Sumber gambar: Dok. Pribadi |
Oleh: Much. Khoiri
MENDIDIK diri menulis juga membangun dan menjaga spirit. Filosofinya, mendidik orang lain agar menjadi apa yang kita inginkan, tidaklah mudah. Lebih sulit lagi adalah mendidik diri sendiri agar mampu mendidik orang lain untuk menjadi apa yang kita inginkan. Terlebih, makna mendidik diterapkan secara sportif dan adil.
Untuk membuat orang lain memiliki pengetahuan,
sikap, dan perilaku sejalan dengan apa yang kita inginkan, kita harus memiliki
pengetahuan, sikap, dan perilaku yang patut dididikkan. Implikasinya, kita
harus bisa dijadikan cermin atau suri tauladan.
Seorang kiai, pendeta, pedanda, atau tokoh
religi lain harus sudah ahli dalam kitab suci yang merupakan pedoman dan
pegangan untuk berdakwah. Dia juga mengamalkan dzikir, semedi, sembahyang atau
ritual lain dengan sebenar-benarnya. Lalu, perilaku kesehariannya mencerminkan
kesalehan kalbu dan jiwanya.
Jika ada kiai, pendeta, pedanda, atau tokoh
religi lain tidak lagi mengamalkan dzikir, semedi, sembahyang atau ritual lain;
dan perilaku kesehariannya tidak lagi mencerminkan kesalehan kalbu dan
jiwanya; maka gugurlah predikatnya sebagai kiai, pendeta, pedanda, atau tokoh
religi lain.
Mendidik diri adalah memperdalam pengetahuan
dan memperluas wawasan mengenai sesuai yang kita didikkan kepada orang lain.
Mendidik diri juga membangun sikap dan perilaku agar patut diteladani; karena
itu, ia harus menghayatinya lebih dulu sebelum menerapkannya pada orang lain.
Ada ilustrasi yang relevan. Keimanan orang
beriman harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Aristoteles,
kebajikan dalah praktik, bukan sekadar perasaan atau keyakinan. Susanto (2008:
175) menulis: Kebajikan diekspresikan melalui tindakan, bukan kata-kata. Buka
apa yang Anda harapkan, Anda inginkan, atau maksudkan, hanya apa yang Anda
lakukan yang akan menunjukkan karakter sejati....Dan kebajikan hanya bisa dipraktikkan
bukan dikatakan. Jadi anak-anak akan melihat praktik, yang dikerjakan
orangtuanya daripada yang sekadar diucapkannya. Maka anakn yang kita didik
kebajikan akan melihat kesesuaian antara yang kiat ucapkan dan lakukan.
Ilustrasi tersebut mengisyaratkan, bahwa kita
harus mempraktikkan kebajikan, bukan hanya mengatakannya, atau
memerintahkannya. Jika kita berhasil mendidik diri, tidaklah sulit bagi kita
untuk mendidik orang lain. Orang lain akan mendengarkan apa yang kita katakan,
dan mencontoh atau terinspirasi apa yang kita lakukan. Bahkan, amat mungkin dia
berkembang lebih baik dari pada harapan kita.
Demikian pun dalam hal menulis. Misalnya, dosen
yang suka menulis tak akan berkesulitan menugasi mahasiswa untuk menulis. Dia
bukan omong kosong, asbun (asal bunyi), karena dia juga menulis. Dengan begitu,
apa yang dia ajarkan dan didikkan kepada mahasiswa memiliki daya pengaruh yang
kuat, signifikan, dan mengesankan.
Coba bayangkan, bagaimana pandangan mahasiswa
yang ditugasi menulis oleh dosen yang hampir tak pernah menulis? Di depan sang
dosen mungkin saja mahasiswa itu tampak takdzim dan oke-oke saja. Namun, amat
mungkin, mereka ngrasani begini, Ah, teori melulu. Mana buktinya?”
Rasan-rasan semacam itu representasi
kekurangpercayaan mahasiswa terhadap sang dosen. Mahasiswa belum merasa
yakin bahwa sang dosen juga mampu menulis, sesuatu yang selalu
diperintahkan kepada mahasiswa untuk melakukannya. Seharusnya dia menunjukkan
bahwa dia kredibel dan membangun kedekatan dengan mahasiswa. Guna membuktikan
keandalanya, dia seharusnya juga menulis.
Kekaguman saya terhadap Prof. Budi Darma sudah
tumbuh sejak saya duduk di bangku SMA tahun 1982-1985. Kekaguman itu membuncah
saat beliau memberikan kuliah di kelas saya Literary Appreciation, lalu menjadi
bapak dan kolega senior saya di Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. Hingga kini
pun, dalam menulis, beliau adalah satunya kata dan perbuatan!
Begitulah, mendidik diri juga membudayakan diri
dalam apa yang kita tularkan kepada orang lain. Kita harus membudayakan diri
dengan mengaji, shalat, bersedekah, dan sebagainya sebelum kita mendidik
anak-anak untuk membudayakan hak serupa. Demikian pula kita harus membaca
dan menulis dulu sebelum mengajak orang lain membaca dan menulis.[]
*Much. Khoiri:
penggerak literasi, dosen, editor, dan penulis 42 buku dari Unesa Surabaya.
Seperti kata pepatah Arah: al ilmu bila amalin ka as-syajaeri bila tsamarinl.
ReplyDeleteKeren
Satu kalimat. Mari membaca dan menulis.
ReplyDeleteMenulis sebuah aktivitas yang memutar segala potensi diri.
ReplyDelete