Oleh: Much. Khoiri
TAK JARANG sesuatu benda atau kejadian bisa memantik dan menggugah kembali
kenangan masa silam, baik kenangan pedih maupun kenangan manis. Ini terjadi
petang ini, padaku, tatkala makan jagung rebus manis, di ruang keluarga.
Tiba-tiba, tanpa bisa kutahan, aku mewek
alias menangis, dan air mata berlinangan.
“Loh, kenapa kok nangis?” tanya yang di sampingku,
tampak heran.
“Teringat masa-masa susah ketika masih kecil dulu,” jawabku, sambil
memandang ke seluruh ruang keluarga. Terbayang Bapak-Ibuk di desa, orangtua
tercinta yang dulu tetap tegar dalam mengarungi masa-masa susah.
“Maksudnya bagaimana?” Dia menyelidik.
“Ya, saat paceklik, kami makan nasi gaplek
atau jagung.”
Tangannya mengusap pipiku. “Syukuri
apa yang ada, hidup adalah anugerah. Tetap jalani hidup ini, melakukan yang
terbaik...” Dia mulai melantunkan reffrain
lagu D’Masiv (“Jangan Menyerah”) itu.
………
Reff 1:
Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugerah
Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik
Syukuri apa yang ada
Hidup adalah anugerah
Tetap jalani hidup ini
Melakukan yang terbaik
Reff 2:
Tuhan pasti kan menunjukkan
Kebesaran dan kuasanya
Bagi hambanya yang sabar
Dan tak kenal putus asa
Begitulah, lantunan lagu itu membuatku lebih adem ayem. Hidup adalah anugerah, yang patut selalu disyukuri. Ya,
jagung yang kupegang dan kumakan adalah anugerah belaka, tidak kurang dan tidak
lebih. Meski hanya jagung hangat, rasanya begitu nikmat. Aku bersyukur
dalam-dalam bahwa Tuhan telah menganugerahi aku dan keluarga dengan hidup yang
jauh lebih baik.
Aku mewek bukan karena aku
sedih dan sesal makan jagung sekarang. Justru aku ingat masa-masa paceklik
ketika aku masih seusia SD, tahun tujuh puluhan. Sebagai petani kecil, orangtuaku harus berhemat dalam
menjalani musim hujan tatkala panen padi belum tiba. Kami harus makan nasi gaplek atau nasi jagung—yang dicampuri
nasi putih. Sayur-mayur tinggal petik di sawah, dan ikan kali dan belut tak sulit menangkapnya.
Berbeda dengan nasi gaplek plus
nasi putih (sawut), nasi jagung tidak
awet kenyangnya. Nasi yang dulu “menu ikon” Madura itu terasa enteng, maksudnya
(setelah makan pun) cepat terasa lapar kembali. Terlebih di musim hujan yang dingin
atis, orang mudah lapar. Tak jarang Bapak dhawuh
begini, “Makan saja kalau lapar, di rumah. Jangan pernah rakus di luar
rumah.” Itulah prinsip Bapak, jangan rakus dan tidak tahu malu. “Rakus itu
seperti babi. Meski miskin, jangan pernah seperti babi.”
Jika ada acara Mauludan bersama di masjid, biasanya masyarakat membuat tumpeng yang disajikan di atas nampan
dari pelepah pisang; atau nasi bungkus daun pisang. Setelah membaca shalawat
diba’, diiringi musik rebana al-banjari, jamaah makan tumpeng per kelompok
duduk. Tak jarang, orang-orang berebutan. Nah,
menjelang semua itu terjadi, Bapak selalu membawa kami pulang. “Jangan berebut
makanan. Ayo kita pulang dan makan di rumah,” dhawuh-nya, sambil menuntun kami pulang. Di rumah, selain nasi (ekstra
bahan) tumpeng, juga ada nasi jagung. “Kalian mesti tirakat. Banyak puasa, banyak salat. Kelak insyaAllah diijabahi cita-cita kalian.”
Sungguh, semua itu berkesan hingga sekarang kini. Aku dan tiga adikku
sudah punya keluarga masing-masing, dan bukan pemakan jagung—para tetangga
bilang, kami sudah “kenyang” (berkecukupan). Tapi, sekali tempo aku sering
kangen makan nasi jagung atau nasi gaplek.
Bukan untuk menu sehari-sehari seperti musim paceklik dulu, melainkan untuk tamba kangen saja, sambil mengenang masa
kecil dulu, juga menambah rasa syukur atas anugerah hidup ini.
Kangen jagung itu persis menggodaku petang ini, seperti halnya dua
pekan silam, aku juga membeli jagung ke penjual yang sama. Matanya
berbinar-binar, dan selalu tergopoh-gopoh menyambutku. “Sepuluh ribu saja, Pak,”
kataku. Dia memilihkan enam biji
jagung rebus, dan berterima kasih dengan santun. Dalam hitungan detik, sekresek
jagung rebus itu sudah berpindah tangan. Dan sekarang, petang ini, kami
melahapnya.
Subhanallah, betapa sederhananya hidup ini—jika disyukuri
dengan hati yang sareh penuh syukur.
Jagung rebus sebiji atau dua saja sudah amat mengenyangkan perut.
Non-kolesterol pula—jauh lebih sehat daripada fastfood atau makanan ala resto asing modern di mal-mal. Sementara
itu, di luar sana masih banyak saudara kita yang masih kelaparan, atau belum
makan seharian. Sungguh, aku tahu maknanya lapar karena memang pernah
mengalaminya di musim paceklik, berkali-kali.
Hal ini menyadarkan bahwa hidup tidak perlu rakus alias serakah.
Bekerja keras dan cerdas ya, tapi jangan serakah. Berupaya maksimal itu harus,
tapi jangan rakus. Mengapa? Karena yang kita butuhkan sebenarnya hanya sedikit
dari yang kita kejar-kejar sampai lupa segalanya, termasuk kadang lupa saudara
sendiri. Petang ini saya hanya butuh jagung rebus, dan ternyata cukuplah sudah.
Murah sekali, hanya sepuruh ribu rupiah!
Aku tak tahu persis apakah orang-orang yang berpenghasilan jutaan atau
milyaran per jam atau per hari
juga sama puasnya dengan aku kalau makan jagung rebus? Aku hanya tahu bahwa
tubuh manusia itu relatif sama, membutuhkan asupan makanan yang relatif
sama—meski sumber dan jenisnya berbeda. Aku juga tahu, manusia seharusnya makan
sesuai kebutuhan, bukan sesuai keinginan. Hanya saja, apakah mereka sadar bahwa jagung rebus itu lebih sehat dari
pada pizza daging?
Keinginan memang tidak ada habisnya, berbeda dengan kebutuhan. Keinginan
tak akan mungkin dibatasi oleh horizon langit, bahkan oleh batas-batas semesta
ini, termasuk batas ruang dan waktu. Namun, kebutuhan bisa dibatasi oleh rasa
puas dan rasa syukur atas anugerah yang manusia terima bahwa sebelum jadi orang, manusia terlahir telanjang tak punya apa-apa.
Nah, aku di sini bersama jagung rebus. Ternyata jagung rebus pun membukakan
pintu hikmah bersyukur. Kita diingatkan dalam QS. Ar-Rahman berkali-kali, “Fabiayyi âlâ'i Rabbikumâ tukadzdzi bân’.
Maka nikmat Tuhan kamu manakah yang kamu dustakan? Sungguh, Lâ bisyay-in min âlâika Rabbî akdzibu (tidak ada satu pun nikmat-Mu, duhai
Tuhanku, yang aku dustakan).*
*Much. Khoiri adalah
penggerak literasi, dosen dan penulis 42 buku dari Unesa Surabaya.
Kuatnya org generasi lama krn pernah mengalami getirnya hidup. Beda dg anak sekarang. Kurang tempaan ya Pak.
ReplyDeleteNgelengke isek zaman semono Pak Kiai Emcho.
ReplyDelete