Sumber gambar: Dokumen pribadi |
Oleh: MUCH. KHOIRI
MASIH dalam rangka adaptasi di masa pemulihan, inilah program
adaptasi saya dalam hal makanan-minuman (mamin) dan kebiasaan sehat. Program
ini bukan tanpa maksud. Ibarat mobil, semua itu dijalani agar mesinnya beres
dan bisa bekerja normal kembali.
Tentang air hangat sudah saya sebutkan dalam tulisan
sebelumnya, betapa ia wajib digunakan untuk mandi dan minum sehari-hari. Masih
ada lagi, berkumur-kumur pun juga menggunakan air hangat. Berkat pembiasaan
berhari-hari, ada kebiasaan baru yang melekati saya. Ada semacam budaya pribadi
yang baru: Hidup bersahabat air hangat.
Kemudian, urusan makan. Jika ada sabda Rasulullah (lebih
kurang berbunyi), “Makanlah ketika engkau lapar, dan sudahi sebelum kenyang”, saat
inilah saya memengamalkannya. Kebiasan makan saat sakit saya, dengan makan
berporsi sedikit, masih terbawa sampai kini. Maksimum sepertiga piring nasi
putih—syukurlah kalau ketemu nasi merah atau hitam.
Itu menu untuk makan siang dan/atau petang. Untuk sarapan,
saya mencoba oatmeal dan roti gandum; atau roti bakar dan omelet-roti.
Bagaimana membuat omelet-roti, saya mengamati di youtube bagaimana sebuah
keluarga PKL India membuat omelet-roti di sebuah sudut kota Mumbay. Saya coba,
dan jreng-jreng: berhasil.
Lalu, guna menambah imunitas, saya minum wedang jahe hangat satu
kali sehari. Adapun minuman utama sepanjang hari adalah air hangat tadi. Sekali
tempo, saya manfaatkan temulawak dan kunir—diparut dan dimasukkan ke dalam
gelas untuk ditambah madu, kemudian diminum. Saat ini, susu belum cocok,
terlalu keras untuk lambung saya! Saya tunggu hingga waktu yang indah itu tiba.
Saya pecinta sayur-mayur. Dengan hadirnya sakit kemarin, ada
banyak sayur-mayur yang harus saya pantangi. “Puasa dan puasa!” gumam saya.
Jadilah jenis sayur-mayur pun jadi terbatas bagi saya. Maka, dalam daftar menu
harian, saya cantumkan sayur-mayur yang sarat seratnya: brokoli, buncis,
asparagus, kentang, mentimun, sayur hijau (kangkung, gambas). Dan syukurlah, lidah
saya kini mulai terbiasa.
Sementara itu, untuk lauk, saya masih boleh mengonsumsi daging
rendah lemak: ayam (kampung), kalkun, ikan, dan produk laut rendah lemak—dan semua
bagus jika dibakar, dipanggang, atau direbus. Di luar itu, sementara ini,
daging merah semacam daging sapi atau kambing saya jauhi. Pernah saya coba, saya
jadi oleng: kepala langsung pusing berat seperti migran. “Begitulah, namanya adaptasi.”
Sebagai tambahan, saya perlu asupan buah. Ini saya harus
memilah dan memilih buah mana yang aman. Saya catat, buah yang cocok
(nonsitrus) meliputi: alpukat, melon, pisang, apel, pir, persik. Dimakan
langsung atau di-jus satu kali sehari. Sementara, buah-buah yang potensial gas
atau rasa masam, semisal manga, jeruk, saya harus menjauhinya. Durian?
Istirahat sajalah dulu.
Tentu saja, saya juga wajib membiasakan perilaku sehat. Saya
wajib hindari makan yang berlebihan, kurangi berat badan, hindari makanan
berlemak, cokelat, kopi, alkohol, makanan pedas, makanan masam, bersantan,
soda, dan tomat.
Yang berat itu menghindari makanan pedas dan bersantan! Saya
penyuka sayur lodeh yang bersantan dan pedas—bahkan kerap ikan pun saya masak
ala sayur lodeh. Tidak pedas amat sih, tapi harus ada pedasnya. Nah, sekarang,
semua ini stop dulu. Andaikata makan ikan bakar pun, ya dengan bumbu yang tanpa
cabai.
Selain itu, dalam praktiknya, saya juga harus mengatur makan
sedikit-sedikit, 3-4 kali sehari (atau kurangi pula frekwensinya, misalnya 2
kali dengan porsi 1/3 dari biasanya). Saya juga harus makan secara perlahan,
tak perlu segesa-gesa, agar makanan terkunyah sempurna. Terpenting lagi, saya
tidak boleh makan sebelum tidur (maksimum 2-3 jam sebelum tidur).
Lebih dari itu, saya wajib tidak merokok dan berbaring
setelah makan. Syukurlah saya sudah lama tidak merokok (teringat artikel saya “Pengalaman
Berhenti Merokok” dalam buku saya Jejak
Budaya Merentas Peradaban, 2014). Untuk tidak berbaring setelah makan,
inilah yang harus dilatih keras; sebab, kemarin-kemarin selama sakit saya lebih
banyak terbaring di tempat tidur.
Namun, jika sudah waktunya, tidurlah saya dengan cukup
(“nyaman”: 5-6 jam). Ini nasihat diri untuk saya sendiri. Mengapa saya
tegaskan? Sebab, saya sendiri jarang tidur selama 6 jam dalam sehari semalam—selama
ini saya tidur sekitar 4 jam. Karena itu, tidur 6 jam itu juga masih saya
latihkan. Tidak mudah, sebab karena usia, saya lebih sering bangun di malam
hari. (Barangkali, ini pertanda saya harus lebih rajin shalat malam.)
Posisi tidur pun perlu mengikuti kebiasaan baru. Sebagaimana
saran dokter, saya diminta untuk tidur dengan dada dan kepala lebih tinggi.
Tentu, katanya, agar asam lambung tidak naik---sebab, jika sampai naik, akibatnya bisa berabe. Sementara, agar
lebih aman, jangan lakukan gerakan yang menekan perut (goyang, lompat). Lebih
dari itu, saya kenakan pakaian yang longgar.
Begitulah, mamin dan kebiasaan sehat---sebagaimana
dijelaskan di atas---yang sedang saya jalani. Namun, semua itu bergantung pada
komitmen si pasien, dalam hal ini ya saya sendiri. Jika saya punya komitmen untuk
mengamalkannya, “mesin” diri saya akan segera kembali sehat. Sebagai subjek,
sayalah penentu yang mengendalikan keberhasilannya. Tentu, semua itu atas izin
Allah.[]
Driyorejo, 15-16 Juli
2020
*Much. Khoiri adalah
dosen dan penulis 42 buku dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Tulisan ini
pendapat pribadi.
Semoga segera pulih seperti semula
ReplyDeleteAamiin. Matur nuwun sanget
DeleteAdaptasi yang lumayan berat, harus menghindari makanan kesukaan...
ReplyDeleteSemoga segera pulih pak Emcho...
Insyaa Allah siap. Makasih
DeleteAdaptasi mamin yg benar benar menuju pola hidup sehat...agak berat tp klo sdh terbiasa akan terus sehat. Insyallah. Semoga terus sehat pak Dosen.
ReplyDeleteAamiinx100. Makasih banget.
Delete