Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Friday, April 10, 2020

Kata Pengantar: LITERASI DIRI, BUDAYA INDIVIDU UNTUK BANGSA

Buku karya Rita Audriyanti

Oleh: MUCH. KHOIRI

Literasi diri, yang hakikatnya juga bagian dari budaya individu, memiliki potensi untuk mewarnai budaya kolektif suatu bangsa. Seberapa besar intensitas literasi diri menentukan seberapa signifikan pewarnaan yang ditimbulkannya. Sebagai budaya individu, literasi diri urgen dipraktikkan bagi siapapun juga yang berghirah besar untuk memperkaya budaya bangsa. Semakin banyak individu yang mempraktikannya, semakin cepat proses pewarnaan budaya itu.

Salah satu literasi diri yang terukur adalah literasi menulis. Ya, produk nyata dari menulis itu jelas—yakni berupa tulisan yang diterbitkan baik di blog, website, surat-kabar, majalah, jurnal, maupun buku. Dengan pikiran kritis pembaca dapat memetik informasi dan membaca sikap penulis dari tulisan itu. Dari tulisan itu pula pembaca menilai seberapa tinggi kualitasnya. Lalu, setelah mencermati tulisan itu, mungkin saja pembaca akan terinspirasi untuk menulis gagasanya sendiri dan akan menginspirasi pembaca selanjutnya.

Menulis itu sendiri, tak terelakkan lagi, menuntut kegiatan membaca yang kritis dan memadai. Tanpa membaca, menulis akan tersendat dan miskin data atau informasi pendukung. Sementara itu, pembacaan itu bukan hanya mengacu ke pembacaan teks tertulis, melainkan juga pembacaan teks tak tertulis—yang bertebaran tak terbatas. Maka, kontinuitas pengetahuan berestafet dari penulis ke pembaca, yang selanjutnya berkembang menjadi tulisan baru secara berkesinambungan. Penulis satu berutang pada penulis sebelumnya, dan seterusnya hingga ke maha-guru awalnya. 

Meminjam perspektif J.J. Hoenigman, menulis itu pengejawantahan tiga wujud budaya, mulai wujud ideal (gagasan), wujud aktivitas, dan wujud artefak. Dalam proses menulis, seseorang bergulat dan bergelut dalam proses kreatif dengan berpikir tingkat tinggi, menjalaninya secara fisik sebagai aktivitas, dan menghasilkan artefak yang estetik berupa sebuah tulisan. Dengan menulis aneka gagasan berdasarkan pembacaan dan perenungan atas fenomena dan pengalaman sehari-hari, budaya individu diabadikan dalam artefak tulisan yang diharapkan, sesuai dengan ars poetica penulis.

Lalu, bagaimana budaya individu, khususnya literasi menulis, berperan dalam mewarnai budaya kolektif bangsa? Perlu dicatat, budaya individu yang aktif akan berpotensi mempengaruhi dan mewarnai budaya komunitas. Kemudian, budaya komunitas yang aktif akan mempengaruhi budaya masyarakat dan bangsa. Kuncinya, jika budaya individu ini memiliki kekuatan pengaruh yang besar; maka, warna budaya yang dipengaruhi juga kentara. Kumpulan individu penulis sangat potensial untuk ikut memberi warna pelangi budaya bangsa.

Praktisnya, menulis itu memiliki kekuatan keabadian yang jauh lebih kokoh dari pada pikiran, ucapan, dan tindakan. Apa yang kita pikirkan akan lenyap, apa yang kita ucapkan dan lakukan akan tak berbekas—kecuali benar-benar dituliskan. Padahal, gerak pikiran, ucapan, dan tindakan itu sendiri merupakan praktik budaya. Dalam hal ini literasi menulis merekam dan mengabadikan praktik budaya manusia. 

Sementara itu, hasil tulisan itu akan dibaca sekian banyak orang. Tulisan-tulisan yang ada akan menyegarkan, mencerahkan, dan menginspirasi sekian banyak orang. Tulisan-tulisan itu akan beranak-pinak menjadi dua kali lipat, sepuluh kali lipat, atau seribu kali lipat dari pada sebelumnya. Jumlah tulisan yang tumbuh belakangan dapat tak terhingga karena melampaui batas ruang dan batas waktu. 

Begitulah sistem kerjanya tulisan dalam membangun budaya kolektif bangsa. Ketika seseorang menghasilkan tulisan (terlebih dengan kualitas tinggi), dia akan mempengaruhi atau menginspirasi sekian banyak orang—baik untuk memperkaya wawasan, maupun untuk menulis tulisan lain secara estafet. Dalam hal ini dia telah ikut membangun kebudayaan—jika pun tidak tampak sekarang, dampaknya akan tampak entah berapa tahun lagi ke depan.

Tak sedikit tokoh negeri ini yang menulis—dan kemudian menginspirasi ribuan atau jutaan masyarakat; dan sebagian masyarakat itu juga terinspirasi untuk menulis dan akhirnya juga menginspirasi masyarakat lain untuk berkarya pula. Begitu seterusnya. Dengan demikian, akumulasi dari gagasan yang inspiratif, yang berkembang dan dikembangkan secara berkelanjutan itu, semakin meluas dan mendalam dalam sistem sosial masyarakat. Penulis semacam WS Rendra, Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Budi Darma, Emha Ainun Nadjib dan sebagainya pastilah memberikan sumbangsih penting bagi negeri ini.

Sekarang, tengoklah Rita Audriyanti, penulis buku HATI YANG SELESAI: Catatan dari Melbourne ini. Penulis sejumlah buku—juga ketua Sahabat Pena Nusantara cabang Malaysia—ini pada dasarnya juga mempraktikkan budaya individu lewat literasi  diri. Membaca dan menulis telah menyatu dalam dirinya. Dengan gaya penuturan yang enak diikuti karena pelibatan emosi yang kental, dia mengabadikan pengalaman dan perenungan dari Melbourne, Australia, tempat bungsunya mengambil studi lanjut. 

Pemahaman dan penghayatan yang utuh tentang topik-topik yang ditulisnya—antara lain “Cita-Cita Jadi Pilot”,  “Proses Pendaftaran”, “Nyaris Batal Terbang”, “Kota Modern dengan Cita Rasa Kuno”, “Jumpa Craig McKenzy”, “Nostalgia dan Blusukan ke Kampus”, “Warna Warni Kota Melbourne”, “High Trust Society”, “Ada yang Berbeda”, “Hati yang Selesai”—membuat tulisan-tulisan yang dihimpun di dalam buku ini bernas dan meyakinkan. Semua ini karena penulis menulis apa yang paling diketahuinya.

Apakah artefak budaya individu penulis ini akan memungkinkan adanya kontribusi tertentu dalam mewarnai budaya kolektif bangsa? Ada baiknya kita menengok sejarah. Ada beberapa sastrawan di negeri ini yang memilih pengalaman pribadinya sebagai salah satu dari karyanya, semisal Ilya Dzirkvelov (Agen KGB), Kevin Aprilio (Kevin Aprilio Official Box: Out of The Box), Iwan Setyawan (9 Summers 10 Autums), Andrea Hirata (Laskar Pelangi), A. Fuadi (Negeri 5 Menara). Beberapa karya Asma Nadia juga dihasilkan berdasarkan pengalaman pribadi.  

Buku-buku nonfiksi berbasis pengalaman, antara lain, karya Luthfiyah Nurlaela Ibu Guru, Saya Ingin Membaca (2012) dan Jangan Tinggalkan Kami (2013);  karya BMI Miracle of Life, Sandiwara Upik Abu (2012); karya tim Kompas Ekspedisi Jejak Peradaban (2011); karya Much. Khoiri Jejak Budaya Meretas Peradaban (2014); dan karya Taufik Uiks Mengembara ke Masid-Masjid di Pelosok Dunia (2015). Sepintas buku-buku semacam ini hanya sekumpulan rekaman pengalaman (perjalanan), namun sebenarnya ia merupakan manifestasi budaya individu yang sarat muatan-muatan makna.

Untuk saat ini, rasanya tidak mudah mengukur keberhasilan penulis buku-buku tersebut—sama persis dengan kehadiran buku Rita Audriyanti. Namun, kita perlu optimistis, buku ini akan menerbarkan virus hikmah dan inspirasi menulis kepada keluarga, tetangga, sahabat, komunitas, dan siapapun yang membacanya. Ditambah hasil pembacaan karya-karya yang lain, para pembaca mungkin akan menulis karya mereka sendiri dan kemudian membuat pembaca selanjutnya menulis buku mereka sendiri. 

Tentu saja, tugas Rita Audriyanti sebagai penulis tentu bukan mengukur apa yang dilakukannya. Tugas utamanya adalah menulis dengan sebaik-baiknya; selebihnya pembacalah yang akan menindaklanjutinya. Generasi penerus kitalah yang akan membuktikannya—baik lewat ungkapan maupun karya mereka. Puncaknya, sejarah akan mencatat apakah buku ini memberikan kontribusi yang signifikan di masa depan. 

Meski demikian, penulis mesti menjunjung harapan dan keyakinan, bahwa tulisan tidaklah diam mematung, melainkan bergerak menemukan makna dan konteks barunya. Tulisan kita bahkan menyejarah lebih lanjut—ia akan berkembang dan dikembangkan menjadi pengetahuan-pengetahuan baru dari masa ke masa.  Di sinilah ungkapan Pramoedya Ananta Toer “menulis untuk keabadian” menemukan konteksnya.[] 
     
*Artikel ini adalah kata pengantar untuk buku Rita Audriyanti berjudul “
Hati yang Selesai: Catatan dari Melbourne” (Yogyakarta, Diandra Kreatif, 2018). Terima kasih disampaikan kepada penulis buku dan penerbit.

