Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Thursday, January 28, 2021

Dulgemuk Berbagi (5): MOMENTUM PUBLIKASI TULISAN

Oleh Much. Khoiri 

DALAM sebuah acara bedah buku daring, Dulgemuk ikut hadir di dalamnya. Dulgemuk hadir karena pengundang dan terundang, termasuk penulis buku dan editornya, adalah para sahabat penulis yang luar biasa. Itu kesempatan emas untuk bertemu dengan komunitas penulis yang sama-sama aktif sebagai kompasianer—sebutan untuk penulis di kompasiana.com.

Kali ini buku yang dibedah adalah sebuah buku kumpulan artikel yang diposting di blog publik kompasiana.com pada tahun 2012-an, yang secara umum berisi kritik dan pandangan “penulis seniman” (ya penulis ya seniman) tentang seorang presiden kala itu. Delapan tahun artikel-artikel itu berada di dalam blog, dan sekarang dihimpun ke dalam buku. Inspirasi yang menarik, bukan?

Inspirasi apakah itu? Kata Dulgemuk, “Momentum! Ya momentum publikasi tulisan. Untuk mencapai keterbacaan yang diharapkan, momentum sangat penting untuk mempublikasikan tulisan. Jika penulis memanfaatkan momentum secara tepat, keterbacaan tulisan di kalangan pembaca akan tinggi, dan penulis pun diuntungkan. Demikian pun sebaliknya.”

Sumber gambar: Dokumen Pribadi


Dalam bedah buku tersebut, Dulgemuk memang angkat tangan untuk mengingatkan tentang pentingnya momentum tersebut. Tanpa mengurangi apresiasi Dulgemuk kepada sahabatnya atas penerbitan buku itu, Dulgemuk mengatakan bahwa penerbitan buku itu, dari artikel-artikel yang diposting delapan tahun silam, telah kehilangan momentum.

Menurut Dulgemuk, penulisan artikel-artikel tersebut bisa saja tepat momentum pada delapan tahun silam. Gagasannya tepat untuk disampaikan kepada publik pembaca saat itu, yang memang ingin menyerap informasi atau gagasan yang relevan dan updated. Saat itu artikel-artikel itu memiliki tingkat keterbacaan yang tinggi—artinya, dibaca oleh banyak pembaca. Mengapa? Sekali lagi, tulisan-tulisan itu hadir pada momentum yang tepat.


Namun, ketika artikel-artikel itu dihimpun menjadi buku sekarang, buku itu agaknya sudah kehilangan momentum. Terlebih, buku itu buku bernuansa politik—yang dinamikanya sangat cepat melesat dari waktu ke waktu. Karena kehilangan momentum, andaikata dipasarkan ke publik, buku itu berkemungkinan tidak mendapat sambutan hangat. Keterbacaan buku itu akan terbatas karenanya.

Dalam pandangan Dulgemuk, ‘terbatas’ di sini bukan berarti tidak ada, bukan sama sekali. Namun, (calon) pembaca buku itu terbatas hanya pada mereka yang benar-benar sangat berminat membacanya, entah untuk keperluan akademik entah untuk menambah wawasan tentang sikap, perilaku, dan komunikasi politik seorang presiden tersebut. Bisa pula terbatas pada pengurus partai yang mendukung beliau, dalam rangka memperoleh feedback untuk kebijakan partai ke depan. Buku itu bisa jadi semacam referensi historis.

Adapun pembaca umum, dalam itung-itungan pemasaran buku, tidak akan tertarik membacanya. Pembaca umum akan mencari buku-buku yang terkini, yang memuaskan keingintahuan mereka tentang isu-isu mutakhir. Andaikata ada, pembaca akan tertarik pada buku tentang buku terkini. Lagi, semenarik apa pun sebuah isu buku, jika sudah kelewat waktunya, itu tidak akan semenarik buku-buku dengan isu mutakhir.

Dalam hal ini, Dulgemuk memberikan sedikit kiat untuk mengurangi kedaluwarsaan tulisan-tulisan dalam buku tersebut (namun hal ini tidak sempat disampaikan saat bedah buku). Pertama, setiap artikel sebaiknya dikaitkan dan dicarikan relevansinya dengan isu-isu terkini, kemudian diberikan maknanya. Dengan demikian, artikel-artikel yang ada perlu dibenahi lagi menjadi sosok yang baru, berkat tambahan data terbaru, untuk perbandingan. Dengan pembaruan isi ini, tentu akan mempengaruhi judul bukunya—perlu ditempeli pesan kekiniaannya.

Kedua, kata Dulgemuk, gagasan-gagasan dalam artikel tersebut diubah menjadi karya sastra—baik cerpen (novel), puisi, maupun drama. Jika diubah genrenya menjadi karya sastra, gagasan-gagasan artikel tersebut diyakini akan tetap baru. Sebab, karya sastra hakikatnya tidak terbatasi ruang dan waktu. Karya sastra memiliki momentum keterbacaan yang jauh lebih lama dibandingkan buku-buku non-sastra.

Akhirnya Dulgemuk berharap, “Mudah-mudahan semua ini menjadi reminder (pengingat) bagi kita penulis dalam mengelola momentum publikasi tulisan. Ini penting saya share di sini, sebab penulis tidak bisa tidak sadar dan waspada akan momentum publikasi, mengingat setiap penulis pastilah ingin mempublikasikan tulisan-tulisan mereka, guna mendapatkan keterbacaan yang terbaik.”[]

Kabede Gresik, 28-01-2021

*Much. Khoiri adalah dosen Sastra/Kajian Budaya/Creative Writing, penggerak literasi, blogger, dan penulis buku dari Jalindo dan Unesa Surabaya. Tulisan ini pendapat pribadi.

9 comments:

  1. Setuju. Momentum itu penting dalam peluncuran buku

    ReplyDelete
  2. Replies
    1. Terima kasih, Bu. Mudah2an kita memegang prinsip momentum

      Delete
  3. Pak Haji Dulgemuk punya cara tersendiri untuk mengingat pentingnya momentum

    ReplyDelete
    Replies
    1. Matur nuwun, B hajjah. Itu karena terinspirasi oleh bedah buku Pak Ajinata.

      Delete
  4. Mantap pak Khoiri semoga bisa menginspirasi,sehingga bisa ikut menulis.

    ReplyDelete

Terima kasih banyak atas apresiasi dan krisannya. Semoga sehat selalu.

Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts