Sumber foto: Reuters https://www.liputan6.com/global/read/2853969/ pilot-melantur-pesawat-terlambat-terbang-hingga-2-jam# |
TERBANG dengan pesawat di musim dingin (winter) kerap menegangkan dan bahkan
membuat orang berpacu jantung. Semua itu saya anggap wajar, mengingat cuaca di
musim bersalju kerap kurang bersahabat. Namun, pada 17 Desember 1993 itu terjadilah pengalaman
terbang paling menegangkan bagi saya.
Hari itu memang sangat dingin, setiba saya di bandara John
F. Kennedy Airport, New York. Setelah berangkulan perpisahan dengan teman-teman
penulis dari berbagai negara, termasuk novelis Hailji dari Korea Selatan, saya check-in dengan membawa bagasi dua
kopor. Karena saya sudah mengantongi access
baggage, proses itu saya lalui dengan cepat. United Arlines (UA),
pesawatnya, menuju Narita Airport, Tokyo.
Saya duduk di dekat jendela pada seat berapa saya lupa, namun berada seperempat belakang badan
pesawat Boeing besar ini. Sederet saya, dari jendela ke jendela, ada 10 seat
seluruhnya. Saya kira pesawat ini berkapasasitas sekitar 450 penumpang.
Sementara itu, salju tampak keputihan di luar sana, bahkan masih turun dibawa
angin yang dingin menggila.
Tak lama kemudian pesawat berangkat dari JFK Airport. Tentu
saja, sebelum check-out hotel tadi,
saya telah memberitahu keluarga saya di Pasuruan, Jawa Timur, bahwa jadwal
penjemputan sesuai rencana. Di dalam pesawat ini saya menjadi lega. Andaikata
mungkin, saya ingin segera melesat tiba di Juanda, dan bersua dengan isteri dan
anak saya—yang sudah berpisah berbulan-bulan dengan saya. Rindu saya pada
mereka sudah menggunung dan melaut, wah, sulit saya lukiskan.
Tiba-tiba pesawat UA yang berslogan “Fly the Friendly Skies” ini
bergoncang-goncang hebat. Goncangannya lebih hebat dari goncangan pesawat yang
saya tumpangi saat ke Washington,
Chicago, San Fransisco, atau Santa Fe beberapa pekan silam. Ini benar-benar
membuat setiap penumpang terbangun dari tidurnya. O tidak, goncangan itu
memaksa para penumpang memegangi handel seat
erat-erat. Ini benar-benar menegangkan!
Lewat pengeras suara pramugari meminta seluruh penumpang
untuk tenang dan tidak panik. Sementara, pramugari (senior) lain sibuk
mendekati penumpang-penumpang yang mulai panik. Bahkan, dalam amatan saya,
kebanyakan penumpang—tampaknya dari Jepang, Korea, Vietnam, dan sekitarnya,
akhirnya mulai berteriak histeris. Tak sedikit penumpang perempuan yang
menangis. Sementara, pesawat masih terus bergoncang.
Pada saat menegangkan itu, ketika penumpang lain menanyakan
ada apa, berteriak atau menangis, saya hanya berdoa tanpa jeda sedikit jua.
Saya hanya memasrahkan hidup-mati saya pada-Nya. Puncak doa saya, andaikan
terjadi kecelakaan dan saya harus mati, saya berharap Allah memberikan kekuatan
lahir-bathin kepada isteri, anak, dan seluruh keluarga saya.
Kemudian, di tengah tangisan penumpang, yang di dalamnya
ada panjatan doa saya itu, pesawat saya rasakan berputas-putar. Saya lirik ke
luar jendela—dan semuanya sangat gelap—namun saya rasakan pesawat sedang
mengitari suatu wilayah. Sementara itu, pramugari tanpa lelah berusaha
menenangkan penumpang.
Sejurus kemudian saya baru bisa melihat, remang-remang,
bahwa di bawah sana, sejumlah mobil pengeruk salju dikerahkan untuk
membersihkan landasan pacu. Ada yang mengeruknya, ada pula yang menyiramnya
dengan air (garam). Mobil-mobil itu begitu sigap dan bergerak cepat, sehingga
dalam waktu singkat, landasan pacu sudah siap digunakan. Maka, diumumkanlah
bahwa, karena sesuatu hal, penerbangan akan singgah dulu di bandara Fairbanks
Alaska.
Kami mendarat dengan selamat. Namun, kami belum diberitahu,
tentang “sesuatu hal” yang menyebabkan persinggahan pesawat di Alaska (Amerika
Utara)—yang pada musim dingin tidak ada bedanya antara siang dan malam. Tiada
sinar mentari, setiap saat hanya “malam”—dan listrik pun selalu menyala. Sejurus
kemudian, kami diberitahu bahwa pesawat mengalami “gangguan teknis”—dan karena
itu, kami diminta turun dan menginap di hotel bandara, untuk diterbangkan esok
paginya.
Maka, mengikuti yang lain, saya pun turun pesawat. Dengan
mencangklong tas laptop, saya menyeberangi salju setinggi lutut menuju bis
untuk diantar ke hotel. Ratusan penumpang ini tampak seperti kafilah yang
berjalan beriringan, dalam hembusan angin yang amat dingin. Bagi saya, berjalan
di hamparan salju merupakan perjuangan yang cukup berat.
Kami diinapkan di hotel bandara, atas tanggungan UA,
termasuk makan malam dan telepon. Maka, setelah beberapa saat menenangkan diri,
saya menelepon isteri di Pasuruan. Untuk sementara, guna membuatnya tenang,
saya tidak menceritakan apa adanya. Saya hanya meminta jemputan ditunda 24 jam
kemudian. “Jadi, jemputnya jangan besok sore, tapi lusa sore, sekitar jam empat
itu. I miss you so much.”
***
PAGI harinya kami dibawa bis menuju pesawat baru, melewati
pesawat yang semalam membawa kami. Yang membuat saya shock, ternyata: pangkal sayap kiri pesawat kami itu telah retak
cukup serius. Meski terselimuti salju tipis, keretakan itu tampak dari bis ini.
Saya kira itulah yang membuat pesawat tidak seimbang dan oleng dengan
goncangan-goncangan itu.
Wow, begitu masuk ke pesawat UA baru, saya sangat lega.
Pesawatnya super-boeing (Airbus) yang
raksasa. Buktinya, seat saya maju
beberapa meter ke depan; dan di belakang saya masih banyak seat kosong—padahal formasi seat-nya sama persis dengan pesawat
sebelumnya. Saat lepas landas pun terasa glinuk-glinuk
laksana paus raksana yang sedang berenang. Ini pesawat terbesar yang pernah
saya tumpangi.
Pesawat UA raksasa ini membuat semua orang pulas, begitu
pun saya. Tak terasa penerbangan belasan jam itu dilalui dengan nyaman.
Menjelang landing di bandara Narita
Airport, Tokyo, diumumkan bahwa penumpang transit untuk tujuan-tujuan tertentu
harus segera menuju pesawat masing-masing. Saya sendiri kebagian pesat
Singapore Airlines (SQ).
Begitu turun pesawat, saya harus berlarian menuju gate untuk SQ ke Changi Airport,
Singapore. Ketika saya sampaikan tentang bagasi saya, petugas SQ akan
menghubungkannya dengan Garuda (GA), pesawat saya selanjutnya menuju Surabaya.
Perasaan saya sebenarnya tidak enak dengan kondisi ini, karena antara landing UA dan take-off SQ hampir tidak ada jarak waktu; sehingga, saya kira
bagasi saya belum terangkut SQ yang saya tumpangi.
Penerbangan Narita-Changi saya menjadi pengalaman
menegangkan kedua kalinya. Bayangkan, di bagasi saya ada semua bawaan saya:
buku, dokumen, oleh-oleh, dan satu lagi—cetakan (sebagian)
karya-tulisan-kreatif saya selama mengikuti International
Writing Program (IWP) di negeri Paman Sam itu. Sementara, semua itu tidak
sepesawat dengan saya. Bukankah kekhawatiran saya beralasan?
Baiklah, setiba di Changi Airport, kecemasan saya terjawab.
Saya belum bisa mengetahui bagaimana kabar bagasi saya. Oleh petugas GA, saya
hanya diberi penjelasan bahwa bagasi saya menjadi urusan mereka, dan hal itu
akan diteruskan ke manajer pelayanan GA di Juanda Airport. Terpaksa saya
memaklumi penjelasan petugas tersebut.
Jadi, tak urung penerbangan saya ke Juanda masih diselimuti
kegelisahan. Dan setiba di tempat
tujuan, saya segera melaporkan kasus saya ke petugas GA di Juanda. Namun,
rasanya saya ingin “menyambal” atau “merujak” petugas tersebut, karena tidak
ada kepastian akan nasib bagasi saya. Sang petugas berkali-kali meminta maaf,
dan berjanji akan menghubungi saya begitu bagasi sudah tiba di Surabaya.
Di tengah kegalauan itu, panggilan isteri saya membuat saya
tersentak. Saya peluk dia dan anak saya, menumpahkan kerinduan mendalam. Saya
pun bersungkem kepada orangtua dan mertua yang ikut menjemput saya di bandara.
Kehadiran mereka laksana air hujan yang menyiram api kegeraman yang sedang
menyala dalam diri saya. Terlebih, menggendong puteri saya seusia 11 bulan ini,
membuat saya tenteram bukan kepalang.
Jadi, begitulah, kami pulang ke Pasuruan, tanpa bagasi.
Sepanjang 75 menit perjalanan, saya berbagi ceria dan canda-tawa dengan
semuanya. Ketika diminta untuk menjelaskan mengapa bagasi tidak saya bawa, saya
berjanji untuk menceritakan kisah lengkapnya di rumah nanti—sambil menggelar
acara syukuran.
***
O YA, kabar bagasi baru sampai ke saya lima hari kemudian,
dan saya mendapati bagasi saya dalam kondisi kacau, termasuk isinya. Namun,
masihkah saya ingin “menyambal” atau “merujak” petugas GA tersebut sekarang? Tentu tidak! Saya sudah lama
memaafkannya. Saat menulis
pengalaman ini saya baru saja terbang dengan GA dari Soekarno-Hattta ke
Juanda—dan terpampanglah pengalaman terbang paling menegangkan yang terjadi
pada tahun 1993 itu.[]
*Much. Khoiri
adalah penggerak literasi, dosen, editor, penulis buku dari Unesa Surabaya.
Sebuah kisah yg menegangkan dan membuat pembaca mengikuti kisahnya.
ReplyDeleteAlhamdulillah drama dua babak yang berhubungan dengan pesawat dan kerinduam menyatu
ReplyDeleteWaduh..benar tegang itu
ReplyDeleteMasya Allah Pengalaman yang sangat menegangkan. Saya Jadi takut naik pesawat.
ReplyDeleteKisah menegangkan dibalut bhs yg melarutkan pembaca. Luar biasa
ReplyDeleteIkut tegang nih...
ReplyDeleteGlinuk-glinuknya belum diterjemahkan Pak. He..he....
Pengalaman yang berharga pastinya ya Pak Dosen....
ReplyDeletelayak disenotronkan.
ReplyDeleteBenar benar Tuhan mngabulkn permohonn umatnya..agar sll dalm lindungan Yang Maha Kuasa..smg semua ada hikmahnya..sll bersyukur dan tdk henti henti mensyukuri hidup ini...
ReplyDeletePengalaman yg menegangkan namun diceritakan dg runtut & dibumbui kata-kata lucu (glinak-glinuk,merujak petugas), jadi asyik bacanya...trm ksh Abah...
ReplyDelete