**Pesan buku, hubungi HP/WA: 081331450689 / 081233838789

Serial Virus Emcho (3): MENULIS DALAM KESIBUKAN

Karya anyar Much. Khoiri

Oleh A Mustamsikin Koiri

Judul tulisan ringan ini berangkat dari salah satu pegiat literasi dan dosen kampus Universitas Negeri Surabaya (Unesa), yakni Much. Khoiri, dalam status FB beliau mengenai aktivitas menulis. Much Khoiri--yang lebih sering disapa dengan Pak Emcho-- memang seorang pegiat literasi yang amat moncer dikenal saat ini.

Dalam dunia tulis menulis, Pak Emcho memiki tips atau sebuah jargon untuk selalu merawat semangat menulis, yakni “Menulis atau Mati.” Bahkan, secara nyata beliau juga menulis sebuah buku yang berjudul SOS (Sapa Ora Sibuk): Menulis dalam Kesibukan (2016), yang cukup mengelitik bagi penulis untuk disimak.

Jika melihat jargon yang dibuat oleh Pak Emcho ini, tentu dapat disimpulkan bahwa beliau merupakan seorang tokoh yang amat mencintai dunia literasi. Dari jargon ini pula, beliau banyak dikutip oleh para penulis lain, termasuk Pak Naim—sapaan akrab Dr. Ngainun Naim-- dalam bukunya The Power of Writing ( hal. 53).

Selain itu, belaiu bukan hanya lihai dalam berteori menulis, namun juga secara praktis beliau telah memberikan teladan bagi pegiat literasi, terlebih mengenai tulis menulis. Bukti nyata mengenai kelihaian beliau tertuang jelas dalam buku yang telah penulis sebutkan di atas.

Meski kesibukan terus menghampiri beliau, serasa tiada henti, namun karena kuatnya perinsip yang belaiu bangun beliau tetap menulis. Menulis dalam pandangan beliau merupakan hidup itu sendiri; sehingga sesibuk apapun beliau tetap menulis.

Dalam hal ini, penulis pun "sementara" sepakat dengan perinsip beliau, meskipun tentu tidak semudah itu dalam praktiknya. Pandangan penulis sejauh ini masih bertahan pada ungkapan bahwa menulis--dalam arti yang sesungguhnya--itu tidak mudah.
Mungkin pembaca boleh sepakat dan boleh tidak sepakat mengenai hal ini. Akan tetapi, tidak salah jika pembaca mencobanya. Dengan demikian, pembaca akan dapat membuktikan apakah menulis itu mudah--dalam kesibukan--atau sulit. So, cobalah. Anda akan merasakannya.[]

Wallahu A'lam Bisshawab.

Kediri, 21 Maret 2017

*Artikel di atas dikutip dari buku karya Much. Khoiri “Virus Emcho Melintas Batas Ruang Waktu” (Sidoarjo, Tankali, 2020), hlm. 8-9.

**Pesan buku, hubungi HP/WA: 081331450689 / 081233838789

Tuesday, April 7, 2020

Kata Pengantar: MEMBACA LITERASI CINTA

Kumpulan Puisi karya Cecep Gaos

Oleh MUCH. KHOIRI

Literasi cinta bukan semata membaca dan menulis (tentang) cinta. Literasi cinta lamat-lamat disampaikan oleh penulis buku ini sebagai kemampuan menangkap ruh informasi cinta, memahami, mengolahnya, dan mengungkapkannya. Manusia yang literat cinta bukan hanya menghayatinya makna cinta itu sendiri, melainkan juga mampu mengungkapkannya dengan berbagai moda yang memungkinkan.

Penyair—tepatnya penulis buku ini—, dengan kapasitasnya sendiri, telah mencoba menangkap ruh cinta, memahami, mengolah, dan mengungkapkannya lewat bahasanya sendiri. Cinta itu, baginya, bukan hanya cinta kepada kekasih, melainkan kepada cinta kepada siswa, keluarga, ibu, istri, dan sesama. Cinta mengandung keluasan dan kedalaman yang sulit diukur namun bisa diungkapkan—meski hanya sebagian dari keseluruhan. Seakan ia sedang membicarakan fragmen-fragmen suara hati kepada yang dicintainya.

Inilah catatan pertama dari buku ini: puisi-puisi dalam buku ini seakan persembahan-persembahan cinta dengan sepenuh penghayatan untuk mereka yang dicintainya. Cinta kekasih, misalnya, dapat ditelisik di dalam puisi “Bersandarlah di Bahuku”, cinta siswa di dalam “Itu Semua Karena Cinta”, cinta keluarga di dalam “Malamku, Tidurku”, cinta ibu di dalam “Umnuha, Umnuha, Umnuha”, dan cinta istri di dalam “Istriku, Aku Pena untuk Kertas Putihmu” atau “Istriku, Kau Dokter Cintaku.”

Lewat puisi-puisi yang ada kita diajak untuk memahami (kembali) atau memaknai cinta dengan aneka rasa. Sejatinya kita sangat akrab dengan cinta, karena kita mengalaminya setiap waktu. Namun, kadangkala kita terlena atau abai dalam mengungkapkannya dengan cerdas dan pas. Maka, kehadiran buku ini mencubit kita untuk menyadari betapa cinta harus senantiasa dijaga, dihidupkan, dan disuburkan—tidak cukup untuk dianggap sudah bersemayam di dalam jiwa.

Catatan kedua, penulis buku menyelipkan judul puisi-puisinya di dalam salah satu baris atau bait, baik di awal, di tengah, maupun di akhir bagian. Menariknya, hal ini konsisten diterapkan, entah sengaja atau tidak, dalam puisi-puisi yang ada. Jika dicermati, teknik demikian seakan telah terbiasakan oleh penyair ini, seakan mengalir mengikuti luapan perasaan yang deras, tanpa rekaan yang semu. Agaknya hal ini merupakan licentia poetica penyair, yakni kekhasan pengucapan dalam berkarya yang berbeda dengan penyair lain, sehingga kekhasan itu merupakan ikon bagi dirinya.

Misalnya, dalam puisi “Bersandarlah di Bahuku”, kita bisa melacak judul ini di baris pertama bait keempat: Jika kau ingin berkeluh kesah, bersandarlah di bahuku. Telah kusediakan bahu yang kokoh untukmu. Tuk menopang segala beban yang kaurasakan. Hingga ia menjadi ringan, seringan kapas butih yang terbang melayang ditiup angin malam. Dalam puisi “Ingin Kuungkap Sebuah Rahasia Malam”, kita juga bisa menengok judul ini dalam bait kedua: Ingin kuungkap sebuah rahasia malam. Rahasia tentang keindahan malam berpadunya insan dalam syahdunya temaram.

Yang ketiga, buku kumpulan puisi ini adalah wahana komunikasi penyampai pesan (speaker) kepada sesuatu benda, person, atau yang dipersonifikasikan. Ada semacam model komunikasi yang disampaikan oleh “aku” kepada “kau” dalam arti luas. Seakan tidak ada jarak sosial dan emosional antara “aku dan “kau”—bahkan kadang digunakan sebutan “kita”, sebuah upaya pelibatan empatik pembaca di dalamnya. Hal ini tampak dalam puisi “Membicarakan Hati” berikut ini:

Membicarakan hati tak seperti memakan sepotong roti. Yang bisa
dimakan sesuka hati. Tanpa harus menunggunya hingga basi.

Membicarakan hati tak seperti bernyanyi di kamar mandi. Tak peduli
apakah ada orang lain yang menikmati. Yang penting rasa senang di hati
sendiri sudah terpenuhi.

Membicarakan hati itu seperti meminum secangkir kopi. Sesekali kita
tiupi. Kita aduk agar rasanya tak saling melebihi. Sesekali kita cicipi. Agar
tahu rasanya apakah sudah pas di hati. Sesekali kita hirup aromanya.
Lalu kita menikmatinya.

Dalam puisi ini penggunaan “kita” menyiratkan adanya “aku” dan “kau” untuk diajak memahami hakikat membicarakan hati. Ada ruang berbagi tentang membicarakan hati—yang bukan seperti memakan roti atau bernyanyi di kamar mandi, melainkan seperti meminum secangir kopi. Simile yang indah dan menarik: secangkir kopi—minuman yang rasanya bisa diatur dan diolah sesuai selera peminumnya.

Komunikasi yang tanpa jarak inilah yang, agaknya, telah menyebabkan penyair untuk mengungkapkan suara hatinya dengan lancar—bahkan kadang terkesan begitu lugas dan telanjang. Bahkan penyair memposisikan diri sebagai speaker sebegitu dekatnya sehingga keduanya tak terpisahkan, menjadi kanal yang mulus untuk komunikasi. Bagaimanapun, puisi merupakan wahana komunikasi.

Di samping itu, kita sebagai pembaca dapat mengambil posisi sebagai “aku” ataupun “kau”—atau “kita” sekalian, namun kita mesti bersiap untuk tidak menemukan pengelompokan tema cinta. Tema-tema cinta yang ditanamkan oleh penyair disebar ke segala arah buku ini. Kita tidak disandera olehnya untuk memahami cinta secara kaku; sebaliknya, kita diberi kebebasan untuk memilih mana bunga-bunga cinta yang bermekaran di taman luas—yang telah ditanam dengan penuh penghayatan.

Puisi, sebagaimana karya sastra lain, memang terbuka untuk ditafsirkan, diinterpretasi; dan seberapa kualitas interpretasi bergantung pada seberapa luas pengalaman penafsirnya. Karena itu, terhadap puisi-puisi yang ada, kita mungkin memiliki keluasan dan kedalaman penafsiran yang berbeda. Itu sah-sah saja, sebagaimana kita juga bebas memaknai ayat-ayat alam tak tertulis sepanjang hidup ini. 

Sejauh itu, itulah puisi. Puisi adalah bahasa jiwa. Setiap penyair memiliki keunikan, kekhasan, dan seleranya sendiri dalam licentia poetica. Apapun bentuknya, sebagai bahasa jiwa, puisi-puisi dalam buku ini adalah bukti betapa penyair memiliki literasi cinta yang cukup paripurna. Sementara itu, sebagai pembaca, mari menjadi pembaca baik dan cerdas. Seberapa dalam dan luas dampaknya bagi kita, mari bawa hasil pembacaan kita ini untuk membaca literasi cinta kita sendiri.

Selamat membaca serta memetik inspirasi dan hikmahnya.

*Artikel ini adalah kata pengantar untuk buku Cecep Gaos berjudul “Literasi Cinta: Kumpulan Puisi” (Bogor, Seraung Dharma Dahana, 2018). Terima kasih disampaikan kepada penulis buku dan penerbit.

**Pesan buku, hubungi HP/WA: 081331450689 / 081233838789



SEKAPUR SIRIH "JEJAK BUDAYA MERETAS PERADABAN"


Oleh Much. Khoiri

Selamat datang di buku ini, sebuah buku yang mengajak Anda menjelajahi, menyusuri, dan mencoba memaknai beragam jejak budaya yang saya hayati selama ini. Ia terdiri atas empat puluh satu tulisan, yang diabadikan dari amatan, pengalaman, pelibatan, dan refleksi saya dalam konteks praktik-praktik budaya sehari-hari.
Tulisan-tulisan dalam buku ini, yang kebanyakan telah saya unggah di blog sosial www.kompasiana.com/much-khoiri, semula tidak dimaksudkan secara khusus untuk disusun menjadi buku. Namun, karena desakan sejumlah kolega, tulisan-tulisan yang berserakan itu saya susun ke dalam kategori-kategori yang bisa mewadahi topik-topik yang ada.
Maka, jadilah tiga bagian buku ini. Bagian pertama, dengan empat-belas artikel, memotret jejak safari budaya yang saya telah hayati, terutama, sepanjang tahun 2013. Pengalaman melintasi Khatulistiwa, mengarungi sungai Barito, terbang paling menegangkan, atau bersua (kembali) dengan kolega lama menghiasi bagian pertama ini—termasuk keunikan dan kekhasan di dalam kesemestaannya.
Bagian kedua merekam jejak etos-inspirasi yang diharapkan membekas indah dan berkembang di benak Anda. Dengan tiga belas artikel, saya berharap untuk bisa menawarkan semangat dan inspirasi bagi Anda sebagai pembaca aktif dan kreatif—semisal tentang gagasan buku sebagai hadiah, pengalaman berhenti merokok, menambah teman setiap hari, jurus jitu mengingat nama, hingga pentingnya spirit multikulturalisme.
Bagian ketiga, dengan empat-belas tulisan, menampilkan jejak-jejak hikmah-kearifan yang mungkin pas dengan apa yang Anda hayati. Di bagian ini Anda diajak untuk mengarungi mutiara hikmah-kearifan yang tersimpan dari berbagai fenomena sehari-hari yang sepintas kelihatan remeh dan sederhana. Namun, justru di balik keremehan dan kesederhanaan itulah hikmah-kearifan bisa ditangkap dengan pikiran jernih dan hati bersih.
Tentu saja, buku ini diharapkan bermanfaat bagi banyak pihak, termasuk Anda pegiat literasi, pegiat budaya, pendidik, peserta didik atau mahasiswa, dan pembaca umum yang haus bacaan. Khusus untuk mahasiswa program studi Bahasa dan Sastra (Asing), buku ini bermanfaat sebagai bahan bacaan pengayaan dan penunjang (supplementary reading) untuk mendalami tentang manusia dan kebudayaan Indonesia, dan pemahaman silang-budaya (cross-cultural understanding).
Meski demikian, upaya kultural yang kecil ini tidak akan terwujud tanpa bantuan banyak pihak. Karena itu, pertama saya sampaikan terima kasih kepada Prof. Dr. Hj. Lies Amin Lestari, M.A., M.Pd. yang telah berkenan mencermati dan memberi kata pengantar untuk buku ini. Kedua, saya berutang-budi kepada kolega dan sesama penulis yang telah mendorong saya untuk membukukan tulisan-tulisan ini. Tidak lupa, saya juga berterima kasih kepada tim penyunting dan penerbit, yang telah memungkinkan buku ini terbit dalam bentuknya sekarang ini.
Akhir kata, mudah-mudahan buku ini menemukan tempatnya di hati Anda, menginspirasi dan menggerakkan Anda untuk “membaca alam” dengan lebih tajam dan/atau melahirkan aneka tulisan yang lebih mencerahkan. Saya telah mulai selangkah merekam sebabak jejak budaya meretas peradaban dengan cara saya sendiri, dan kini giliran Anda untuk menyambungnya.
Surabaya, April 2014
*Tulisan di atas diambil dari buku Much. Khoiri “Jejak Budaya Meretas Peradaban” (Jalindo-Satu Kata, Sidoarjo, 2014), halaman xi-xii.
**Pesan buku, hubungi HP/WA: 081331450689 / 081233838789





Monday, April 6, 2020

Kata Pengantar: MENJADI GURU ISTIMEWA

Buku karya Vivit Eka Damayanti

Oleh: Much. Khoiri

HAKIKATNYA semua guru itu sama hingga ada satu di antaranya berhasil menulis dan menerbitkan buku. Bukulah bukti pembeda yang nyata baginya dengan guru biasa. Terlebih, buku yang ditulisnya adalah himbauan dan tantangan menjadi guru istimewa.

Itulah gambaran dasar tentang penulis dan buku yang sedang Anda pegang ini. Penulis buku, seorang guru, sangat sadar akan pentingnya menulis tentang seluk-beluk menjadi guru berdasarkan amatan, penghayatan, dan pengalaman yang intens bertahun-tahun lamanya. Berangkat dari pengalaman menjadi guru dalam konteks kultural berbeda, dia mendidik diri untuk menjadi guru yang layak diteladani.

Literasi perlu keteladanan, demikian pun menjadi guru yang istimewa alias 'bukan guru biasa'. Penulis ini mendidik diri dengan keras untuk membuat dirinya pantas dijadikan teladan. Dia harus lulus dari serangkaian pendidikan diri yang menguras tenaga dan pikiran serta pengorbanan. Tanpa upaya ini, nilai keteladanan apakah yang bakal dididikkan dan ditularkan kepada orang lain?

Demikianlah, penulis buku ini mengembangkan gagasan menulisnya dari kekuatan pengalaman. Pengalaman, juga pengetahuan, merupakan bahan dasar untuk menumbuhkan inspirasi, sehingga penulisan buku ini terkesan mengalir lancar menyapa kita (termasuk Anda) sebagai pembaca. Berangkat dari 'mengapa'-nya, penulis menjelentrehkan paparannya tentang 'apa'-nya dan 'bagaimana'-nya. Dengan gaya bahasanya yang lugas, buku ini enak dibaca dan diikuti.

Adapun tentang kualitas guru istimewa, tentu konsepnya bisa diperdebatkan. Namun, dalam buku ini, guru istimewa itu bukanlah guru biasa yang hanya menjalani rutinitas tugasnya sehari-hari sebagai pegawai.  Sementara, guru istimewa menjalani tugasnya sebagai pembelajar yang dinamis dan haus inovasi. Dialah guru profesional, inspiratif, dan menjadi idaman di mata siswa dan guru lain. Dia juga guru yang berliterasi teknologi.

Menjadi guru biasa pun tidak mudah, apalagi menjadi guru luar biasa atau istimewa. Ibarat mencapai puncak sebuah bukit, begitu pulalah perjalanan terjal untuk menggapai predikat guru istimewa. Setidaknya, guru istimewa memberikan usaha (effort) satu porsi lebih besar daripada usaha guru biasa. Tiada kesuksesan yang tiba-tiba turun dari langit, kecuali harus ditempuh dengan sekian langkah terstruktur dan terukur.

Tentu saja, untuk mencapai predikat yang diidamkan itu, banyak jalan menuju Roma, begitu ibaratnya. Terbentang peluang dan tantangan bagi guru untuk menjadi yang paling istimewa. Inilah yang penting dari buku ini. Dengan strateginya sendiri, penulis buku ini juga menyajikan paket solusi terkait dukungan, kerjasama, dan upaya peningkatan kualitas. 

Tentu saja, penulisan buku ini diharapkan menjadi virus bagi guru lain. Ia akan menebar ke berbagai lini sekolah, menyapa ribuan atau jutaan guru sehingga mereka tergerak untuk menulis buku tentang dunia guru dan pendidikan secara umum. Mereka akan menjadi bagian dari rentangan tali kontinuitas pengetahuan yang berkesinambungan. Anda, tentu, termasuk di dalamnya.

Mudah-mudahan seluruh pembaca buku ini menemukan mutiara hikmah dan inspirasi untuk mengabadikan berbagai gagasan dan pengalaman ke dalam buku yang menyejarah. Tatkala itu terjadi, impian terpendam penulis buku ini menjadi kenyataan. Betapa bahagianya menulis buku menjadi amal jariyah yang pahalanya mengalir setiap waktu.[]

*Artikel ini adalah kata pengantar untuk buku karya Vivit Eka Damayanti berjudul “(Jangan) Jadi Guru Bisa” (Parepare, CV Kaaffah Learning Center, 2018). Terima kasih disampaikan kepada penulis buku dan penerbit.



**Pesan buku, hubungi HP/WA: 081331450689 / 081233838789

Sunday, April 5, 2020

Serial Virus Emcho (2): GGM BERKOPDAR

Buku karya Much. Khoiri (Maret 2020)

Oleh Achmida Sufiati Utami

Gerakan Guru Menulis (GGM) yang berada di Kabupaten Malang merupakan organisasi yang mengajak para pendidik dari tingkat dasar sampai menengah atas untuk menggali potensi diri tentang literasi khususnya  menulis. Organisasi ini berada di bawah naungan Program Pascasarjana Universitas Raden Rahmad (Unira) Malang  yang bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Malang.

Hari ini Ahad 4 Februari 2018 berlangsung acara kopdar (kopi darat) perdana bagi GGM Kabupaten Malang sejak diresmikannya 1 April 2017 yang lalu. Acara ini digelar di RM Sumber Wareg Kebonagung- Pakisaji.

Kopdar perdana ini menghadirkan motivator Dr.HM.Taufiqi, SP., M.Pd Direktur Pascasarjana UNIRA Malang, International master trainer dan penulis buku-buku best seller.  Ikut hadir pula main-course Drs.Much.Khoiri, M.Si, seorang dosen, penulis buku FBS Unesa, perintis Jaringan Literasi Indonesia (Jalindo). Gelar kopdar perdana ini bertema “Tips Menulis Berbagai Genre Tulisan.”

Dr.HM.Taufiqi, SP., M.Pd dan Drs.Much.Khoiri, M.Si merupakan pembina dan pembimbing dalam giat menulis di GGM Kabupaten Malang. Pembina dan pembimbing lainnya berasal dari dosen di beberapa perguruan tinggi di Kabupaten Malang dan penulis nasional seperti bapak Dr. Sutejo Al Waroqi.

Dalam kesempatan ini Mr.Vicky (sapaan akrab Dr.HM.Taufiqi, SP, M.Pd) memberikan motivasi dan semangat kepada peserta kopdar bahwa power menulis itu secara syari'at perlu dimiliki dengan melakukan 4 i yaitu :

1. Iman /keyakinan: Dalam kegiatan menulis perlu adanya keyakinan yang kuat. Tanpa keyakinan yang kuat, sulit untuk mewujudkan kegiatan menulis. Kegiatan menulis akan banyak memberikan manfaat kepada diri sendiri maupun kepada orang lain.

2. Inspirasi: Menggali dan mengelola apa saja yang ada  di sekitar kita sebagai inspirasi untuk menuangkan sesuatu dalam kegiatan menulis.

3. Institusi: Dalam hal ini institusi para pendidik yang berada di wilayah Kabupaten Malang yang ingin belajar menulis secara profesional adalah dengan GGM. GGM merupakan organisaai yang  memfasilitasi aspirasi dan inspirasi para pendidik. GGM sebagai power literasi, khususnya di wilayah Kabupaten Malang, yang ke depannya akan menggelorakan semangat literasi ke seluruh pelosok Indonesia.

4. Imam/pemimpin. Dalam organisasi GGM ini terdapat para ahli di bidang literasi bertaraf nasional sehingga tidak diragukan lagi kemampuannya dalam mengajak para pendidik di wilayah Kabupaten Malang khususnya untuk mewujudkan program Satu Buku Satu Guru.

Pesan Mr.Vicky di akhir sambutannya mengingatkan bahwa “Untuk bisa menulis dengan baik dan profesional perlu berlatih dan berlatih serta update ilmu.” Beliau juga berharap para anggota GGM agar belajar menulis berbasis masalah.

Pada puncak acara, Mr.Emcho nama keren dari Drs.Much Khoiri, M.Si mengisi main course dengan tampilannya yang khas. Humoris, bahasanya gaul, semangat, pandai membangkitkan jiwa audiens, dan menghipnotis peserta untuk menyimak penjelasannya dengan khidmat. Beliau memberikan arahan dan bimbingan cara menulis yang baik dan profesional.

Pengalaman beliau dalam menulis dirintis sejak menjadi mahasiswa di semester tiga (1986/1987) dan berlangsung sampai sekarang. Pengalaman  pahit getirnya di awal giat menulis, namun  manis di akhirnya. Buku-buku karya beliau berskala nasional seperti: Write or Die: Jangan Mati Sebelum Menulis Buku (2017), Virus Emcho: Berbagi Epidemi Inspirasi (2017) yang baru saja terbit, dan SOS (Sapa Ora Sibuk): Menulis dalam Kesibukan (2016) yang terkenal dan saat ini dalam tahap penerjemahan ke dalam bahasa asing untuk bisa dinikmati pembaca luar negeri.

Menyimak paparan Mr. Emcho, beberapa tips untuk menjadi penulis secara profesional di antaranya : Pertama, memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai pemicu munculnya ide yang kemudian diwujudkan dalam tulisan. Ide segera dicatat agar tidak lupa.

Kedua, harus memiliki semangat yang konsisten. Semangat ini akan terjaga dengan adanya motto yang menggugah, seperti halnya motto Mr. Emcho yang berbunyi “Write or Die” (Menulis atau Mati). Motto beliau tercetak dalam buku Write or Die: Jangan Mati Sebelum Menulis Buku (2017)

Ketiga, wajib hukumnya meluangkan waktu khusus dengan mengkondisikan diri untuk melakukan kegiatan menulis secara istikomah. Setiap hari kita wajib menulis, jika berselang maka wajib menulis dobel sesuai jumlah hari yang ditinggalkan ketika tidak menulis. Ada semacam membayar utang seandainya ada hari yang kosong menulis.

Keempat, penulis pemula hendaknya selalu meng-update diri terutama ilmu tentang menulis. Salah satunya memahami berbagai genre tulisan, dan terus belajar menulis. Menurut beliau, bagi pemula menulislah selama satu bulan penuh, jika masa itu terlewati, maka akan memudahkan untuk setiap hari menulis. Kebiasaan akan membuat segalanya makin sempurna.

Kelima, belajarlah menulis secara syari'at, hakikat, dan ma'rifat. Menulis syariat itu menulis sesuai kaidah menulis. Menulis hakikat itu menulis yang mencapai maqam hakikat tulisan, yang telah dimuati kekuatan abstraksi filosofis penulisnya. Menulis makrifat itu tatkala kemahiran menyatu dengan diri penulis. Tulisan ma’rifat mantap isinya, enak diikuti, pas bahasanya, dan mengesankan.

Perlu dicatat, beliau menyampaikan dengan gamblang tentang tips menulis berbagai genre tulisan.Sampai pada batas waktu penyampaian materi, peserta kopdar merasa masih kurang dengan ilmu yang diberikan oleh Mr. Emcho.[]

Malang, 4 Februari 2018

*Artikel dikutip dari buku Much. Khoiri “Virus Emcho Melintas Batas Ruang Waktu” (Sidoarjo, Tankali, 2020), hal. 3-7



Serial Virus Emcho (1): MR. EMCHO, CETAR MEMBAHANA

Buku Karya Much. Khoiri (2020)

Oleh Achmida Sufiati Utami

Adalah bapak Much.Khoiri nama lengkapnya. Beliau salah satu dosen di Unesa Surabaya. Penulis nasional paling produktif. Aku mengenal beliau hanya lewat artikel yang sering dikirim melalui grup whatsapp dan facebook. Saat menulis artikel ini, aku pun belum pernah bertatap muka dengan beliau.

Hanya dengan membaca artikelnya, seakan aku sudah kenal lama dengan beliau.
Menurutku, beliau itu adalah sosok bapak literasi. Seorang bapak yang mumpuni dalam bidang tulis menulis dan dapat menjadi teladan dalam keluarganya. Jiwa yang matang, kebapakan, sayang anak dan istri, bahkan selalu menebarkan kebaikan-kebaikan dalam setiap tulisannya.

Ulasannya tidak membosankan. Membuat pembaca terlena hanyut dalam penjiwaan. Lugas, tegas, bisa juga santai dengan bahasa yang renyah. Terkadang guyonannya itu yang membuat pembaca tertawa sendiri hanyut dalam suasana. Tulisan-tulisan beliau pantas disebut cetar membahana, begitu mengena di hati pembaca. Dan selalu memberikan inspirasi, menambah wawasan, dan menghibur.

Ya.. Beliau pantas sekali menjadi panutan dan teladan dalam kehidupan sehari-hari serta dalam dunia pendidikan khususnya literasi.

Dengan hadirnya beliau sebagai pembina di grup Gerakan Guru Menulis (GGM), Kabupaten Malang sangatlah berarti untuk ikut serta mewujudkan visi dan misi GGM. Beliau dengan sabar dan telaten mengajak dan membimbing para guru, khususnya guru di jenjang sekolah dasar, untuk belajar menulis. Tak bosan-bosannya beliau selalu proaktif men-support para penulis pemula khususnya.

Terima kasih, Mr.Emcho--begitu nama panggilan kerennya. Ada juga yang memanggilnya Master Emcho. Dan beliau layak dipanggil bapak literasi yang artikelnya selalu cetar membahana.

Semoga Allah Azza Wajalla senantiasa memberikan kesehatan dan umur panjang. Dengan cetar membahananya Mr.Emcho akan terlahirlah penulis-penulis handal. Aamin Yaa Rabbal’aalamiin. []

Srengat Blitar, 28 Desember 2017

*Artikel dikutip dari buku Much. Khoiri “Virus Emcho Melintas Batas Ruang Waktu” (Sidoarjo, Tankali, 2020), hal. 1-3

Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts