Oleh Much. Khoiri
“Kamu harus memahami hidup secara keseluruhan, bukan hanya satu bagian kecil saja. Itu sebabnya kamu harus membaca, itu sebabnya kamu harus memandangi langit, itu sebabnya kamu harus bernyanyi, menari, dan menulis puisi. Kamu harus mau menderita dan mengerti, karena semua itu adalah hidup.” (Quote of the Day, emcho)
Tatkala Dulgemuk duduk memandangi tanaman aglonema dan bunga-bunga gantung yang memenuhi teras rumahnya, kutipan tersebut telah menamparnya. Meski dia selama ini telah berupaya keras untuk menjadi manusia yang selalu berpasrah kepada Allah, kutipan Pak Dosen itu benar-benar membuat sesak napas. “Kamu harus memahami hidup secara keseluruhan, bukan hanya satu bagian kecil saja.” Berarti aku belum menerima hidup secara kaffah, bathin Dulgemuk.
Ya, Dulgemuk tertampar Pak Dosen karena belum ajeg membaca (dalam arti luas). Membaca diri sendiri, buku, surat kabar, majalah, hidup serta pengalaman manusia lain. Belum utuh (kaffah), masih amatiran. Karena belum rajin membaca, Dulgemuk merasa berdosa, sebab Iqra itu kewajiban membaca yang diturunkan Allah untuk ummat manusia. Membaca memperluas wawasan, menambah kedalaman pemahaman. Tamparan Pak Dosen wajib diikuti dengan tindak-lanjut; membaca tak bisa ditawar lagi.
Sumber gambar: Dokumen Pribadi |
Memandangi langit menurut Pak Dosen di sini tentu bukan
bermakna harafiah (literal, denotatif). Jika harafiah saja, Dulgemuk pastilah
sering melihat langit, terlebih di musim hujan di masa pandemi begini. Dia
kerap melihat langit tatkala mendung tak kunjung tersibak mentari, dan deras
hujan sering hadir tiba-tiba. Di mata Dulgemuk, langit hanya hamparan teramat
luas tak berbatas yang titik ufuk-ufuknya hanya bisa dilihat dari tempat
ketinggian.
Pastilah itu mesti dimaknai secara konotatif. Memandangi langit, melihat langit, adalah membaca (iqra) terhadap keluasan dan ketinggian makhluk ciptaan Allah, yang begitu taat menjalankan amanah-Nya untuk menaungi bumi dari panasnya matahari. Dulgemuk harus membaca, mengkaji dan memahami bahwa ciptaan Allah saja begitu luar biasa, maka bagaimana Sang Maha Pencipta? Allahu Akbar, begitu kecil dan tak berdaya Dulgemuk saat ini.
Kemudian, “kamu harus bernyanyi, menari”. Ini juga bukan arti harafiah. Sebab, jika diharafiahkan, Dulgemuk juga ketawa sendiri, sebab selama ini dia hanya menyanyi di dalam kamar mandi—tak sekali pun menyanyi untuk pesta atau acara hiburan! Menari? Sama saja! Waktu dia kecil sih pernah main drama dan menari bersama di panggung perpisahan SD, namun setelah itu stop sudah. Terlebih, sejak dia berguru mengaji pada ustadz yang tidak suka seni, maka “minat” kecil menari Dulgemuk ikut amblas sudah.
Maka, Dulgemuk memaknai “bernyanyi dan menari” itu sebagai simbol kebahagiaan. Maksudnya, teriakkan ke dalam hati sanubari untuk selalu bahagia. Kebahagiaan penting, dan sejatinya ia sederhana wujudnya, yang penting bersumber dari hati. Bukan di puncak gunung atau di hamparan lembah. Maka, selalu bahagiakan hati, dengan membawa segala urusan kepada-Nya. Itu dzikir namanya. Alaa bidzikrillah tathma’innul quluub, berdzikir kepada Allah itu membuat hati tenang dan tenteram.
Tentang bahagia ini, Dulgemuk memang telah mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari—meski belum seutuhnya. Maklum, Dulgemuk juga manusia, sama dengan politisi, pejabat pemerintah, Pak Dosen, dan seluruh tetangga dan teman-temannya. Namun, tersenyum dan menebarkan senyum dan salam adalah bagian hidupnya selama ini. Senyum itu ibadah, apalagi menyenyumkan sesama. Orang-orang yang mengenalnya juga mengakuinya.
Tentu saja, ada bahagia, ada sedih. Bahagia harus disyukuri, kesedihan jangan dikeluhkan dan dicaci-maki. “Ambil hikmahnya saja,” batin Dulgemuk. Jika orang diuji dengan kesedihan, orang itu harus mengambil hikmahnya: bahwa ujian itu justru mendekatkan manusia kepada Allah. Dengan ujian sedih, dia akan banyak berdoa untuk memohon solusi bagi masalah yang dihadapinya. Jika pintar memetik hikmah, sedih dan bahagia itu tak jauh beda—semua ujian dari Allah.
Satu lagi, menulis puisi. Kalau ini sebenarnya tidak menampar Dulgemuk, justru mengapresiasinya. “Menulis puisi” di sini dimaknai sebagai menulis tentang kebaikan, keindahan, yang disebarkan kepada masyarakat—lewat berbagai media dan forum. Hobinya memang menulis, yakni menulis kebaikan, baik berupa artikel untuk media sosial maupun untuk blog, website Jalindo, dan buku-bukunya. Jadi, plong rasanya, Pak Dosen tidak mengulik-ulik hobinya ini.
Intinya, Dulgemuk, merasa bahwa ada kekurangan baginya dalam menjalani hidup ini. Kurang ikhlas menerima apa adanya. Dalam setahun, dia lebih lama sehatnya, namun kadang mengeluh ketika diuji dengan sakit meski hanya dua minggu atau satu bulan. Maunya sehat terus, maunya bahagia terus—itu egois namanya. Padahal seharusnya tidak begitu. Dulgemuk menyadarinya sekarang.
Tap pelak lagi, hidup harus dijalani dengan ikhlas dan ridha. Setelah merenung di beranda rumah yang penuh tanaman hias aglonema itu, Dulgemuk menegaskan keyakinannya di dalam hati: “Saya harus lebih ikhlas dan ridha menerima apa yang ditentukan Allah. Raadhiyatan mardhiyyah, saya ridha dulu, baru mengharapkan ridha-Nya. Ridha sedih-bahagia, dan selebihnya serahkan kepada-Nya.”[]
Kabede Gresik, 22-01-2021
*Much. Khoiri adalah
dosen Sastra/Kajian Budaya/Creative Writing, penggerak literasi, blogger, dan
penulis buku dari Jalindo dan Unesa Surabaya. Tulisan ini pendapat pribadi.
Masya Allah...penuh hikmah. Ridha dulu baru mengharap ridhaNya.
ReplyDeleteMatur nuwun nasehatnya...om dulgemuk
Sama2. Semoga sehat selalu
DeleteRidha adalah cara menata hati, perlu berlatih ekstra. Terima kasih Pak. Sudah mengingatkan saya.
ReplyDeleteInggih, Bu Mien. Menata hati
DeleteTop markotop. .Sgt menginspirasi
ReplyDeleteTerima kasih banyak nggih
DeleteDapat dari artikel sampean, dari igra umat Islam wajib jenius. Seperti halnya umat Islam wajib melaksanakan haji bagi yang mampu....π
ReplyDeleteMatur nuwun, Cak. Kita wajib jenius
DeleteMashaallah petuahnya bagus banget Om Dulgemuk sungguh menginspirasi..semoga kita semua dapat menerapkan disetiap sisi kehidupan kita menjadi org yang benar2 ridho utk meraih ridhoNYA aamiin
ReplyDeleteAamiinx100. Allah mengabulkannya. Insyaallah
DeleteSpeechless... Manggut-manggut aja...
ReplyDeleteSemoga Allah memampukan semuanya...
Aamiin... Matur tengkiyu Mas Dul...
Matur nuwun sanget
DeleteTulisan ini menyadarkan saya ternyata saya belum Ridha atas ketentuan NYA, msh harus belajar lg, matur nuwun abah DulGemuk.
ReplyDeleteMatur nuwun, B hajjah. Sehat selalu
DeleteTulisan ini menyadarkan saya ternyata saya belum Ridha atas ketentuan NYA, msh harus belajar lg, matur nuwun abah DulGemuk.
ReplyDeleteNuwun sanget
ReplyDeleteMembaca alam, menulis kebaikan, lalu berbahagialah. Super Pak Dosenππ
ReplyDeleteTerima kaaih, Pak CepGa. Selalu produktif
DeleteSubhanallah makjleb saya Master... terimakasih motivasinya ππ
ReplyDeleteAlhamdulillah, semoga bermanfaat
Delete