Oleh MUCH.
KHOIRI
SIAPA bilang setiap orang di negeri ini berbakat
menjadi seorang penyair? Siapa yang akan percaya, jika ada, pernyataan yang berlebihan semacam
itu? Mana buktinya?
Buktikan dengan strategi berikut: Buatlah lomba menulis
puisi pada tiap-tiap sekolah, universitas, lembaga, komunitas, dan sebagainya
di seluruh Indonesia---dengan hadiah utama 10 mobil mewah, dan ratusan hadiah
semi utama semisal mobil pribadi tak mewah, atau jutaan hadiah hiburan semisal
ponsel seharga dua jutaan.
Sosialisasi lomba jangan tanggung-tanggung. Ia harus
bisa masuk ke seluruh lapisan sosial masyarakat kita--bahkan sampai Talaud,
Aceh Singkil, dan ujung Papua sana. Libatkan sponsor yang banyak untuk membakar
"kompor kreatif" masyarakat. Jika perlu, kegiatan nasional ini
digelar dengan melibatkan dinas-dinas lintas kementerian. O ya,
perusahan-perusahaan IT dan jejaring internet, perlu digandeng. Tentu,
agar acara fenomenal dan masuk MURI atau
The Guinness Book of Records.
Maka, saksikanlah. Begitu pendaftaran dibuka, akan
berjubel orang mendaftarkan diri sebagai peserta lomba menulis puisi. Website
panitia bisa ngadat oleh arus pendaftar yang amat padat. Sementara itu, yang
daftar darat, bisa melebihi jumlah pendaftar audisi New AFI 2013, yang begitu
gila-gilaan, di beberapa kota besar. Setidaknya, ada hasrat utk mendaftarkan
diri—bagaimana pun caranya—untuk ikut lomba menulis puisi tersebut.
Dengan lomba puisi yang berhadiah menggiurkan begitu,
orang "mendadak dangdut", eh, "mendadak jadi penyair".
Tiba-tiba bakatnya bangkit dan menggelora, karena terpancing hadiah mobil atau
ponsel jutaan rupiah. Orang tiba-tiba bisa meromantis, belajar
memilih-milih diksi, atau mematut-matut gayanya dalam membaca
"puisi"-nya. Singkatnya, orang mendadak menjadi
"penyair"--pokoknya penyair, apapun genre puisinya.
Tentu saja, panitia harus bekerja superkeras untuk
memilih puisi yang layak dari tumpukan puisi yang menggunung. Dan, tentu saja,
puisi yang terpilih adalah puisi yang terbaik, dan memang layak mendapat
hadiah. Sisanya disimpan saja di almari arsip—atau malah dibuang saja ke bak
mobil sampah.
Sama dengan peserta audisi New AFI 2013, peserta lomba
puisi juga merasa berbakat jadi penyair. Dan tidak salah, setiap orang punya
bakat untuk melakukan setiap kegiatan—tak peduli seberapa kadar bakatnya.
Mereka mengandalkan bakat, untuk mengikuti lomba, dengan harapan untuk
memboyong hadiah. Dalam setiap lomba, pede itu penting; bakat harus dianggap
top (menurut ukuran sendiri). Peserta lomba menulis puisi juga wajib (merasa)
berbakat.
Namun, dewan juri pastilah tahu, mana puisi yang
ditulis oleh peserta yang (1) berbakat besar dan banyak berlatih, (2) berbakat
tapi kurang berlatih, (3) berbakat kecil dan kurang berlatih. Jurinya pastilah
pakar dalam dunia puisi, dan juga mengenali bakat orang dalam menulis puisi.
Mustahil dewan juri hanya memberi komentar-komentar, tanpa memahami kualitas
puisi.
Di mata juri tiga kelompok peserta lomba itu semuanya
berbakat jadi penyair, namun kapasitas bakatnya dan intensitas latihannya
berlainan. Dan inilah kuncinya: Ada bakat besar, ada juga banyak latihan. Memang,
semua peserta berbakat, tapi hanya amat sedikit yang memupuknya terus-menerus
dengan serangkaian latihan.
Memang hadiah bisa jadi katalisator bagi bangkitnya
(kembali) bakat seseorang. Ia bisa menjadi iming-iming atau stimulan yang
ampuh. Dan ini terjadi di masyarakat yang terhegemoni oleh gebyar budaya massa
dan pertarungan kuasa ekonomi. Sebagai masyarakat "fantasia maniac",
kita suka kesengsem kalau ada lomba berhadiah. Tujuan akhirnya bukanlah lomba
itu sendiri, melainkan hanya hadiah yang diperebutkan.
Jadi, kembali ke pertanyaan awal, “Siapa
bilang setiap orang di negeri ini berbakat menjadi seorang penyair?” Belum bisa
dipastikan. Harus diuji dengan penyelenggaraan lomba baca puisi tingkat
nasional, yang pesertanya meliputi seluruh atau sebagian besar masyarakat
Indonesia. Kata “setiap” identik dengan “seluruh—dan karena itu perlu diteliti
dengan sebenarnya.
Meski demikian, saya pernah menggelar lomba menulis puisi dan cerpen di
kampus—dengan tahun pelaksanaan berbeda. Dengan hadiah utama sekitar 2,5 juta
rupiah saja, pesertanya sudah ratusan mahasiswa. Ternyata, mereka menyimpan
bakat menulis puisi atau cerpen. Ketika bakat itu dipancing stimulan tertentu,
dalam hal ini, iming-iming hadiah, maka bangkitlah bakat terpendamnya.
Namun, apa gunanya bakat jika tidak dipupuk dan selalu dikembangkan?
Lebih baik, bakat pas-pasan saja, tapi latihannya terus-menerus tanpa lelah dan
mengeluh. Bakat dikembangkan dengan harga perjuangan latihan yang besar. Jika
ada orang mengaku berbakat menjadi penyair, namun dia tak pernah mau berlatih
menulis puisi, maka semua itu ‘KKC’ (kakehan
cangkem) alias omong kosong belaka.
Singkatnya, siapapun bisa dianggap berbakat atau menganggap diri
berbakat menjadi penyair; namun penentu hasilnya tetap seberapa bakat itu
dilatih dan dikembangkan. Emas atau berlian akan
tampak kinclongnya berkat olahan dan gosokannya. Semua berbakat jadi penyair,
namun itu bergantung juga pada proses latihannya.[]
*Much.
Khoiri adalah penggerak literasi, editor, trainer, dan penulis 42 buku dari
Unesa Surabaya. Artikel ini pendapat pribadi.
No comments:
Post a Comment
Terima kasih banyak atas apresiasi dan krisannya. Semoga sehat selalu.