Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Friday, May 1, 2020

MENGEJA CINTA DALAM DIAM*

Sumber gambar: Dok. Pribadi

Oleh: MUCH. KHOIRI

Cinta seakan tidak pernah habis untuk dibahas dan diekspresikan ke dalam ungkapan bahasa. Cinta telah menyusup ke dalam karya-karya fiksi dan nonfiksi sepanjang sejarah manusia, namun ia tetap tidak pernah kehilangan eksistensinya. Ia telah berkembang setiap masa. Sebab, cinta itu sebuah substansi, sedangkan perbedaan waktu telah memungkinkan cinta mengambil variasinya sendiri.

Tentu, cinta merupakan bagian dari hidup dan pengalaman manusia. Sepanjang manusia berubah, berubah pulalah bentuk ekspresi cintanya, meski substansinya sebenarnya tetaplah sama. Air tetaplah air, namun kini air dapat dikemas ke dalam gelas, botol, galon, dan sebagainya. Rasanya sama, kemasannya berbeda.

Substansi hakikatnya endapan, bukan yang beriak-riak atau bergelombang di permukaan. Hanya dengan ketenangan, substansi terasa sebagai keindahan yang membahagiakan.  Penulis buku ini menyebutnya “cinta dalam diam”, sebuah ekspresi untuk menikmati substansi cinta dalam ketenangan, serta mencecap keindannya dalam keterdiaman.

“Cinta dalam Diam” adalah salah satu cerita pendek dari buku kumpulan cerpen ini, yang agak dapat mewakili tema keseluruhan, yakni variasi-variasi cinta manusia. Agaknya penulis telah sengaja memilih tema ini untuk mengekspresikan gagasan dan imajinasinya tentang cinta dalam arti luas ke dalam karya sastra.

Sahkah hal ini dilakukan? Mengapa tidak? Sastra bukan semata imajinasi, apalagi khayalan tanpa isi. Sastra adalah abstraksi hidup manusia beserta pengalamannya. Artinya, sastra dapat diciptakan berdasarkan fakta dan ditambah imajinasi. Inilah yang ditempuh oleh penulis buku ini. Lebih dari semua itu, setiap penulis memiliki ars poetica sendiri.

Dalam prakatanya, penulis buku ini mengakui: “[Buku] cerpen Cinta Dalam Diam ini terlahir setelah penulis mengakomodir beberapa ide/gagasan yang muncul dalam realita kehidupan sehari-hari. Ide/gagasan itu dibumbui rekayasa konflik dan dipadukan dengan sejumlah deskripsi imajinasi dari kehidupan nyata. Ada pun akhir cerita disesuaikan dengan keselarasan hidup yang penulis tentukan.”

Gabungan fakta dan imajinasi hadir di dalam belasan cerpen yang terhimpun dalam antologi ini. Masing-masing memantulkan kisah hidup dan pengalaman manusia yang dijumpai penulis, dan kemudian diimajinasikannya dengan intensitas tertentu, hingga cerpen-cerpen mewujud menjadi teks sastra yang maknanya dapat ditangkap dan ditafsirkan oleh pembaca. Tak ketinggalan, ada nuasa dan warna cinta di dalamnya.

Meski demikian, saya sendiri tidak dalam posisi menilai atas kualitas setiap cerpen dalam buku ini. Sebaliknya, saya lebih berminat untuk memberikan apresiasi tinggi kepada penulisnya. Mengapa? Penulis buku ini adalah seorang guru—yang kemudian dapat disebut guru penulis. Guru penulis tidaklah banyak jumlahnya, meski dewasa ini berbagai pelatihan telah gencar dilakukan untuk mencetak guru-guru penulis. Dengan kata lain, penulis buku ini termasuk manusia langka.

Keberaniaan penulis menghimpun cerpen-cerpen yang telah dia tulis merupakan upaya kultural yang luar biasa. Itu sebuah praktik literasi yang tidak sebarang guru mampu melakukannya. Perjuangan yang dia tunjukkan patutlah memperoleh acungan jempol dobel dari para penggerak literasi dan masyarakat umum.

Agaknya penulis buku ini hendak memberikan keteladanan kepada sesama guru, dan seakan berpesan bahwa untuk menggerakkan literasi guru harus siap menjadi teladan literasi. Guru perlu menjadi teladan, bukan hanya untuk sesama guru di sekolahnya sendiri, melainkan juga untuk guru dan siswa di berbagai sekolah lain di negeri ini serta masyarakat umum.

Akhirnya, selamat membaca dan mengeja cinta dalam diam. Selamat menjelajahi hamparan makna dari cerpen-cerpen dalam buku ini. Mudah-mudahan pembaca nanti mampu memetik hikmah dan inspirasi yang mencerahkan untuk menghayati praktik-praktik literasi selanjutnya. Dengan demikian, pembaca akan mampu menjadi subjek aktif yang menghidupkan kontinuitas peradaban.[]

Gresik, 15 November 2019

*Artikel ini adalah epilog untuk buku Iyus Yusandi berjudul “Cinta dalam Diam” (Pandeglang, Banten: Penerbit Komentar, 2019). Terima kasih disampaikan kepada penulis buku dan penerbit. 

**Pesan buku, hubungi HP/WA: 081331450689 / 081233838789

9 comments:

  1. Membaca tulisan Bapak sangat menyenangkan, penuh dengan petuah hidup dan pembelajaran, terima kasih

    ReplyDelete
  2. Saya juga ngikut ngacungi jempol double pak Pak Dosen. moga kian banyak guru penulis.Apresiasi pak Dosen juga mantab

    ReplyDelete
  3. Judulnya saja dahsyat.
    Pasti isinya juga membakar pembaca untuk lebih bergairah lagi dalam berliterasi

    ReplyDelete
  4. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  5. Cerpen karya guru ada sisi unggulannya. Ok..

    ReplyDelete
  6. 👍👍
    Membaca epilognya seakan saya sedang menikmati isinya...

    ReplyDelete
  7. Uraian Abah terkait isi buku tsb membuat kami mendpt ilmu ttg cinta & satra...

    ReplyDelete

Terima kasih banyak atas apresiasi dan krisannya. Semoga sehat selalu.

Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts