Sumber gambar: Dok. Pribadi |
Oleh MUCH. KHOIRI
Di awal tahun 2020 ini saya punya utang menulis buku yang harus saya bayar. Dalam setiap waktu luang saya berniat kuat harus membayarnya. Ini sedang saya tunaikan sekarang, tanpa ditunda-tunda. Mau kapan lagi?
Mengapa utang menulis buku dan mengapa saya harus segera membayarnya? Bukankah ini masih suasana liburan yang sepatutnya waktu diberikan untuk keluarga dan handai taulan?
Utang uang dibayar dengan uang, utang menulis buku harus dibayar dengan menulis buku. Utang pada siapa? Utang pada diri sendiri. Ya, saya berutang menulis dua-tiga buku pada diri sendiri karena tahun 2019 saya tidak sempat merampungkan penulisan dan penerbitan buku pada waktu yang seharusnya. Waktu dan tenaga habis untuk kegiatan kerja (terutama di kehumasan), urusan dengan mitra, dan kebersamaan dengan keluarga.
Memang saya telah berkomitmen menulis setiap hari. Jika sehari saja saya tidak menulis, karena alasan sangat kuat sekali pun, maka itu jadi utang yang harus saya bayar esoknya atau lusanya. Jika 3 hari saya tidak menulis, maka pada hari ke-4 saya harus menulis 4 artikel sekaligus. Begitu seterusnya. Maka, karena tahun 2019 saya mentargetkan menerbitkan dua-tiga buku, dan itu tidak terlaksana, maka itulah utang yang harus saya bayar.
Sungguh, tahun 2019, saya tidak bisa menerbitkan buku karena saya bertugas di kehumasan, sebuah tugas yang sangat menyita waktu, perhatian, energi. Akibatnya, saya hampir "meliburkan" diri dari profesi tambahan saya sebagai penulis—kecuali tugas-tugas penulis (buku) yang memang terkait dengan tugas kedinasan.
Di awal tahun 2020 ini saya punya utang menulis buku yang harus saya bayar. Dalam setiap waktu luang saya berniat kuat harus membayarnya. Ini sedang saya tunaikan sekarang, tanpa ditunda-tunda. Mau kapan lagi?
Mengapa utang menulis buku dan mengapa saya harus segera membayarnya? Bukankah ini masih suasana liburan yang sepatutnya waktu diberikan untuk keluarga dan handai taulan?
Utang uang dibayar dengan uang, utang menulis buku harus dibayar dengan menulis buku. Utang pada siapa? Utang pada diri sendiri. Ya, saya berutang menulis dua-tiga buku pada diri sendiri karena tahun 2019 saya tidak sempat merampungkan penulisan dan penerbitan buku pada waktu yang seharusnya. Waktu dan tenaga habis untuk kegiatan kerja (terutama di kehumasan), urusan dengan mitra, dan kebersamaan dengan keluarga.
Memang saya telah berkomitmen menulis setiap hari. Jika sehari saja saya tidak menulis, karena alasan sangat kuat sekali pun, maka itu jadi utang yang harus saya bayar esoknya atau lusanya. Jika 3 hari saya tidak menulis, maka pada hari ke-4 saya harus menulis 4 artikel sekaligus. Begitu seterusnya. Maka, karena tahun 2019 saya mentargetkan menerbitkan dua-tiga buku, dan itu tidak terlaksana, maka itulah utang yang harus saya bayar.
Sungguh, tahun 2019, saya tidak bisa menerbitkan buku karena saya bertugas di kehumasan, sebuah tugas yang sangat menyita waktu, perhatian, energi. Akibatnya, saya hampir "meliburkan" diri dari profesi tambahan saya sebagai penulis—kecuali tugas-tugas penulis (buku) yang memang terkait dengan tugas kedinasan.
Memang,
tahun 2019 itu saya memimpin tim untuk menulis buku Inilah Unesa 2019 (2019) dan Harapan
Mahasiswa untuk Unesa (2019), namun itu bukan buku mandiri saya. Saya juga mengeditori buku empat guru,
yakni Endang Suasaningdyah dengan buku Berani
Menulis Artikel PTK (2019), Mas’ulah Merajut
Hari Mengukir Mimpi (Mas’ulah, 2019), Yulistyawati Selaksa Asa Menjadi Nyata (2019), dan Wiwik Yulianti Jejak Memimpin Basalok (2020). Namun,
sekali lagi, itu bukan buku karya saya.
Maka, tahun 2020 saya punya utang dua-tiga buah judul buku. Yang sekarang sedang proses penyusunan adalah buku Praktik Literasi Guru Penulis Bojonegoro, yang dijadwalkan akan terbit bulan Februari 2020. Lalu, saya merancang buku untuk hadiah ulangtahun saya, yakni buku Virus Emcho Melintas Batas Ruang Waktu dan SOS [Sapa Ora Sibuk]: Menulis dalam Kesibukan, edisi Revisi—keduanya terbit Maret 2020. Setelah itu, barulah saya akan menulis calon buku yang lain.
Di samping itu, setelah saya cermati, ternyata, saya masih punya utang materi untuk seminar dan pelatihan menulis. Pertama adalah materi dalam seminar “Menulis dan Menerbitkan Buku” di Wisma Guru PGRI Surabaya, tanggal 26 Januari 2020. Kedua, materi untuk bedah buku Membincang Literasi yang akan digelar di SMPN 1 Sidoarjo, tanggal 1 Februari 2020, atas undangan sahabat saya, Dr. Tirto Adi.
Ketiga, saya juga perlu
menyiapkan materi untuk motivasi dan strategi menulis, atas undangan sahabat
Dr. M Arfan Muammar, di Prodi PAI Unmuh Surabaya, tanggal 19 Februari 2020. Keempat, materi untuk workshop
implementasi literasi dalam pembelajaran, di Wisma Guru PGRI Surabaya, tanggal
29 Februari 2020. Dan satu lagi,
materi untuk pelatihan jurnalistik di MAN 2 Mojokerto, tanggal 7 Maret 2020.
Itu belum termasuk kewajiban saya menyetor menulis buku ke website Jalindo atau sejumlah grup menulis, semisal Sahabat Pena Kita (SPK),Asosiasi Guru Menulis (AGM), dan sebagainya. Kesibukan demi kesibukan seakan memenjara saya. Namun, begitulah, hidup memang harus sibuk. Tanpa kesibukan, manusia hanya subjek yang kehilangan makna kontekstualitasnya.
Maka, tidak ada pilihan: saya harus segera membayarnya. Kerja keras dan cerdas. Mengapa harus sekarang? Saya yakin, hari-hari ke depan saya tidaklah kosong alias menganggur, melainkan ditunggu sederet kesibukan yang juga harus dipuaskan, termasuk deretan inspirasi menulis yang juga harus dituangkan. "Sekarang atau tidak sama sekali!" teriak saya dalam hati.
Segala sesuatu ada haknya. Tugas ada haknya, berupa kewajiban untuk menunaikannya. Utang juga ada haknya, berupa kewajiban untuk membayarnya. Maka, saya harus membayar utang menulis buku segera, agar hubungan hak dan kewajiban di sini mencapai keseimbangan. Bukankah hidup ini mesti berada dalam keseimbangan yang purna?
Ini memang masih suasana liburan. Namun, utang tidaklah mengenal liburan atau hari aktif. Utang tetaplah utang pada tataran syar'i. Utang wajib dibayar, termasuk utang pada diri sendiri. Jika tidak terbayar, saya akan menanggung "dosa" yang berat. Maka, tiada pilihan lagi, saya harus memaksa diri untuk membayar utang buku pada diri sendiri ini.
Justru saya terus belajar mendidik diri, bahwa membayar utang pada diri sendiri itu sejatinya lebih berat dari pada menbayar utang pada orang lain. Utang semacam ini sering diabaikan orang, seakan dia tak merasa berutang, padahal utangnya banyak. Mendidik diri membayar utang pada diri sendiri juga harus saya biasakan. Di sana akan ada kenikmatan tersembunyi.
Maka, bismillah, Ya Allah, saya memohon limpahan kekuatan dan ilmu untuk membayar utang-utang menulis buku saya. Saya juga mohon Allah memudahkan saya dalam urusan ini dalam rangka menjariyahkan sedikit ilmu dan kebaikan yang (Insyaallah) pahala-Mu mengalir setiap waktu.*
Gresik, 2 Januari 2020
#Trainer, editor, penulis 42 buku
#Blog-1: muchkhoiriunesa.blogspot.com
#Blog-2: muchkhoiri.gurusiana.id
#Web-1: jalindo.net
#Web-2: sahabatpenakita.id
#FB: much.khoiri.90
#IG-1: @much.khoiri
#IG-2: @emcho_bookstore
Saya juga harus memenuhi janji untuk punya buku lagi di tahun 2020
ReplyDeleteMatur nuwun, b hajjah. Semangat selalu
DeleteSaya juga bayar utang nulis pak Dosen, wlw sehari hanya 2 atau 3 paragraf...
ReplyDeleteB Husnul, yang penting istikomah. sehat selalu
Delete