.id

#Facebook:  much.khoiri.90 #Instagram-1: much.khoiri     

#Instagram-2: emcho_bookstore


Monday, August 10, 2020

JANGAN REMEHKAN IDE KEBETULAN

Sumber gambar: Dok. Pribadi
Oleh MUCH. KHOIRI

KHUSUS untuk (calon) penulis dan suka menulis: Jangan lupa bawa alat rekam gagasan setiap hari, siapa tahu ada ide kebetulan alias spontan. Begitu ada ide bagus, rekam dulu agar tidak hangus dan lenyap. Jangan pula remehkan ide kebetulan, sebab ia kerap menjadi ide tulisan yang sangat bagus. 

Demikian ditegaskan oleh Max Ernst: “All good ideas arrive by chance.” Semua ide yang bagus hadir secara kebetulan, tanpa disengaja sama sekali. Dalam konteks ini, ide bisa diidentikkan dengan ilham. Ia hadir bukan karena kesengajaan, melainkan seakan turun dari langit atau menyembur dari perut bumi, lalu diikat maknanya oleh akal manusia yang kreatif. 

Boleh diyakini adanya firman Allah dalam QS Al-Alaq bahwa Allah mengajarkan kepada manusia apa-apa yang tidak diketahuinya. Sebagai khalifah, manusia harus berwawasan. Manusia tidak dibiarkan hidup tanpa pelajaran apa pun. Manusia harus belajar dan Allah menyediakan sumber belajar yang melimpah tak terbatas. Hanya manusia mau atau tidak untuk belajar.

Tuhan agaknya menghujankan dan membanjirkan ide untuk manusia per sekian sekon ke seluruh muka bumi. Bermilyar-milyar ide bertebaran, menyapa alam pikiran (akal) manusia. Ada yang  bersenyawa dengan manusia A, ada juga dengan B, C, atau D. Bebas ke mana pun arah yang dituju, mencari pasangan untuk membentuk makna. Itu bergantung kondisi “wadah” (akal) pula.

Ketika “wadah” itu merupakan sawah yang subur, yakni memiliki kekayaan bekal pengetahuan (prior knowledge) maka sebuah ide akan berproses menjadi ide yang matang. Sebaliknya, jika “wadah” itu tandus, tebaran ide hanya akan layu dan kering sebelum tumbuh dan berkembang.

Masuk di akal jika terjadi suatu transendensi (lintas ruang dan waktu) dalam ide. Maksudnya, pada saat sama orang A, B, C, atau D berpikir tentang topik yang sama. Yang berbeda adalah cara berpikirnya dan cara kerja yang menyertainya. Cerpen Obsesi saya, secara kebetulan, memiliki ide dasar mirip dengan sebuah film dan drama yang saya tonton di Amerika sekian tahun lalu. Padahal, saat menulis cerpen itu, saya belum pernah menonton film dan drama tersebut.

Agar bisa memiliki “wadah” yang subur, kita harus banyak memberinya pupuk—dengan banyak membaca apa pun juga, baik tertulis maupun tak tertulis, atas nama Tuhan. Jika wadah kita subur, ide yang berkelebat akan cepat dimatangkan menjadi ide bagus (inspirasi) yang layak ditindaklanjuti. Benih-benih ide mudah tumbuh di sawah yang subur.

Dalam Rahasia Top Menulis (2014) saya telah menekankan bahwa “inspiration is prior knowledge and a trigger” (inspirasi itu hakikatnya adalah bekal pengetahuan sebelumnya dan sebuah pemicu ide). Pemicu itu bisa saja segala sesuatu yang mampir ke kita lewat panca indera (termasuk baca berita, pengalaman, pengamatan, dan sebagainya). Semua itu, amat boleh jadi, hadir secara kebetulan.

Jadi, jangan remehkan hadirnya ide kebetulan. Ia spontan hadir ke dalam alam pikiran (akal) kita tanpa permisi. Mari sambut kehadirannya, lalu kita catat atau rekam pada alat perekam gagasan (buku saku atau android note), syukur-syukur langsung dilanjutkan dengan membuatkan outline ringkas. Dari sana nanti kita akan membuat tulisan. Masalah hasil akhirnya bergantung pada keahlian kita dalam teknik menulis dan inilah yang unik di antara kita: ars poetica.[]

*Dinukil dari buku sendiri “Writing Is Selling” (Pagan Press, 2018), hal. 72-74.

Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts