Oleh Much. Khoiri
DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, Pak Dosen tiba-tiba berujar: “Dulur-dulur, bahasa menunjukkan bangsa, ucapan menunjukkan pengucapnya, tulisan menunjukkan penulisnya! Menunjukkan di sini tidak berarti merujuk sepenuhnya, melainkan dapat memberikan sumber penafsiran dan pemaknaan yang memadai. Sebagai sistem tanda, tulisan—sebagaimana bahasa dan ucapan—adalah pintu untuk memahami siapa yang memproduksinya.”
Seperti biasa, meski tempatnya berpindah-pindah sesuai kesepakatan, cangkrukan harus ditemani dengan gorengan, kopi, dan teh. Kali ini bukan pisang goreng yang disuguhkan, melainkan ketela pohon goreng. Kopinya tetap, ginasthel, legi panas kenthel (manis panas dan kental). Tehnya tetap teh Mesir dan teh Aceh.
Sambil menyeruput teh Mesir, Dulgemuk menyela: “Pak Dosen, berarti suatu tulisan menunjukkan pikiran penulisnya ya? Apakah penulisnya pintar, bijaksana, sedih, bahagia, romantic, dan sebagainya—bisa dicermati dari tulisan-tulisannya, begitu ya?
Sumber gambar: Dokumen Pribadi |
Pak Dosen baru saja memuji mantapnya teh Mesir buatan
Dulgemuk. Dia kemudian menimpalinya: “Benar sekali, Cak Dul. Tulisan
menunjukkan kualitas berpikir
penulisnya. Dalam buku Language and Mind, Noam Chomsky membahas hubungan erat antara
bahasa dan pikiran. Sederhananya, penggunaan bahasa seseorang menunjukkan
pikirannya—baik isi maupun polanya.
“Dengan bahasa yang digunakan, pembaca bisa mengetahui apakah penulis memiliki kekayaan ide. Dalam memberikan alasan suatu kejadian, misalnya, penulis yang kaya ide akan menawarkan alasan yang lebih banyak dan meyakinkan—sebagai berkah dari luasnya wawasan yang dimilikinya. Dalam memberikan contoh juga demikian, penulis yang hebat tentu menyediakan contoh yang memadai.
“Sementara itu, penulis yang miskin ide—mungkin akibat kurangnya melahap bacaan—tidak cukup argumen dan elaborasi ketika menjelaskan suatu alasan atas kejadian tertentu. Dalam banyak kasus, penulis demikian menulis hanya sekadar menulis, hanya untuk memenuhi target menulisnya tanpa kedalaman dan keluasan pembahasan. Dalam banyak kasus, tulisan dari penulis semacam ini ‘cethek’ alias dangkal.”
Yu Tun: “Saya sering menemukan tulisan, judulnya kayak gagah, ternyata isinya cuma pengumuman. Isinya ga ada apa-apanya. Maaf loh ya.” Kemudian, Yu Tun menunjukkan tulisan-tulisan dari blog yang dibukanya sejak tadi.
Tacik: “Betul, Yu Tun. Aku juga sering lihat begitu. Bagaimana itu, Pak Dosen?” Dia juga menunjukkan tulisan yang sejenis, oleh penulis lain.
Dulgemuk menyela: “Tulisan yang baik harus dipuji, tulisan yang kurang baik ya bisa dikritik. Begitu kan, Pak Dosen?”
Pak Dosen: “Ya perlu diingatkan dengan cara halus, agar tidak tersinggung. Jika tidak ngreken, ya bisa diberi kritikan lewat tulisan. Itu kan demi si penulis itu sendiri. Tapi jika diingatkan dan dikritik tidak legawa, ya sudah, biarkan saja.”
“E-Ge-Pe.” Mereka kompak berteriak. E-ge-pe adalah singktan dari ‘emang gue pikirin’. Maksudnya, tak perlu dirisaukan, itu menjadi urusan dan tanggungjawab penulis bersangkutan. Angin petang berembus. Mereka merapatkan jaket. Gorengan dan minuman panas terasa pas sebagai teman cangkrukan.
Lalu Pak Dosen melanjutkan: “Selain itu, tulisan menunjukkan pola pikir penulisnya. Mulai memilih diksi dan membuat kalimat, itu sudah menunjukkan bukti apakah penulis dapat menata pikirannya dengan baik. Hubungan subjek-predikat kalimatnya jelas atau tidak, itu pertanda bagaimana tertib-tidaknya dia berpikir. Penulis yang baik akan memilih diksi dengan tepat, dan menyusun kalimatnya dengan baik dan benar.
“Penulis yang baik akan mengawal hubungan antar kalimat di dalam paragraf, serta hubungan antar paragraf di dalam tulisan panjangnya. Apakah hubungan itu menjelaskan, mengelaborasi, memberikan contoh, atau mengevaluasi, tampak jelas dalam tulisan. Penulis biasnya menggunakan kata hubung tertentu—misalnya: pertama, kedua, misalnya, dengan demikian, akhirnya, dan sebagainya.”
Dulremek: “Berarti jika tulisannya mbulet, penulisnya mbulet juga ya berpikirnya?”
Pak Dosen: “Lebih kurang begitu. Jika ada tulisan yang tertib dan enak dibaca, itu pertanda pola pikir penulisnya ya tertib, runtut, dan sistematis. Merekalah “kekasih” para editor di penerbitan, sebab editor tidak terlalu menghabiskan tenaga dan pikiran dalam menunaikan tugas editing. Sebaliknya, jika tulisan yang dihadapi bertele-tele dan tidak jelas subjek-predikatnya (run-on sentences), itu pertanda penulisnya bukan orang yang tertib dalam berpikir. Penulis mbulet semacam ini bisa membuat editor menghabiskan segenggam obat sakit kepala.”
Dulkrempeng: “Apakah tulisan juga dapat menunjukkan suasana hati dan sikap penulisnya, Pak Dosen?” Dia kelihatan penasaran. “Kalau orang pidato sukanya mencaci-maki, itu saya maknai bahwa dia sedang benci pada apa atau siapa yang dicaci-maki.”
Pak Dosen: “Betul sekali. Tulisan menunjukkan suasana dan sikap penulis. Pemilihan diksi yang digunakan adalah bukti bagaimana suasana hati dan sikapnya. Jika penulis itu seorang pendukung Manchester United, dan jika MU menang dua skor atas Real Madrid, misalnya, maka dia akan menulis begini: “MU menggilas RM 2-0”, “Gawang RM Jebol 2 oleh MU”, “RM Kiamat, Dilumat MU 2-0”. Diksi menggilas, jebol, dilumat menunjukkan fanatisme si penulis.
“Sebaliknya, ketika MU kalah 0-1 misalnya, dia akan menulis: “Sayang, MU Kalah Tipis dari MR”, “MU: 0-1 Kekalahan Kecil”, atau “Kalah 0-1, MU Belum Kiamat”. Diksi-diksi kalah tipis, kekalahan kecil, belum kiamat itu juga menunjukkan fanatisme, bahkan empati, penulisnya. Dia terkesan halus tatkala MU mengalami kekalahan. Dia memihak dan membela MU dengan segenap hatinya, sehingga pemilihan diksinya halus.”
Dulgemuk dan para jamaah Sinau Urip manggut-manggut. Selain Dulgemuk, Ning Tini adalah anggota jamaah yang suka menulis. Perbincangan dalam cangkrukan ini tak luput dari rekaman mereka. Selebihnya, masih mulai membiasakan membaca dan menulis resume.
Sejurus kemudian Pak Dosen memandangi mereka satu-persatu,
lalu berujar dengan suara mantap: “Untuk membuktikan tesis yang terwakili oleh
judul tulisan ini, ayo kita (kembali) buku-buku Soekarno, Hamka, Pramoedya
Ananta Toer, Budi Darma, atau buku-buku dari penulis favorit kita
masing-masing. Lalu, ayo buktikan bersama benar-tidaknya tesis ‘Tulisan
menunjukkan penulisnya’”.[]
Kabede Gresik, 28/01/2021
*Much. Khoiri adalah
dosen Sastra/Kajian Budaya/Creative Writing, penggerak literasi, blogger, dan
penulis buku dari Jalindo dan Unesa Surabaya. Tulisan ini pendapat pribadi.