Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Friday, November 13, 2020

MOTIVASI MENERBITKAN-ULANG BUKU SOS

Sumber gambar: Dok Pribadi
Oleh: Much. Khoiri

DALAM sebuah wawancara ulas buku dengan Radio Unesa belum lama ini, ada pertanyaan menarik dari host: “Apakah motivasi Anda menerbitkan-ulang buku SOS?” Yang dimaksud SOS adalah “SOS Sapa Ora Sibuk: Menulis dalam Kesibukan” (edisi revisi, 2020). Dan saya sebagai penulis buku diminta untuk menjelaskannya. Harapan saya, catatan berikut ini lebih lengkap dari pada yang streaming radio atau di youtube.

Yang pertama dan mendasar, saya menerbitkan-ulang buku itu untuk memenuhi kewajiban menulis saya. Ya, menulis itu bagi saya wajib hukumnya, wajib sebagai sebuah ibadah yang harus saya tunaikan—sama dengan ibadah-ibadah lain. Dengan menerbitkan SOS edisi revisi itu, kewajiban menulis buku saya terbayar lunas. Tiada utang yang harus saya bayar lagi. Setidaknya hingga buku terbit.

Jujur saya tegaskan, kewajiban menulis ini semula saya abadikan di dalam buku “Write or Die: Jangan Mati sebelum Menulis Buku” (2017). Dalam buku itu, saya turunkan dari perintah Allah dalam QS Al-Alaq 1-5. Membaca tentu perlu ada sesuatu yang dibaca, dan yang dibaca adalah teks; sementara, teks harus diproduksi lewat kegiatan menulis. Maka, menulis sama wajibnya dengan membaca. Jadi, sejak 2017 itu, menulis jadi ibadah yang wajib saya tunaikan; jika tidak, saya akan berdosa.

Kedua, tuntutan teman dan pembaca. Baik langsung maupun tak langsung, banyak teman dan pembaca yang ingin membaca buku SOS, sebab mereka penasaran, berkat promosi buku yang saya lakukan di medsos atau forum pelatihan. Dalam promosi, saya selalu menyebut 5 buku teori menulis saya: Rahasia Top Menulis (2014), Pagi Pegawai Petang Pengarang (2017), Write or Die: Jangan Mati sebelum Menulis Buku (2017), Writing Is Selling (2018), dan SOS Sapa Ora Sibuk: Menulis dalam Kesibukan (2016, 2020).

Tuntutan hadirnya kembali SOS, ternyata, dibawa serta oleh empat buku lainnya. Hal yang sama terjadi pada empat buku itu; misalnya Rahasia Top Menulis (2014) kini kembali diburu oleh pembaca setelah saya promosikan bersama empat buku lain. Istilahnya, satu gendong-indit yang lain. Maka, buku SOS yang pertama kali terbit pada 2016 harus saya terbitkan dengan edisi revisi pada 2020.

Ketiga, menjadi teladan bagi diri sendiri, keluarga, para sahabat, dan masyarakat. Artinya, untuk menyikapi tuntutan pembaca, penulis juga perlu sigap dan bijak dalam menerbitkan (kembali) bukunya. Dalam konteks ini, sesuai masukan pembaca,  dalam edisi baru ini saya menambah lima artikel pelengkap. Artikel mana saja, semua saya jelaskan dalam “Prakata” dalam buku edisi baru tersebut.

Keteladanan itu penting dalam pembudayaan literasi. Bukan hanya untuk orang lain, melainkan juga untuk diri sendiri. Diri sendiri perlu meneladani diri dari apa yang telah dilakukannya dengan baik sebelumnya. Kesuksesan pada tahap tertentu adalah cermin untuk tahap selanjutnya. Tatkala sekarang saya mampu memenuhi harapan pembaca dengan baik, ke depan saya akan melakukannya dengan lebih baik lagi. Itulah maksud keteladanan bagi diri sendiri.

Terakhir dan yang paling penting dan praktis adalah bahwa saya menerbitkan buku edisi revisi adalah untuk menghadiahi diri buku-buku karya sendiri pada saat ulang-tahun. Menulis buku untuk hadiah ulang tahu pada Maret 2020, sangatlah istimewa, karena saya berusia tepat 55 tahun. Karena itu, sejak September 2019, materi buku sudah saya siapkan: Praktik Literasi Guru Penulis Bojonegoro, Virus Emcho: Melintas Batas Ruang Waktu, dan SOS Sapa Ora Sibuk: Menulis dalam Kesibukan.

Tatkala waktunya tiba, Maret 2020, tepatlah rencana saya. Ketiga buku tersebut menjadi hadiah terindah pada saat saya ulang tahun ke-55. Semula ketiga buku akan saya launching dalam acara bedah buku secara luring, namun karena pandemi, launching tidak bisa terlaksana. Maka, saya hanya mengumumkannya di ruang-ruang medsos atau media baru yang saya miliki.

Di samping itu, saya juga menulis artikel “Menulis Buku untuk Hadiah Ultah” yang dimuat di sebuah surat kabar (Radar Surabaya, 22 Maret 2020). Tulisan ini merupakan penanda bagi konsistensi saya dalam menghadiahi diri buku karya sendiri pada saat ulangtahun—ya sudah konsisten dalam 4-5 tahun terakhir. Meski demikian, tahun 2020 ini, terasa istimewa karena pada ultah ke-55, saya menghadiahi diri tiga judul buku.

Demikianlah motivasi terpenting saya dalam menerbitkan kembali buku SOS. Dan sekarang, saya bersyukur, bahwa buku SOS tersedia cukup banyak di pasaran dan di rumah. Satu persatu pesanan buku juga sudah meluncur ke alamat para pemesan. Mudah-mudahan buku segera tiba, dan mereka segera membacanya. Dengan membacanya, mereka berpeluang untuk memetik hikmah dan inspirasinya.[]

*Much. Khoiri adalah dosen Sastra Inggris, penggerak literasi, trainer, editor, dan penulis 45 buku dari Unesa Surabaya. Buku terbaru “SOS Sapa Ora Sibuk: Menulis dalam Kesibukan (edisi revisi, 2020). Tulisan ini pendapat pribadi.

 

Wednesday, November 11, 2020

SEPATAH KATA UNTUK MAHASISWA YANG DIYUDISIUM

Yudisium Online Mahasiswa: Dok Pribadi
Oleh: Much. Khoiri 

SETIAP ada perpisahan, sumedhot rasaning ati, hati saya rasanya tersedot. Hari ini ada yudisium bagi mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris—di antaranya 50 mahasiswa prodi Sastra Inggris, dan saya diberi penghormatan untuk memberikan sepatah dua patah kata. Nah, inilah saatnya perpisahan itu—dan saya rasakan sumedhot rasaning ati. Bahkan, tanpa ada yang menyurur, saya sampai mbrebes mili.

Mungkin saya gembeng, mudah mewek. Namun, itulah nyatanya. Yudisium itu, ibarat nikahan, adalah ijab qabul-nya, sudah sah dan halal, sedangkan wisuda itu pesta (wedding party) syukurannya. Substansinya ya di yudisium itu—sedangkan wisuda hanya seremonial. Jadi, tatkala mereka, anak-anak saya, yang telah bersama di kampus selama 4-5 tahun, diyudisium, itu artinya mereka sudah lulus—dan lulus artinya mereka telah mencapai destinasi akhir dari kuliah. Bagaimanapun, itu gong perpisahan.

Maka, tatkala diminta untuk memberikan sepatah kata kesan atau apa pun namanya, saya seperti blangkemen (kelu) untuk bicara; sehingga saya menyampaikannya pelan-pelan. Maaf, saya agak berpura-pura tampak seperti orang yang tegar, padahal pada momen ini saya sedang keropos dan rapuh: Ada yang membuat saya nyaris tak berdaya. Ibaratnya, saya memberikan pesan terakhir guna melepas anak untuk pergi jauh. Bayangkan…!

Saya sampaikan selamat kepada Putu, Aulia, Yoga, Kristin, dan seluruh anak-anak yang yudidium. Empat-lima tahun sudah mereka bersama belajar memahami hidup dari lingkungan akdemik. Saya ingatkan, bagaimana dalam Indonesian Society and Culture (ISC), individu harus belajar bernegosiasi, berintegrasi atau memasang resistensi pada individu lain dalam ranah keluarga, komunitas, masyarakat, etnik, nation, dan dunia. Ada sistem nilai dan norma yang harus dihayati, ada impian yang harus diperjuangkan.

Menyelesaikan studi bukanlah berakhirnta sebuah perjalanan. Yudisium itu destinasi dari impian mahasiswa alias anak-anak saya untuk lulus studi. Tentu, lulus bukanlah destinasi akhir. Sebab, setelah itu, mahasiswa masih akan tetap punya tempat belajar—memang belum tentu sebuah lingkungan akademik, justru akan menempati lingkungan non-akademik di luar sana. Mulai detik ini mereka malah wajib membuat impian baru untuk destinasi-destinasi baru ke depan.

Saya tegaskan, “The world is like a school, and the book is just like a book to read and write.” Dunia ini laksana sekolah, dan hidup ini laksana buku untuk dibaca dan ditulis. Jika dunia dianggap sebagai sekolah, barang tentu, ia harus dipelihara dan dirawat agar ia nyaman dan aman untuk tempat belajar. Sementara itu, hidup ini, laksana buku, perlu dibaca, dipelajari, dihayati, dan ditulislah kebaikan-kebaikan untuk dibagi dengan sesama.

Dengan secuil statemen itu, anak-anak yang yudisium hari ini seharusnya tidak berhenti di sini (sebab ini bukanlah destinasi terakhir). Mereka masih harus mewujudkan impian baru: Mencari kerja, bekerja untuk meniti karir, atau melanjutkan studi. Masih ada jalan membentang di depan sana, yang harus dilalui dengan hati gembira. Mereka menjemput setiap bakul rezeki (dalam arti luas) yang dihujankan Tuhan dari langit, atau disemburkan oleh Tuhan dari dalam perut bumi. Mereka diharapkan mampu menghayati ungkapan “The world is like a school…..” dalam kehidupan.

Maka, meniti jalan hidup ke depan, tentulah berbeda dengan jalan tatklala berkulak ilmu di lingkungan akademik. Mungkin akan lebih berat dan lebih kompleks. Namun, perlu diyakini sepenuh hati, bahwa setiap manusia akan diuji sesuai dengan kekuatannya—dan dia dianugerahi rewards per individu. Jadi, ujian tidak akan pernah keliru. Jika manusia merasa berat dengan suatu ujian, perlu diyakini bahwa Allah maha tahu, manusia itu memang kuat menjalaninya.

Akhirnya, kini, dengan semedhot rasaning ati dan mbrebes mili yangd dalam, saya lepas dan biarkan mereka berjuang melaksanakan kata-kata impian yang mereka yakini.  Pada saat sama saya hanya berdoa, mudah-mudahan mereka dianugerahi bersihnya hati beningnya pikiran, serta selalu mendapat petunjuk dan bimbingan Allah, dalam kisah perjuangan mereka menuju destinasi berikutnya. Bismillah, insyaallah bisa! [

Driyorejo, 11 November 2020 pkl 13.00.

*Much. Khoiri adalah dosen Sastra Inggris, penggerak literasi, editor, dan penulis buku dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Tulisan ini pendapat pribadi.

Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts