Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Saturday, May 2, 2020

JAGUNG REBUS PUN PINTU HIKMAH


Oleh: Much. Khoiri

TAK JARANG sesuatu benda atau kejadian bisa memantik dan menggugah kembali kenangan masa silam, baik kenangan pedih maupun kenangan manis. Ini terjadi petang ini, padaku, tatkala makan jagung rebus manis, di ruang keluarga. Tiba-tiba, tanpa bisa kutahan, aku mewek alias menangis, dan air mata berlinangan.

Loh, kenapa kok nangis?” tanya yang di sampingku, tampak heran.

“Teringat masa-masa susah ketika masih kecil dulu,” jawabku, sambil memandang ke seluruh ruang keluarga. Terbayang Bapak-Ibuk di desa, orangtua tercinta yang dulu tetap tegar dalam mengarungi masa-masa susah.

“Maksudnya bagaimana?” Dia menyelidik.

“Ya, saat paceklik, kami makan nasi gaplek atau jagung.”

Tangannya mengusap pipiku. “Syukuri apa yang ada, hidup adalah anugerah. Tetap jalani hidup ini, melakukan yang terbaik...” Dia mulai melantunkan reffrain lagu D’Masiv (“Jangan Menyerah”) itu.
………
Reff 1:
Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugerah
Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik
Reff 2:
Tuhan pasti kan menunjukkan
Kebesaran dan kuasanya
Bagi hambanya yang sabar
Dan tak kenal putus asa

Begitulah, lantunan lagu itu membuatku lebih adem ayem. Hidup adalah anugerah, yang patut selalu disyukuri. Ya, jagung yang kupegang dan kumakan adalah anugerah belaka, tidak kurang dan tidak lebih. Meski hanya jagung hangat, rasanya begitu nikmat. Aku bersyukur dalam-dalam bahwa Tuhan telah menganugerahi aku dan keluarga dengan hidup yang jauh lebih baik.

Aku mewek bukan karena aku sedih dan sesal makan jagung sekarang. Justru aku ingat masa-masa paceklik ketika aku masih seusia SD, tahun tujuh puluhan. Sebagai petani kecil, orangtuaku harus berhemat dalam menjalani musim hujan tatkala panen padi belum tiba. Kami harus makan nasi gaplek atau nasi jagung—yang dicampuri nasi putih. Sayur-mayur tinggal petik di sawah, dan ikan kali dan belut tak sulit menangkapnya.

Berbeda dengan nasi gaplek plus nasi putih (sawut), nasi jagung tidak awet kenyangnya. Nasi yang dulu “menu ikon” Madura itu terasa enteng, maksudnya (setelah makan pun) cepat terasa lapar kembali. Terlebih di musim hujan yang dingin atis, orang mudah lapar. Tak jarang Bapak dhawuh begini, “Makan saja kalau lapar, di rumah. Jangan pernah rakus di luar rumah.” Itulah prinsip Bapak, jangan rakus dan tidak tahu malu. “Rakus itu seperti babi. Meski miskin, jangan pernah seperti babi.”

Jika ada acara Mauludan bersama di masjid, biasanya masyarakat membuat tumpeng yang disajikan di atas nampan dari pelepah pisang; atau nasi bungkus daun pisang. Setelah membaca shalawat diba’, diiringi musik rebana al-banjari, jamaah makan tumpeng per kelompok duduk. Tak jarang, orang-orang berebutan. Nah, menjelang semua itu terjadi, Bapak selalu membawa kami pulang. “Jangan berebut makanan. Ayo kita pulang dan makan di rumah,” dhawuh-nya, sambil menuntun kami pulang. Di rumah, selain nasi (ekstra bahan) tumpeng, juga ada nasi jagung. “Kalian mesti tirakat. Banyak puasa, banyak salat. Kelak insyaAllah diijabahi cita-cita kalian.”

Sungguh, semua itu berkesan hingga sekarang kini. Aku dan tiga adikku sudah punya keluarga masing-masing, dan bukan pemakan jagung—para tetangga bilang, kami sudah “kenyang” (berkecukupan). Tapi, sekali tempo aku sering kangen makan nasi jagung atau nasi gaplek. Bukan untuk menu sehari-sehari seperti musim paceklik dulu, melainkan untuk tamba kangen saja, sambil mengenang masa kecil dulu, juga menambah rasa syukur atas anugerah hidup ini.

Kangen jagung itu persis menggodaku petang ini, seperti halnya dua pekan silam, aku juga membeli jagung ke penjual yang sama. Matanya berbinar-binar, dan selalu tergopoh-gopoh menyambutku. “Sepuluh ribu saja, Pak,” kataku. Dia memilihkan enam biji jagung rebus, dan berterima kasih dengan santun. Dalam hitungan detik, sekresek jagung rebus itu sudah berpindah tangan. Dan sekarang, petang ini, kami melahapnya.

Subhanallah, betapa sederhananya hidup ini—jika disyukuri dengan hati yang sareh penuh syukur. Jagung rebus sebiji atau dua saja sudah amat mengenyangkan perut. Non-kolesterol pula—jauh lebih sehat daripada fastfood atau makanan ala resto asing modern di mal-mal. Sementara itu, di luar sana masih banyak saudara kita yang masih kelaparan, atau belum makan seharian. Sungguh, aku tahu maknanya lapar karena memang pernah mengalaminya di musim paceklik, berkali-kali.

Hal ini menyadarkan bahwa hidup tidak perlu rakus alias serakah. Bekerja keras dan cerdas ya, tapi jangan serakah. Berupaya maksimal itu harus, tapi jangan rakus. Mengapa? Karena yang kita butuhkan sebenarnya hanya sedikit dari yang kita kejar-kejar sampai lupa segalanya, termasuk kadang lupa saudara sendiri. Petang ini saya hanya butuh jagung rebus, dan ternyata cukuplah sudah. Murah sekali, hanya sepuruh ribu rupiah!

Aku tak tahu persis apakah orang-orang yang berpenghasilan jutaan atau milyaran per jam atau per hari juga sama puasnya dengan aku kalau makan jagung rebus? Aku hanya tahu bahwa tubuh manusia itu relatif sama, membutuhkan asupan makanan yang relatif sama—meski sumber dan jenisnya berbeda. Aku juga tahu, manusia seharusnya makan sesuai kebutuhan, bukan sesuai keinginan. Hanya saja, apakah mereka sadar bahwa jagung rebus itu lebih sehat dari pada pizza daging?

Keinginan memang tidak ada habisnya, berbeda dengan kebutuhan. Keinginan tak akan mungkin dibatasi oleh horizon langit, bahkan oleh batas-batas semesta ini, termasuk batas ruang dan waktu. Namun, kebutuhan bisa dibatasi oleh rasa puas dan rasa syukur atas anugerah yang manusia terima bahwa sebelum jadi orang, manusia terlahir telanjang tak punya apa-apa.

Nah, aku di sini bersama jagung rebus. Ternyata jagung rebus pun membukakan pintu hikmah bersyukur. Kita diingatkan dalam QS. Ar-Rahman berkali-kali, “Fabiayyi âlâ'i Rabbikumâ tukadzdzi bân. Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan? Sungguh, Lâ bisyay-in min âlâika Rabbî akdzibu (tidak ada satu pun nikmat-Mu, duhai Tuhanku, yang aku dustakan).*

*Much. Khoiri adalah penggerak literasi, dosen dan penulis 42 buku dari Unesa Surabaya.


2 comments:

  1. Kuatnya org generasi lama krn pernah mengalami getirnya hidup. Beda dg anak sekarang. Kurang tempaan ya Pak.

    ReplyDelete
  2. Ngelengke isek zaman semono Pak Kiai Emcho.

    ReplyDelete

Terima kasih banyak atas apresiasi dan krisannya. Semoga sehat selalu.

Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts