Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Saturday, April 18, 2020

Serial Virus Emcho (7): PENDEKAR LITERASI – MENULIS ATAU MATI!

Sumber: Dok. Pribadi
Oleh Bona Ventura

Menulis adalah sebuah keberanian
(Pramoedya Ananta Toer)

Manusia adalah apa yang dilakukan secara berulang. Manusia yang tekun dalam suatu bidang kemungkinan besar akan memetik hasil yang membahagiakan. Teori 10.000 jam merupakan teori yang membuktikan bahwa kepakaran/ keahlian berhubungan dengan jam terbang seseorang menekuni suatu bidang.
Ketekunan adalah sebuah habitus. Ketekunan dan konsistensi adalah sebuah pembeda masing-masing persona. Persona inspiratif yang akan dibahas dalam tulisan berikut sungguh layak dijadikan suri teladan. Kata dan tindakannya senantiasa seiring sejalan.
Beliau tak lelah mengedukasi dengan beragam tindakan, khususnya menyebarkan virus literasi. Ragam artikel, buku pribadi, buku antologi, menjadi pembicara seminar daring atau luring adalah jejak bahwa selama hayat dikandung badan beliau senantiasa bergiat tanpa henti di jalur literasi.
Menginspirasi dengan Berkarya
Sosok ini memberikan kesan mendalam bagiku. Ia merupakan sosok inspiratif yang membimbing secara tidak langsung melalui buku Rahasia TOP Menulis (RTM, 2014). Kisah beliau dalam buku sungguh memotivasi penulis kala itu. Isi buku RTM menghimpun 42 tulisannya yang disatukan dalam tiga tema besar, pertama: Tegaskan Alasan Menulis. Kedua, Ayo Tulis yang Kita Tahu. Terakhir, Rahasia TOP Menulis.
Perkenalan melalui buku RTM memantik gelora penulis untuk berani suatu saat mengikuti jejaknya dalam menulis, lalu menerbitkan buku. Berbekal mempratikkan isi buku RTM penulis tak gentar mengikuti beragam lomba menulis. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Dua artikel penulis lolos untuk diterbitkan dalam buku antologi, Presiden Jokowi: Harapan Baru Indonesia (Elex Media) dan 3 Tahun Pencapaian Jokowi: Kinerja Presiden dalam Catatan Warga (Bening Pustaka).
Di tahun 2020 ini keajaiban terjadi. Penulis mendaftar untuk mengikuti pelatihan menulis daring melalui aplikasi WA (what's app). Pelatihan menulis daring ini diinisiasi oleh penulis, guru, dan trainer, Wijaya Kusumah (OmJay). Dalam pelatihan daring tersebut terdiri dari 20 sesi. Ternyata, penulis buku RTM menjadi salah satu pembicara pada sesi ketujuhbelas bertema, Menjadi Editor dan Penyunting Naskah yang Baik.
Dalam sesi tersebut, beliau membekali peserta pelatihan kiat-kiat menghasilkan tulisan yang bernas dengan terlebih dahulu memerhatikan proses dari membuat draf, memoles, dan melengkapi tulisan. Selain itu, beliau juga menekankan pentingnya swasunting. Dalam swasunting perlu memerhatikan isi dan struktur pengembangan tulisan. Tidak lupa beliau berpesan untuk para penulis membekali diri dengan pengetahuan kebahasaan intralinguistik dan ekstralinguistik. Dua pengetahuan tersebut perlu dikuasai agar hasil suntingan memenuhi standar penyuntingan.
Seusai pelatihan penulis mengirimkan pesan melalui WA ke beliau untuk memesan buku-bukunya yang lain. Penulis memesan SOS (Sapa Ora Sibuk): Menulis dalam Kesibukan (2015), Virus Emcho: Berbagi Epidemi Inspirasi (2017), Write or Die: Jangan Mati Sebelum Menulis Buku (2017), Mata Kata: Dari Literasi Diri (2017), dan Writing is Selling (2018). Tiga hari berselang semua judul buku pesanan tersebut tiba. Tak sabar segera membuka dan membacanya.
Hampir sebagian besar buku yang beliau tulis berkaitan dengan habitus membaca, menulis, dan menerbitkan buku. Pada buku Writing is Selling, beliau menampilkan 48 artikel yang dikelompokkan dalam lima pokok pembahasan: menata mindset, menjaga spirit, menjaring inspirasi, berkarya setiap hari, dan menuju writerpreneur.
Lembar demi lembar halaman isi buku sungguh menyiapkan pembaca untuk memiliki pola pikir kreatif dan berkelanjutan dalam menjaga semangat menulis. Menjaga semangat untuk menulis setiap hari perlu nutrisi otak, hati, dan tangan. Nutrisi penyemangat otak berkaitan dengan menulis adalah tindakan berkomunikasi, berguru kepada penulis ahli, dan menjual karya kepada khalayak umum.
Sedangkan, nutrisi hati berkaitan dengan kepekaan diri bahwa menulis memerlukan momen permenungan mendalam terhadap suatu peristiwa. Terakhir, nutrisi tangan berkaitan dengan tindakan menulis yang meninggalkan warisan tertulis nan abadi. Tidak lupa di bab tiga dan empat dalam buku diberikan kiat untuk menjaring ide-ide penulisan yang kelak dapat menuntun para pembaca memiliki kebiasaan untuk menulis setiap hari.
Bagian penutup buku, Menuju Writerpreneur memungkasi pembahasan keseluruhan isi buku. Di bagian ini beliau memberikan kiat-kiat praktis memasarkan buku (h.187). Terdapat enam jurus yang dapat dijadikan inspirasi untuk menjadi writerpreneur.
Pertama, seseorang harus serius menulis. Serius berkaitan dengan totalitas dan konsistensi. Melalui totalitas dan konsistensi seeorang dapat mahir menulis. Kedua, berani mencoba mengunggah tulisan di blog dan berani mengirimkan ke media massa. Berani mencoba itu baik. Dengan intens mencoba mengunggah tulisan di blog atau mengirimkan tulisan ke media massa sangat membantu bagi seseorang untuk meningkatkan kemampuan dalam menulis.
Ketiga, menulis buku. Setelah rutin mengunggah tulisan ke blog atau mengirimkan ke media massa perlu bersegera menulis buku. Buku adalah simbol identitas penulisnya (h.188).
Keempat, menulis buku laris layak jual. Setelah mampu menulis buku, maka perlu menaikkan impian untuk menulis buku laris. Menulis buku laris perlu peka dan jeli membaca tren dan kecenderungan minat baca masyarakat.
Berikutnya, mampu memasarkan karya. Menjadi penulis juga perlu memahami pemasaran karya. Di era kiwari semakin memudahkan seorang penulis untuk memasarkan karya melalui WA grup, Telegram, Line grup, blog, beragam forum, dan Instagram. Dengan terampil memasarkan karya sendiri, lambat laun seorang penulis dapat memiliki manajemen writerpreneurship. Menulis menjelma layaknya suatu perusahaaan pribadi. Selain menjual karya sendiri, melalui writerpreneurship seorang penulis dapat mengembangkan langkah lebih jauh untuk mengurus tentang pelatihan, pendampingan, dan penerbitan (h.189).
Dalam tiap bukunya, beliau memberikan beragam contoh inspiratif tentang para penulis yang dapat dijadikan panutan belajar. Tulisan-tulisannya hadir tanpa menggurui, bahkan dalam buku SOS (Sapa Ora Sibuk): Menulis dalam Kesibukan, beliau terlebih dahulu memohon maaf saat memberikan penegasan.
Sebab, saya tidak sekadar omong kosong. Sebaliknya, saya telah menyiasati berbagai kesibukan untuk menulis. Mohon maaf, karena saya menulis, saya jadi berani mengajak Anda untuk menulis pula. Sebagaimana Anda, saya pun sibuk, namun saya selalu berusaha menyempatkan diri untuk untuk menulis setiap hari (h.vii).
Siasat Diri dalam Menulis
Dalam buku SOS (Sapa Ora Sibuk): Menulis dalam Kesibukan, beliau secara jitu mengungkapkan siasat diri untuk produtif menulis meski kesibukan mendera. Beliau secara perlahan memaparkan perlunya seseorang memiliki manajemen waktu, rajin membaca, menentukan waktu utama untuk menulis, menyiapkan alat-alat bantu mendukung kepenulisan, dan niat kuat dalam menulis. Itu merupakan faktor internal bagi seorang penulis. Di sisi lain, seorang penulis juga perlu peka dan jeli terhadap faktor eksternal seperti merekam kejadian yang dialami, mengolah apa yang dirasakan.
Dalam buku ini beliau mengupas tuntas bahwa siapa saja yang dapat bersahabat dengan kesibukan akan menemukan momen terbaik untuk produktif menulis. Sebagai penyemangat, beliau pun mengingatkan agar seorang penulis perlu memiliki hati riang dan motto diri yang dapat terus mengobarkan semangat untuk menulis lebih banyak. Terakhir, sertakan Tuhan Yang Mahakuasa dalam tiap usaha menulis. Niscaya tulisan yang dihasilkan mendatangkan keberkahan bagi penulisnya dan tuan puan pembaca.

Menulis dan Keabadian
Menulis adalah bekerja
untuk keabadian
(Pramoedya Ananta Toer)

Manusia boleh tutup usia. Cara mengabadikan kisah kehidupan yang penuh makna adalah lewat buku. Tiap kenangan kehidupan yang telah dirapikan, lalu diterbitkan akan tetap dibaca generasi berikut, serta dapat melintasi zaman. Buku yang diterbitkan kelak akan menjadi warisan bagi generasi berikutnya.
Menulis atau mati merupakan motto yang dihidupi oleh persona dalam artikel ini. Beliau yang tanpa kenal lelah mengerakkan banyak pihak untuk menulis. Dalam buku Write or Die: Jangan Mati sebelum Menulis Buku, beliau memberikan tuntunan langkah demi langkah agar tiap orang bergerak untuk menulis. Dalam buku tersebut, beliau memberikan alasan mendasar betapa perlunya kemampuan menulis. Menulis dapat dipilih sebagai sarana perjuangan dalam menyebarkan kebaikan dan mewarnai peradaban. Selain itu, kemampuan menulis dapat dijadikan sarana melatih berpikir seseorang serta dapat dijadikan personal branding.
Dalam hampir tiap bukunya, beliau memberikan tips aplikatif untuk menulis. Di buku Write or Die, beliau memberikan tips aplikatif dalam menemukan ide secara kebetulan, mengembangkan tulisan dengan teknik ars poetica, menyertakan humor, dan memberikan permenungan filosofis dalam tulisan. Sebagai pengobar semangat beliau mengungkapkan ragam keajaiban yang dialami seusai menghidupi motto Write or Die seperti semakin produktif menulis, lebih cepat dan fokus saat menulis, dan tidak lekas letih. Produktivitas beliau berkat motto write or die membuatnya menjadi writerpreneur hingga kini.
Motto write or die tersebut menjadi gelora beliau untuk tanpa kena lelah menyemangati tiap orang untuk mulai menulis. Beliau berpesan, jangan ragu jika tulisan masih belum bagus atau masih berupa tulisan "sampah". Kelak dari banyak tulisan "sampah" dapat menjelma menjadi kompos. Terakhir sebagai pengingat, beliau menganjurkan untuk mulai menulis setiap hari.
Pendekar Literasi
Ketika kamu bicara, kata-katamu hanya bergaung
ke seberang ruangan atau di sepanjang koridor.
Tapi ketika kamu menulis,
kata-katamu bergaung sepanjang zaman
(Bud Garner)

Menulis dapat dimulai dari hal-hal sederhana. Itu yang disampaikan beliau dalam beragam bukunya. Ungkapan tersebut hendak menginformasikan bahwa menulis dapat dimulai oleh siapapun dengan tema yang sederhana dan dekat dengan kehidupan. Perkara mendasar menulis adalah kemauan diri, bukan pada kemampuan diri. Siapa pun yang mau memulai menulis, maka akan membuktikan bahwa menulis dapat dimulai dari hari ini, mulai dari hal-hal sederhana, dan mulai dari diri sendiri.
Sebagai pendekar literasi persona mengagumkan ini berhasil menghidupi literasi dalam tiap nadi hidupnya. Dalam buku Mata Kata: dari Literasi Diri terekam jelas kiprahnya. Buku ini terbagi dalam dua tema, Serba-serbi Literasi dan Serba-serbi Menulis.
Dalam bagian Serba-serbi Literasi, beliau mengupas beragam jejaknya menggelorakan ragam kegiatan literasi seperti menjadi pembicara dalam beragam acara menulis dan membaca, menghadiahi Unesa buku, menginisiasi program literasi untuk pribadi dan keluarga, merawat semangat untuk menerbitkan karya melalui jurnal, buku, dan majalah.
Sedangkan dalam bagian Serba-serbi Menulis, beliau mengungkapkan kiprahnya dalam menulis buku laris, menjadi penggerak beragam komunitas, menginisiasi beberapa penerbitan buku antologi, mewakafkan diri menjadi konsultan kepenulisan, dan menjadi pembicara dalam beragam forum daring dan luring.
Persona mengagumkan yang telah dibahas dari awal bernama Much. Khoiri (Mr. Emcho). Buku, pendekar literasi, dan motto menulis atau mati adalah tiga hal yang mencerminkan Mr. Emcho. Dunia kepenulisan, penerbitan, dan kegiatan literasi yang semakin bergeliat semarak dengan kiprahnya.
Renjana Mr. Emcho dari beragam buku yang sudah penulis baca menyiratkan pesan bahwa dalam tiap hela nafasnya senantiasa mengobarkan semangat dan komitmen untuk terus menulis. Sebab, menulis itu adalah salah satu cara menyebarkan ragam kebaikan serta menyebarkan virus literasi adalah kerja kebudayaan.[]


*Artikel di atas diambil dari buku karya Much. Khoiri “Virus Emcho Melintas Batas Ruang Waktu” (Sidoarjo, Tankali, 2020), hlm. 21-29.

**Pesan buku, hubungi HP/WA: 081331450689 / 081233838789


Friday, April 17, 2020

Serial Virus Emcho (6): YANG SEBENARNYA KUINGIN MEMELUKMU


Oleh Ahmad Rasyid

Masih tersimpan sebuah history dalam benak ini yang berasal dari sesuatu yang tidak pernah dipersangkakan akan keterlibatan dalam sebuah momen Gerakan Guru Menulis (GGM) Kabupaten Malang yang kemudian menjadi cikal bakal terbentuknya GGM Nusantara yang dikomandani oleh ibu Diah Pitaloka. Itu oleh seseorang yang memiliki andaian untuk bagaimana menjadi seorang penulis yang profesional. Namun, dahulu semua kemudian menjadi kandas di tengah jalan, di tengah-tengah seabrek tugas dan kewajiban yang selalu menghantui keseharian dan hampir memupuskan sebuah angan dimaksud.

Sebenarnya sedari dulu adanya pertemanan penulis dalam sebuah grup facebook Guru Menulis dengan seseorang yang bernama Much. Khoiri yang selalu dengan gigih dan intens menyemangati rekan-rekan yang tergabung dalam grup tersebut untuk belajar menulis dan menulis. Dengan berbagai dalih menjadi alasan untuk tidak ikut terpengaruh sebenarnya. Hal yang lebih dipengaruhi oleh dera kewajiban lainnya. Jawabannya keinginan menulis menjadi terbantahkan dan terpinggirkan.

Namun apalah daya kalau kemudian Tuhan menginginkan suatu perubahan bagi seseorang. Pada awal bulan Februari 2018 teman saya Ibu Indah Mustika Ayu, yang juga pertemanan di facebook, kemudian menjadi anggota grup whatsapp Masteksa, mengajak penulis untuk mengenal dunia kepenulisan dalam sebuah grup WA GGM Kabupaten Malang. Dan alhamdulillah dalam 2 bulan ini penulis benar-benar belajar menulis dan ingin menjadi penulis yang bisa mengikuti jejak penulis profesional yang lainnya di grup tersebut.

Akhirnya dalam berbagai kesempatan di sela-sela kesibukan penulis mau berkomitmen dan tetap eksis untuk menulis yang kemudian di-share di grup untuk mendapatkan apresiasi sekaligus kritikan dari beberapa master yang telah bonafid. Apapun yang terbaca atau terlihat di depan mata, penulis mencobanya untuk ditorehkan dalam sebuah tulisan. Baru kemudian di-share di grup.

Alhamdulillah, ternyata dalam grup ini tidak hanya ada Master Much. Khoiri yang kemudian lebih dikenal dengan Mr. Emcho si pemilik buku Virus Emcho: Berbagi Epidemi Inspirasi (2017), namun bersua juga dengan Dr. Taufiqi , Dr. Sutejo, Dr. Ngainun Naim, Ibu Dyah Pitaloka, dan banyak yang lain yang selalu memberikan kata penyemangat (motivasi) bagi penulis yang kebanyakan berpredikat sebagai guru SD bahkan ada yang dari PAUD/TK. Adanya inisiatif dari pengurus GGM untuk kembali menggelar kopdar kedua setelah kopdar pertama, hal mana penulis tidak hadir pada saat itu, untuk bersua dengan beberapa maestro yang ada di grup ini secara langsung. Untuk mengenal sosoknya dan berkomunikasi dengannya, sebab tentu akan ada sesuatu atau aura positif yang bisa membangkitkan selera untuk menulis kembali, yaitu sebuah keinginan yang sempat pupus namun kemudian bangkit kembali.

Gayung pun bersambut. Alhamdulillah, walaupun berpayah-payah dari Sumenep Madura menuju kota Malang, dalam upaya bersua dan sembah sungkem dengan Sang Maestro dan bersilaturahim dengan rekan-rekan sesama anggota grup WA GGM Malang, akhirnya tidaklah hanya dalam khayalan, tapi menjadi sesuatu kenyataan yang berharga tentunya dalam upaya merentas sebuah cita-cita untuk menjadi seorang penulis yang paling tidak bisa bermanfaat untuk diri sendiri,  dan yang lebih luas bisa bermanfaat untuk orang banyak.

Beberapa saat setelah tiba di gedung Lembaga Pendidikan Ma'arif penulis duduk di kursi tamu  yang berada di ruang depan  datang dan nampaklah beberapa rekan panitia yang berpakaian hitam putih satu-satu mulai penulis mengenalnya dengan Bu Mida  sang ketua, Mas Ucup, Mas Rosyid sang pemred. Selain itu ada juga Pak Slamet seorang guru SMP yang kemudian juga bergabung di GGM. Hadir juga Bu Risa yang masih muda, cantik, dan energik, namun penulis membatin: “Wah kalah aku sebab hari ini juga akan meluncurkan atau launching sebuah buku perdananya, hebat.”

Tak berapa lama mobil warna abu-abu metalik di parkir di depan gedung. Sempat terpikir dalam benak penulis, siapa sih yang datang itu? Yang keluar ternyata seorang lelaki (mohon maaf) agak gemuk yang apabila dilihat sepintas wajahnya seseorang yang sudah familiar. Yah, itulah Mr. Emcho. Penulis hampiri beliau dan penulis berupaya untuk mencium tangannya, namun beliau tak menghendakinya. Akhirnya bersalaman biasa saja sebagaimana orang yang baru kenal. Memang benar, kami baru kenal. Baru saling mengenal secara dhahir, namun secara implisit kami telah saling mengenal atas jasa sosmed. Saat itu juga Bu Indah mengenalkan kami, "Ini Pak Ahmad Rasyid yang dari Sumenep, Pak !" "Alhamdulillah, ya, " jawab beliau spontan. Demikian indah memang. Ibaratnya orang pacaraan, pertemuan pertama secara langsung adalah momen yang amat indah, menyenangkan dan mengharukan. Bahkan sulit terlupakan.

Penulis pun masuk ke dalam ruangan di mana acara kopi darat akan digelar setelah beliau masuk lebih awal. Aku mencari dudukan paling belakang, maklum tamu, orang baru di istana yang baru pula. Dari belakang penulis pandangi wajah beliau yang sangat sederhana, namun familier dengan sepuas-puasnya. Betapa tak ingin penulis untuk melepasnya dari pandangan. Nampak dari raut wajahnya yang penuh kedewasaan dan amat rendah hati. Sangat jelas dari parangai yang sebegitu sumringah seolah tiada terhantui beban. Betapa banyak orang hebat, namun beliau sangat berbeda dengan yang lainnya, dalam upaya intensitas untuk membangun dan membesarkan komunitas yang berafiliasi dengan kebaikan, kemakmuran, dan yang paling penting getolnya hasrat pendewasaan "kliennya".

Hal yang begitu terkesan adalah saat panitia memberikan surprise terhadap hari ulang tahun beliau Mr. Emcho yang ke-53 (semoga tidak salah). Pembacaan puisi panjang buah karya mas "Ncup" (Yusuf Hamim) dengab tajuk "Simfoni Jannatul Makwa", masyaallah sangat mengharu biru, syahdu dibuai haru dengan tak tertahan air mata pun mengalir bak air Kali Berantas yang bening hening menuju ke lautan lepas utara Jawa. Kue tar enak kepenak disuguhkan. Penulis pun menyamperi beliau untuk memeluk dan mengecup tangannya. "Cukup, ustadz, alhamdulillah, terima kasih, alhamdulilah," kata beliau.

Ajang temu kangen sesama anggota grup GGM Kab. Malang yang digelar dengan tema "Tips Menulis di Ponsel, Website, Blog dan Majalah" bersama Mr. Much. Khoiri yang dilaksanakan di gedung lembaga pendidikan Ma'arif NU Kabupaten Malang pada hari Jumat tanggal 30 Maret 2018 sungguh sangat mengesankan. Terima kasih Bu Achmida dan kawan-kawan, semoga hal ini benar-benar berbuah ilmu yang barakah serta terjalin komunikasi yang intens antara sesama guru penulis, demikian juga yang lainnya. Aamiin.[]

Malang-Surabaya, 31 Maret 2018

*Artikel di atas diambil dari buku karya Much. Khoiri “Virus Emcho Melintas Batas Ruang Waktu” (Sidoarjo, Tankali, 2020), hlm. 16-20.
**Pesan buku, hubungi HP/WA: 081331450689 / 081233838789

Serial Virus Emcho (5): SEKELUMIT KISAHKU TENTANG BUKU VIRUS EMCHO


Oleh A. Mustamsikin Koiri

Tepat enam hari sudah, saya membaca buku Virus Emcho, Berbagi Epidemi Inspirasi (Desember 2017). Semenjak buku ini sampai ke tangan saya hari senin lalu (22-01-2018) dari penulisnya, buku ini secara perlahan saya terus membacanya. Dari baris kalimat, paragraf, hingga dari halaman ke halaman.

Saking ingin segera mengkhatamkan buku yang renyah pemberian penyusunya yakni Pak Emcho--sapaan Much. Khoiri--buku ini pun saya tenteng di setiap ada kesempatan membaca. Buku ini pula yang ikut serta menemani kegiatan saya baik di rumah maupun di sekolah tempat saya belajar dan bekerja.

Buku yang masih hangat--selepas terbit Desember 2017--dari penerbit, buku ini sungguh menarik hati. Selain sebab saya peroleh secara free ( gratis), di dalam buku ini juga ada sekelumit goresan pena (alias tulisan) saya untuk Pak Emcho.

Beberapa hal lain yang menarik dari buku ini, adalah banyak melibatkan penulis di dalamnya. Tidak kurang dari dua puluh tiga penulis, yang ikut serta menghiasi setiap halaman dalam buku ini.

Setiap penulis menuangkan indah goresan tintanya tentang sosok Pak Emcho. Baik terkait langsung dengan beliau--seperti tatap muka langsung, atau membaca buku beliau--atau tidak secara langsung--sekilas mengutip gagasan dan nama beliau.

Dari dalam buku ini, banyak ucapan yang apresiatif terhadap sosok Pak Emcho. Kendati tidak dimungkiri, setiap penulis dapat selalu menyapa beliau secara langsung namun, semacam ada ikatan batin dengan beliau Pak Emcho ini. Seperti halnya saya sendiri, saya hanya sekali bertatap muka dengan beliau saat temu penulis di KOPDAR SPN IV di ITS Surabaya tahun lalu. Namun demikian, kesan mendalam, tawa renyah, dan humorisnya beliau masih terkenang dalam alam pikir saya.

Dengan membaca buku Virus Emcho ini penulis akan dibawa serasa menemukan sebuah oase. Mata air padang pasir yang dapat mengobati rasa dahaga yang amat sangat; sedang oase itu sendiri adalah sosok Pak Emcho. Ia bukan hanya menjadi sosok teladan, guru menulis, namun juga sebagai penebar virus literasi yang andal.

Hingga kini, mungkin sudah banyak orang yang terjangkiti oleh virus literasi yang ditebar oleh Pak Emcho. Tak pelak, sebab virus tersebut bermunculanlah penulis-penulis baru yang terinspirasi dari beliau.

Inspirasi, dan keteladanan beliau sungguh menggiurkan. Mulai dari semboyan “Write or Die” (menulis atau mati) hingga buku tenarnya SOS (Sapa Ora Sibuk): Menulis dalam Kesibukan (2016). Dan masih banyak lagi.

Sebagai penutup, sesungguhnya masih banyak yang ingin saya uraikan dalam tulisan ini, namun apa daya, sesuai judul, penulis hanya mendedah sekelumit saja. Di samping ini, penulis berterimakasih kepada Pak Emcho-- jazakumullah Khairan Katsiran --atas bukunya. Semoga Pak Emcho selalu dalam keberkahan Bissihah Wa 'Afiyah.[]

Wallahu A'lam Bissawab.

Kediri, 27-01-2018. 

*Artikel di atas diambil dari buku karya Much. Khoiri “Virus Emcho Melintas Batas Ruang Waktu” (Sidoarjo, Tankali, 2020), hlm. 13-15.

**Pesan buku, hubungi HP/WA: 081331450689 / 081233838789


MEMBANGUN ARS POETICA: Sebuah Pengantar

Kumpulan Puisi Hidayatun Mahmudah

Oleh: MUCH. KHOIRI

PADA MULANYA istilah 'Ars Poetica' digunakan dalam dunia menulis kreatif. Itu judul puisi Horace (19 SM), terdiri atas 476 baris, yang menasihati para penyair tentang seni menulis puisi dan drama. Ia berpengaruh besar dalam sastra Eropah, terutama drama Prancis. Horace mendekati puisi sebagai karya seni (praktisnya), bukan pendekatan teoretis seperti Aristotle, Plato, dan Socrates.

Judul puisi yang sama, "Ars Poetica", juga pernah ditulis Archibald Macleish (1917-1982). Dalam puisi pendek ini, dia mendefinisikan puisi dengan metafora yang menarik. Antara lain, puisi itu "worldless" dan "motionless". Di bait terakhir, dia menulis: "A poem should not mean But be." Puisi seharusnya tidak bermakna lain kecuali (makna) ia sendiri.

Kedua judul puisi di atas menyiratkan pentingnya nilai seni dalam menulis puisi (dan karya kreatif). "Ars" atau art (karya seni) mengacu ke karya cipta dengan nilai estetika,
plus bobot isi yang bagus. Karena bertradisi di kalangan penulis kreatif (pengarang dan penyair), ars poetica seakan hanya milik eksklusif para sastrawan. Hal ini berlangsung berabad lamanya.

Kemudian dewasa ini eksklusivitas tersebut telah mencair. Berkembanglah pemahaman bahwa karya kreatif mengalami pemekaran genre, bukan hanya pros
a, puisi, dan drama--melainkan juga esai kreatif, jurnalistik, journal writing, dsb. Penulis non-kreatif pun mengadopsi dan mengadaptasi teknik penulisan karya kreatif. Maka, berkembang pulalah pemahaman orang tentang ars poetica. Sebutan pengarang (author) dan penulis (writer) kerap dipertukaristilahkan, bahkan keduanya dianggap sama.

Dengan demikian, ars poetica bukan semata milik sastrawan yang sangat kental dengan nilai estetikanya. Ars poetica juga menjadi hak penulis umum yang telah mencapai tingkat kemahiran tertentu. Penggunaan sebutan ars poetica semakin inklusif dan disampaikan dalam berbagai fora dan momentum.

Kini, dalam praktiknya, ada perluasan makna ars poetica, yakni ciri pemerlain gaya pengucapan atau gaya tulisan penulis yang sifatnya ikonik-representatif. Ini mengingat, dewasa ini telah berkembang gaya tulisan non-fiksi yang menyerupai tulisan fiksi. Journal writing, yakni catatan harian, ditulis begitu memukau sehingga mirip sebuah memoar atau novel.

Dalam konteks ini, setiap penulis seharusnya "menemukan" ars poetica-nya sendiri. Penemuan ini ditempuh dengan serangkaian latihan tak kenal lelah, sehingga dia mendapati bahwa gaya tulisan tertentu sangat
tepat dan nyaman baginya untuk menciptakan karya. Latihannya bisa memakan waktu berbulan, bisa pula bertahun-tahun, bergantung intensitas latihan dan kepiawaian penulis. 

Bagi penulis pemula, ars poetica biasaya belum melekat padanya. Maqam-nya masih syariat, menulis masih sesuai kaidah-kaidah yang mengikat. Lalu, ketika berlatih keras, dia akan melalui maqam thariqat (jalan) menulis. Dengan passion belajar yang tinggi, dia mencoba berbagai teknik menulis, berdasarkan pengetahuan, teladan, dan pengembangan sendiri.
 

Pada maqam hakikat menulis, dia telah menemukan jati dirinya
—keunikan-diri—dalam menulis. Ars poetica-nya melekat pada dirinya. Terlebih, jika dia telah mencapai makrifat menulis, di mana telah terbuka hijab antara diri dan saripati objek tulisan. Area abstrak dan kearifan sudah menjadi bagian tulisannya. Orang seperti ini akan bisa menghasilkan tulisan yang bernas dan mendalam, meski pengucapannya sederhana.

Jika penulis telah berpengalaman, anggaplah mencapai maqam hakikat atau makrifat, maka ars poetica-nya sudah ikonik-re
presentatif baginya. Maksudnya, tulisannya merupakan wakil atau representasi atas keberadaannya. Andaikata tulisannya tanpa tertulis namanya, orang bisa mengenali bahwa tulisan itu adalah karyanya. Jika tulisan itu diplagiat orang lain, mudah untuk membuktikan siapa penulis sebenarnya (mana yang asli dan mana yang palsu).

Ya, ars poetica tidak bisa dipertukarkan, itu merek atau hak paten seorang penulis. Dalam menulis novel absurd, Budi Darma berbeda dengan Iwan Simatupang, Kuntowijoyo, atau Danarto. Puisi-puisi WS Rendra juga tak sama dengan puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail, Emha Ainun Nadjib, Sosiawan Leak. Drama-drama Riantiarno juga berbeda dengan drama garapan
WS Rendra, Putu Wijaya, dan dramawan kontemporer.

Dalam esai gaya satire Mahbub Djunaidi tentu tidak sama dengan esai-esai karya Goenawan Mohammad, Kang Sobari, Dahlan Iskan, atau AS Laksana. Demikian pun kalau kita membaca esai Gus Dur, Rhenald Kasali, dan sejumlah kolumnis negeri ini. Masing-masing memiliki cirikhasnya sendiri. Mereka punya hak paten menulis sendiri.

Ars poetica itu bisa disebut semacam atribut, emblem, atau kartu nama bagi penulis. Itu ciri pemerlain (pembeda) baginya dari penulis lain. Ars poetica itu melepaskan diri dari tindakan epigon (mengekor) dan plagiarisme (pencurian karya). Ars poetica adalah jati diri dan martabat penulis di mata penulis lain, kritikus, pengamat, dan pembaca umum.

***


Tak dimungkiri, setiap penulis—sengaja atau tidak sengaja—membangun ars poetica-nya sendiri sepanjang proses kreatifnya. Begitu pula Hidayatun Mahmudah, penulis kumpulan puisi ini. Pada hakikatnya dia juga sedang dan telah membangun ars poetica-nya sendiri, yang membedakannya dengan penulis lain. Bagaimanapun, keunikan ars poetica memiliki nilai khusus di mata orang lain.

Dalam kumpulan ini, penulis pada hakikatnya sedang berkomunikasi—tentang perasaan, kegalauan, dan berbagai emosi lain yang mengaduk dirinya—kepada manusia, alam, dan Tuhan. Dalam puisi “Lepas, Terbanglah Merpatiku”, misalnya, penulis tampak sedang mengkomunikasikan sesuatu kepada seseorang, sebagaimana tampak dalam kutipan bait terakhir ini:
.......
bebaskan saja aku
hingga sayapmu tak lagi berat mengepak
karena kakimu tak lagi mencengkeram hatiku
yang nyata tak pernah ada dalam hidupmu
kuikhlaskan semua
biarkan hatiku tetap bersama CintaNya yang tak pernah meninggalkanku.

Yang paling kentara adalah bagaimana penulis berkomunikasi dengan Tuhan. Pada kutipan di atas pun, penulis menautkan speaker (penyampai pesan) kepada Tuhan yang (diyakini) tak pernah meninggalkannya. Ada sebuah kesadaran mendalam (di balik ketidaksadaran) yang senantiasa ingin menghadirkan Tuhan di dalam hidupnya.

Kesadaran menghadirkan Tuhan sudah menampak sejak puisi kedua “Beliung”: Rinai hujan-Mu, suburkan seluruh penduduk bumi/pohon-pohon menjulang tinggi/menari kadang angin yang memainkannya/adalah takdir-Mu. Indikasi ini pun terpantul dari puisi-puisi lain. Kesadaran inilah yang membawa penulis menyertakan Tuhan di dalam sebagian besar puisinya. Semacam pantulan religiositas penulis dalam puisi yang dapat ditangkap oleh pembaca.

Itulah mengapa penulis tidak berbasa-basi dalam memilih diksinya. Dia menggunakan pilihan diksi yang sederhana, tidak berbunga-bunga—meski tidak kehilangan makna yang diharapkan. Jika masih ada kekurangsempuranaan dalam pilihan diksi dan bagaimana menyusunnya ke dalam bangunan puisi yang ideal, itulah yang saya sebutkan dalam judul pengantar ini. Sebagaimana penulis lain, Hidayatun Mahmudah juga telah dan sedang membangun ars poetica-nya sendiri.

Apakah Hidayatun Mahmudah akan konsisten dalam membangun ars poetica-nya sehingga dia menemukan ars poetica  yang ikonik? Pertanyaan ini biarlah dijawab sendiri oleh Hidayatun Mahmudah dalam menjalani proses kreatifnya—sebagaimana saya kerap memberikan pertanyaan sama kepada penulis lain. Sementara itu, waktulah yang bakal menyaksikan apakah ars poetica yang ditargetkan tercapai.

Tentu saja, saya berharap, Hidayatun Mahmudah, sebagaimana penulis lain, berhasil membangun ars poetica yang ikonik dan unik di mata orang lain. Sekali lagi, ars poetica adalah jati diri dan martabat penulis yang patut diperjuangkan. Tengoklah 110 penerima hadiah Nobel Sastra: Mereka menerima penghargaan tertinggi dalam dunia menulis itu berkat ars poetica dan keunikan konsisten yang dimiliki dan diperjuangkannya.[]

*Artikel ini adalah kata pengantar untuk buku Hidayatun Mahmudah berjudul “Munajat Cinta” (Gresik, Semesta Aksara, 2018). Terima kasih disampaikan kepada penulis buku dan penerbit.

**Pesan buku, hubungi HP/WA: 081331450689 / 081233838789



Wednesday, April 15, 2020

MENEBAR VIRUS KARAKTER RELIJIUS, Sebuah Kata Pengantar

Buku karya Priyandono

Oleh: MUCH. KHOIRI

BEBERAPA dasa warsa lalu, masyarakat sangat mengagungkan kecerdasan akademik atau lebih akrab dengan IQ (intelligence quotient) sebagai penentu kesuksesan. Barangsiapa memiliki IQ tinggi, dialah yang dipercaya meraih sukses di masa depan. Ternyata, sejalan pergeseran waktu dan konsep kesuksesan, bergeserlah keyakinan masyarakat tentang apa yang berpengaruh besar pada kesuksesan: ada keserdasan emosional (emotional quotient, EQ), kecerdasan spiritual (spiritual quotient, SQ), kecerdasan emosional-spritual (emotional and spiritual quotient, ESQ) dan sebagainya.

Penulis buku ini, Sdr. Priyandono, menegaskan pentingnya “karakter relijius.” Meski tidak secara eksplisit mengatakannya, dia sangat yakin bahwa karakter relijius bisa menjadi “kata kuncinya”. Dengan menempatkan karakter sebagai kata kunci, kita bisa mengukur seberapa penting hal ini bagi kerangka pikir dalam penyusunan buku ini.

Karakter relijius sendiri merupakan salah satu karakter utama yang digarap pemerintah kita dalam Penguatan Pendidikan Karakter (PPK), yang didukung dengan pembudayaan literasi. Empat karakter utama lain adalah nasionalisme, gotong royong, mandiri, dan integritas. Dalam pandangan penulis buku, karakter relijius merupakan karakter mendasar yang bersumber pada keyakinan pada Tuhan yang sangat penting untuk ditumbuhkembangkan bagi siapa saja—yang dengan sendirinya memperkuat empat karakter lain.

Tatkala orang memiliki karakter relijius kuat, amat boleh jadi dia memiliki jiwa nasionalisme kuat pula; sebab, berbagai Agama juga mewajibkan umatnya untuk membela negara. Orang berkarakter relijius kuat juga suka bergotong-royong; selain karena harus saling-mengenal, dia hakikatnya makhluk sosial yang wajib membantu orang lain. Orang berkarakter relijius juga harus mandiri—malu untuk bergantung pada orang lain; karena itu, dia akan bekerja keras, cerdas, dan ikhlas. Selain itu, orang berkarakter relijius membentuk diri sebagai manusia berintegritas. Dia memiliki konsep diri dan keyakinan diri yang kokoh berkat pengenalan diri yang paripurna.

Bagi penulis buku ini, karakter relijius sangat penting agar setiap gerak dan langkah seseorang selalu menghadirkan Tuhan. Menurutnya, tidak ada satu pun yang diraih seseorang tanpa intervensi Tuhan. Bagi orang berkarakter relijius, Tuhan senantiasa hadir di dalam dirinya: pikiran, perasaan, ucapan, sikap dan perilakunya. Inilah, menurut penulis buku, yang harus ditebarkan dan disuburkan hidupnya di ruang persemaian yang lebih luas.

Menebar virus karakter relijius, tentu, bisa beragam caranya. Dalam buku ini, penulis buku berbagi tulisannya—dengan keyakinan bahwa artikel-artikel yang ada berpotensi memiliki andil besar membentuk karakter relijius. Bahkan, dia menegaskan, buku ini dapat menuntun seseorang menjadi semakin dekat dengan Tuhan. Tentu saja, semua itu terjadi tatkala artikel ini dibaca, dipahami, dan diamalkan dengan segenap hati. Jangan percaya sekarang; bacalah dulu isinya, barulah Anda boleh bersikap.

 Terdapat 15 artikel yang menarik untuk dituntaskan satu per satu—yang kebanyakan merupakan artikel reflektif dan evaluatif atas fenomena atau pengalaman hidup yang beragam. Artikel pertama, yang menjadi judul buku ini, adalah “Bisnis dengan Tuhan” yang mengisyaratkan kepada pembaca untuk hanya berbisnis atau bertransaksi dengan Tuhan. Jika kita beribadah, lakukan yang terbaik dan ikhlas, dan biarlah Tuhan “membayar” nilai pengabdian yang kita tunaikan. Demikian pun ketika kita bersedekah, beramal shalih, dan sebagainya. Artikel ini mengandung bias-bias makna yang luas, sehingga tepat rasanya jika ia jadikan judul buku ini.

Artikel-artikel lain seperti “Mencari Berkahnya, Bukan Jumlahnya”, “Rezeki Terbaik adalah Sabar”, “Padukan Kesalehan Ritual dengan Kesalehan Natural”, “Menghadirkan Tuhan di Sekolah”, dan sebagainya menawarkan pencerahan-pencerahan  yang patut dipetik hikmah dan inspirasinya. Akan lebih indah maknanya tatkala kita sebagai pembaca melakukan refleksi kritis dan evaluatif setelah membaca setiap satu artikel. Rasakan ada dialog kecil internal yang mengayakan.

Saya berharap, seluruh artikel dalam buku ini menyapa pembaca dengan telaten hingga titik terakhir. Setidaknya seperti yang saya alami, buku ini membuat saya betah membacanya—karena buku disajikan dengan bahasa egaliter, sederhana, dan mengalir. Bagi siapapun yang memburu karakter relijius—baik siswa, guru, praktisi pendidikan, maupun masyarakat umum—buku ini pantas dijadikan dalah satu koleksi bacaan yang mencerahkan.

Tentu saja, dalam kesempatan ini, saya sampaikan apresiasi kepada penulis buku ini, seseorang guru yang memang suka menulis di berbagai media massa dan jurnal ilmiah. Diterbitkannya buku ini membuktikan bahwa penulis buku ini termasuk dalam jajaran “guru penulis”, yakni guru yang profesional dan sekaligus menekuni avokasi (profesi tambahan) sebagai penulis. Mudah-mudahan Pak Pri—begitu saya sering menyapanya—istiqamah dalam berkarya dan menyandang status guru penulis.

Dengan memohon ridha Tuhan yang Maha Pemurah, saya panjatkan doa dari lubuk hati paling dalam agar virus relijius menebar luas ke segala penjuru negeri tercinta ini. Insyaallah kelak kita akan mendapati lebih banyak manusia Indonesia yang kuat karakter relijiusnya. Akhirnya, selamat membaca dengan segenap hati, dan selamat memetik mutiara hikmah dan inspirasi.[]

*Artikel ini adalah kata pengantar untuk buku Ki Priyandono berjudul “Berbisnis dengan Tuhan” (Jakarta, Elex Media Komputindo, 2018). Terima kasih disampaikan kepada penulis buku dan penerbit.

**Pesan buku, hubungi HP/WA: 081331450689 / 081233838789




JARAK FISIK, BUKAN JARAK SOSIAL

Dok. Pribadi

Oleh: Much. Khoiri

KALAU Anda akan masuk ke wilayah kami, salah satu blok di Perumnas Kotabaru Driyorejo, kami mohon maaf telah menerapkan sterilisasi wilayah. Pasalnya, kami harus melindungi keamanan dan kenyaman warga kami, dari kemungkinan penyebaran Covid-19. Kami mencoba memutus penyebaran itu.

Di gang-gang masuk, palang pintu kami pasang, dengan tulisan informatif tentang sterilisasi itu. Mohon pengertiaannya. Kami pun juga tidak bisa keluar lewat gang berpalang itu. Dari wilayah empat RT, hanya satu pintu masuk-keluar kami; selebihnya tertutup palang. Pengurus kampung ingin menegakkan hal ini. Jadi, Anda yang terbiasa melintas kampung kami, sudilah kiranya untuk memutar sedikit lewat jalan tengah.

Kalau ada tamu dari luar wilayah ke salah satu warga kami, protokol kesehatan dijalankan. Kami sampaikan ke pengurus jika perlu. Bukan hanya jaga jarak fisik, termasuk tidak bersalaman dan mengatur tempat duduk, namun juga mencuci tangan dengan sabun. Untuk itu, pengurus telah menyediakan air pancur dan sabun di sejumlah bagian jalan kampung.

Demi kewaspadaan, kami bahkan melakukan penyemprotan disinfektan satu kali seminggu, setidaknya sampai ke beranda setiap rumah. Seluruh pengurus dan adik-adik remas (remaja masjid), plus dukungan donasi dari para dermawan, semoga dibalas Allah dengan limpahan pahala kebaikan. Tak terlewat, seluruh warga pun berpartisipasi di dalam menjaga kebersihan lingkungan. Semoga semua tercatat sebagai amal shalih.

Jangankan yang bersifat klasikal seperti itu. Dalam skala kecil pun, kami harus menerapkan jaga-jarak fisik (physical distancing). Untuk Anda yang terbiasa melewati kampung kami, kali ini, mohon maaf, kami tidak bisa bersalaman dengan Anda. Bukan berarti kami sombong, namun kami hanya waspada, sebab Covid-19 bisa menyebar lewat sentuhan. Kita harus memutus itu.

Jika Anda tidak mau bersalaman, kami juga sudah paham. Termasuk, untuk ibu-ibu, kami paham jika tidak ada ritual cipika-cipiki (cium pipi kanan, cium pipi kiri). Kami tidak akan mengecap Anda sombong atau arogan, tidak sama sekali. Kita cukup mengangkat setangkup dua tapak tangan kita di dada, dan mengatakan permohonan maaf atau salam. Itu kiranya sudah cukup untuk mewakili salaman kita.

Jangankan bersalaman atau cipika-cipiki dalam pergaulan. Seusai ibadah shalat pun, kali ini kami tidak saling berjabatan tangan. Setelah salam, kami langsung berwirid dan berdoa secukupnya, dan lekas pulang ke rumah masing-masing. Sebagian di antara kami masih harus memakai masker selama shalat di masjid.

Jadi, mohon dipahami, semua itu hanya jaga jarak fisik, jangan dimaknai sebagai jaga jarak sosial (social distancing). Ada perbedaan antara jarak fisik (physical distance) dan jarak sosial (social distance). Imbuhan –ing pada kata distance bermakna “ambil jarak”.

Jarak sosial itu jarak antar individu dalam kehidupan sosial. Jarak sosial itu mengasosiasikan dekat-jauhnya hubungan sosial antara warga satu dan warga lain. Jika kami tetap merasa rukun, bersama, dan berjiwa gotong-royong—termasuk dalam penerapan sterilisasi wilayah---itu artinya jarak sosial kami dekat. Sebaliknya, jarak sosial kami jauh andaikata kami tidak pernah saling menyapa atau bahkan berkonflik.

Nah, dalam sikon lock-down atau sterilisasi wilayah ini, biarlah kami mengalami jaga jarak fisik saja, tetapi jangan sampai terjadi jarak sosial yang jauh. Dengan kata lain, meski kami tidak saling bersalaman, mengobrol bersama, dan berkerumun dalam hajatan, kami pastikan kami adalah saudara yang saling menyayangi—dengan jarak sosial yang amat dekat. Bahkan, kita ibaratnya tanpa jarak sosial.

Justru dengan kedekatan jarak sosial, masih tetap berdoa bersama, entah berjamaah di masjid atau di rumah masing-masing, itu menguatkan solidaritas sosial kami. Bahkan ikatan sosial kami menjadi semakin kuat. Senasib sepenanggungan kami alami bersama, termasuk menghadapi ujian covid-19 sendiri. Kebersamaan kami hadir dalam kehidupan.

Kami punya Allah, Tuhan Yang Maha Segala-galanya. Kami percaya, firman Allah dalam QS Al-Insyirah (ayat 6): “inna ma’al-‘usri yusraa, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.” Dengan ikhtiar dan doa kami bersama kami akan diberi kekuatan untuk melewati ujian covid-19 dengan baik-baik saja. Semoga Allah menhabulkannya. Aamiinx100.[]

*Much. Khoiri adalah penggerak literasi, dosen, trainer, editor, dan penulis 42 buku dari Unesa Surabaya. Tulisan ini pendapat pribadi.


Monday, April 13, 2020

Berguru pada Aceng (2): Sadar dan Bangkit

Gambar dari ikiwonosobomas.com

Oleh: Much. Khoiri

Tidak selamanya hitam itu hitam; ia bisa berubah, mungkin menjadi abu-abu atau putih. Begitulah, Aceng tidak stagnan menjadi preman yang biasa memalak orang lain. Manusia bisa berubah menjadi lebih baik. Dia sadar akan siapa dirinya karena suatu sebab yang sangat penting. Sebuah pemicu (trigger) hadir untuk menggugah kesadarannya.

Ya, pemicu kesadaran itu kelihatannya sederhana, namun sangat dahsyat membangun kesadaran Aceng. Yakni, ada seorang difabel, seperti dirinya, melewati dirinya bersama istri cantiknya dan empat anaknya. “Wah, dia yang difabel saja bisa punya istri cantik dan punya empat anak, berarti aku juga bisa dong,” begitu pikirnya. “Aku tidak boleh putus asa. Aku harus bangkit menjadi manusia yang baik.”

Maka, pensiunlah dia dari statusnya sebagai preman. Dia ingin menjadi Aceng yang baru. Metamorfosis. Setidaknya, dia juga ingin menjadi manusia yang “normal”, memiliki keluarga seperti difabel yang beristri cantik dan beranak empat orang. Maka, dia memutar otak untuk menemukan talenta terpendamnya. Dia belajar bermain gitar! Tidak singkat waktunya. Enam tahun dia berlatih bermain gitar!

Itulah prinsip hidupnya yang tak mudah tergoyahkan, yakni semangat belajar. Dia bersemangat belajar main gitar dan menyanyi meski di mata orang normal semua itu mustahil, setidaknya sangat sulit dilakukan. Bagaimana mungkin Aceng bermain gitar hanya dengan jari-jari kakinya; sedangkan bermain dengan jemari tangan saja tidaklah mudah. Bagaimana jari-jari kakinya bisa memencet senar-senar gitar dengan pola-pola tertentu untuk menghasilkan suara yang diinginkan? Sekali lagi, belajar!

Bahkan, kepada Kich Andy, dia mengaku, dia bisa makan dengan supit pun karena mau belajar. Kick Andy sejenak terkejut atas pengakuan itu. “Saya saja kesulitan makan pakai supit,” selorohnya. Maka, spontan, Aceng menukasnya: “Nggak mau belajar sih.” Dia lantas tertawa berderai. Kick Anda juga menanggapinya dengan tawaan, disertai gemuruh tepuk tangan hadirin di dalam studio rekaman.

Namun, kepahitan belum lagi sirna dari kisah perjanalan Aceng. Begitulah, emas tidak akan kelihatan emas jika tidak digosok dan diolah. Emasnya Aceng ya karena dia diuji dengan berbagai kesulitan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Dia digosok dan diolah untuk menjadi Aceng baru yang memiliki kualitas emas. Apa gosokan itu? Salah satunya adalah dia pernah---bahkan dua kali---berniat melakukan upaya bunuh diri, semua karena cinta. Orangtua gadis yang dicintainya tidak menyetujui hubungan asmara tidak normal itu. Dia ditolak camer alias calon mertua.

Penolakan orangtua gadis yang dicintainya, dua kali bahkan, permah membuatnya ingin bunuh diri. Pikirnya, tidak ada gunanya Aceng hidup lebih lama lagi. Dunia terasa gelap, nyaris tiada cahaya terang bagi hatinya. Namun, dia teringat janji hatinya untuk menjadi manusia yang baik. Maka, Aceng mengurungkan niatnya untuk melunasi hidupnya. Selain terhantui rasa berdosa, bunuh diri tidak menyelesaikan masalah apa pun. Lagi pula, tetangga yang diminta memasangkan tali gantung, tidak mau, malah ketakutan.

Karena itu, kasus penolakan itu tidak membuatnya bunuh diri, melainkan menyebabkan tekadnya membaja untuk menunjukkan bahwa dia bisa menjadi manusia berprestasi. Maka, makin rajinlah dia berlatih main gitar dan menyanyi. Dia rela menjadi pengamen untuk sumber penghidupan, dan baginya itu lebih mulia ketimbang menjadi preman. Itu halal, sehalal bekerja keras seperti para tenaga kasar yang mengucurkan keringat setiap saat. Istilahnya, itu kerja keras banting tulang.

Maka, emas itu akhirnya jadilah. Apa yang digosok, kelihatanlah hasilnya. Apa yang telah Aceng tanam, akhirnya dia panen. Penghargaan MURI diterimanya pada 2006, berkat kemampuannya bermain gitar dan menyanyi sekaligus. Subhanallah, Tuhan tidaklah tidur. Doa dan harapan Aceng dikabulkan oleh-Nya. Dan itu ada konsekwensinya. Termasuk, dia akhirnya diundang Kick Andy untuk sebuah wawancara ekslusif.

Dia sudah menjadi “orang” sekarang. Namun, rasa syukurnya telah dia wujudkan ke dalam kebaikan. Dia menemukan perempuan shalihah sebagai istrinya, yang kini telah memberikannya seorang anak laki-laki. Anak laki-laki normal fisik, yang paling dia sayang. Jangankan menjadi preman, pekerjaan yang tidak halal pun dia tidak mau jalani. “Saya jadi juru parkir. Itu lebih baik daripada meminta-minta,” begitu pungkasnya.

Deg! Coba bayangkan, apa yang kita bisa lakukan seandainya kita berada di posisi Aceng, sama halnya kalau kita berada di posisi Lena. Sungguh sulit dibayangkan, bukan? Dia begitu tangguh, begitu besar semangat belajarnya, begitu tabah hatinya, begitu hebat prestasinya, dan begitu indah kebanggaan yang dia teladankan kepada anaknya. Terus terang, kita bisa belajar banyak dari Aceng, ilmu-ilmu laku yang sangat menggetarkan siapa saja. Kita bisa belajar pintar padanya; kita juga bisa belajar kebijaksanaan hidup padanya.[]

TAMAT

Berguru pada Aceng (1): Hadirnya Siluet Lena

Gambar dari ikiwonosobomas.com 

Oleh: Much. Khoiri

TATKALA “berkenalan” dengan Aceng alias Albert Dany Setiawan (alm), tuna daksa dari Wonosobo, lewat acara Kick Andy, sejenak ingatan saya terlempar pada sebuah video berkisah tentang Lena. Kondisi Lena hampir sama dengan Aceng, sama-sama tuna daksa, namun sama-sama menjadi manusia luar biasa di balik ketunaan fisik. Bedanya Lena perempuan, sedangkan Aceng laki-laki.

Dalam video itu tampak Lena kecil yang terlahir tanpa tangan, sama persis dengan kondisi Aceng. Lena diasuh orangtuanya dengan kasih sayang mendalam, karena orangtuanya berada dan berpendidikan. Mereka tahu bagaimana mendidik dan menggali potensi anak. Maka, Lena dididik sebagaimana anak normal, termasuk dilatih berenang, makan sendiri, dan sebagainya. Justru, Lena dididik secara lebih telaten dibandingkan anak normal. Ayahnya suka mengajarinya berenang.

Maka, sejalan dengan waktu berputar, Lena tumbuh menjadi gadis mandiri, dengan berbagai talenta yang dimilikinya. Dia bisa melakukan semua tugas domestik dengan kakinya sendiri. Melihatnya, kadang hati tersedot habis, air mata meleleh. Dia bermain piano, memasak, membersihkan rumah, dan sebagainya. Bahkan, dia menjuarai lomba renang difabel tingkat internasional. Juara, bayangkan! Maka, jangan kaget, dia bisa melakukan lebih dari itu—berarti melampaui kondisi fisiknya!

Ya, dia akhirnya berkeluarga. Ada lelaki berhati lembut yang menjadi tempat kepala Lena bersandar, tempat hati Lena berlabuh, dan tempat Lena berbagi hari demi hari yang dilaluinya. Dialah lelaki yang sekali tempo membiarkan Lena juga menyetir mobil sendiri. Sebuah pembiaran yang hakikatnya menghargai nilai kemandirian, sebuah wujud kasih sayang yang sesungguhnya.

Waktu pertama kali saya menonton video Lena, saya sangat malu. Sebenarnya! Itu beberapa tahun silam, tatkala saya masih cukup muda, dengan anggota tubuh lengkap dan sempurna. Malu karena saya belum mencapai prestasi yang Lena ukir sampai tingkat internasional. Belum lagi jika dijejer apa saja yang bisa dilakukan Lena, dengan kondisi fisik tanpa kedua tangan, sungguh, saya semakin malu. Saya tersudut di pojok onggokan sampah kehidupan. Saya bukanlah siapa-siapa.

Ternyata, kini siluet Lena kembali terbayang di depan mata. Ya, tepat di depan mata saya yang telanjang. Dia menjelma sebagai Aceng, tuna daksa Wonosobo yang diundang ke acara Kick Andy. Dari status sosial ekonomi, Aceng memang tidak sesejahtera Lena, demikian pun orangtua Aceng juga tidak sebanding orangtua Lena. Orangtua Lena cukup berada dan berpendidikan, namun tidak demikian orangtua Aceng.

Menurut pengakuan Aceng yang polos, kondisi tanpa kedua tangan itu pembawaan sejak lahir, sama dengan kondisi Lena. Namun, kelahiran Aceng laksana prahara dalam rumah tangga orangtuanya. Ibunya shock dan tidak bisa menerima kenyataan bahwa Aceng tidak punya dua tangan. Itu kenyataan teramat pahit dan getir, yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Merasa malu teramat sangat. Bahkan, ayahnya juga ikut-ikutan malu seperti ibu Aceng.

Saking besarnya rasa malu itu, pernah suatu ketika kedua orangtuanya berniat membunuh Aceng. Namun, niat itu diurungkan, mengingat mereka perlahan tahu bahwa Aceng ternyata bisa menjalani hidup seperti anak normal teman sepermainannya. Aceng kecil juga makan sendiri, main kelereng, main layang-layang, naik sepeda, dan sebagainya. Belakangan, makan dengan supit pun bisa!

Berlatar sosial ekonomi rendah, semasa remaja Aceng tumbuh menjadi preman. Agak menggelikan, memang. Bagaimana mungkin Aceng tanpa tangan bisa menyandang predikat preman? Ya, dia telah berlatih taekwondo. Bela dirinya bagus. Satu lagi, nekad! Jika berkelahi, dia nekad, sebab tidak ada yang disayangkan di dunia ini. Jika mati karena berkelahi, misalnya, dia tidak punya harta yang ditinggalkan. Ibaratnya, tidak ada yang digandoli. Maka, status preman disandangnya untuk beberapa tahun lamanya.

(BERSAMBUNG)


Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts