Sumber gambar: Dok. Pribadi |
Oleh MUCH. KHOIRI
Untuk
memahami konsep praktik literasi, perlu kiranya kita menelisik dua konsep
penting dalam New Literacy Studies
(NLS) yang melihat literasi sebagai bagian dari praktik sosial secara luas. Dua
konsep itu adalah praktik literasi (literacy
practices) dan peristiwa literasi (literacy
events).
Dalam studi
literasi tentang tiga komunitas di South Carolina, AS, Shirley Heath (1983) (dalam Dewayani dan Retnaningdyah 2017:
10-12), mendefinisikan peristiwa literasi sebagai peristiwa apa pun di mana
bentuk teks menjadi bagian dari interaksi peserta dan pemaknaan teks. Lebih
sederhana lagi, istilah peristiwa literasi bisa dipahami sebagai peristiwa apa
pun — yang bisa diamati — di mana produk tertulis dimungkinkan. Sementara itu,
praktik literasi tidak hanya
mencakup peristiwa yang bisa diamati tetapi juga nilai-nilai dan perilaku yang
ditunjukkan oleh orang-orang yang terlibat dalam praktik literasi.
Dalam
kalimat lain, dalam buku Situated Literacies, Barton, Hamilton &
Ivanic (2000)
menyatakan, praktik-praktik literasi adalah sebarang kegiatan yang dilakukan
oleh orang-orang dalam kaitannya dengan literasi. Praktik-praktik literasi bisa
diasumsikan sebagai sesuatu yang abstrak karena mereka mencakup "nilai,
sikap, perasaan, dan relasi sosial." Sementara itu, peristiwa literasi adalah komponen-kompomen praktik sosial yang bisa
dilihat dan diamati.
Dalam pengertian ini, Barton, Hamilton, dan Ivanic (2000) mengusulkan konsepsi penting untuk memahami literasi sebagai praktik sosial: (1) Literasi dimaksudkan sebagai serangkaian praktik sosial yang bisa dilacak dari berbagai peristiwa yang berkaitan dengan teks tertulis; (2) Ada berbagai bentuk literasi dalam berbagai aspek kehidupan; (3) Praktek literasi dibangun melalui institusi sosial dan hubungan kekuasaan. Beberapa praktik literasi lebih dominan dan berpengaruh daripada yang lain; (4) Praktik literasi memiliki tujuan tertentu dan terkait erat dengan tujuan sosial dan praktik budaya secara umum; (5) Literasi terjadi dalam konteks historis; dan (6) Praktik literasi terus berubah, dan bentuk-bentuk baru litrerasi secara teratur diperoleh melalui proses pembelajaran informal dan pembuatan makna.
Berdasarkan konsepsi tersebut, pembelajaran literasi terjadi lebih dekat pada model ideologis literasi daripada model literasi otonom. Street (1995) mengusulkan "model otonom" dan "model ideologis" literasi. Model otonom mengasumsikan literasi sebagai pengembangan kognitif: keterampilan atau seperangkat keterampilan yang dikembangkan oleh seorang individu, terlepas dari konteks sosial. Sementara itu, model ideologis adalah literasi kritis yang berakar pada agensi sosial yang melihat individu sebagai tertanam erat dalam konteks sosial dan budaya di mana praktik literasi memiliki makna (Lotherington 2007).
Pertanyaannya, apakah praktik literasi dan pembelajaran literasi juga terjadi di negeri ini, serta mengacu pada konsepsi di atas? Literasi dewasa ini dipahami bukan hanya kemampuan melek aksara, melainkan lebih jauh lagi, termasuk melek informasi dan melek hidup. Literasi bukan hanya dipelajari, melainkan juga harus dipraktikkan. Sejak gerakan literasi nasional (GLN) dideklarasikan tahun 2016, ada tiga ranah gerakan literasi yang dijalankan, yakni gerakan literasi sekolah (GLS), gerakan literasi keluarga (GLK), gerakan literasi masyarakat (GLM).
Dalam
praktiknya, gerakan literasi sekolah (GLS)
dilaksanakan dengan mengintegrasikannya dengan kegiatan kurikuler,
kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Pelaksanaannya bisa dilakukan di dalam kelas
atau di luar kelas yang didukung oleh orang tua dan masyarakat.
Gerakan
literasi keluarga (GLK) dilaksanakan dalam bentuk penyediaan bahan bacaan
keluarga, penguatan pemahaman tentang pentingnya literasi bagi keluarga, dan
pelaksanaan kegiatan literasi bersama keluarga. Semua anggota keluarga bisa
saling memberikan tauladan dalam melakukan literasi di dalam keluarga dengan
berbagai macam variasi kegiatan.
Gerakan
literasi masyarakat (GLM) dilaksanakan dalam bentuk penyediaan bahan bacaan
yang beragam di ruang publik, penguatan fasilitator literasi masyarakat,
perluasan akses terhadap sumber belajar, dan perluasan pelibatan publik dalam
berbagai bentuk kegiatan literasi. (Retnaningdyah et.al. 2016).
Di beberapa daerah di negeri ini gerakan literasi
dalam tiga ranah tersebut telah dilaksanakan dengan intensitas masing-masing.
Ada daerah yang baru melaksanakan gerakan literasi sekolah, namun ada juga
daerah yang telah mulai menjalankan ketiga ranah tersebut dengan baik. Surabaya
termasuk salah satu kota yang telah menjadi pionir dalam menjalankan gerakan
literasi tiga ranah itu.
Dengan demikian, guru, orangtua, dan masyarakat
terlibat, langsung atau tidak langsung, dalam praktik dan pembelajaran
literasi--tentu dengan model yang berbeda. Dalam ranah keluarga dan masyarakat,
model ideologis amat boleh jadi lebih dominan ketimbang ranah sekolah. Pembelajaran
literasi ranah sekolah cenderung bermodel onotom, yakni lebih mengedepankan pengembangan
kognitif
siswa: keterampilan atau seperangkat keterampilan yang
dikembangkan oleh siswa, cenderung terlepas dari
konteks sosial;
meski dalam praktiknya, kegiatan-kegiatan "sosial" juga dilibatkan.
Karena pelaksanaan gerakan literasi
nasional sangat beragam antara daerah satu dan daerah lain, beragam pulalah
pengalaman para penggiat literasi (termasuk guru) dalam mengemban tugas
literasi mereka. Menariknya, ada penggiat literasi yang memiliki kekayaan
pengalaman menggerakkan literasi di sekolah, keluarga, dan
masyarakat--mengingat ada di antara mereka yang juga terlibat langsung di
dalamnya. Yang lebih menarik, ada pula
guru yang peduli untuk mengabadikan pengalaman praktik literasi mereka ke dalam
tulisan.
Buku ini menghimpun tulisan-tulisan
tentang praktik-praktik literasi berdasarkan pemahaman dan pengalaman penulisnya--tentu,
dengan kapasitas dan gaya penulisan masing-masing. Mereka ingin berbagi
praktik-praktik literasi lewat tulisan dengan pembaca. Mereka keluar dari zona
nyaman yang biasanya melenakan sesama teman sejawat mereka. Mereka ingin
berbeda. Tak dimungkiri, lewat tulisan, mereka sedang melakukan konstruksi
identitas mereka sendiri, yakni identitas sebagai penulis. Lengkapnya, mereka
akhirnya bisa menyandang status sebagai "guru penulis".
Barangkali tulisan-tulisan dalam
buku ini hanya merupakan potret lanskap kecil dari hamparan praktik dan
pembelajaran literasi di negeri ini. Di luar sana kiranya masih banyak lanskap
luas yang perlu diabadikan. Ke depan, bahkan, lanskap itu akan makin kaya
dengan beragam tanaman praktik literasi. Yang indah bukan banyaknya lanskap
itu, melainkan itikad kuat para penulis dalam memotretnya. Kata Pramoedya
Ananta Toer, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi
selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Mudah-mudahan praktik-praktik
literasi yang tertuang di dalam buku ini mampu memberikan hikmah dan inspirasi
bagi pembaca sekalian. Bahkan, sangat diharapkan, hikmah dan inspirasi itu
berkembang dan dikembangkan menjadi tulisan-tulisan yang kelak juga menawarkan
hikmah dan inspirasi berantai. Dengan aras demikian, ditulisnya praktik-praktik
literasi ini menemukan makna sesungguhnya.[]
*Artikel
ini adalah prakata editor untuk buku Sri Sugiastuti dkk. berjudul “Pelangi
Praktik Literasi: Antologi Praktik Lterasi 21 Penulis AGM” (Karanganyar, CV
Pupa Media, 2019). Terima kasih disampaikan kepada para penulis buku dan
penerbit.
**Pesan buku, hubungi HP/WA:
081331450689 / 081233838789
#Dosen Unesa,
penggerak literasi#Trainer, editor, penulis 42 buku
#Blog-1: muchkhoiriunesa.blogspot.com
#Blog-2: muchkhoiri.gurusiana.id
#Web-1: jalindo.net
#Web-2: sahabatpenakita.id
#FB: much.khoiri.90
#IG-1: @much.khoiri
#IG-2: @emcho_bookstore
Informatif. Terima kasih Pak Emcho...
ReplyDeleteMakasih Pak CepGa
DeleteAlhamdulillah, diabadikan di blog ini
ReplyDeleteSiap, Bu, makasih banyak
Delete