Sumber gambar: Dok pribadi
Oleh Much. Khoiri
Kedudukan makna ‘orang lain’, ‘kenalan’, ‘teman’, dan ‘sahabat’ berbeda. Makna ‘sahabat’ memiliki kedudukan makna tertinggi dan termulia dibandingkan dengan ‘teman’, ‘kenalan’, apalagi ‘orang lain’ yang bukan kenalan dan bukan teman. ‘Sahabat literasi’, dalam hal ini, dimaksudkan untuk menyebut mereka yang berkedudukan makna mulia di dalam bidang literasi.
Dalam
kedudukan semacam itu, sahabat literasi—diharapkan—menjadi mitra yang paling
dekat dan seia-sekata dalam perjuangan menghidupkan pembudayaan literasi di
negeri ini, entah pada ranah sekolah (Gerakan Literasi Sekolah, GLS), ranah
masyarakat (Gerakan Literasi Masyarakat, GLM), maupun ranah keluarga (Gerakan
Literasi Keluarga, GLK). Jika kini masih bergelut dalam GLS, ia siap melanjutkan
perjuangan dalam GLM dan GLK—sehingga pada gilirannya ia pun beriur dalam ikut
mensukseskan gerakan literasi nasional (GLN).
Pertanyaannya, dalam pembudayaan literasi, Sahabat termasuk ketegori manakah: sahabat literasi, teman literasi, kenalan literasi, atau orang lain (dalam) literasi? Saya sendiri, tentu, berharap Sahabat menjadi sahabat literasi bagi saya—setidaknya teman literasi atau kenalan literasi yang masih memiliki rasa sayang dan kepedulian bagi gerakan pembudayaan literasi. Jangan sampai menjadi orang lain (dalam) literasi, yang cuek dan acuh tak acuh—apalagi memusuhi pembudayaan mereka yang bergerak memajukan literasi.
Tentu saja, sebagai sahabat literasi, Sahabat mau belajar menjadi menguasai konsep dan strategi gerakannya. Sahabat tahu literasi dasar baca-tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi finansial, literasi digital, serta literasi budaya dan kewargaan. Pahami dan kuasai dengan baik panduan gerakan literasi, baik ranah sekolah, ranah masyarakat, maupun ranah keluarga.
Dengan memahaminya dengan baik, ada kesiapan mental jika mendapati kendala-kendala tertentu selama perjuangan. Ini perjuangan, tak mungkin tidak ada kendala dan ujian—identik dengan hidup, tak mungkin tiada konflik sepanjang hidup manusia. Namun, bagi si besar hati, yang penting bukan masalahnya, melainkan fokus menemukan solusi bagi masalah tersebut. Sahabat literasi perlu menyikapinya semacam itu.
Ilustrasi di atas sengaja saya paparkan di sini guna memberikan tantangan bagi sahabat-sahabat guru yang saya ajak Ngopi (ngobrol pintar) di SMP Negeri 55 Surabaya pada 5 September 2020 kemarin. Seharusnya ada sebelas orang, namun karena alasan tertentu, ada dua orang yang tidak hadir. Jadilah sembilan orang yang hadir, plus tuan rumah, jadi totalnya sepuluh. Karena mereka representasi dari sekolah masing-masing—yang di belakang mereka ada puluhan guru—maka sejatinya saya sedang berhadapan (imajiner) dengan ratusan guru sekaligus.
Untuk semua guru yang hadir serta mereka yang berada di belakang mereka, saya tentu berharap bahwa mereka menjadi sahabat-sahabat literasi bagi saya. Meski demikian, saya tak hendak menutup kemungkinan, kadar intensitas pelibatan mereka dalam literasi boleh jadi berbeda antara satu dan lainnya. Tentu, saya tidak punya hak untuk menghakiminya. Biarlah waktu yang membuktikan apakah mereka benar-benar sahabat literasi sejati, ataukah teman literasi, kenalan literasi, dan seterusnya.
Ini yang saya pegang: Integritas sebagai sahabat literasi akan nampak bleger (wujudnya) tatkala teruji masa kritis. Ketika kesibukan menumpuk pada hari ini, misalnya, apakah para Sahabat masih meluangkan waktu (make time) untuk membaca atau menulis? Jika masih, para Sahabat berhak lulus sebagai sahabat literasi. Namun, jika tidak, integritas Sahabat boleh diragukan, bukan? Cukup jawab pertanyaan ini di dalam hati.[]
Driyorejo, 11/9/2020
No comments:
Post a Comment
Terima kasih banyak atas apresiasi dan krisannya. Semoga sehat selalu.