Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Saturday, March 28, 2020

SETIAP ORANG BERBAKAT PENYAIR


Oleh MUCH. KHOIRI


SIAPA bilang setiap orang di negeri ini berbakat menjadi seorang penyair? Siapa yang akan percaya, jika ada, pernyataan yang berlebihan semacam itu? Mana buktinya?

Buktikan dengan strategi berikut: Buatlah lomba menulis puisi pada tiap-tiap sekolah, universitas, lembaga, komunitas, dan sebagainya di seluruh Indonesia---dengan hadiah utama 10 mobil mewah, dan ratusan hadiah semi utama semisal mobil pribadi tak mewah, atau jutaan hadiah hiburan semisal ponsel seharga dua jutaan.

Sosialisasi lomba jangan tanggung-tanggung. Ia harus bisa masuk ke seluruh lapisan sosial masyarakat kita--bahkan sampai Talaud, Aceh Singkil, dan ujung Papua sana. Libatkan sponsor yang banyak untuk membakar "kompor kreatif" masyarakat. Jika perlu, kegiatan nasional ini digelar dengan melibatkan dinas-dinas lintas kementerian. O ya, perusahan-perusahaan IT dan jejaring internet, perlu digandeng. Tentu, agar  acara fenomenal dan masuk MURI atau The Guinness Book of Records.

Maka, saksikanlah. Begitu pendaftaran dibuka, akan berjubel orang mendaftarkan diri sebagai peserta lomba menulis puisi. Website panitia bisa ngadat oleh arus pendaftar yang amat padat. Sementara itu, yang daftar darat, bisa melebihi jumlah pendaftar audisi New AFI 2013, yang begitu gila-gilaan, di beberapa kota besar. Setidaknya, ada hasrat utk mendaftarkan diri—bagaimana pun caranya—untuk ikut lomba menulis puisi tersebut.

Dengan lomba puisi yang berhadiah menggiurkan begitu, orang "mendadak dangdut", eh, "mendadak jadi penyair". Tiba-tiba bakatnya bangkit dan menggelora, karena terpancing hadiah mobil atau ponsel jutaan rupiah. Orang tiba-tiba bisa meromantis, belajar memilih-milih  diksi, atau mematut-matut gayanya dalam membaca "puisi"-nya. Singkatnya, orang mendadak menjadi "penyair"--pokoknya penyair, apapun genre puisinya.

Tentu saja, panitia harus bekerja superkeras untuk memilih puisi yang layak dari tumpukan puisi yang menggunung. Dan, tentu saja, puisi yang terpilih adalah puisi yang terbaik, dan memang layak mendapat hadiah. Sisanya disimpan saja di almari arsip—atau malah dibuang saja ke bak mobil sampah.

Sama dengan peserta audisi New AFI 2013, peserta lomba puisi juga merasa berbakat jadi penyair. Dan tidak salah, setiap orang punya bakat untuk melakukan setiap kegiatan—tak peduli seberapa kadar bakatnya. Mereka mengandalkan bakat, untuk mengikuti lomba, dengan harapan untuk memboyong hadiah. Dalam setiap lomba, pede itu penting; bakat harus dianggap top (menurut ukuran sendiri). Peserta lomba menulis puisi juga wajib (merasa) berbakat.

Namun, dewan juri pastilah tahu, mana puisi yang ditulis oleh peserta yang (1) berbakat besar dan banyak berlatih, (2) berbakat tapi kurang berlatih, (3) berbakat kecil dan kurang berlatih. Jurinya pastilah pakar dalam dunia puisi, dan juga mengenali bakat orang dalam menulis puisi. Mustahil dewan juri hanya memberi komentar-komentar, tanpa memahami kualitas puisi.

Di mata juri tiga kelompok peserta lomba itu semuanya berbakat jadi penyair, namun kapasitas bakatnya dan intensitas latihannya berlainan. Dan inilah kuncinya: Ada bakat besar, ada juga banyak latihan. Memang, semua peserta berbakat, tapi hanya amat sedikit yang memupuknya terus-menerus dengan serangkaian latihan.

Memang hadiah bisa jadi katalisator bagi bangkitnya (kembali) bakat seseorang. Ia bisa menjadi iming-iming atau stimulan yang ampuh. Dan ini terjadi di masyarakat yang terhegemoni oleh gebyar budaya massa dan pertarungan kuasa ekonomi. Sebagai masyarakat "fantasia maniac", kita suka kesengsem kalau ada lomba berhadiah. Tujuan akhirnya bukanlah lomba itu sendiri, melainkan hanya hadiah yang diperebutkan.

Jadi, kembali ke pertanyaan awal, “Siapa bilang setiap orang di negeri ini berbakat menjadi seorang penyair?” Belum bisa dipastikan. Harus diuji dengan penyelenggaraan lomba baca puisi tingkat nasional, yang pesertanya meliputi seluruh atau sebagian besar masyarakat Indonesia. Kata “setiap” identik dengan “seluruh—dan karena itu perlu diteliti dengan sebenarnya.

Meski demikian, saya pernah menggelar lomba menulis puisi dan cerpen di kampus—dengan tahun pelaksanaan berbeda. Dengan hadiah utama sekitar 2,5 juta rupiah saja, pesertanya sudah ratusan mahasiswa. Ternyata, mereka menyimpan bakat menulis puisi atau cerpen. Ketika bakat itu dipancing stimulan tertentu, dalam hal ini, iming-iming hadiah, maka bangkitlah bakat terpendamnya.

Namun, apa gunanya bakat jika tidak dipupuk dan selalu dikembangkan? Lebih baik, bakat pas-pasan saja, tapi latihannya terus-menerus tanpa lelah dan mengeluh. Bakat dikembangkan dengan harga perjuangan latihan yang besar. Jika ada orang mengaku berbakat menjadi penyair, namun dia tak pernah mau berlatih menulis puisi, maka semua itu ‘KKC’ (kakehan cangkem) alias omong kosong belaka.

Singkatnya, siapapun bisa dianggap berbakat atau menganggap diri berbakat menjadi penyair; namun penentu hasilnya tetap seberapa bakat itu dilatih dan dikembangkan. Emas atau berlian akan tampak kinclongnya berkat olahan dan gosokannya. Semua berbakat jadi penyair, namun itu bergantung juga pada proses latihannya.[]

*Much. Khoiri adalah penggerak literasi, editor, trainer, dan penulis 42 buku dari Unesa Surabaya. Artikel ini pendapat pribadi.

No comments:

Post a Comment

Terima kasih banyak atas apresiasi dan krisannya. Semoga sehat selalu.

Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts