Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Friday, May 8, 2020

PENGALAMAN TERBANG PALING MENEGANGKAN

Sumber foto: Reuters
https://www.liputan6.com/global/read/2853969/
pilot-melantur-pesawat-terlambat-terbang-hingga-2-jam#
Oleh MUCH. KHOIRI

TERBANG dengan pesawat di musim dingin (winter) kerap menegangkan dan bahkan membuat orang berpacu jantung. Semua itu saya anggap wajar, mengingat cuaca di musim bersalju kerap kurang bersahabat. Namun, pada 17 Desember 1993 itu terjadilah pengalaman terbang paling menegangkan bagi saya.

Hari itu memang sangat dingin, setiba saya di bandara John F. Kennedy Airport, New York. Setelah berangkulan perpisahan dengan teman-teman penulis dari berbagai negara, termasuk novelis Hailji dari Korea Selatan, saya check-in dengan membawa bagasi dua kopor. Karena saya sudah mengantongi access baggage, proses itu saya lalui dengan cepat. United Arlines (UA), pesawatnya, menuju Narita Airport, Tokyo.

Saya duduk di dekat jendela pada seat berapa saya lupa, namun berada seperempat belakang badan pesawat Boeing besar ini. Sederet saya, dari jendela ke jendela, ada 10 seat seluruhnya. Saya kira pesawat ini berkapasasitas sekitar 450 penumpang. Sementara itu, salju tampak keputihan di luar sana, bahkan masih turun dibawa angin yang dingin menggila.

Tak lama kemudian pesawat berangkat dari JFK Airport. Tentu saja, sebelum check-out hotel tadi, saya telah memberitahu keluarga saya di Pasuruan, Jawa Timur, bahwa jadwal penjemputan sesuai rencana. Di dalam pesawat ini saya menjadi lega. Andaikata mungkin, saya ingin segera melesat tiba di Juanda, dan bersua dengan isteri dan anak saya—yang sudah berpisah berbulan-bulan dengan saya. Rindu saya pada mereka sudah menggunung dan melaut, wah, sulit saya lukiskan.

Tiba-tiba pesawat UA  yang berslogan “Fly the Friendly Skies” ini bergoncang-goncang hebat. Goncangannya lebih hebat dari goncangan pesawat yang saya tumpangi saat ke Washington,  Chicago, San Fransisco, atau Santa Fe beberapa pekan silam. Ini benar-benar membuat setiap penumpang terbangun dari tidurnya. O tidak, goncangan itu memaksa para penumpang memegangi handel seat erat-erat. Ini benar-benar menegangkan!

Lewat pengeras suara pramugari meminta seluruh penumpang untuk tenang dan tidak panik. Sementara, pramugari (senior) lain sibuk mendekati penumpang-penumpang yang mulai panik. Bahkan, dalam amatan saya, kebanyakan penumpang—tampaknya dari Jepang, Korea, Vietnam, dan sekitarnya, akhirnya mulai berteriak histeris. Tak sedikit penumpang perempuan yang menangis. Sementara, pesawat masih terus bergoncang.

Pada saat menegangkan itu, ketika penumpang lain menanyakan ada apa, berteriak atau menangis, saya hanya berdoa tanpa jeda sedikit jua. Saya hanya memasrahkan hidup-mati saya pada-Nya. Puncak doa saya, andaikan terjadi kecelakaan dan saya harus mati, saya berharap Allah memberikan kekuatan lahir-bathin kepada isteri, anak, dan seluruh keluarga saya.

Kemudian, di tengah tangisan penumpang, yang di dalamnya ada panjatan doa saya itu, pesawat saya rasakan berputas-putar. Saya lirik ke luar jendela—dan semuanya sangat gelap—namun saya rasakan pesawat sedang mengitari suatu wilayah. Sementara itu, pramugari tanpa lelah berusaha menenangkan penumpang.

Sejurus kemudian saya baru bisa melihat, remang-remang, bahwa di bawah sana, sejumlah mobil pengeruk salju dikerahkan untuk membersihkan landasan pacu. Ada yang mengeruknya, ada pula yang menyiramnya dengan air (garam). Mobil-mobil itu begitu sigap dan bergerak cepat, sehingga dalam waktu singkat, landasan pacu sudah siap digunakan. Maka, diumumkanlah bahwa, karena sesuatu hal, penerbangan akan singgah dulu di bandara Fairbanks Alaska.

Kami mendarat dengan selamat. Namun, kami belum diberitahu, tentang “sesuatu hal” yang menyebabkan persinggahan pesawat di Alaska (Amerika Utara)—yang pada musim dingin tidak ada bedanya antara siang dan malam. Tiada sinar mentari, setiap saat hanya “malam”—dan listrik pun selalu menyala. Sejurus kemudian, kami diberitahu bahwa pesawat mengalami “gangguan teknis”—dan karena itu, kami diminta turun dan menginap di hotel bandara, untuk diterbangkan esok paginya.

Maka, mengikuti yang lain, saya pun turun pesawat. Dengan mencangklong tas laptop, saya menyeberangi salju setinggi lutut menuju bis untuk diantar ke hotel. Ratusan penumpang ini tampak seperti kafilah yang berjalan beriringan, dalam hembusan angin yang amat dingin. Bagi saya, berjalan di hamparan salju merupakan perjuangan yang cukup berat.

Kami diinapkan di hotel bandara, atas tanggungan UA, termasuk makan malam dan telepon. Maka, setelah beberapa saat menenangkan diri, saya menelepon isteri di Pasuruan. Untuk sementara, guna membuatnya tenang, saya tidak menceritakan apa adanya. Saya hanya meminta jemputan ditunda 24 jam kemudian. “Jadi, jemputnya jangan besok sore, tapi lusa sore, sekitar jam empat itu. I miss you so much.”

***

PAGI harinya kami dibawa bis menuju pesawat baru, melewati pesawat yang semalam membawa kami. Yang membuat saya shock, ternyata: pangkal sayap kiri pesawat kami itu telah retak cukup serius. Meski terselimuti salju tipis, keretakan itu tampak dari bis ini. Saya kira itulah yang membuat pesawat tidak seimbang dan oleng dengan goncangan-goncangan itu.

Wow, begitu masuk ke pesawat UA baru, saya sangat lega. Pesawatnya super-boeing (Airbus) yang raksasa. Buktinya, seat saya maju beberapa meter ke depan; dan di belakang saya masih banyak seat kosong—padahal formasi seat-nya sama persis dengan pesawat sebelumnya. Saat lepas landas pun terasa glinuk-glinuk laksana paus raksana yang sedang berenang. Ini pesawat terbesar yang pernah saya tumpangi.

Pesawat UA raksasa ini membuat semua orang pulas, begitu pun saya. Tak terasa penerbangan belasan jam itu dilalui dengan nyaman. Menjelang landing di bandara Narita Airport, Tokyo, diumumkan bahwa penumpang transit untuk tujuan-tujuan tertentu harus segera menuju pesawat masing-masing. Saya sendiri kebagian pesat Singapore Airlines (SQ).

Begitu turun pesawat, saya harus berlarian menuju gate untuk SQ ke Changi Airport, Singapore. Ketika saya sampaikan tentang bagasi saya, petugas SQ akan menghubungkannya dengan Garuda (GA), pesawat saya selanjutnya menuju Surabaya. Perasaan saya sebenarnya tidak enak dengan kondisi ini, karena antara landing UA dan take-off SQ hampir tidak ada jarak waktu; sehingga, saya kira bagasi saya belum terangkut SQ yang saya tumpangi.

Penerbangan Narita-Changi saya menjadi pengalaman menegangkan kedua kalinya. Bayangkan, di bagasi saya ada semua bawaan saya: buku, dokumen, oleh-oleh, dan satu lagi—cetakan (sebagian) karya-tulisan-kreatif saya selama mengikuti International Writing Program (IWP) di negeri Paman Sam itu. Sementara, semua itu tidak sepesawat dengan saya. Bukankah kekhawatiran saya beralasan?

Baiklah, setiba di Changi Airport, kecemasan saya terjawab. Saya belum bisa mengetahui bagaimana kabar bagasi saya. Oleh petugas GA, saya hanya diberi penjelasan bahwa bagasi saya menjadi urusan mereka, dan hal itu akan diteruskan ke manajer pelayanan GA di Juanda Airport. Terpaksa saya memaklumi penjelasan petugas tersebut.

Jadi, tak urung penerbangan saya ke Juanda masih diselimuti kegelisahan.  Dan setiba di tempat tujuan, saya segera melaporkan kasus saya ke petugas GA di Juanda. Namun, rasanya saya ingin “menyambal” atau “merujak” petugas tersebut, karena tidak ada kepastian akan nasib bagasi saya. Sang petugas berkali-kali meminta maaf, dan berjanji akan menghubungi saya begitu bagasi sudah tiba di Surabaya.
Di tengah kegalauan itu, panggilan isteri saya membuat saya tersentak. Saya peluk dia dan anak saya, menumpahkan kerinduan mendalam. Saya pun bersungkem kepada orangtua dan mertua yang ikut menjemput saya di bandara. Kehadiran mereka laksana air hujan yang menyiram api kegeraman yang sedang menyala dalam diri saya. Terlebih, menggendong puteri saya seusia 11 bulan ini, membuat saya tenteram bukan kepalang.

Jadi, begitulah, kami pulang ke Pasuruan, tanpa bagasi. Sepanjang 75 menit perjalanan, saya berbagi ceria dan canda-tawa dengan semuanya. Ketika diminta untuk menjelaskan mengapa bagasi tidak saya bawa, saya berjanji untuk menceritakan kisah lengkapnya di rumah nanti—sambil menggelar acara syukuran.

***

O YA, kabar bagasi baru sampai ke saya lima hari kemudian, dan saya mendapati bagasi saya dalam kondisi kacau, termasuk isinya. Namun, masihkah saya ingin “menyambal” atau “merujak” petugas GA tersebut sekarang? Tentu tidak! Saya sudah lama memaafkannya. Saat menulis pengalaman ini saya baru saja terbang dengan GA dari Soekarno-Hattta ke Juanda—dan terpampanglah pengalaman terbang paling menegangkan yang terjadi pada tahun 1993 itu.[]

*Much. Khoiri adalah penggerak literasi, dosen, editor, penulis buku dari Unesa Surabaya.

10 comments:

  1. Sebuah kisah yg menegangkan dan membuat pembaca mengikuti kisahnya.

    ReplyDelete
  2. Alhamdulillah drama dua babak yang berhubungan dengan pesawat dan kerinduam menyatu

    ReplyDelete
  3. Masya Allah Pengalaman yang sangat menegangkan. Saya Jadi takut naik pesawat.

    ReplyDelete
  4. Kisah menegangkan dibalut bhs yg melarutkan pembaca. Luar biasa

    ReplyDelete
  5. Ikut tegang nih...
    Glinuk-glinuknya belum diterjemahkan Pak. He..he....

    ReplyDelete
  6. Pengalaman yang berharga pastinya ya Pak Dosen....

    ReplyDelete
  7. Benar benar Tuhan mngabulkn permohonn umatnya..agar sll dalm lindungan Yang Maha Kuasa..smg semua ada hikmahnya..sll bersyukur dan tdk henti henti mensyukuri hidup ini...

    ReplyDelete
  8. Pengalaman yg menegangkan namun diceritakan dg runtut & dibumbui kata-kata lucu (glinak-glinuk,merujak petugas), jadi asyik bacanya...trm ksh Abah...

    ReplyDelete

Terima kasih banyak atas apresiasi dan krisannya. Semoga sehat selalu.

Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts