Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Friday, May 8, 2020

PENGALAMAN TERBANG PALING MENEGANGKAN

Sumber foto: Reuters
https://www.liputan6.com/global/read/2853969/
pilot-melantur-pesawat-terlambat-terbang-hingga-2-jam#
Oleh MUCH. KHOIRI

TERBANG dengan pesawat di musim dingin (winter) kerap menegangkan dan bahkan membuat orang berpacu jantung. Semua itu saya anggap wajar, mengingat cuaca di musim bersalju kerap kurang bersahabat. Namun, pada 17 Desember 1993 itu terjadilah pengalaman terbang paling menegangkan bagi saya.

Hari itu memang sangat dingin, setiba saya di bandara John F. Kennedy Airport, New York. Setelah berangkulan perpisahan dengan teman-teman penulis dari berbagai negara, termasuk novelis Hailji dari Korea Selatan, saya check-in dengan membawa bagasi dua kopor. Karena saya sudah mengantongi access baggage, proses itu saya lalui dengan cepat. United Arlines (UA), pesawatnya, menuju Narita Airport, Tokyo.

Saya duduk di dekat jendela pada seat berapa saya lupa, namun berada seperempat belakang badan pesawat Boeing besar ini. Sederet saya, dari jendela ke jendela, ada 10 seat seluruhnya. Saya kira pesawat ini berkapasasitas sekitar 450 penumpang. Sementara itu, salju tampak keputihan di luar sana, bahkan masih turun dibawa angin yang dingin menggila.

Tak lama kemudian pesawat berangkat dari JFK Airport. Tentu saja, sebelum check-out hotel tadi, saya telah memberitahu keluarga saya di Pasuruan, Jawa Timur, bahwa jadwal penjemputan sesuai rencana. Di dalam pesawat ini saya menjadi lega. Andaikata mungkin, saya ingin segera melesat tiba di Juanda, dan bersua dengan isteri dan anak saya—yang sudah berpisah berbulan-bulan dengan saya. Rindu saya pada mereka sudah menggunung dan melaut, wah, sulit saya lukiskan.

Tiba-tiba pesawat UA  yang berslogan “Fly the Friendly Skies” ini bergoncang-goncang hebat. Goncangannya lebih hebat dari goncangan pesawat yang saya tumpangi saat ke Washington,  Chicago, San Fransisco, atau Santa Fe beberapa pekan silam. Ini benar-benar membuat setiap penumpang terbangun dari tidurnya. O tidak, goncangan itu memaksa para penumpang memegangi handel seat erat-erat. Ini benar-benar menegangkan!

Lewat pengeras suara pramugari meminta seluruh penumpang untuk tenang dan tidak panik. Sementara, pramugari (senior) lain sibuk mendekati penumpang-penumpang yang mulai panik. Bahkan, dalam amatan saya, kebanyakan penumpang—tampaknya dari Jepang, Korea, Vietnam, dan sekitarnya, akhirnya mulai berteriak histeris. Tak sedikit penumpang perempuan yang menangis. Sementara, pesawat masih terus bergoncang.

Pada saat menegangkan itu, ketika penumpang lain menanyakan ada apa, berteriak atau menangis, saya hanya berdoa tanpa jeda sedikit jua. Saya hanya memasrahkan hidup-mati saya pada-Nya. Puncak doa saya, andaikan terjadi kecelakaan dan saya harus mati, saya berharap Allah memberikan kekuatan lahir-bathin kepada isteri, anak, dan seluruh keluarga saya.

Kemudian, di tengah tangisan penumpang, yang di dalamnya ada panjatan doa saya itu, pesawat saya rasakan berputas-putar. Saya lirik ke luar jendela—dan semuanya sangat gelap—namun saya rasakan pesawat sedang mengitari suatu wilayah. Sementara itu, pramugari tanpa lelah berusaha menenangkan penumpang.

Sejurus kemudian saya baru bisa melihat, remang-remang, bahwa di bawah sana, sejumlah mobil pengeruk salju dikerahkan untuk membersihkan landasan pacu. Ada yang mengeruknya, ada pula yang menyiramnya dengan air (garam). Mobil-mobil itu begitu sigap dan bergerak cepat, sehingga dalam waktu singkat, landasan pacu sudah siap digunakan. Maka, diumumkanlah bahwa, karena sesuatu hal, penerbangan akan singgah dulu di bandara Fairbanks Alaska.

Kami mendarat dengan selamat. Namun, kami belum diberitahu, tentang “sesuatu hal” yang menyebabkan persinggahan pesawat di Alaska (Amerika Utara)—yang pada musim dingin tidak ada bedanya antara siang dan malam. Tiada sinar mentari, setiap saat hanya “malam”—dan listrik pun selalu menyala. Sejurus kemudian, kami diberitahu bahwa pesawat mengalami “gangguan teknis”—dan karena itu, kami diminta turun dan menginap di hotel bandara, untuk diterbangkan esok paginya.

Maka, mengikuti yang lain, saya pun turun pesawat. Dengan mencangklong tas laptop, saya menyeberangi salju setinggi lutut menuju bis untuk diantar ke hotel. Ratusan penumpang ini tampak seperti kafilah yang berjalan beriringan, dalam hembusan angin yang amat dingin. Bagi saya, berjalan di hamparan salju merupakan perjuangan yang cukup berat.

Kami diinapkan di hotel bandara, atas tanggungan UA, termasuk makan malam dan telepon. Maka, setelah beberapa saat menenangkan diri, saya menelepon isteri di Pasuruan. Untuk sementara, guna membuatnya tenang, saya tidak menceritakan apa adanya. Saya hanya meminta jemputan ditunda 24 jam kemudian. “Jadi, jemputnya jangan besok sore, tapi lusa sore, sekitar jam empat itu. I miss you so much.”

***

PAGI harinya kami dibawa bis menuju pesawat baru, melewati pesawat yang semalam membawa kami. Yang membuat saya shock, ternyata: pangkal sayap kiri pesawat kami itu telah retak cukup serius. Meski terselimuti salju tipis, keretakan itu tampak dari bis ini. Saya kira itulah yang membuat pesawat tidak seimbang dan oleng dengan goncangan-goncangan itu.

Wow, begitu masuk ke pesawat UA baru, saya sangat lega. Pesawatnya super-boeing (Airbus) yang raksasa. Buktinya, seat saya maju beberapa meter ke depan; dan di belakang saya masih banyak seat kosong—padahal formasi seat-nya sama persis dengan pesawat sebelumnya. Saat lepas landas pun terasa glinuk-glinuk laksana paus raksana yang sedang berenang. Ini pesawat terbesar yang pernah saya tumpangi.

Pesawat UA raksasa ini membuat semua orang pulas, begitu pun saya. Tak terasa penerbangan belasan jam itu dilalui dengan nyaman. Menjelang landing di bandara Narita Airport, Tokyo, diumumkan bahwa penumpang transit untuk tujuan-tujuan tertentu harus segera menuju pesawat masing-masing. Saya sendiri kebagian pesat Singapore Airlines (SQ).

Begitu turun pesawat, saya harus berlarian menuju gate untuk SQ ke Changi Airport, Singapore. Ketika saya sampaikan tentang bagasi saya, petugas SQ akan menghubungkannya dengan Garuda (GA), pesawat saya selanjutnya menuju Surabaya. Perasaan saya sebenarnya tidak enak dengan kondisi ini, karena antara landing UA dan take-off SQ hampir tidak ada jarak waktu; sehingga, saya kira bagasi saya belum terangkut SQ yang saya tumpangi.

Penerbangan Narita-Changi saya menjadi pengalaman menegangkan kedua kalinya. Bayangkan, di bagasi saya ada semua bawaan saya: buku, dokumen, oleh-oleh, dan satu lagi—cetakan (sebagian) karya-tulisan-kreatif saya selama mengikuti International Writing Program (IWP) di negeri Paman Sam itu. Sementara, semua itu tidak sepesawat dengan saya. Bukankah kekhawatiran saya beralasan?

Baiklah, setiba di Changi Airport, kecemasan saya terjawab. Saya belum bisa mengetahui bagaimana kabar bagasi saya. Oleh petugas GA, saya hanya diberi penjelasan bahwa bagasi saya menjadi urusan mereka, dan hal itu akan diteruskan ke manajer pelayanan GA di Juanda Airport. Terpaksa saya memaklumi penjelasan petugas tersebut.

Jadi, tak urung penerbangan saya ke Juanda masih diselimuti kegelisahan.  Dan setiba di tempat tujuan, saya segera melaporkan kasus saya ke petugas GA di Juanda. Namun, rasanya saya ingin “menyambal” atau “merujak” petugas tersebut, karena tidak ada kepastian akan nasib bagasi saya. Sang petugas berkali-kali meminta maaf, dan berjanji akan menghubungi saya begitu bagasi sudah tiba di Surabaya.
Di tengah kegalauan itu, panggilan isteri saya membuat saya tersentak. Saya peluk dia dan anak saya, menumpahkan kerinduan mendalam. Saya pun bersungkem kepada orangtua dan mertua yang ikut menjemput saya di bandara. Kehadiran mereka laksana air hujan yang menyiram api kegeraman yang sedang menyala dalam diri saya. Terlebih, menggendong puteri saya seusia 11 bulan ini, membuat saya tenteram bukan kepalang.

Jadi, begitulah, kami pulang ke Pasuruan, tanpa bagasi. Sepanjang 75 menit perjalanan, saya berbagi ceria dan canda-tawa dengan semuanya. Ketika diminta untuk menjelaskan mengapa bagasi tidak saya bawa, saya berjanji untuk menceritakan kisah lengkapnya di rumah nanti—sambil menggelar acara syukuran.

***

O YA, kabar bagasi baru sampai ke saya lima hari kemudian, dan saya mendapati bagasi saya dalam kondisi kacau, termasuk isinya. Namun, masihkah saya ingin “menyambal” atau “merujak” petugas GA tersebut sekarang? Tentu tidak! Saya sudah lama memaafkannya. Saat menulis pengalaman ini saya baru saja terbang dengan GA dari Soekarno-Hattta ke Juanda—dan terpampanglah pengalaman terbang paling menegangkan yang terjadi pada tahun 1993 itu.[]

*Much. Khoiri adalah penggerak literasi, dosen, editor, penulis buku dari Unesa Surabaya.

Thursday, May 7, 2020

BEGAL MOTOR, PERLUKAH DIPETRUS?


Oleh MUCH. KHOIRI

DALAM situasi pandemi covid-19 ini, aksi begal motor bangkit lagi, bahkan semakin menyesakkan. Di kota-kota besar aksi mereka benar-benar berharga nyawa. Nyawa dipertaruhkan. Tak jarang mereka nekad melukai korban-korbannya, yang kebanyakan kaum hawa. Bahkan di beberapa sudut kota, jalan-jalan tertentu telah dianggap ekstra-rawan.

Hampir setiap hari kita menyimak berita kriminal begal motor di media cetak atau layar kaca. Banyak korban berjatuhan, tapi hanya sedikit pelaku yang tertangkap atau dimassa. Memang perintah tembak di tempat telah diberikan terhadap begal motor. Namun, aksi mereka seakan tidak pernah surut. Semakin jadi bukti, mereka telah masuk dalam lingkaran mafia.

Pertanyaannya, perlukah begal motor itu dipetrus? Petrus adalah penembakan misterius yang dilancarkan semasa Orde Baru pada tahun 1982—1985-an. Sasarannya para kriminal yang meresahkan masyarakat, yang dimulai dari komunitas “gali” (gabungan anak liar) di Yogyakarta. Dari Yogya, pemberantasan kriminal yang semula digunakan untuk shock theraphy itu meluas ke berbagai pelosok negeri.

Masih segar dalam ingatan saya. Sewaktu saya duduk di bangku SMA, saya pernah menyaksikan mayat yang tergantung di dalam kantung besar, dan diselipi uang (untuk bantuan pemakaman). Lama-kelamaan saya juga pernah menyaksikan mayat yang tergeletak di pinggir jalan, tanpa selipan uang pemakaman. Masyarakat setempat terkena getahnya: harus memakamkan mayat-mayat tak diundang itu.

Dampak terapi kejut petrus cukup kuat saat itu. Orang-orang yang memiliki simbol identitas para gali atau kriminal kelas kakap—misalnya tato—segera melakukan penghilangan simbol atau tanda yang ada. Bahkan, tak sedikit orang bertato yang rela menyeterika anggota tubuhnya, agar tidak diidentikkan dengan pada gali.

Operasi petrus itu memberikan dampak kejut yang luar biasa. Sebagai warga biasa saya merasakan rasa aman yang menyenangkan setelah operasi petrus. Angka kriminalitas tampaknya turun tajam. Sayang sekali, karena ada oknum-oknum tertentu yang menyalahgunakan, operasi petrus pun mendapat tantangan dari para pembela HAM.

Kembali ke pertanyaan, apakah begal motor perlu dipetrus? Saya bukan aparat kepolisian atau anggota militer atau aktivis pembela HAM. Namun, dalam hati saya sepakat jika (sekali lagi jika) pemerintah memutuskan untuk mempetrus para begal motor. Perintah tembak di tempat perlu ditingkatkan menjadi ‘perintah buru dan sergap’ secara proaktif.

Terlebih, kini sudah ada indikasi bahwa para begal motor telah berada dalam lingkar mafia yang memiliki kekuatan mengerikan. Kekuatan itu, antara lain, mereka tunjukkan dengan sengaja mempertontonkan aksi mereka di dekat sentra-sentra aparat keamanan. Bahkan, pernah juga ada kriminal yang menyatru kantor aparat keamanan. Ini seakan tindakan yang disengaja untuk memberikan peringatan kepada pihak berwajib.

Saya ingat ungkapan guru saya, “Kejahatan yang terorganisir, meski dengan jumlah sedikit, akan mampu melamahkan atau menghancurkan Kebaikan yang tercerai-berai meski jumlahnya banyak.” Begal motor yang terorganisir dalam lingkar mafia bisa sangat mengkhawatirkan masyarakat umum. Hal ini perlu direnungkan mendalam.  

Bagaimana dengan HAM? Inilah celah lemah dalam pengadilan. HAM kerap disanjung sedemikian sebagai alat untuk membela yang salah. Inilah pula yang kerap membuat penegakan hukum menjadi lemah. “Di situ saya kadang merasa sedih,” demikian bunyi jeritan hati itu. Banyak orang lupa bahwa hak asasi orang itu dibatasi oleh hak asasi orang lain.

Namun, jujur saja, apakah para begal motor pernah memikirkan HAM tatkala menyabetkan sajam (senjata tajam) ke korban-korbannya? Apakah mereka ingat HAM yang menjadi hak dari ahli waris korban-korban yang dijatuhkannya? Tidak! Mereka tidak ingat HAM saat beraksi. Mereka buta dan tuli akan HAM. Haruskah mereka dibela atas nama HAM pula?

Sungguh, sebagai warga negara biasa, saya hanya ingin negeri ini aman dan nyaman ditempati. Sembari merapatkan barisan di kalangan warga masyaraat, pemerintah wajib memberikan keamanan dan kenyamanan. Petrus mungkin hanya salah-satu alternatifnya. Alternatif yang urgen untuk dipertimbangkan—ketika alternatif lain tidak segera membuahkan hasil.

Semoga negeri ini segera aman dari begal motor yang meresahkan. Semoga aparat mendapat limpahan lindungan dan kekuatan lahir-batin dari Tuhan Yang Maha Kuasa.[]

Wednesday, May 6, 2020

JURUS JITU MENGINGAT NAMA

Sumber gambar: Brilio.net

Oleh MUCH. KHOIRI

KOLEGA saya kerap menyatakan bahwa saya seperti perekam nama orang, yang relatif mudah menghafal nama. Kerap mereka menanyakan (untuk konfirmasi) apakah si A merupakan mantan mahasiswa angkatan anu, atau benarkah si B mantan peserta pelatihan tahun anu.

Mengingat ada sejumlah pertanyaan bagaimana teknik mengingat nama, berikut ini saya bagi pengalaman saya tentang hal ini. Tepatnya, berikut ini paparan tentang jurus jitu mengingat nama—meski untuk orang yang baru saja kita kenal.  Bagi yang benci mengingat nama, mohon jangan ikuti lanjutan tulisan ini.

Pertama, kita perlu mendasari diri dengan niat baik untuk mengingat nama. Kita harus membangun niat baik untuk menambah teman—setiap hari. Teman sebanyak-banyaknya perlu diupayakan untuk dimiliki, mengingat ada berbagai manfaat dari suatu pertemanan. Pertemanan akan membuat kita kaya dalam arti luas—setidaknya kaya secara sosial dan psikologis.

Kedua, kita harus menghafalkan nama panggilan (call name) dan mengasosiasikan nama panggilan itu dengan “ikon predikatif” yang dimiliki orang bersangkutan. Mengapa nama panggilan? Itu sapaan akrab, tanda kedekatan bagi yang punya nama. Di samping itu, dengan nama panggilan itu, kita lebih efisien waktu—dan memori kita lebih ringan menyimpan hanya nama panggilan.

Lalu, nama panggilan itu perlu diasosiasikan ke “ikon predikatif” si empunya nama. Ikon predikatif itu meliputi predikat-predikat yang melekat pada si empunya nama, baik ikon personal maupun sosial. Misalnya, ikon predikatif bisa berupa rambut ikal, hidung pesek, badan bongsor, jilbab ungu, ketua kelas, pedagang kambing, penjual jamu, bos lele, daoke sate ular, dan sebagainya. Jadi, dalam bathin, kita bisa memanggil seseorang dengan “Revita si bos jamu singset”—atau “Joni si ketua kelas.”

Ketiga, sebelum istirahat (tidur), kita perlu memanggil (recall) ingatan kita terhadap nama yang ingin kita kenal. Secara otomatis, mengingat-kembali ini juga perlu diikuti dengan pengasosiasian ke ikon produktif pula. Hanya dengan mengingat nama, kita akan pertegas bagaimana asosiasinya dengan ikon pribadinya. Sebutlah, langkah recalling  digunakan untuk memperkuat upaya mengingat nama yang sudah kita lakukan.

Keempat, kemudian besok paginya, kita mencoba me-recall lagi nama panggilan atau ikon diri, meski hanya sepintas. Makin berpengalaman kita, akan makin mudah untuk me-recall nama panggilan tersebut maski hanya sekilas waktunya. Jika belum berpengalaman, kita bisa melatih diri untuk menghayati proses ini. Pada tahap seperti ini biasanya kita akan merasa seakan sedang di-tes (diuji) bagaimana daya ingat kita.

Tentu, setelah itu, kita akan kembali ke rutinitas kita masing-masing, dan menjadi sibuk di dalamnya. Kita tersedot ke dalam berbagai kegiatan yang melibatkan kita. Karena  itulah, amat mungkin ingatan kita terhadap orang-orang yang kita hapalkan akan melemah—yang jika dibiarkan akan benar-benar lenyap atau menguap. Ini wajar dan natural, karena sebagai manusia, kita memiliki daya ingat terbatas. Tak seorang pun manusia sempurna, dan memiliki daya ingat berlebih—kecuali memang dilatih dan dibiasakan.

Maka, masuklah kita ke jurus kelima. Yakni, selang beberapa waktu setelah kita menyimpan nama-nama yang perlu kita ingat, sekarang waktunya untuk melakukan recall nama-nama tersebut. Kita ingat nama-nama panggilan yang muncul, dan kita asosiasikan dengan ikon prediktif orang-orang itu. Langkah ini berguna untuk menancapkan akar nama-nama itu ke dalam dasar akal dan jiwa kita, akar tersimpan lebih kuat di sana.

Memang, mungkin tidak seluruh nama bisa kita recall dalam ingatan kita. Namun, dengan latihan yang terus-menerus, akan makin banyak nama yang melekat dalam ingatan kita. Hal ini bergantung pada rentang waktu antara hari terakhir kita mengenal nama-nama itu dan waktu kita me-recall saat ini. Semakin lama rentang waktunya, prosentase kemunculan nama di dalam layar ingatan kita akan mengecil.

Meski demikian, jika latihan ini dilakukan terus-menerus, prosentase kemunculan nama di dalam layar ingatan kita akan membaik. Artinya, pembiasaan ini akan memperkuat kemungkinan (probabilitas) munculnya nama-nama lama tersebut di dalam ingatan kita. Demikian seterusnya pembiasaan dapat dilakukan dari waktu ke waktu, agar hasilnya lebih memuaskan.

Beruntunglah, jika ada forum atau kesempatan yang bisa mempertemukan kita dengan orang-orang yang kita upayakan untuk diingat. Hal ini merupakan momentum untuk menguatkan memori kita, terutama asosiasi nama dan ikon predikatif yang telah kita tetapkan sejak awal. Jika pertemuan ini kerap terjadi, peluang untuk menguatkan memori semakin terbuka lebih luas.

Jadi, kunci pentingnya: latihan! Saya sudah melakukan latihan mengingat nama ini bertahun-tahun, secara naluriah dan otomatis, sesuai dengan niatan saya untuk memiliki teman sebanyak-banyaknya. Jadi, kini saya bersyukur karena telah mengingat nama-nama mahasiswa saya, misalnya, dari berbagai angkatan—setidaknya bisa menyebut 20% dari setiap angkatan sudah cukup bagus.

Sekadar ilustrasi, saya pernah akan menggelar reuni teman kuliah saya, yang sudah berpisah sejak tahun 1988 (sekitar 24 tahun silam). Lalu, teman karib saya meminta saya untuk membuat daftar teman-teman. Maka, saya buat daftar nama itu. Teman karib saya terbelalak ketika tahu bahwa saya bisa menyebut 27 nama dari 35 teman sekelas saya—setelah berpisah sekitar 24 tahun.

Demikianlah, jurus jitu mengingat nama. Meski demikian, kejituan jurus-jurus tersebut bergantung pada bagaimana kita mempraktikannya, dengan berkali-kali melakukan latihan. Bukankah practice makes all things perfect? (Latihan membuat segala sesuatu sempurna?).*

#Dosen Unesa, penggerak literasi, trainer, editor, penulis 42 buku
#Blog-1: muchkhoiriunesa.blogspot.com
#Blog-2: muchkhoiri.gurusiana.id
#Web-1: jalindo.net
#Web-2:  sahabatpenakita.id
#FB:  much.khoiri.90
#IG-1: @much.khoiri
#IG-2: @emcho_bookstore


Tuesday, May 5, 2020

DUEL DENGAN STREET BOY DI NEW YORK

Lokasi: Sebuah fery di Lousiana, AS
Sumber gambar: Dok. Pribadi

Oleh MUCH. KHOIRI

PETANG INI saya berselancar mengarungi dunia maya. Saya jelajahi kota-kota besar dunia. Sejenak mata saya terpaku ke kota New York. Saya pandangi sebuah avenue, Broadway Ave. Itulah yang mempelantingkan saya ke kenangan masa silam.

Hari itu Sabtu, sebuah petang, pertama 1993. Baru sehari kami para penulis dari berbagai negara singgah di New York, kota terakhir yang harus dikunjungi dalam rangka International Writing Program.  Beberapa hari ke depan kami dijadwalkan bersua penulis dan penerbit, mengunjungi museum, gedung teater, galeri seni, dan sebagainya. Hari ini, Sabtu petang pertama 1993, beberapa dari kami ingin melihat-lihat kota tempat patung Liberty itu.

Dengan tujuan gedung Empire State Building (ESB), delapan dari kami bergegas mengayun kaki di antara sapuan dingin musim winter. Sejak keluar dari Loewis Hotel kami sudah kedinginan—seingat saya suhu sekitar 6 derajat, dan kami telah membeli minum mix coffee di pinggir taman. Kami harus melewati beberapa road untuk sampai ke Broadway Avenue. (Avenue itu ‘ibu’-nya street, dan street itu ‘ibu’-nya road.) Nanti kita tinggal berjalan lurus sekitar 600 meter, dan gedung pencakar langit itu ada di sisi kiri kami.

Saat menyusuri avenue itu, kami berjalan berombongan sambil bercakap-cakap apa saja—sedangkan saya berada paling belakang. Biasa, naluri laki-laki, maunya melindungi. Tujuh penulis di depan saya adalah perempuan; jadi, saya mengiringi mereka dari belakang. Sementara itu, salju masih terus turun, sehingga dingin yang menusuk tulang telah menggiring para pejalan kaki ke dalam gedung. Seakan hanya kami yang menembus jalanan bersalju—dan tentu mobil-mobil yang (jarang-jarang) melintas di avenue.

Tiba-tiba saya lihat ada seorang nenek yang hendak menyeberang avenue (dari seberang sana), sesuatu tindakan yang sebenarnya dilarang. Seharusnya pejalan kaki menyeberang jalan lewat bawah tanah (undergroud), sebab avenue dengan beberapa lajur lintasan itu amat berbahaya untuk diseberangi pedestrian (pejalan kaki). Tapi si nenek, yang berjalan perlahan itu, benar-benar nekad mempertaruhkan nyawanya.

Maka, secepat kilat, tanpa menggubris teman-teman, saya melesat dan membantu nenek itu. Beruntunglah di petang ini kendaraan cukup jarang melintas di avenue; andaikata di hari musim panas, misalnya, avenue itu pastilah sangat padat dan tak  mungkin diseberangi. Sejurus kemudian saya sudah menuntun sang nenek hingga tepian avenue sini. Dia berterima kasih berat, dan saya pun bersyukur karenanya.

Saya pun terhenyak. Tak satu pun teman saya ada di sini—bahkan bayang-bayang mereka tak tampak di kejauhan, akibat tebalnya serpihan salju (flakes) yang berjatuhan. Jalanan begitu senyap; supermarket sebaliknya. Di kejauhan tampak gedung ESB menjulang dengan gagahnya. Saya sendirian, menghayati sisa-sisa hari saya di negeri Paman Sam.

Tiba-tiba ada seorang anak jalanan (street boy), berkulit hitam, setinggi 190 cm, dengan mantel salju a-la rocker, mendekat. Kedua tangannya terselip di saku mantel. Tubuhnya bergoyang ke kiri ke kanan. Dan, secepat kilat, dia menempelkan “sesuatu” ke perut kiri saya. Andaikata baju saya tidak rangkap empat—singlet, T-Shirt, hem panjang kotak-kotak, dan mantel salju—pastilah tempelan “sesuatu” itu lebih terasa.

Lalu, pemuda hitam itu mengancam, “Your bag.

Saya lirik “sesuatu” itu. Dalam kilauan lampu saya kenali benda itu—dan ternyata bukan pistol, hanya sepucuk pisau a-la marinir (yang bisa memanjang hanya dengan memijat knob-nya). Tampak kilauan sebagian permukaannya. Andai itu pistol, matilah saya!

Come on, your bag!” bentaknya, sambil tetap menempel saya.

What do you mean?” Saya mengulur waktu, sambil mencari kesempatan.

What do you mean by ‘your bag’?

All you have,” tegasnya, sambil bermain permen karetnya.

All I have, you mean?

Semuanya yang di tas pinggang ini? Gila betul orang senewen ini. Di tas saya ini saya bawa paspor, travelers cheque, semua uang saku tunai, dan kunci-kunci bagasi. Sementara, saya yakin, wajib hukumnya membela harta dan nyawa dari orang yang akan merampasnya.

Makin terasa tusukan pisau itu. Dia membentak lagi, “Give it now!”  

Secepat kilat, dengan gerakan bela diri, saya menjauh dari penodong itu. Saya pun berkuda-kuda, siap menghadapinya untuk duel. “No way. I will never give any penny to you.” Saya juga tegaskan, andaikan dia sopan, pastilah saya akan memberinya—(kalau di daerah Bronx, tip liar anak jalanan sekitar 10-15 dolar).

Maka, dia pun marah. “Don’t push me. You give me no choice.”

Since you are impolite, I don’t give you any penny.”

Kemarahannya memuncak. Dia menyabetkan dan menusukkan pisau itu dengan serampangan. Tampak sekali, dia ngawur.

Saya pun menghindar, bergaya Bruce Lee, dua-tiga kali.
Dia menyerang kembali. Kali ini saya sempat memukul perutnya.
Wow, betapa jangkungnya orang ini. Andai saya tendang ulu-hatinya pun, kaki saya mungkin tidak sampai. Maka, saya pun ambil jarak mundur dua langkah. “Listen, I’m not a Latino. I am Asian. Don’t play tricks on me.”

Begitu saya mengaku bukan orang Amerika Latin, tmelainkan orang Asia, mimiknya sedikit berubah. Ada aura kecemasan menghadapi saya. Terlebih, serangannya gagal untuk tiga-empat kali. Namun, dia masih mencoba menyerang saya sekali lagi.

Saya pun makin menunjukkan jurus-jurus pertahanan diri. Seumur-umur baru kali ini saya akan gunakan, modifikasi jurus kungfu lagi.
Maka, setelah gagal merampok saya, penodong itu mengeloyor pergi, sambil bergumam berkali-kali, “What a fucking shit! What a shit! Shit!

Kembali ke posisi semula, saya pun bersyukur. Tuhan telah menyelamatkan jiwa dan harta saya. Hanya dengan gerakan bela diri, penodong itu kabur. Mungkin dia keder juga atas pengakuan saya sebagai orang Asia, yang saat itu bisa diasumsikan identik dengan kungfu. Saat itu, ada sejumlah perguruan kungfu Bruce Lee didirikan di AS, dan cukup disegani. (Di kota lain saya juga pernah mendapati perguruan bela diri dari Indonesia. Kalau tidak salah, di San Fransisco.)

Maka, saya segera berlari menyusul teman-teman penulis ke gedung ESB si pencakar langit itu. Setiba di sana, ternyata mereka sedang duduk, menunggu saya. Mereka kelihatan cemas. Begitu saya menghampiri, mereka pun lega dan tersenyum.

“Ke mana saja adikku ini?” kata Kanchana Ugbabe, novelis dari Nigeria, berdarah India. Saya memang peserta paling muda, dan dia sering menyebut saya ‘young brother’ (adik). “Something wrong happened?”

Only a little story.” Saya jawab dengan bercanda.

Little story? Little story that made us worried. What is that?” sambung Etidal Osman, novelis Mesir. Sementara, Assamala Amoi, penulis Ivory Coast (Pantai Gading), masih tampak cemas. Teman-teman penulis lain, dari Uganda, New Zealand, Romania, dan China, ikut mendesak pengakuan saya.

Maka, dengan tenang saya mengisahkan pengalaman yang baru saja menimpa saya. Saya sampaikan dengan detail dan penuh penghayatan. Mulai awal hingga akhir. Dan mereka menyimaknya dengan serius, tak ingin melewatkan sedikit pun bagian kisah nyata saya ini.

Setelah itu, mereka pun bergantian memeluk saya—pelukan kakak kepada adiknya. Bahagia sekali saya punya saudara bangsa dari berbagai sudut dunia ini. Maka, sambil menaiki lift ke lantai 23 ESB, tak henti-hentinya saya bersyukur. Namun, ada satu ungkapan yang berkali-kali masih mereka anekdotkan sambil ketawa kecil.  I am Asian. No play tricks on me.”*

#Dosen Unesa, penggerak literasi, trainer, editor, penulis 42 buku
#Blog-1: muchkhoiriunesa.blogspot.com
#Blog-2: muchkhoiri.gurusiana.id
#Web-1: jalindo.net
#Web-2:  sahabatpenakita.id
#FB:  much.khoiri.90
#IG-1: @much.khoiri
#IG-2: @emcho_bookstore


Monday, May 4, 2020

SMALL SALARY BUT BIG INCOME

Foto dengan 'Man at Work (Slovakia)
Sumber gambar: Dok. Pribadi

Oleh: MUCH. KHOIRI

ISTILAH “gaji” (salary) dalam tulisan ini dimaksudkan untuk memaknai penghasilan seseorang karena bekerja secara tetap pada suatu instansi pemerintah atau swasta. Gaji lazim meningkat secara bertahap, sejalan dengan jenjang karir yang dia tekuni. Maksudnya, besar-kecilnya gaji bergantung pada tingkat karirnya.

Sekarang, mengapa saya membuat judul di atas? Ada sebuah pelajaran menarik. Ada seorang kenalan guru SMP yang kerap naik BMW-nya. Rumahnya beberapa buah, dan tergolong megah. Keluarganya tampak sejahtera dan terpenuhi segala kebutuhannya. Dia sendiri, yang tampak religius itu, selalu tampil rapi, dengan pakaian yang bermerek.

Sepintas kita mungkin akan bertanya-tanya, bagaimana mungkin guru yang golongan III itu mampu memenuhi kebutuhan hidup keluarga yang berkualitas itu? Andaikata dia sudah menerima tunjangan profesi (TPP) sekalipun, mustahil dia menghasilkan gaji yang sepadan untuk menyangga gaya hidupnya yang wah.

Usut punya usut, ternyata inilah kuncinya: small salary, big income. Ya, dia memang hanya menerima gaji rutin yang rendah sebagai guru, begitu katanya. Namun, dia meraup pemasukan (income)—di luar gaji—secara melimpah. Bahkan, menurutnya, pemasukan di luar gajinya berlipat-lipat dibandingkan gajinya sebagai guru. Katanya, “Gaji boleh sedikit, tapi income harus besar.”

Ternyata, di luar profesinya sebagai guru, dia telah menjalankan bisnis percetakan secara tekun sejak sekian tahun silam. Tentu, dia melakukannya di luar jam-jam dinasnya sebagai guru. Ditekuninya bisnis percetakan ini habis-habisan, sempat jatuh-bangun, dan kini sudah sukses besar, dengan  perusahaan percetakan di tiga kota, dengan puluhan karyawan—yang semua disejahterakan pula.

Kisah guru tersebut begitu menggerakkan! Ada pelajaran yang sangat berharga yang bisa kita petik. Pertama, seharusnya kita jangan berkecil-hati dengan jumlah gaji kita, kendati jumlahnya (mungkin) kecil. Rezeki Tuhan untuk kita tidak hanya bersumber dari gaji. Terhampar luas sumber-sumber rezeki yang bisa kita upayakan untuk menambah penghasilan.

Kedua, kita wajib berusaha melakukan apapun untuk mendapatkan rezeki di luar pekerjaan rutin kita. Sumber-sumber rezeki memang terhampar luas, namun semua itu tak akan mendatangkan income bagi kita kalau kita tidak pernah mengusahakannya. Income harus direbut dengan perjuangan dan usaha keras.

Apa yang dilakukan guru di atas mempertegas pelajaran berharga ini. Selain tekun menjadi guru (yang menyebabkan karir dan gajinya lancar), dia juga menjalankan bisnis percetakan dengan segala perjuangan. Dia amat yakin, bahwa Tuhan melimpahkan rezeki bagi siapapun yang berusaha keras dan cerdas. Orang yang tak bekerja, jangan berharap untuk meraup income banyak.
Tentu saja, saya tidak membicarakan keberuntungan (luck) dan keajaiban (miracle). Dua hal ini tidak termasuk ke dalam perhitungan yang mudah diukur—bahkan memang mustahil diukur. Keberuntungan dan keajaiban itu merupakan faktor tak terkendali, karena keduanya memang bukan urusan kita.

Sebagai manusia yang tidak berhak mengendalikan keberuntungan dan keajaiban, kita hanya mampu menjalankan yang jelas-jelas saja. Banyak sekali kegiatan yang bisa kita lakukan untuk menambah penghasilan kita. Mulai membuka mata hingga tidur kembali, kita sebenarnya bisa melihat peluang-peluang usaha.

Hanya saja, selama ini mungkin kita belum bisa memanfaatkan peluang-peluang yang ada. Mengapa begitu? Ya, karena kita belum menemukan secara tepat apa kemampuan kita, sehingga cocok dengan peluang-peluang tersebut. Kita menjadi pesimistik akibat ketidaktahuan akan potensi kita. Padahal, untuk sukses, kita harus bersikap optimistik dalam mengejar impian kita.

Jika nanti kita sudah menemukan potensi atau keahlian kita, kita pastilah akan mampu membaca peluang-peluang tersebut. Misalnya, jika kita ahli dalam pemasaran, kita bisa melamar kerja atau bekerja sama dengan perusahaan guru di atas sebagai tenaga atau mitra pemasaran bidang percetakan.

Begitulah, sebaiknya kita tidak hanya berkutat dalam gaji rutin yang itu-itu saja. Jika kita investasikan waktu, tenaga, dan pikiran; kita akan memanen kenyamanan yang ditimbulkan dari investasi kita itu. Jika ingin income besar (selain gaji), kita harus mau bekerja keras dan cerdas.*


*Much. Khoiri adalah penggerak literasi, dosen, editor, penulis 42 buku dari Unesa Surabaya.

Sunday, May 3, 2020

MEMASARKAN BUKU

Sumber gambar: Dok. Pribadi

Oleh MUCH. KHOIRI

DALAM perspektif manajemen pemasaran brand, buku yang telah kita hasilkan perlu dipasarkan kepada pembaca. Mengapa kita perlu memasarkan buku kita?
Hakikatnya, buku kita adalah komoditas, produk yang harus dipasarkan ke hadapan masyarakat penikmat buku. Memasarkan buku akan makin mendekatkan jarak sosial antara buku (dan kita) dan pembaca/penikmat buku.  Itu akan membuat buku kita terjual di pasaran.
Dalam manajemen pemasaran brand, dikenal apa yang disebut marketing mix (istilah yang semula dipakai Neil Borden sekitar tahun 1948 dalam artikelnya “The Concept of the Marketing Mix.”) yang meliputi 4-P: product, price, promotion, place. Kemudian, Kotler dan Armstrong (1997) menambah 3 unsur lagi—participant, process, physical evidence, sehingga menjadi 7-P.
Sebagai produk, buku kita harus dikemas apik dan di-branding sebegitu rupa untuk menarik dan memuaskan animo pembaca. Agar buku menarik, buatlah buku baru, unik, dan bernilai lebih dibandingkan buku yang pernah ada. Selain itu, kemasan (bentuk) harus seimbang dengan isi (gagasan) yang disampaikan.
Buku kita yang ciamik harus diberi harga (price) yang “bersahabat” dengan isi saku pembaca, dengan strategi baik market skimming pricing, market penetration pricing maupun neutral pricing. Harga itu, kata Monroe (2005), merupakan pengorbanan ekonomis pelanggan guna memperoleh produk atau jasa (buku). Dalam hal ini, harga dan barang perlu seimbang.
Harga dikatakan mahal, murah atau biasa-biasa saja dari setiap individu tidaklah harus sama, karena bergantung pada persepsi individu yang dilatar belakangi oleh lingkungan kehidupan dan kondisi individu (Schifman and Kanuk, 2001). Namun, jika kita tidak serakah memgambil keuntungan buku, harga buku akan lebih terjangkau.
Selain itu, ada strategi promosi (promotion) untuk memasarkan buku kita, dengan media pengiklanan (advertising), public relations, personal selling dan sales promotion. Strategi apapun bisa kita ambil, mana yang paling cocok dengan jenis dan bentuk buku kita—tentu saja sesuai pula dengan kemampuan pemasaran kita.
Hal itu ditunjang dengan pemajangan (place), yang merujuk ke saluran distribusi, dengan berbagai strategi: distribusi intensif, distribusi selektif, distribusi eksklusif, dan franchising. Intinya, distribusi ini terkait kemudahan memperoleh produk (buku kita) di pasar dan tersedia saat konsumen mencarinya.
Selain itu, untuk pemasaran buku, diperlukan partisipant (people) atau karyawan kita, atau orang-orang yang terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam proses distribusi buku itu sendiri. Komitmen mereka sangat dibutuhkan untuk kesuksesan pemasaran buku.
Proses (process) adalah kegiatan yang menunjukkan bagaimana pelayanan diberikan kepada pembeli/pembaca selama melakukan pembelian buku kita. Pengelola usaha melalui front liner sering menawarkan berbagai macam bentuk pelayanan untuk tujuan menarik pembaca. Fasilitas jasa konsultasi gratis, pengiriman produk, credit card, card member dan fasilitas layanan yang berpengaruh pada image “perusahaan” kita.
Terakhir, lingkungan fisik (physical evidence) adalah keadaan atau kondisi yang di dalamnya juga termasuk suasana. Karakteristik lingkungan fisik merupakan segi paling nampak dalam kaitannya dengan situasi—maksudnya: situasi dan kondisi geografi dan lingkungan institusi, dekorasi, ruangan, suara, aroma, cahaya, cuaca, peletakan dan layout yang nampak sebagai obyek stimuli (Belk 1974 dalam Assael 1992). Tentu, agar buku kita eye-catching di mata pembaca.
Meski demikian, jika kita menerbitkan sendiri buku kita (self-publishing), tiada pilihan lain kecuali melaksanakan setiap unsur strategi di atas. Namun, jika kita menyerahkan penerbitan kepada penerbit, serahkan sepenuhnya penerapan 7 bauran pemasanan itu kepada pihak penerbit. Itu jauh lebih simpel dan efektif.
Apapun langkah kita, satu hal sudahlah jelas: kita harus menerbitkan atau mempublikasikan buku kita. Ibaratnya, kalau mau jualan, kita harus sudah siap dengan apa yang akan dijual. Sekali lagi, buku kita adalah komoditas yang harus dipasarkan.
Memang, bisa saja kita membagi-bagikan buku kita ke orang lain lewat dunia maya semisal blog atau website, namun dampaknya akan lebih dahsyat jika kita menerbitkannya menjadi buku. Dengan buku itu, hak kekayaan intelektual kita lebih terjamin.  
Selain ada kekuatan hak milik intelektual, buku kita yang diterbitkan ke dalam buku akan lebih konkret dan lebih luas menyapa pembaca. Ketika buku kita laris, misalnya, kita akan menjadi seorang selebriti—dan pembaca kita akan antre meminta kita tangan di bagian sampul buku kita.
Selamat menulis dan memasarkan buku!

Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts