Oleh: MUCH. KHOIRI
SETIAP orang memiliki momen filosofis ( philosophical moment), yakni momen yang di dalamnya ia bisa melakukan permenungan atau menghayati pengalaman filosofis. Perbedaannya hanya terletak pada intensitas penghayatan dan hasil permenungannya.
Mengapa setiap orang merenung, tentu karena ia memiliki masalah atau sesuatu yang harus dipikirkan dan direnungkan. Ia berpikir dan merenung karena punya akal dan jiwa (nafs), yang memungkinkannya untuk melahirkan pemikiran atau kebijaksanaan.
Makhluk tak berakal dan tak berjiwa tidak perlu merenung, karena perangkatnya tidak sempurna. Jika ada manusia tidak mau merenung, ia tidak mau menggunakan akal dan jiwa yang dimilikinya. Ia tidak lebih penting dari pada makhluk tak berakal dan tak berjiwa. Maka, agar tetap dianggap sebagai manusia, merenung itu sebuah kewajiban yang harus ditunaikan. Dalam Al-Quran Tuhan kerap mempertanyakan: "Apakah kamu/kalian tidak berpikir (merenungkan)?"
Jika ia menghayati momen filosofis dengan tekun dan sungguh-sungguh, akan lahirlah hasil permenungan yang bermutu dan berbobot. Sebaliknya, jika momen filosofis dijalaninya sepintas lalu, hasilnya juga hasil permenungan sepintas lalu. Mana ada hasil lebih jika hanya dijalani secara pas-pasan, apalagi kurang? Kata Einstein, hanya orang gila yang berharap lebih ketika memberikan upaya sedikit.
Orang yang suka merenung lazim menjadi orang yang penuh kebijaksanaan: ucapan, sikap dan perilakunya mencerminkan kebijaksanaan. Tentu, karena ia telah melampaui dirinya, melintasi kepintarannya dan menyatu dalam kebijaksanaannya. Dia sudah selesai dengan dirinya; ia ada untuk manusia lain (baik individu, komunitas, masyarakat, maupun bangsa).
Untuk menjadi pintar, syaratnya banyak belajar dan berlatih. Sementara, untuk menjadi bijaksana, syaratnya bukan hanya banyak belajar, melainkan juga banyak mengamati, menghayati, merenungkan, dan memetik hikmahnya. Semua ini hanya berlangsung dalam momen filosofis yang kondusif. Semuanya dihayatinya sungguh-sungguh.
Para filsuf tentu tak terpisahkan dari momen filosofis. Itu dunianya, itu pertapaannya, dan dari sanalah hasil pemikiran dan renungan mewujud dalam berbagai bentuk. Ada ungkapan bijak yang terlisankan, ada sikap yang ditunjukkan, ada pula kumpulan gagasan yang dibukukan. Kita bukan filsuf, namun kita perlu belajar pada mereka bagaimana menghayati momen folosofis.
Tentu saja ada momen-momen filosofis di seputar kita, seakan laksana sebuah kelas perguruan filsuf yang sedang dibuka. Kelas dibuka bagi siapa saja. Adakah kita memanfaatkannya dengan segenap hati? Adalah sensitivitas (kepekaan) yang membuat kita memberikan jawaban yang sesungguhnya. Di sana pula sumbernya kita akan dianggap ada.[]
SETIAP orang memiliki momen filosofis ( philosophical moment), yakni momen yang di dalamnya ia bisa melakukan permenungan atau menghayati pengalaman filosofis. Perbedaannya hanya terletak pada intensitas penghayatan dan hasil permenungannya.
Mengapa setiap orang merenung, tentu karena ia memiliki masalah atau sesuatu yang harus dipikirkan dan direnungkan. Ia berpikir dan merenung karena punya akal dan jiwa (nafs), yang memungkinkannya untuk melahirkan pemikiran atau kebijaksanaan.
Makhluk tak berakal dan tak berjiwa tidak perlu merenung, karena perangkatnya tidak sempurna. Jika ada manusia tidak mau merenung, ia tidak mau menggunakan akal dan jiwa yang dimilikinya. Ia tidak lebih penting dari pada makhluk tak berakal dan tak berjiwa. Maka, agar tetap dianggap sebagai manusia, merenung itu sebuah kewajiban yang harus ditunaikan. Dalam Al-Quran Tuhan kerap mempertanyakan: "Apakah kamu/kalian tidak berpikir (merenungkan)?"
Jika ia menghayati momen filosofis dengan tekun dan sungguh-sungguh, akan lahirlah hasil permenungan yang bermutu dan berbobot. Sebaliknya, jika momen filosofis dijalaninya sepintas lalu, hasilnya juga hasil permenungan sepintas lalu. Mana ada hasil lebih jika hanya dijalani secara pas-pasan, apalagi kurang? Kata Einstein, hanya orang gila yang berharap lebih ketika memberikan upaya sedikit.
Orang yang suka merenung lazim menjadi orang yang penuh kebijaksanaan: ucapan, sikap dan perilakunya mencerminkan kebijaksanaan. Tentu, karena ia telah melampaui dirinya, melintasi kepintarannya dan menyatu dalam kebijaksanaannya. Dia sudah selesai dengan dirinya; ia ada untuk manusia lain (baik individu, komunitas, masyarakat, maupun bangsa).
Untuk menjadi pintar, syaratnya banyak belajar dan berlatih. Sementara, untuk menjadi bijaksana, syaratnya bukan hanya banyak belajar, melainkan juga banyak mengamati, menghayati, merenungkan, dan memetik hikmahnya. Semua ini hanya berlangsung dalam momen filosofis yang kondusif. Semuanya dihayatinya sungguh-sungguh.
Para filsuf tentu tak terpisahkan dari momen filosofis. Itu dunianya, itu pertapaannya, dan dari sanalah hasil pemikiran dan renungan mewujud dalam berbagai bentuk. Ada ungkapan bijak yang terlisankan, ada sikap yang ditunjukkan, ada pula kumpulan gagasan yang dibukukan. Kita bukan filsuf, namun kita perlu belajar pada mereka bagaimana menghayati momen folosofis.
Tentu saja ada momen-momen filosofis di seputar kita, seakan laksana sebuah kelas perguruan filsuf yang sedang dibuka. Kelas dibuka bagi siapa saja. Adakah kita memanfaatkannya dengan segenap hati? Adalah sensitivitas (kepekaan) yang membuat kita memberikan jawaban yang sesungguhnya. Di sana pula sumbernya kita akan dianggap ada.[]
*Much. Khoiri hanyalah penggerak literasi, dosen, editor,
dan penulis 42 buku dari Unesa Surabaya. Tulisan ini pendapat pribadi.
Saya baca lagi..setelah di writing is selling' untuk menjadi pintar harus banyak belajar, taoi untuk menjadi bijaksana harus banyak mengamati, menghayati, merenung dan mengambil hikmah. Kalimat bijak ini yg saya gunakan untuk introsepksi diri agar lebih bijkasana. He he alias tidak cepat emosi.Salut bapak hebat.
ReplyDeleteTerima kasih banyak, B Nuraini. Semoga tetap sehat dan berkarya
DeletePintarbdan bijaksana. Siap bapak bismillah. Terima kasih untuk artikel indah ini. Salam dari Pujon.
ReplyDeleteSiap, B Anis. Semoga tetap berkreasi.
DeleteBismillaah
ReplyDeleteMerenung sbg upaya utk bermuhasabah diri menuju hidup yg lebih baik. Jazakallah khairan katsir
Benar sekali, muhasabah diri.
DeleteMakasih banyak.
Bismillaah
ReplyDeleteMerenung sbg upaya utk bermuhasabah diri menuju hidup yg lebih baik. Jazakallah khairan katsir
Aamiin, barakallah.
DeleteTulisan renyah di pagi Minggu yang hening. Merenung, mencari makna. Aktivitas yang lazim dilakukan ketika ide akan dilahirkan dalam bentuk tulisan. Tetapi ternyata, dengan perenungan filosofi mampu membuat manusia menjadi lebih bijaksana. Terima kasih, Pak Dosen.
ReplyDeleteBegitulah, seharusnya kita lebih banyak waktu untuk memanfaatkan momen filosofis
DeleteBerharap hasil perenungan itu membawa pencerahan untuk penulis dan pembaca
ReplyDeleteAamiin, matur nuwun sanget, Bu hajjah. Saling mendoakan nggih.
Delete