Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Monday, January 25, 2021

Dulgemuk Berbagi (3): HIDUP SEPERTI DAUR ULANG

 Oleh Much. Khoiri

PERWAKILAN jamaah “Sinau Urip” ketemu di rumah Dulgemuk, Minggu malam, di antara gerimis atis. Tadi, sebelum masuk rumah, cek suhu tubuh, cuci tangan—dan basuh wajah. Pakai masker pasti, jaga jarak otomatis. Mereka bukan manusia-manusia ndablek yang ignoran alias cuek pada kesehatan diri dan orang lain. Seperti biasa, pertemuan ditemani suguhan makanan seadanya—kali ini pisang goreng, kopi Solong dari Aceh, dan teh hadiah teman lama yang kini tinggal di Kairo (Mesir).

Tiba-tiba Dulkrempeng menyeletuk, “Musibah kok gak mari-mari ya, Cak? Pandemi sudah hampir setahun. Sampek habis hati saya.” Dia tampak menyeruput kopi dari cangkirnya.

“Banjir bandang juga ada di mana-mana,” sahut Yu Tun, yang duduk di sebelah Dulgemuk. Minumannya sama dengan selera Dulgemuk, yakni teh panas.

“Gempa bumi di Sulawesi Barat,” imbuh Ning Tini, jurnalis warga Metropolis kita.

“Ditambah hoaks yang kejam,” sambung Tacik, wajahnya tampak geregetan.

“Astaghfirullah. Kiamat sudah dekat,” kata Dulremek tak mau kalah.

Sumber gambar: Dokumen Pribadi


Setelah diam sejenak, Dulgemuk angkat bicara: “Kalau ada pandemi tidak kunjung selesai, kalian sah untuk mengeluh begitu? Lalu, banjir bandang, gempa bumi, apa itu membuat kalian putus asa? Juga hoaks, apa itu menyurutkan perlawanan terhadap kemungkaran?”

Mereka saling berpandangan. Tetanaman hias aglonema dan bunga-bunga gantung di teras rumah Dulgemuk ikut menyaksikan. Mereka kurang tahu maksud Duldemuk.

“Dulur, hidup ini kan seperti daur ulang saja,” tegar Dulgemuk, sambil menyeruput teh Mesir, membetulkan letak kacamatanya. Pisang goreng hangat menyapa mulutnya.

“Daur ulang bagaimana, Cak?” tanya Dulkrempeng. Tampak serius dia kini.

“Hidup ini substansinya sama, bentuknya saja yang berbeda.”

“Tentang musibah-musibah ini, maksudnya?”

“Ya semuanya!” tegas Dulgemuk, kali ini pisang gorengnya tinggal telanan terakhir. Setelah menyeruput teh lagi, dia menambahkan, “Semua peristiwa hidup ini susbtansinya sama, bentuknya saja berbeda. Cinta, benci, bahagia, derita, perjuangan—itu hakikatnya sama dalam sebarang zaman, mulai zaman Adam AS hingga sekarang. Tapi, bentuknya saja yang beda.”

“Cinta, misalnya, sudah ada sejak Mbah Adam, mulai cinta yang mahabbah, mawaddah, hingga rahmah. Monumen mereka ada di Jabbal Rahmah, Makkah sana. Mbah Adam, Mbah Ibrahim, mbah-mbah kalian mengalaminya. Kesengsem, berkasihan, dan bersayang laksana saudara itu ada dalam siklus pasangan suami istri. Bedanya hanya perwujudannya. Mbah-mbah kalian mungkin tidak mengungkapkan lewat telpon, bunga atau puisi, pestanya ya tidak seperti sekarang yang buang-buang uang milyaran. Tapi siapa bilang ikatan cinta mereka tidak kokoh?”

Dulgemuk masih melanjutkan: “Musibah juga. Sejak dulu kala ya ada musibah, bencana. Banjir besar pernah terjadi pada zaman Nabi Nuh AS; dan beliau membuat kapal raksana untuk mengangkut kaumnya yang taat. Peperangan? Kalau sekarang perang teknologi, sebelum ini pakai senjata supercanggih, dulu perang itu berhadap-hadapan pakai pedang, sehingga tampak pecahnya dada dan mengalirnya darah.

“Apa lagi? Gempa bumi. Jangan dikira dulu tidak ada gempa bumi. Sekarang saja ada media yang canggih, sehingga terkesan sekarang jumlah bencana lebih banyak. Dulu ya banyak peristiwa gempa bumi, tapi tidak disiarkan. Pada zaman Nabi Luth AS, terjadi likuifaksi yang dahsyat—yakni bumi yang ambles yang menelan kaum homoseks. Para arkeolog sudah membuktikan kebenarannya.”  

Dulgemuk memandang mereka satu-persatu. “Jadi, tidak usah gumun atau panik. Musibah pandemi sekarang ini, dihadirkannya banjir bandang, gempa bumi, jatuhnya pesawat Sriwijaya Air, dan masih banyak lagi—hanya “alat peraga” Allah dalam mendidik kita bahwa musibah, ujian, memang diberikan Allah kepada manusia. Manusia hidup tidak dibiarkan tanpa ujian. Dengan ujian, akan ketahuan mana manusia mulia, munafik, bajingan…”

Tacik tampil menyela, “Mengapa penyakit makin ‘canggih’ ya, Cak Dul? Dulu penyakit malaria sudah sangat menghebohkan, demikian pula penyakit sampar. Masih ingat novel Albert Camus ‘The Plague’, tentang pandemi sampar itu?”

“Ya karena Allah menguji manusia sesuai dengan kemampuannya,” timpal Dulremek, seakan mewakili Dulgemuk.

Dulgemuk mengacungkan dua jempol. “Saya kira, Mas Remek benar. Allah kan mendidik manusia. Cek QS Al-Alaq 1-5. Dididik berarti diberi pelajaran. Seiring peradaban manusia, penyakit untuk manusia juga makin ‘canggih’. Jika dulu penyakit malaria atau sampar menghebohkan, kini covid-19 pun sama. Namun spiritnya sama: Manusia per zaman dididik untuk menemukan solusi bagi masalah yang dihadapinya. Terbukti, kini sudah beredar vaksin-vaksin untuk corona. Mereka diyakinkan, bahwa bersama kesulitan ada kemudahan.”

“Benar itu, Cak,” sahut Ning Tini, bersemangat. “Saya ingat, ada sipilis gonore sebelum adanya HIV-AIDS. Akhirnya, ada juga ahli yang menemukan obatnya. Demikian pun sekarang, ada covid-19, lalu ditemukan pula vaksinnya. Manusia dididik dengan ujian-ujian. Agar lebih pintar dan bijak dari sebelumnya. Begitu ya, Cak?”

“Tepat sekali!” Dulgemuk, lagi-lagi, mengacungkan jempolnya.

“Hoaks juga makin canggih ya, Cak?” sela Ning Tini. Dia banyak belajar pada Dulgemuk selama ini. “Kalau dulu ada penyihir, pengghibah, pemfitnah, sekarang malah lebih canggih. Bahkan diproduksi secara sengaja, ada konspirasi besar. Praktik politik kental dengan ini. Hoaks, fitnah, pembunuhan karakter diproduksi dan direproduksi lewat media sosial. Mereka sudah tidak takut dosa blas. Andai itu untuk penghasilan, mereka sudah membuta-tuli terhadap uang dari bekerja sebagai produsen hoaks, fitnah dan sebagainya. Begitu kok mengaku ‘hamba’ Allah?”

Dulgemuk mengangguk berkali-kali. Kopi dan teh hampir habis, demikian pun pisang gorengnya sudah pindah tempat, dari piring ke dalam perut. “Surganya makanan itu di dalam perut,” celetuk Dulkrempeng. Dulgemuk, Ning Tini, Tacik, Dulremek, dan Wayan tertawa lepas, melepas kerinduan cangkrukan bersama di kafe Yu Tun. Gerimis atis sudah mulai reda.

Sejenak kemudian, Dulremek perlahan bertutur, “Dari penjelasan Cak Dul dan teman-teman, saya simpulkan bahwa hidup laksana sebuah daur ulang saja. Hidup itu hakikatnya sama antara dulu dan sekarang. Hanya pernik-perniknya yang berbeda dan lebih variatif. Dan semua itu sarana Allah untuk mendidik umat manusia. Termasuk pandemi ini, kita diuji sekaligus dididik untuk menjadi manusia yang kembali ingat pada-Nya.”[]

Kabede Gresik, 24-01-2021

*Much. Khoiri adalah dosen Sastra/Kajian Budaya/Creative Writing, penggerak literasi, blogger, dan penulis buku dari Jalindo dan Unesa Surabaya. Tulisan ini pendapat pribadi.

10 comments:

  1. Replika kehidupan yang harus selalu disyukuri... Ada hikmah yang kita peyok dari semuanya...sebagai pijakan langkah berikutnya...

    ReplyDelete
  2. Saya suka, gaya pengisahannya sangat joss markotobz...

    ReplyDelete
  3. Waduh...jian joss ini. Ada dulremek barang...hahaha. kontemplasinya sedalam apa ya bisa nulis kayak gini?

    ReplyDelete
  4. Dulremek, walau namanya remek tapi bijak sekali Pak, 😆

    ReplyDelete
  5. Subhanallaah, penuh dengan pesan dan kesan dalam kehidupan

    ReplyDelete

Terima kasih banyak atas apresiasi dan krisannya. Semoga sehat selalu.

Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts