Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Wednesday, November 11, 2020

SEPATAH KATA UNTUK MAHASISWA YANG DIYUDISIUM

Yudisium Online Mahasiswa: Dok Pribadi
Oleh: Much. Khoiri 

SETIAP ada perpisahan, sumedhot rasaning ati, hati saya rasanya tersedot. Hari ini ada yudisium bagi mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris—di antaranya 50 mahasiswa prodi Sastra Inggris, dan saya diberi penghormatan untuk memberikan sepatah dua patah kata. Nah, inilah saatnya perpisahan itu—dan saya rasakan sumedhot rasaning ati. Bahkan, tanpa ada yang menyurur, saya sampai mbrebes mili.

Mungkin saya gembeng, mudah mewek. Namun, itulah nyatanya. Yudisium itu, ibarat nikahan, adalah ijab qabul-nya, sudah sah dan halal, sedangkan wisuda itu pesta (wedding party) syukurannya. Substansinya ya di yudisium itu—sedangkan wisuda hanya seremonial. Jadi, tatkala mereka, anak-anak saya, yang telah bersama di kampus selama 4-5 tahun, diyudisium, itu artinya mereka sudah lulus—dan lulus artinya mereka telah mencapai destinasi akhir dari kuliah. Bagaimanapun, itu gong perpisahan.

Maka, tatkala diminta untuk memberikan sepatah kata kesan atau apa pun namanya, saya seperti blangkemen (kelu) untuk bicara; sehingga saya menyampaikannya pelan-pelan. Maaf, saya agak berpura-pura tampak seperti orang yang tegar, padahal pada momen ini saya sedang keropos dan rapuh: Ada yang membuat saya nyaris tak berdaya. Ibaratnya, saya memberikan pesan terakhir guna melepas anak untuk pergi jauh. Bayangkan…!

Saya sampaikan selamat kepada Putu, Aulia, Yoga, Kristin, dan seluruh anak-anak yang yudidium. Empat-lima tahun sudah mereka bersama belajar memahami hidup dari lingkungan akdemik. Saya ingatkan, bagaimana dalam Indonesian Society and Culture (ISC), individu harus belajar bernegosiasi, berintegrasi atau memasang resistensi pada individu lain dalam ranah keluarga, komunitas, masyarakat, etnik, nation, dan dunia. Ada sistem nilai dan norma yang harus dihayati, ada impian yang harus diperjuangkan.

Menyelesaikan studi bukanlah berakhirnta sebuah perjalanan. Yudisium itu destinasi dari impian mahasiswa alias anak-anak saya untuk lulus studi. Tentu, lulus bukanlah destinasi akhir. Sebab, setelah itu, mahasiswa masih akan tetap punya tempat belajar—memang belum tentu sebuah lingkungan akademik, justru akan menempati lingkungan non-akademik di luar sana. Mulai detik ini mereka malah wajib membuat impian baru untuk destinasi-destinasi baru ke depan.

Saya tegaskan, “The world is like a school, and the book is just like a book to read and write.” Dunia ini laksana sekolah, dan hidup ini laksana buku untuk dibaca dan ditulis. Jika dunia dianggap sebagai sekolah, barang tentu, ia harus dipelihara dan dirawat agar ia nyaman dan aman untuk tempat belajar. Sementara itu, hidup ini, laksana buku, perlu dibaca, dipelajari, dihayati, dan ditulislah kebaikan-kebaikan untuk dibagi dengan sesama.

Dengan secuil statemen itu, anak-anak yang yudisium hari ini seharusnya tidak berhenti di sini (sebab ini bukanlah destinasi terakhir). Mereka masih harus mewujudkan impian baru: Mencari kerja, bekerja untuk meniti karir, atau melanjutkan studi. Masih ada jalan membentang di depan sana, yang harus dilalui dengan hati gembira. Mereka menjemput setiap bakul rezeki (dalam arti luas) yang dihujankan Tuhan dari langit, atau disemburkan oleh Tuhan dari dalam perut bumi. Mereka diharapkan mampu menghayati ungkapan “The world is like a school…..” dalam kehidupan.

Maka, meniti jalan hidup ke depan, tentulah berbeda dengan jalan tatklala berkulak ilmu di lingkungan akademik. Mungkin akan lebih berat dan lebih kompleks. Namun, perlu diyakini sepenuh hati, bahwa setiap manusia akan diuji sesuai dengan kekuatannya—dan dia dianugerahi rewards per individu. Jadi, ujian tidak akan pernah keliru. Jika manusia merasa berat dengan suatu ujian, perlu diyakini bahwa Allah maha tahu, manusia itu memang kuat menjalaninya.

Akhirnya, kini, dengan semedhot rasaning ati dan mbrebes mili yangd dalam, saya lepas dan biarkan mereka berjuang melaksanakan kata-kata impian yang mereka yakini.  Pada saat sama saya hanya berdoa, mudah-mudahan mereka dianugerahi bersihnya hati beningnya pikiran, serta selalu mendapat petunjuk dan bimbingan Allah, dalam kisah perjuangan mereka menuju destinasi berikutnya. Bismillah, insyaallah bisa! [

Driyorejo, 11 November 2020 pkl 13.00.

*Much. Khoiri adalah dosen Sastra Inggris, penggerak literasi, editor, dan penulis buku dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Tulisan ini pendapat pribadi.

8 comments:

  1. Ya Allah... sumendhal rasaning ati. Tumut trenyuh...

    ReplyDelete
  2. Memang...rasanya hati tak mau lepas.
    Kalo melepas anak seusia smp, kita menangis untuk menitipkan mereka kepada malaikat malaikat bersayap agar mampu menapaki tahap kedewasaan berikutnya.

    ReplyDelete
  3. Ikut mbrebes mili 😭😭😭😭

    ReplyDelete

Terima kasih banyak atas apresiasi dan krisannya. Semoga sehat selalu.

Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts