Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Sunday, January 3, 2021

JANGAN MAIN MEDSOS SAAT KERJA

Oleh Much. Khoiri

PADA suatu ketika Prof. Dr. Anita Lie, seorang kolega dosen (tepatnya seorang guru besar) dari sebuah perguruan tinggi swasta di Surabaya memberitahu bahwa jika saya mengirimkan pesan penting dan panjang (terkait dengan endorsement buku baru saya), sebaiknya saya mengirimkannya lewat email saja—jangan lewat inbox fesbuk.

Mengapa demikian, tanya saya. Saat itu dia dalam perjalanan menuju kampusnya. Dia menjawab, setiba di kampus dia akan segera memeriksa emailnya—tanpa harus membuka fesbuknya. Soalnya, ada etika disiplin, bahwa dosen dan karyawan dilarang fesbukan atau bermedsos di kampus, selama jam kerja. Email masih diizinkan penggunaannya.

Sepintas, pengakuan kolega ini sederhana, namun sejatinya itu mengandung makna yang penting. Pertama, larangan bermedsos di kampus selama jam kerja. Ini sebuah kebijakan yang tegas dan patut diapresiasi ketika begitu banyak institusi—termasuk institusi pemerintah (negeri)—yang di dalamnya banyak karyawan melakukan medsos ria selama jam kerja.

Sumber gambar: Kompas Tekno

Kalau tak percaya, silakan adakan kunjungan atau inspeksi mendadak (sidak) ke kantor-kantor (pemerintah, bahkan). Hampir pasti, Anda akan menemukan karyawan yang main fesbukan atau bermedsos lain—website, blog, twitter, BBM, dan sebagainya. Jika mereka sedang mengerjakan tugas, tak urung mereka juga membuka lapak medsos. Kilahnya, itu selingan tatkala jenuh dan capek dengan tugas, tinggal klik lapak medsos yang ada.

Dengan memberikan larangan pada karyawan bermedsos selama jam kerja, itu merupakan langkah penting untuk meluruskan pemahaman bahwa kerja ya kerja (work), jangan dicampuradukkan dengan istirahat dan nyantai (leisure). Lazimnya karyawan-karyawan kita mencampuradukkan antara kerja dan leisure—dan akibatnya produktivitas kerja terganggu. Tidak jelas mana work, mana leisure.

Makna kedua, pelarangan bermedsos itu sebenarnya menegakkan etika dan disiplin. Mereka seharusnya sadar bahwa disiplin harus ditegakkan, sebab disiplin merupakan salah satu unsur penting untuk suksesnya people menagement. Sudah jelas, bermedsos selama jam kerja adalah sejatinya pelanggaran disiplin—bahkan melakukan korupsi waktu dan tenaga. Bukankah menajemen karyawan sangat menentukan kesuksesan produktivitas? Jadi, pelarangan bermedsos untuk kondisi karyawan kita sudah tepat sasaran.

Makna ketiga, ingatlah, kolega saya itu seorang guru besar. Sebagai guru besar, kalau mau, dia bisa “memanfaatkan” privilege (hak istimewa) yang dimilikinya untuk meminta tolong pejabat kampus agar diperkenankan membuka medsos. Namun, tidak, dia tidak mau mengambil langkah salah ini. Dia tetap patuh pada aturan yang ditetapkan. Dia juga wajib menghindari penggunaan medsos di kampus selama jam kerja.

Kepatuhan dia terhadap peraturan yang ada menunjukkan betapa dia telah menjadi seorang literat (melek budaya) yang utuh dan mapan. Dia tidak hanya pintar dan lihai dalam berwacana, melainkan juga hebat dalam mengamalkan praktik-praktik yang baik dan mulia. Dia tidak sekadar asbun (asal bunyi), omong kosong. Justru, sebaliknya, dia satunya kata dan perbuatan.

Makna keempat, mungkin itulah yang hendak dia tularkan, yakni nilai keteladanan. Dia mematuhi peraturan, meski dia seorang guru besar. Dia tidak imun dari sanksi. Itu semua dalam rangka memberikan keteladanan. Dia harus memberi teladan bahwa seorang profesor pun juga wajib menaati peraturan—tidak ada perkecualian, tidak ada hak istimewa yang disalahgunakan.

Keteladanan, memang, jauh lebih penting daripada sekadar petuah, imbauan, larangan, dan sebagainya. Action speaks more loudly than words. Tindakan berbicara lebih lantang ketimbang sekadar kata-kata. Bagi sang guru besar, memberikan teladan harus didahulukan, sebelum kemudian dia sendiri ikut mengampanyekan pelarangan bermedsos di kampus selama jam-jam kerja atau jam belajar.

Pertanyaannya, apakah kita telah berada di posisinya yang taat aturan? Apakah kita juga meminta orang lain mengirimkan pesan lewat email saja—dan bukan lewat fesbuk—saat ada larangan bermedsos di tempat kerja selama jam kerja? Apakah kita benar-benar tak ingin mencuri-curi lapak fesbuk sepanjang jam kerja (nyaris) seharian utuh?

Pertanyaan bisa diperpanjang, sebenarnya. Namun, semuanya bermuara pada satu pertanyaan mendasar, sudahkah kita menghormati peraturan yang ditetapkan dengan atau tanpa pengawasan orang lain? Lain kata, sudahkah kita memiliki kesadaran sendiri (dari lubuk hati terdalam) untuk menaati peraturan yang ada—dalam hal ini: larangan bermedsos di kantor selama jam kerja.

Jika kita belum berada di posisi itu, ada baiknya kita merenung sekarang. Masihkah kita termasuk pegawai yang profesional dan loyal terhadap segala peraturan di institusi kita? Atau, masihkah kita tetap mau menjalankan tugas, sekaligus menyelinginya dengan bermedsos? Sungguh, jawaban kita secara jujur menunjukkan siapa diri kita dan seberapa kualitas dan integritas kita.[]

*Much. Khoiri adalah dosen penulis, penggerak literasi, blogger, editor dari Universitas Negeri Surabaya. Tulisan ini pendapat pribadi. 


2 comments:

Terima kasih banyak atas apresiasi dan krisannya. Semoga sehat selalu.

Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts