Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Friday, November 6, 2020

PROLOG: PANDEMI, KREATIVITAS, DAN LITERASI

Oleh: Much. Khoiri

Dalam sejarah peradaban manusia, manusia menjadi hebat akibat ditempa oleh kondisi yang sulit, keras, dan memprihatinkan—bahkan kerap menguras keringat, melinangkan air mata, dan mengucurkan darah. Manusia hebat tidak dihasilkan dari kemalasan dan kemanjaan. Mereka kreatif menemukan solusi atas semua kesulitan yang dihadapinya.

Mereka menemukan solusi karena mereka tidak fokus pada masalah melainkan pada solusi ketika masalah datang menghadang. Agaknya, mereka yakin bahwa berbagai kesulitan dalam hidup bukanlah hukuman, melainkan ujian yang akan menghasilkan hadiah atau anugerah tatkala ujian telah dilalui. Mereka juga yakin bahwa bersama kesulitan selalu ada kemudahan; di balik masalah pastilah ada solusinya. Semua itu soal sikap.

Sumber Gbr: https://lpmpjatim.kemdikbud.go.id/site/detailpost/kunci-gerakan-literasi-di-masa-pandemi

                                  

Saat ini Tuhan mengirimkan pandemi covid-19 ke seluruh penjuru bumi. Sekarang, bagaimana sikap manusia dalam menghadapi pandemi? Jika pandemi disikapi secara negatif sebagai musibah atau hukuman, maka dampaknya pastilah merugikan. Lagi pula, untuk apa mengeluh, apatis, dan pesimistik terhadap serangan pandemi? Tidak ada manfaatnya. Maka, lebih bijak kiranya jika pandemi disikapi positif ebagai ujian.

Jika pandemi disikapi secara positif sebagai ujian, masih ada harapan untuk hidup. Mengapa? Dalam hidup sebagai anugerah, manusia memang selalu diuji alias tidak dibiarkan begitu saja. Sadar bahwa hal itu ujian, hidup bersama pandemi harus dilakoni dengan sebaik-baiknya agar mendapat kelulusan terbaik—agar mendapat ganjaran dari apa yang diujikan, mungkin akan berupa naik-tingkat kemuliaan.

Demikianlah, pandemi covid-19 mungkin disikapi negatif oleh sebagian orang, namun di mata orang-orang optimistis pandemi harus disikapi secara positif sebagai ujian. Tatkala mereka bersikap positif, mereka akan mudah terinspirasi untuk melakukan sesuatu, dan kemudian kreatif menemukan berbagai cara untuk melaksanakannya. Jadi, sikap positif sejalan dengan tumbuh-berkembangnya kreativitas.

Para penulis dalam buku ini—para kepala sekolah dan pengawas—bukanlah pihak yang tidak dinaungi mendung pandemi. Mereka juga mengalami (minimal merasakan) semua penderitaan, kesulitan, dan keprihatinan akibat pandemi. Namun, mereka bukan pecundang; melainkan pemenang—setidaknya calon pemenang, dalam menunjukkan kreativitas, yakni menuangkan gagasan ke dalam tulisan. Kali ini mereka bertindak sebagai penulis (mudah-mudahan penulis bukan hanya untuk buku ini.)

Maka, dengan kreativitas masing-masing, para penulis menuangkan gagasan, pengalaman, dan refleksi terkait dengan pandemi. Ada yang menulis tentang lockdown versi guru: belajar di rumah dan mengajar dari rumah. Ada yang menampilkan kontribusi (kecil) peningkatan kesadaran masyarakat terkait covid-19. Ada pula yang membidik sisi positif di balik pandemi covid-19. Ada pula yang menyorot tentang dampak pandemi pada implementasi perubahan kebijakan pendidikan.

Selain itu, ada topik-topik menarik lain yang mereka angkat terkait pandemi: Pandemi menjadi momentum menguji kreativitas guru, pendidikan religi, kesantunan berbahasa, peningkatan literasi teknologi, eksistensi guru pembelajar, eksplorasi nilai kearifan lokal Jawa, rekonstruksi psikologi di balik pandemi, serta refleksi kinerja selama semester ini.

Home learning juga diabadikan di dalam buku, bahkan ditulis oleh beberapa penulis, misalnya home learning sebagai momentum belajar, yang menyuburkan tren pembelajaran virtual yang memanfaatkan teknologi informasi. Ada pertanyaan, memang, apakah orangtua siap menghadapi home learning? Ada yang menjawab dalam tulisan, bahwa mau tak mau orangtua harus siap menjadi guru di rumah. Maka, siapa pun terkondisikan untuk menyiasati home learning.

Tak ketinggalan, ada paparan gagasan tentang konseling di masa pandemi, yakni bertopik cyber counseling. Konseling, yang biasa dilakukan luring (offline, tatap muka), kini ditempuh secara daring (online). Bagaimana rincian paparannya, tentu dapat diikuti selengkapnya di dalam buku ini. Lalu, jangan lupa untuk menemukan artikel yang tak kalah menarik, yakni tentang berliterasi dari rumah dan membangun literasi bangsa.

Dari artikel-artikel mereka di atas, tersusunlah buku ini—sebuah antologi yang menghimpun sekitar duapuluh artikel karya para penulis yang terdiri atas kepala sekolah dan pengawas. Artikel-artikel tersebut telah mereka kerjakan dalam masa sulit dan memprihatinkan, sebagai jawaban nyata atas ujian yang dihadirkan Tuhan. Maka, tak ayal lagi, buku antologi ini merupakan buah perjuangan yang tak kenal lelah.

Tentu, upaya para penulis buku ini patut dihargai sedalam-dalamnya, sebab dengan menyusun buku itu, mereka telah menunjukkan pentingnya nilai keteladanan. Kendati buku ini ditulis bersama, nilai keteladanan tersebut tetap melekat di dalamnya. Dan itu klop dengan tuntutan pembudayaan literasi. Bukankah pembudayaan literasi sangat membutuhkan keteladanan yang nyata?

Keteladanan, ya keteladanan dalam pembudayaan literasi. Para penulis di dalam buku ini agaknya ingin memberikan keteladanan dalam menulis dan menerbitkan buku. Buku tidak harus disusun sendiri, melainkan dapat pula bersama-sama sebagai antologi. Lewat antologi, penulis mengusir kekhawatiran akan dinilai negatif oleh pembaca, dan bahkan menjadi lebih berani menampilkan tulisan. Bukan tak mungkin, penulis-penulis antologi akan menghasilkan buku-buku mandiri.

Keteladanan itu diharapkan berdampak positif bagi sesama kepala sekolah, pengawas, guru, dan pembaca pada umumnya—yakni diteladaninya penulisan antologi atau buku mandiri. Setidaknya, ketika mereka mengajak orang lain untuk menulis buku, mereka telah memiliki otoritas dan kepercayaan diri berkat kapasitas dan pengalaman menulis antologi.

Akhir kata, mudah-mudahan buku ini menemukan takdir terbaiknya di hati pembaca budiman. Mudah-mudahan akan hadir banyak pembaca yang terinspirasi oleh keteladanan para penulis antologi ini. Dengan begitu, disadari atau tidak, mereka akan berupaya untuk menyuburkan titian-titian kontinuitas pengetahuan dari generasi ke generasi. Itulah salah satu tugas penting dunia literasi.[]

*Much. Khoiri adalah dosen Sastra Inggris, penggerak literasi, editor, dan penulis 45 buku dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Buku terbarunya “SOS Sapa Ora Sibuk: Menulis dalam Kesibukan” (Edisi revisi, 2020).

4 comments:

  1. Selalu indah dan menginspirasi. Sukses bpk. Salam literasi abadi di hati.

    ReplyDelete
  2. Terima kasih banyak, Bu hajjah. semoga senantiasa sehat dan kreatif.

    ReplyDelete
  3. Semoga selalu diberikan keberkahan meski melalui jalan penuh rintangan. Salam Iqra...

    ReplyDelete

Terima kasih banyak atas apresiasi dan krisannya. Semoga sehat selalu.

Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts