Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Saturday, March 28, 2020

LITERASI NAIK PESAWAT

Oleh Much. Khoiri

Jangan kira naik pesawat bebas literasi. Sebaliknya, naik burung logam itu kita harus berliterasi---cerdas membaca, memahami, dan menyikapi segala informasi. Jika tidak, bisa blaen (berdampak buruk)!

Terlebih, di era sekarang ini, bandara-bandara (apalagi bandara internasional) sudah canggih. Media audio dikurangi atau dihilangkan. Media tulis dan tanda (simbol) telah diterapkan di sebarang penjuru bandara. Sumber informasi siap dikunyah setiap saat, tinggal kita mau belajar atau tidak.

Perkara tiket saja, kita tidak perlu mengantri hanya untuk membelinya. Pesan tiket daring (online), sudah biasa dilakukan lewat gawai yang kita genggam setiap waktu. Bayarnya lewat e-banking, tidak perlu antri panjang, kita bisa mendapatkan tiket pesawat. Tiket pun cukup disimpan di dalam memori ponsel, tidak wajib untuk dicetak.

Bahkan, ada fasilitas untuk melakukan online check-in, sebuah loncatan dari check-in di hotel, kantor, atau domisili kita. Dengan check-in daring ini, kita tidak perlu ketir-ketir dan stress jika kita hanya punya waktu pendek menjelang terbang. Jika kita manusia literat gawai, urusan tiket dan check-in bukan masalah sama sekali.

Sementara, untuk kita yang masih suka yang manual, ke mana kita harus check-in secara manual, misalnya, di Juanda atau Soeta saja, informasi tidak perlu diumumkan lewat speaker. Cukup dengan tanda panah dan pesan "check-in", orang harus berjalan mengikutinya. Mau lihat jam penerbangan, cukup lihat papan pengumuman otomatis. Demikian pun kalau mau ambil bagasi, di sana ada tulisan "baggage claim".

Maka, orang yang naik pesawat benar-benar awas dengan semua informasi yang ada. Jangan hanya tanya orang lain. Temukan info secukupnya, dan lakukan apa yang seharusnya dilakukan. Naik pesawat pun merupakan proses belajar menjadi insan mandiri.

Menemukan sinyal untuk ponsel, itu juga penting. Memasang kartu baru (Eropah misalnya), menuntut kita untuk mengeset ponsel kita sedemikian rupa. Juga, saat ada wifi-free di bandara atau kafe-kafe, kita harus sigap mencari info bagaimananya. Jika tidak, komunikasi dengan keluarga, kolega, atau sahabat di tanah air akan terhambat.

Mau memotret diri sendiri, jangan suka meminta tolong orang lain. Ada gawai yang canggih. Di manapun kita bisa swafoto (selfie), tinggal cari tempat yang pas, lalu cekrak-cekrek sesuka kita, jadilah foto kita. Jika kurang manis, ada tongsis yang menggantikan fungsi tangan orang lain. Juru foto profesional gulung tikar, karenanya. Maka, beli ponsel dan tongsis yang bisa diajak foto dengan hasil maksimal.

Kalau masih berada di negeri sendiri, bolehlah kita masih meminta tolong orang lain. Di Juanda atau Soeta kita masih menemukan petugas-petugas yang ramah untuk menjawab pertanyaan atau membantu kita. Maklum, masih di negeri sendiri. Kita masih dimaklumi. Bangsa kita bangsa penolong dan baik hati, kalau hanya ditanya atau minta difotokan.

Namun, jika kita sedang di bandara luar negeri, sebutlah di Hamad International Airport, Doha Qatar, maka jangan andalkan bertanya pada petugas. Bandara Hamad bersuasana lengang, tidak sesekali terdengar halo-halo petugas, meski ia juga bandara besar dan luas. Kita harus awas berbagai tanda atau pesan di dalam bandara.

Mencari pintu (gate) saja, apalagi di boarding pass tidak tertulis gate, kita harus melihat papan pengumuman tidak hanya sekali, bisa dua atau tiga kali. Untuk apa? Memastikan gate tidak berubah. Sebab, menurut info travel, di bandara Hamad itu, berganti jadwal terbang dan pintu (gate) bisa terjadi. Terlebih, jika kita penumpang transit, harus lebih awas.

Demikian pun saat kita berada di kantor imigrasi di dalam bandara. Biasanya kita ditanya tentang alasan dan tujuan bepergian, untuk bisnis atau tugas. Bukti dokumen diperiksa. Dalam Bahasa Inggris lagi. Jadi, wajib kiranya kita memahami Bahasa Inggris meski hanya untuk komunikasi. Tidak harus cas-cis-cus, tapi wajib paham.

Di dalam pesawat, setali tiga uang. Kita harus paham ketika pramugari cantik bilang, "Sir, what would you like to drink?" Itu artinya, "Bapak mau minum apa?" Jika kita paham bahasa Inggris, mudah bagi kita untuk menjawabnya. Juga jika kita tidak paham, kita tidak akan bisa membedakan antara 'beef' (daging sapi) dan 'pork' (daging babi).

Bahkan, jika tidak paham, kita tidak akan fokus pada pertanyaan si pramugari, melainkan pada kemolekannya. Stop, jangan lanjutkan, ada anak isteri di rumah, MasBro. Ingat kata Kang Dul: "Setia itu bukan kok tidak mengagumi orang lain, namun berani berkata 'tidak' ketika rasa cinta bergerak melampaui batas-batasnya."

Belum lagi kalau kita mau lihat-lihat film, flight map, dan lain-lain di layar TV di depan tempat duduk kita. Mengoperasikannya juga perlu kemampuan literasi. Ada petunjuk-petunjuk yang harus diikuti. Termasuk apa yang perlu dilakukan saat di toilet pesawat, kita harus belajar.

Atau ketika kita harus bersapa dan berbincang dengan tetangga kursi kita. Kita perlu memahami bahwa kita memiliki perbedaan atau kekhasan (partikularitas) dengan mereka, terutama dalam berbudaya, meski kita pun memiliki kesamaan atau kemiripan (universalitas) dengan mereka. Literasi bahasa adalah jembatan untuk saling memahami.

Singkat kata, naik pesawat perlu kemampuan generasi milenial, yang canggih dalam menggunakan gawai, dan lincah dalam berkomunikasi. Kuncinya, melek teknologi, membaca cerdas dan mengamalkan hasil bacaan, itulah syarat wajib bagi prnumpang pesawat. Sekali lagi, literasi naik pesawat itu penting dan urgen, dan bukan sebaliknya.[]

No comments:

Post a Comment

Terima kasih banyak atas apresiasi dan krisannya. Semoga sehat selalu.

Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts