Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Tuesday, April 21, 2020

Prakata “Write or Die: Jangan Mati sebelum Menulis Buku”

Sumber gambar: Dok. Pribadi

Oleh: Much. Khoiri

Semasa perang para pejuang berteriak, “Merdeka atau Mati!”
Kini, hai pejuang literasi, ayo tekadkan, “Menulis atau Mati!”

SELAMAT DATANG di buku ini, sebuah buku yang bakal mengajak Anda untuk berniat dan bertekad mengamalkan ibadah menulis dengan semboyan “Menulis atau Mati!”, dan pada irisan waktu yang sama Anda juga menunaikan ibadah membaca. Selamat datang di taman pawiyatan literasi membaca dan menulis ini.
Pertama, saya akui bahwa buku ini saya kembangkan dari semboyan menulis yang saya tetapkan pada tahun baru 2014, yakni “Menulis atau Mati!” (write or die!). Di luar sepengetahuan saya, Scott Nicholson juga memberi judul bukunya yang sangat menggugah, ‘Write Good or Die: Survival Tips for the 21st Century”. Nicholson, dalam merampungkan bukunya, pastilah telah menerapkan semboyan yang kemudian mengejawantah menjadi judul buku tersebut. Ada kekuatan tak terkendalikan ketika sebuah semboyan bekerja mempengaruhi dan menguatkan seorang penulis.
Bagi saya sendiri, semboyan “Menulis atau Mati!” saya adaptasi dari semangat semboyan Arek-Arek Surabaya ketika mempertahankan negeri tercinta, yakni Merdeka atau Mati! Pada tahun 1945 perjuangan Arek-Arek Surabaya telah diperkuat dengan semboyan yang diteriakkan bertalu-talu lewat radio oleh Bung Tomo. Dan itu berhasil, tentu dengan izin Tuhan. Maka, semangat ini saya adaptasi menjadi “Menulis atau Mati!”. Dengan semboyan ini, saya berharap mewarisi semangat para pejuang dalam konteks berbeda, bukan dalam mengusir tentara Inggris, melainkan dalam menulis.
Selanjutnya, saya memberikan makna lebih pada semboyan “Menulis atau Mati!” itu, yakni kewajiban menulis. Dalam pemahaman saya terhadap firman Tuhan dalam QS. Al-‘Alaq: 1-5, menulis (uktub) itu sama wajibnya dengan membaca (iqra). Allah-lah yang mengajarkan (menulis) dengan pena. Mengapa wajib? Sebab, kewajiban membaca diperintahkan Tuhan agar manusia membaca sesuatu, yakni qalam. Sementara itu, qalam perlu disediakan dengan menulis (uktub). Meski membaca di sini bermakna luas, bukan sekadar teks tertulis, kehadiran qalam yang tertulis mutlak diperlukan untuk memuaskan pembaca. Maka, saya wajib menulis, sebagaimana saya juga wajib membaca. Sebagai sebuah kewajiban, menulis harus saya tunaikan. Terus terang, saya takut akibat dosa yang harus saya tanggung seandainya saya tidak menulis. Inilah hakikat semboyan yang telah menguatkan saya.
Kedua, marilah kita melihat hubungan tak terpisahkan antara membaca dan menulis. Keduanya merupakan unsur keterampilan literasi yang memengaruhi satu sama lain. Membaca itu keterampilan reseptif, dan menulis itu keterampilan produktif. Produk kegiatan menulis menjadi bahan untuk dibaca; dan hasil bacaan memungkinkan orang untuk menulis. Maka, kehadiran salah satu unsur mewajibkan kehadiran unsur yang lain.
Orang membaca karena ada sesuatu yang dibaca. Sesuatu yang dibaca itu adalah naskah atau teks yang berupa tulisan—berarti sesuatu yang telah ditulis. Kita diperintahkan membaca Kitab Suci, karena Kitab itu telah ditulis sebelumnya; dan membaca pun harus atas nama Tuhan. Dalam pengertian yang sederhana ini saja terbukti bahwa hubungan membaca dan menulis sangatlah dekat dan tak terpisahkan.
Jika ada perlambang bahwa manusia diperintahkan untuk “membaca ayat-ayat Tuhan yang tak tertulis”—berupa berbagai kondisi alam dan fenomena yang terjadi di sekeliling kita setiap hari—, kita juga bisa berdiri dalam posisi perlambang. Sangat boleh jadi Tuhan sengaja “menulis ayat-ayat-Nya” pada lembar-lembar hidup dan kehidupan manusia untuk dibaca dan dipelajari demi kemaslahatan. Ayat-ayat tak tertulis yang terhampar di atas bumi ini adalah buku-buku yang mesti kita baca untuk memahami makna dan memetik hikmahnya.
Praktisnya, ada hubungan sebab-akibat antara membaca dan menulis. Jika Anda mau menulis, Anda harus suka membaca, terutama bahan-bahan bacaan tentang apa yang akan Anda tulis. Jika Anda menulis tanpa membaca secara memadai, tulisan Anda akan miskin gagasan, data, dan informasi mutakhir.  Jika tulisan Anda miskin gagasan, data dan informasi mutakhir, Anda dipastikan tidak akan digemari (dan dirindukan) pembaca karena tulisan Anda kering, kaku, dan monoton.
Sejenak bukalah fakta menyedihkan tentang minat baca masyarakat kita yang rendah. Menurut Djaelani (2012), Human Development Report 2008/2009 menunjukkan, minat baca masyarakat Indonesia berada pada peringkat 96 dari negara di seluruh dunia. Kondisi ini sejajar dengan Bahrain, Malta, dan Suriname. Pada medio 2009 ada berita berdasarkan data yang dilansir Organisasi Pengembangan Kerja sama Ekonomi (OECD) bahwa budaya baca msyarakat Indonesia menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur.
Dalam buku Sapa Ora Sibuk: Menulis dalam Kesibukan (2016), jujur saya prihatin menyimak hasil tes Program of International Student Assessment (PISA) 2012: Siswa Indonesia menempati ranking 64 dari 65 negara peserta dalam hal reading literacy (comprehension and habit). Sementara, hasil tes Progress of International Reading Literacy Study (PIRLS) 2011 : Ranking 42 dari 45 negara peserta, dengan skor 420 (di bawah standar minimal 500). Karena itu, seribu persen saya mendukung Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang sekarang sedang dijalankan Pemerintah, dengan program awal pentingnya ‘’15 Menit Membaca di Sekolah”.
Saya mengajak Anda untuk menggelorakan kebiasaan membaca, agar ranking di atas bisa diubah secara drastis. Memang perlu perjuangan yang habis-habisan, dan hal itu bukan suatu kemustahilan. Satu-dua dekade silam, Jerman dan Prancis termasuk bangsa yang literasinya sangat tinggi, sekarang posisi itu telah bergeser. Berikut ini urutan 10 negara paling literat di dunia: (1) Finland, (2) Norway, (3) Iceland, (4) Denmark, (5) Sweden, (6) Switzerland, (7) USA, (8) Germany, (9) Latvia, dan (10) Netherlands. Untuk mengejar ranking itu, memang tidak mudah, namun kita harus gigih memperjuangkannya.
Sementara itu, budaya menulis masyarakat kita masih jauh tertinggal dari budaya membaca, dan budaya membaca mereka juga jauh tertinggal dibandingkan masyarakat negeri-negeri maju. Masyarakat kita masih lebih suka sebagai konsumen buku atau tulisan daripada sebagai produsen. Meski seseorang suka membaca, misalnya, dia tidak serta-merta menuliskan (tentang atau terkait dengan) apa yang dibacanya. Maksudnya, budaya menulis belum membuahkan banyak hasil.  
Buktinya, jumlah buku yang dihasilkan sangat sedikit.  Menurut International Publisher Association (IPA) Kanada, Indonesia hanya mampu menerbitkan 5.000 judul/tahun, jauh lebih kecil dibandingkan dengan Jepang 65.000 judul/tahun, Jerman 80.000 judul/tahun, dan Inggris 100.000 judul/tahun. Dari 250.000 sekolah di Indonesia hanya 5% yang memiliki perpustakaan. Dengan kondisi demikian, bagaimana penanaman budaya membaca dapat diharapkan akan menuai keberhasilan?
Padahal, untuk membangun bangsa yang berbudaya menulis, dibutuhkan ribuan atau jutaan penulis. Inilah peluang dan tantangan untuk menjalani kewajiban menulis.  Hanya, untuk menekuninya, kita harus siap mengobarkan semboyan “Menulis atau Mati!”. Semboyan ini akan memberikan kekuatan motivatif kepada kita untuk senantiasa berproses dalam menulis atau mencurahkan segala tenaga, pikiran, dan energi ke dalam menulis. Mengapa semboyan itu pantas kita canangkan? Lalu, apakah sejatinya yang menyebabkan kita memutuskan untuk mencanangkan semboyan itu?
Kata kunci yang menggerakkan kita mencanangkan semboyan “Menulis atau Mati!” adalah impian yang berlandaskan kewajiban menulis. Dalam hal ini istilah “impian” mengacu pada cita-cita (dreams), tujuan hakiki dari suatu gerak hidup kita, atau target utama yang harus dicapai.  Impian tentu tidak identik dengan angan-angan kosong, sekadar keinginan atau harapan (wish). Impian menyimpan kekuatan jauh lebih kuat, dan daya motivatif yang dahsyat.
Ketika kita memiliki impian kuat biasanya impian itu menjadi obsesi, bahwa impian hidup kita haruslah terwujud; sebab jika tidak, kita mungkin tidak akan sanggup menanggung akibatnya.  Ada semacam kewajiban yang harus ditunaikan dalam mengejar impian itu; dan jika tidak menunaikan kewajiban itu kita akan merasa berdosa dan bersalah sepanjang masa.
Dalam sebuah puisinya “Dreams” yang inspiratif dan aspiratif, Langston Hughes, seorang penyair kulit hitam Afrika-Amerika, bertutur berikut ini:
Hold fast to dreams
For if dreams die
Life is a broken-winged bird
That cannot fly

Hold fast to dreams
For when dreams go
Life is a barren field
Frozen with snow

Menurut Hughes, tanpa impian, hidup adalah burung yang patah sayapnya yang tak kuasa terbang melanglang angkasa. Pun tanpa impian, hidup adalah ladang tandus yang membeku bersama salju. Dus, impian haruslah dipegang erat-erat, dirawat dan diwujudkan. Hanya dengan impian kuat, manusia memiliki arah hidup jelas dan selalu terdorong untuk “menghidupkan” hidup dan menjadi manusia sesungguhnya. Kualitas kehidupan yang sempurna dimulai dengan impian besar.
Ketiga, dalam buku ini akan dipaparkan 8 sumber impian yang mendasari kita bersemboyan “Menulis atau Mati!”: menulis sebagai kewajiban, menulis untuk melatih berpikir, menulis untuk penghidupan, menulis untuk perjuangan, menulis untuk personal branding, menulis untuk warisan, menulis untuk berbagi kebaikan, dan menulis membangun peradaban.
Bagaimana cara kerja sumber impian itu dalam diri kita? Menulis sebagai kewajiban, misalnya, menjadi sumber impian yang dahsyat. Selagi ia mengobsesi dalam diri kita, misalnya, ia akan menggerakkan kita menulis setiap saat yang kita inginkan. Jika tidak, kita akan merasa berdosa karena telah mengabaikan kewajiban. Kekuatan menunaikan kewajiban inilah yang mengejawantah menjadi kekuatan dahsyat sumber impian. Analogi yang sama berlaku untuk sumber-sumber impian yang lain.
Secara akumulatif, semboyan “Menulis atau Mati!” akan menjadi kekuatan tersendiri bagi pengamalnya. Menulis itu kewajiban; dan jika tidak ditunaikan, dosalah yang menjadi akibatnya. Ekstrimnya, jika tidak menunaikan kewajiban menulis, itu sama saja dengan memperpanjang daftar kesalahan dan dosa. Daripada menanggung akibat seberat ini, mati itu agaknya lebih terhormat. Maka, jika tidak ingin mati, menulis harus ditunaikan!
Semua itu akan dipaparkan di dalam buku ini. Bahkan, buku ini juga membahas tentang apa yang sebaiknya ditulis, agar tulisan langsung laris dalam pasar gagasan dan menginspirasi pembaca luas. Di sini tren dan kecenderungan selera pembaca dibincangkan. Di dalamnya juga disinggung tentang hakikat menulis sebagai ekspresi dan komunikasi dan sebagai seni. Bahkan, menulis itu hakikatnya menjual.
Pada bagian berikutnya, buku ini membeberkan ulasan khusus tentang keajaiban semboyan “Menulis atau Mati!”, terutama pengalaman penulis dalam menghasilkan buku. Saya berharap Anda memerik buah-buah keajaiban sebagaimana yang pernah saya alami, di antaranya terjaganya semangat dan stamina menulis, meningkatnya produktivitas dan kreativitas, serta terbukanya peluang meniti jalur writerpreneurship.
Lebih dari itu, buku ini akan berusaha menguatkan semangat pembaca untuk bertekad menulis, bahkan dengan persuasi yang mendesak dan menantang: menulis dari kata pertama. Di dalamnya disajikan tentang hakikat dari satu kata topik, ide kebetulan, pengembangan tulisan, sisipan humor dalam tulisan, ungkapan filosofis dalam tulisan, dan ars poetica penulis.
Mengingat menulis itu kewajiban yang begitu penting, guna melengkapi kewajiban membaca, di bagian akhir buku ini ada saran bagi pembaca untuk dilakukan guna meniti jalan menulis. Saran itu berbunyi: Ayo menulis setiap hari. Kemudian, sebagai epilog, ada sebuah catatan penting untuk direnungkan dan dicamkan secara mendalam: Jangan mati sebelum menulis buku.
Nah, sekarang silakan rileks sejenak, dan endapkan pemahaman Anda saat ini betapa pentingnya kewajiban menulis dalam hidup ini. Lalu, silakan endapkan lebih dalam lagi, guna menemukan mutiara semangat untuk menulis sebuah buku Anda sendiri. Setelah itu, silakan Anda mengikuti buku ini dengan membuka pikiran dan hati sebagaimana payung yang terbuka. Mari belajar dan berbagi bersama untuk kebaikan.[] 

Surabaya, 01 April 2017


#Dosen Unesa, penggerak literasi
#Trainer, editor, penulis 42 buku
#Blog-1: muchkhoiriunesa.blogspot.com
#Blog-2: muchkhoiri.gurusiana.id
#Website-1: jalindo.net
#Website-2:  sahabatpenakita.id
#Facebook:  much.khoiri.90
#Instagram-1: @much.khoiri

#Instagram-2: @emcho_bookstore
*Tulisan di atas diambil dari buku Much. Khoiri “Write or Die: Jangan Mati sebelum Menulis Buku” (Pagan Press, Lamongan, 2017), halaman 2-7.
**Pesan buku, hubungi HP/WA: 081331450689 / 081233838789


6 comments:

  1. Buku ini sering saya pakai untuk referensi ketika menulis.Matur nuwun Pak Haji

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih, Bu hajjah Astuti. Sehat selalu, berkarya senantiasa.

      Delete
  2. Mantap surantap. Semangat literasi yang tiada henti.

    ReplyDelete
  3. terimakasih ilmunya
    http://berkaryasenirupa.blogspot.com

    ReplyDelete

Terima kasih banyak atas apresiasi dan krisannya. Semoga sehat selalu.

Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts