Swafoto setelah gerak badan dan caring, Selasa 14-7-2020 (Sumber foto: Dokumen pribadi). |
Oleh MUCH. KHOIRI
IBARAT mobil, saya baru saja turun mesin. Dibongkar lalu
diletakkan bagai rongsokan, menunggu ditangani. Selama hampir dua bulan,
pembongkar itu adalah sakit, beruntun, sejak ramadhan hari ke-10. Fisik saya tidak
bisa berfungsi normal, lemah dan nyaris tak berguna. Singkatnya, secara fisik,
seperti rongsokan itu.
Bagaimana akhirnya saya dikembalikan lagi seperti sekarang,
bagaimana proses perakitannya, tidak akan saya kisahkan di sini ya---akan ada
ruang dan waktu lain untuk membaginya [agar Anda penasaran, dan kita punya
waktu ketemu lagi]. Sekarang, saya akan berkisah tentang masa pemulihan “mobil”
saya ini, wabil-khusus tentang adaptasi fisik.
Adaptasi itu seperti orang pacaran, minimal pe-de-ka-te
(pendekatan), dengan orang yang dicintai. Belajar memahami karakter baru,
situasi baru, masalah baru, gejolak baru, dan seterusnya. Saya sendiri juga
seperti manusia baru. Setelah memahami hal-hal baru, saya menyesuaikan dengan
semuanya—agar saya kembali eksis sebagai manusia yang normal atau new normal!
Ini perlu perjuangan, kadang saya jatuh bangun dibuatnya.
Pertama, air hangat. Saya harus membiasakan diri mandi air
hangat setiap kali mandi. Ini membongkar kebiasaan lama saya, yakni mandi
dengan air segar biasa (setengah dingin), yang menyegarkan. Ada semacam
kehilangan kenikmatan tersendiri karena berubah ke kebiasaan mandi air hangat.
Sekarang, kapan pun mandinya, tak peduli cuaca gerah, pokoknya
saya wajib ‘ain menggunakan air hangat. Pernah melanggar, akibatnya, badan
meriang! Sudah pernah saya punya pengalaman. Semua pakai air hangat, kecuali
pas cuci tangan (protokol kesehatan) dan berwudlu (beberapa kali sehari untuk
selalu jaga wudlu).
Demikian pun minum. Minum air hangat, dua gelas menjelang
subuh—minumnya sih sebuah kebiasaan, namun ‘hangatnya’ ini baru sekarang. Dan
minum air hangat mendominasi konsumsi air dalam tubuh sehari-hari—untuk
sementara, saya pantang mimum kopi (mana tahan?). Susu atau teh saja harus yang
tipis-tipis. Sekali lagi, semua harus hangat. Jika dilanggar, perut bisa mual.
Masalah makan, saya juga harus berjuang. Saya membuat daftar
jenis makanan yang boleh dikonsumsi agar aman bagi tubuh. (Rinciannya akan saya
tuangkan dalam tulisan lain, insyaa Allah.) Otomatis, banyak bahan makan yang
semula aman bagi saya, kini harus saya hindari. Sambal, misalnya, itu menu
pendamping makan favorit saya setiap kali makan; sekarang, no way, saya harus
stop sama sekali. Bayangkan, bagaimana rasanya pecinta sambal yang berpisah
dengannya?
Untuk melatih fisik, sebelum berjemur pagi (sesuai himbauan
dokter), saya melatih diri dengan berjalan kaki. Ini bertahap, pertama saya
jalan kaki pelan-pelan hanya 100 m PP (pergi-pulang), kemudian naik 250 m PP,
kemudian 1000 m PP. Sekarang, saya sudah mulai terbiasa jalan kaki 1000-1500 m
PP, setelah itu saya berjemur 30 menit. Rencananya, kalau sudah cukup kuat,
saya akan berlatih gowes (naik sepeda) lagi. Sudah kangen.
Jangan tanyakan kerja secara normal. Ini sering ditanyakan
para sahabat di mana pun berada. Jawaban saya sama: “Alhamdulillah, saya mulai
beraktivitas.” Kata “mulai” di sini ya mengacu ke masa adaptasi tadi. Masih
latihan. Kalau baca buku-buku agama, buku filsafat, buku sastra, atau menyimak
pengajian di youtube, masih kuat. Namun, kalau disuruh membaca buku-buku
teoretik, apalagi bekerja keras, nanti dulu. Kepala langsung cekot-cekot, dan
itu tandanya saya harus istirahat.
Untuk aktivitas produktif, saya benar-benar harus melatih
diri secara perlahan, tidak bisa memforsir diri. Butuh perjuangan untuk kembali
ke keadaan semua. Jatuh bangun, ibaratnya, tak apa-apa. Saya sedang menghayati
dan melaluinya. Saya akan kembali ke kebiasaan membaca setiap hari, menulis
setiap hari, menjadi ayah yang baik dalam keluarga, dosen yang baik bagi
mahasiswa, dan teman yang baik bagi para sahabat dan masyarakat.
Saya hanya yakin, adaptasi ini akan membuahkan hasil yang
manis. Semua akan indah pada waktunya. Orang Barat bilang, “Every cloud has a
silver lining.” Lebih dari itu, Allah meyakinkan saya dengan “Sesungguhnya
bersama kesulitan ada kemudahan.” Dengan kata lain, setiap ada masalah,
pastilah ada solusi dan jalannya. Tentu, atas izin Allah, badai akan berlalu.[]
Driyorejo, 14 Juli
2020
*Much. Khoiri adalah
dosen dan penulis buku dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Tulisan ini
pendapat pribadi.
Semoga lekas sembuh pulih membaik..perakit karya selalu ada jalan..semoga Allah membeei jawabn yg indah atas sebuah cobaan
ReplyDeleteAamiinx100. Terima kasih banyak telah berkenan mampir dan komen.
DeleteSemoga Allah segera memberikan kesembuhan, dan bisa beraktifitas kembalu seperti biasa
ReplyDeleteAamiinx100. Terima kasih banyak telah berkenan mampir dan komen.
DeleteSemoga Allah senantiasa melindungi dan cepat diberi kesembuhan. Sehingga bisa beraktifitas kembali.sy sll merindukan tulisan2 abah yg sll renyah dan mudah dibaca. Tetap semangat gih. Allah tdk akan memberikan ujian diluar kemampuan umatnya..Aamiin.
ReplyDeleteAamiinx100. Terima kasih banyak, Bu Ambar, telah berkenan mampir dan komen.
DeleteMudah2an lekas sehat kembali dan beraktifitas seperti sebelumnya.
ReplyDeleteAamiinx100. Terima kasih banyak, Pak Budiono, telah berkenan mampir dan komen. Semoga sehat selalu.
DeleteBapak semoga lekas pulih dan sehatt selalu nggih Pak. Always enjoy your writing, Sir.
ReplyDeleteMatur nuwun. Semoga kita senantiasa sehat dan kreatif berkarya.
DeleteAssalamualaikum, Abah Khoiri smg cepat sembuh, cepat pulih kembali & senantiasa dibr limpahan Rahmat kesehatan, perlindungan & kasih-sayangNya..aamiin YRA. Kami akan selalu kangen dg tulisan2 Abah yg enak dibaca & senantiasa menginspirasi kami utk trs belajar menulis & berkarya...
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete