Sumber gambar: Dokumen pribadi |
Barter buku adalah cara praktis untuk menghargai karya kreatif penulis, di samping (terutama) membeli karyanya. Ini berlaku, terutama, antara mereka yang sama-sama penulis buku—sehingga buku-lah sesuatu yang dibarterkan. Dan itu kebetulan P Jack Parmin dan saya sendiri adalah penulis!
Bukan berarti bahwa saya—juga Pak Jack—bersikap sombong dengan mengaku sebagai penulis. Jika ada yang menilai demikian, mohon maaf. Namun, malah saya luruskan: Saya justru bangga dan lega menekuni profesi tambahan (avocation) sebagai penulis, di samping profesi utama sebagai dosen. Pada kartu nama saya tertulis, pada satu sisi profesi dosen, pada sisi lain profesi penulis.
Saya bangga menjadi penulis, karena saya yakin bahwa penulis itu sebuah profesi dengan kedudukan mulia. Kata Imam Al-Ghazali: “Jika kamu bukan anak seorang raja, bukan juga anak seorang ulama besar, maka menulislah!” Sastrawan Budi Darma juga menulis: “Begitu seorang pengarang mati, tugasnya sebagai pengarang tidak dapat diambil alih orang lain. Sebaliknya, kalau dekan, camat, atau mantri polisi mati, dalam waktu singkat akan ada orang yang dapat dan mampu menggantikannya.”
Jadi, saya tidak ragu-ragu lagi dengan profesi (tambahan) sebagai penulis. Itulah sebabnya ada semacam “ruhshah” (keringanan) untuk mendapatkan buku penulis lain dengan cara barter. Sebenarnya ingin saling membeli buku. Namun, karena toh transaksi malah tidak menunjukkan keakraban, maka barter lah yang diambil.
Lagi pula, jangan bayangkan Pak Jack dan saya tinggal berjauhan, semisal Surabaya dan Bandung, atau Surabaya dan Singapore. Sebaliknya, kami bertetangga satu rukun tetangga (RT), berjalan kaki pun hanya perlu beberapa menit. Karena itu, tatkala Pak Jack mengantarkan buku ke rumah saya, tak lama kemudian saya sudah tiba di depan pintu beliau untuk melakukan hal sama.
Kali ini, yang dibarterkan adalah buku Pak Jack berjudul "Solilokui Suto: Belajar dari Sekitar" (2020) dan buku saya "SOS Sapa Ora Sibuk: Menulis dalam Kesibukan" (2020). Keduanya masih gres dan kinyis-kinyis. Dan kini kedua buku saling berpindah tangan. Sejatinya, ini jual beli (transaksi) kuno atau tradisional namun tetap menemukan relevansinya kini.
Jika ditelisik, buku pertama tentang catatan reflektif atas peristiwa sehari-hari di sekitar lingkungan Pak Jack—tentu, lingkungan dalam arti luas. Ternyata, ada banyak peristiwa yang menebarkan mutiara hikmah dan inspirasi. Sementara, buku kedua tentang alasan filosofis dan pragmatis mengapa perlu menyiasati kesibukan dan tentang 17 strategi menyiasati kesibukan untuk menulis.
Tentu saja, substansi kedua buku tersebut berbeda. Namun, saya tidak mempertajam perbedaan itu. Justru perbedaan itulah yang menyebabkan barter ini lebih bermakna—satu dapat memperkaya yang lain—terlebih bagi kami yang sedang ‘macak’ menjadi pembaca kreatif dan kritis. Karena perbedaan itu pula, banyak yang dapat dipetik oleh masing-masing pihak.
Saya berharap, mudah-mudahan barter buku ini bukan destinasi terakhir. Saya yakin, ada banyak teman yang dapat saling barter buku. Pada satu sisi, kita dapat saling menghargai karya teman; pada sisi lain, kita dapat segera berkarya lagi untuk dibarterkan (mungkin) dengan penulis lain.(*)
*Much.
Khoiri adalah dosen, penggerak litrerasi, editor, dan penulis buku dari Unesa
Surabaya. Tulisan ini pendapar pribadi.
Great..n Nice
ReplyDeleteThanks so much. Semoga sehat selalu
DeleteNice... Bolehlah nanti saya kirim buku pertama saya. Buku hasil dari tantangan media guru. "Kutunggu Amanah-Mu"
ReplyDeletePak Usdhof, mantab itu. Selalu saling menguatkan.
DeleteThis comment has been removed by the author.
DeleteTerima kasih sdh mengerjakan tugasnya dengan baik
ReplyDeleteMantabs, Omjay. Terima kasih
Delete