Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Sunday, January 24, 2021

Dulgemuk Berbagi (2): ANTRIAN TIKET PULANG BUKAN PERGI

Oleh Much. Khoiri 

SALAH satu grup WhatsApp yang diikuti Dulgemuk tidaklah seramai belakangan ini. Menurut amatannya, grup ini memang jadi ramai pada tiga momen: ketika ada anggota yang ulang tahun, ada ucapan selamat karena prestasi atau capaian tertentn, dan berita duka! Hal terakhir inilah yang kini paling ramai dan tinggi tingkat frekwensinya.

“Innalillaahi wainna ilaihi raajiuun. Turut berbela sungkawa atas berpulangnya Saudara X, semoga beliau husnul khatimah. Keluarga yang ditinggalkan semoga dilimpahi ketabahan, kesbaran, dan kekuatan tanpa batas. Aamiin,” begitu biasanya Dulgemuk mengirimkan pesan besa sungkawanya. Dulgemuk sampai punya templet ucapan bela sungkawa, tinggal mengganti nama saja.

Sumber gambar: Dokumen pribadi


Kalau sudah ada berita duka masuk, suara ting-tung-ting-tung bersahutan. Di layar hape terpampang ucapan bela sungkawa dari sekitar 250 anggota grup, ada yang membuat sendiri, ada pula yang copas. Mereka seperti antri bertakziyah kepada anggota keluarga almarhum(ah). Kalau begini situasinya, tidak enak jadinya jika harus berbagi info di grup. Tunggu sampai kondusif.

Maka, tersebab saking kerapnya berita duka masuk ke grupnya, plus belasan grup lain yang diikutinya, Dulgemuk pagi ini mengundang jamaah “Sinau Urip” kecilnya lewat zoom. Selama pandemi ini, mau tak mau dia juga beradaptasi dengan teknologi era disrupsi. Sebab, jika tidak, dia akan jadi manusia purba!

Setelah pembukaan babibu, Dulgemuk langsung tancap gas. “Dulur, kalian tahu, beberapa saudara kita, baik di grup kita maupun di grup-grup sebelah, sudah berpulang mendahului kita. Ada yang memang sudah tua, ada yang masih sangat muda. Berpulang itu pantas bagi siapa pun tanpa memandang usia.”

“Kok berpulang, Cak Dul? Bukankah mati itu pergi?” Dulkrempeng menyela. Tampak dia membetulkan letak pecinya. Kepalanya kecil, jadi topinya oblong-oblong, kegedean.

“Lha iya, pulang ke mana?” tambah Yu Tun. Wajahnya ayu menenteramkan. “Apakah langsung ke surga atau neraka, Cak Dul?” Di background-nya tampak poster-poster artis dalam dan luar negeri yang sedang memamerkan gaya minum kopi. Maklum, Yu Tun juragan kafe aneka kopi yang sukses, satu di Batu dan satu di sebuah perumahan elit di Surabaya.

“Dik Krempeng, Dik Tun, dan semuanya saja,” kata Dulgemuk, meyakinkan. “Begini ya, mati itu bukan pergi, melainkan pulang. Lha wong yang melakoni, subjeknya, adalah orang yang mati, jadi sudut pandangnya ya dari dia. Itu bukan pergi, hanya pulang saja. Pulang ke mana? Pulang ke kampung akhirat. Nah, dari sudut pandang kalian, dia itu pergi, ya pergi dari kalian. Tapi sekali lagi, dia itu pulang ke kampung akhiratnya.”

Dia melanjutkan: “Manusia itu warga kampung ‘langit’ yang mengembara di bumi, bersekolah dan belajar di bumi, menjalani siklus hidup mereka masing-masing—ada yang komplit dalam waktu lama, ada yang baru sebagian saja dalam waktu pendek. Semua sudah ditentukan! Setiap manusia memiliki kisahnya sendiri-sendiri, sebab misi dan tugas pengembaraan setiap manusia juga berbeda-beda. Nah, setelah selesai dengan tugas yang harus ditunaikan, pulanglah mereka karena ada panggilan yang tak bisa ditunda.”

“Langsung ke kampung mereka, Cak Dul?” tanya Ning Tini, penasaran. Ning Tini adalah anggota jamaah Dulgemuk yang menjadi citizen journalist untuk Metropolitan Surabaya. Dia tinggal di kawasan Wiyung, tempat yang dipilihnya karena dekat sebarang kebutuhan hidup.

“Transit dulu, mampir dulu, di alam barzah. Inilah alam tempat kita sesudah berpulang, menunggu terjadinya Kiamat Kubra, kiamat besar. Ini tempat di mana kakek-nenek moyang kita berada. Konon, kehidupan kita di alam transit ini banyak bergantung pada amal kita selama hidup di dunia—selama mengembara di atas bumi. Jika banyak kebaikan yang kita amalkan, maka di alam barzah itu kita akan tenteram dalam peristirahatan. Bahkan, kakek-nenek moyang kita amat mungkin menjemput dan menemui kita di sana.”

Lalu, Dulgemuk menegaskan penjelasannya. “Jadi, saudara-saudara kita itu telah memenuhi antrian pulang! Tiket pulang! Lha tiket antrian itu tiba kepada mereka karena Allah menentukan, entah akibat sakit covid, entah tanpa sebab apa pun, mereka harus pulang. Covid itu hanya perantara saja. Sementara, kita yang ditinggal, tentu bersedih, namun jangan berlarut-larut dan tenggelam dalam kesedihan. Sebab, kita tidak tahu, apakah hidup saudara kita malah lebih mulia justru ketika pulang ke kampungnya.”

“Sebaliknya, bagi kita yang belum menerima tiket pulang, inilah momentum terbaik untuk menimbang diri, apakah kita sudah punya bekal cukup untuk perjalanan pulang ke kampung halaman. Sebuah perjalanan panjang sekali. Baru dalam perjalanan saja, jika kita tidak punya bekal cukup, kita bisa kelaparan dan kehausan. Apa lagi nanti, kalau kita sudah berada di pintu gerbang kampung kita, kita akan dihisab satu-persatu, pantas tidaknya untuk langsung masuk ke kampung surga.”

Peserta pengajian daring begitu sunyi. Biasanya terdengar teriakan penjual bakso asal Malang, atau suara penjual sate asal Madura itu. Kini hening! Tidak ada lagi yang berani berkomentar. Antara perasaan takut, ngeri, menangis, dan campur aduk perasaan lain, mereka hanya diam terpaku—dan perlahan air mata bergulir di pipi masing-masing. Ibuk-ibuk tampak mengelap matanya dengan tisu. Dulkrempeng, Dulremek, Matkoplak cukup pakai sarung.

Kini Dulgemuk juga terdengar sesenggukan. Beberapa saat lamanya. Kemudian, dia pun share-screen, dan mengajak jamaahnya untuk memperhatikannya.


MENIMBANG DIRI

Puisi Much. Khoiri

 

Cermin mana lagi yang kaupakai pagi ini

Untuk sekadar menimbang-nimbang Diri

Tak usah jauh. Kemarilah, duduklah di sini.

Mari simak kisah-kisah hikmah para Perawi.

 

Firaun yang perkasa menundukkan dunia

Menuhankan diri dan bergada kebengisan

Ternyata, keperkasaan itu takluk oleh usia

Yang tersisa mumi yang memancing amarah

Dan serapah anak manusia yang menyaksikan.

 

Lihatlah Karun yang dulu begitu kaya raya

Yang kunci gudangnya sepikul lelaki pekerja.

Namun, apakah yang pernah ditinggalkannya?

Tidak ada!, kecuali kisah pilu manusia serakah

Yang lupa asal-usulnya dan tujuan mengarah.

 

Ayo hayatilah kisah Nabi Sulaiman, raja salih dermawan

Menjadi kesatria di siang hari dan rahib di waktu malam.

Simaklah kisah para pembangun thareqat yang mulia:

Muhammad Bahauddin Al-Naqsyabandi, Abdul Qadir Jaelani,

Abul Hasan Ali Al-Syazili, Abu Ahmad Abdal Al-Jasti,

Abdul Qadir Al-Suhrawardi, Jalaluddin Al-Rumi,

Najamuddin Ahmad Al-Kubra, Al-Qadhi Al-Syatari,

Muhyidin Ibnu Arabi, atau Al-Rifa’i Al-Hussaini.

Juga para pencari Tuhan yang telah menyucikan jiwa

Sepanjang perjalanan usia tanpa sepatah keluh kesah.

 

Ayolah segera temukan kelemahan, kehinaan,

Kefanaan, kebodohan dan keterbatasan insan

Agar mengenal Tuhan dengan segala kemuliaan

Kekuasaan, kemahatahuan, dan kebaqaan-Nya.

Jadilah musyafir jiwa yang mencapai tujuannya.

 

Lalu, tatkala waktu senjamu akhirnya tiba

Rayakanlah kemenangan jiwa yang gemilang

Menyambut husnul khatimah saat tutup usia

Dan ridha menghuni rumah jiwa muthmainah 

Yang dengan-Nya ada persuaan teramat mesra.


Di ujung pertemuan, Dulgemuk berwasiat: “Dulur-dulur, mari resapi puisi tersebut. Kita petik hikmahnya. Kita siapkan diri sebaik-baiknya sebelum tiket pulang diberikan kepada kita. Jangan sampai ketika saat itu tiba, kita belum punya persiapan apa pun jua. Sekali lagi, pastikan kita kembali pulang dalam keadaan ridha dan diridhai oleh-Nya. Insyallah.”[]

Kabede Gresik, 23-01-2021

*Much. Khoiri adalah dosen Sastra/Kajian Budaya/Creative Writing, penggerak literasi, blogger, dan penulis buku dari Jalindo dan Unesa Surabaya. Tulisan ini pendapat pribadi.

 

6 comments:

  1. Jadi miris sendiri... Selama ini awak masih memikirkan dan mengutamakan 3 amanah yang awak punya...Yaa Allah... Ampuni kekhilafan hamba...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kepada-Nya kita berlindung dan kepada-Nya kita akan kembali

      Delete
  2. Tulisan sarat nasihat, namun takserta merta menggurui, tertata dalam kalimat apik... Yang baca meresapi... Terima kasih Pak Dosen tulisannya, mengingatkan diri untuk banyak refleksi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sama-sama, Bu Husnul. Semoga kita istikomah dalam kebaikan dan kebenaran

      Delete
  3. Saya beberapa kali mendekatinya. Jadi pengen nangis...
    Ya karuniakan kami umur panjang nan berkah manfaah... Amiiin

    ReplyDelete

Terima kasih banyak atas apresiasi dan krisannya. Semoga sehat selalu.

Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts