Sumber gambar: Dok. Pribadi |
Oleh: Much. Khoiri
Semasa perang para pejuang berteriak, “Merdeka atau
Mati!”
Kini, hai pejuang literasi, ayo tekadkan, “Menulis
atau Mati!”
SELAMAT DATANG di buku ini, sebuah buku yang bakal mengajak
Anda untuk berniat dan bertekad mengamalkan ibadah menulis dengan semboyan
“Menulis atau Mati!”, dan pada irisan waktu yang sama Anda juga menunaikan
ibadah membaca. Selamat datang di taman pawiyatan literasi membaca dan menulis
ini.
Pertama, saya akui bahwa buku
ini saya kembangkan dari semboyan menulis yang saya tetapkan pada tahun baru
2014, yakni “Menulis atau Mati!” (write
or die!). Di luar sepengetahuan saya, Scott Nicholson juga memberi judul
bukunya yang sangat menggugah, ‘Write
Good or Die: Survival Tips for the 21st Century”. Nicholson, dalam
merampungkan bukunya, pastilah telah menerapkan semboyan yang kemudian
mengejawantah menjadi judul buku tersebut. Ada kekuatan tak terkendalikan
ketika sebuah semboyan bekerja mempengaruhi dan menguatkan seorang penulis.
Bagi saya sendiri, semboyan “Menulis
atau Mati!” saya adaptasi dari semangat semboyan Arek-Arek Surabaya ketika
mempertahankan negeri tercinta, yakni Merdeka
atau Mati! Pada tahun 1945 perjuangan Arek-Arek Surabaya telah diperkuat
dengan semboyan yang diteriakkan bertalu-talu lewat radio oleh Bung Tomo. Dan
itu berhasil, tentu dengan izin Tuhan. Maka, semangat ini saya adaptasi menjadi
“Menulis atau Mati!”. Dengan semboyan ini, saya berharap mewarisi semangat para
pejuang dalam konteks berbeda, bukan dalam mengusir tentara Inggris, melainkan
dalam menulis.
Selanjutnya, saya memberikan
makna lebih pada semboyan “Menulis atau Mati!” itu, yakni kewajiban menulis.
Dalam pemahaman saya terhadap firman Tuhan dalam QS. Al-‘Alaq: 1-5, menulis (uktub) itu sama wajibnya dengan membaca
(iqra). Allah-lah yang mengajarkan
(menulis) dengan pena. Mengapa wajib? Sebab, kewajiban membaca diperintahkan
Tuhan agar manusia membaca sesuatu, yakni qalam.
Sementara itu, qalam perlu disediakan
dengan menulis (uktub). Meski membaca
di sini bermakna luas, bukan sekadar teks tertulis, kehadiran qalam yang tertulis mutlak diperlukan
untuk memuaskan pembaca. Maka, saya wajib menulis, sebagaimana saya juga wajib
membaca. Sebagai sebuah kewajiban, menulis harus saya tunaikan. Terus terang,
saya takut akibat dosa yang harus saya tanggung seandainya saya tidak menulis.
Inilah hakikat semboyan yang telah menguatkan saya.
Kedua, marilah kita melihat hubungan tak terpisahkan
antara membaca dan menulis. Keduanya merupakan unsur keterampilan literasi yang
memengaruhi satu sama lain. Membaca itu keterampilan reseptif, dan menulis itu keterampilan
produktif. Produk kegiatan menulis menjadi bahan untuk dibaca; dan hasil bacaan
memungkinkan orang untuk menulis. Maka, kehadiran salah satu unsur mewajibkan
kehadiran unsur yang lain.
Orang membaca karena ada sesuatu yang dibaca. Sesuatu
yang dibaca itu adalah naskah atau teks yang berupa tulisan—berarti sesuatu
yang telah ditulis. Kita diperintahkan membaca Kitab Suci, karena Kitab itu telah
ditulis sebelumnya; dan membaca pun harus atas nama Tuhan. Dalam pengertian
yang sederhana ini saja terbukti bahwa hubungan membaca dan menulis sangatlah
dekat dan tak terpisahkan.
Jika ada perlambang bahwa manusia diperintahkan untuk
“membaca ayat-ayat Tuhan yang tak tertulis”—berupa berbagai kondisi alam dan
fenomena yang terjadi di sekeliling kita setiap hari—, kita juga bisa berdiri
dalam posisi perlambang. Sangat boleh jadi Tuhan sengaja “menulis
ayat-ayat-Nya” pada lembar-lembar hidup dan kehidupan manusia untuk dibaca dan
dipelajari demi kemaslahatan. Ayat-ayat tak tertulis yang terhampar di atas
bumi ini adalah buku-buku yang mesti kita baca untuk memahami makna dan memetik
hikmahnya.
Praktisnya, ada hubungan sebab-akibat antara membaca
dan menulis. Jika Anda mau menulis, Anda harus suka membaca, terutama
bahan-bahan bacaan tentang apa yang akan Anda tulis. Jika Anda menulis tanpa
membaca secara memadai, tulisan Anda akan miskin gagasan, data, dan informasi
mutakhir. Jika tulisan Anda miskin gagasan,
data dan informasi mutakhir, Anda dipastikan tidak akan digemari (dan
dirindukan) pembaca karena tulisan Anda kering, kaku, dan monoton.
Sejenak bukalah fakta menyedihkan tentang minat baca
masyarakat kita yang rendah. Menurut Djaelani (2012), Human Development Report
2008/2009 menunjukkan, minat baca masyarakat Indonesia berada pada peringkat 96
dari negara di seluruh dunia. Kondisi ini sejajar dengan Bahrain, Malta, dan
Suriname. Pada medio 2009 ada berita berdasarkan data yang dilansir Organisasi
Pengembangan Kerja sama Ekonomi (OECD) bahwa budaya baca msyarakat Indonesia
menempati posisi terendah dari 52 negara di kawasan Asia Timur.
Dalam buku Sapa Ora Sibuk: Menulis dalam Kesibukan (2016), jujur saya prihatin
menyimak hasil tes Program of International Student Assessment (PISA) 2012:
Siswa Indonesia menempati ranking 64 dari 65 negara peserta dalam hal reading
literacy (comprehension and habit). Sementara, hasil tes Progress of
International Reading Literacy Study (PIRLS) 2011 : Ranking 42 dari 45 negara
peserta, dengan skor 420 (di bawah standar minimal 500). Karena itu, seribu
persen saya mendukung Gerakan Literasi Sekolah (GLS) yang sekarang sedang
dijalankan Pemerintah, dengan program awal pentingnya ‘’15 Menit Membaca di
Sekolah”.
Saya mengajak Anda untuk
menggelorakan kebiasaan membaca, agar ranking
di atas bisa diubah secara drastis. Memang perlu perjuangan yang habis-habisan,
dan hal itu bukan suatu kemustahilan. Satu-dua dekade silam, Jerman dan Prancis
termasuk bangsa yang literasinya sangat tinggi, sekarang posisi itu telah
bergeser. Berikut ini urutan 10 negara paling literat di dunia: (1) Finland,
(2) Norway, (3) Iceland, (4) Denmark, (5) Sweden, (6) Switzerland, (7) USA, (8)
Germany, (9) Latvia, dan (10) Netherlands. Untuk mengejar ranking itu, memang tidak mudah, namun kita harus gigih
memperjuangkannya.
Sementara itu, budaya menulis masyarakat kita masih
jauh tertinggal dari budaya membaca, dan budaya membaca mereka juga jauh
tertinggal dibandingkan masyarakat negeri-negeri maju. Masyarakat kita masih
lebih suka sebagai konsumen buku atau tulisan daripada sebagai produsen. Meski
seseorang suka membaca, misalnya, dia tidak serta-merta menuliskan (tentang
atau terkait dengan) apa yang dibacanya. Maksudnya, budaya menulis belum
membuahkan banyak hasil.
Buktinya,
jumlah buku yang dihasilkan sangat sedikit.
Menurut International Publisher Association (IPA) Kanada, Indonesia
hanya mampu menerbitkan 5.000 judul/tahun, jauh lebih kecil dibandingkan dengan
Jepang 65.000 judul/tahun, Jerman 80.000 judul/tahun, dan Inggris 100.000
judul/tahun. Dari 250.000 sekolah di Indonesia hanya 5% yang memiliki
perpustakaan. Dengan kondisi demikian, bagaimana penanaman budaya membaca dapat
diharapkan akan menuai keberhasilan?
Padahal, untuk membangun bangsa yang berbudaya
menulis, dibutuhkan ribuan atau jutaan penulis. Inilah peluang dan tantangan untuk
menjalani kewajiban menulis. Hanya,
untuk menekuninya, kita harus siap mengobarkan semboyan “Menulis atau Mati!”.
Semboyan ini akan memberikan kekuatan motivatif kepada kita untuk senantiasa
berproses dalam menulis atau mencurahkan segala tenaga, pikiran, dan energi ke
dalam menulis. Mengapa semboyan itu pantas kita canangkan? Lalu, apakah
sejatinya yang menyebabkan kita memutuskan untuk mencanangkan semboyan itu?
Kata kunci yang menggerakkan kita mencanangkan
semboyan “Menulis atau Mati!” adalah impian yang berlandaskan kewajiban menulis.
Dalam hal ini istilah “impian” mengacu pada cita-cita (dreams), tujuan hakiki dari suatu gerak hidup kita, atau target
utama yang harus dicapai. Impian
tentu tidak identik dengan angan-angan kosong, sekadar keinginan atau harapan (wish). Impian menyimpan kekuatan jauh
lebih kuat, dan daya motivatif yang dahsyat.
Ketika
kita memiliki impian kuat biasanya impian itu menjadi obsesi, bahwa impian
hidup kita haruslah terwujud; sebab jika tidak, kita mungkin tidak akan sanggup
menanggung akibatnya. Ada semacam
kewajiban yang harus ditunaikan dalam mengejar impian itu; dan jika tidak
menunaikan kewajiban itu kita akan merasa berdosa dan bersalah sepanjang masa.
Dalam
sebuah puisinya “Dreams” yang inspiratif dan aspiratif, Langston Hughes,
seorang penyair kulit hitam Afrika-Amerika, bertutur berikut ini:
Hold fast to dreams
For if dreams die
Life is a broken-winged bird
That cannot fly
Hold fast to dreams
For when dreams go
Life is a barren field
Frozen with snow
Menurut
Hughes, tanpa impian, hidup adalah burung yang patah sayapnya yang tak kuasa
terbang melanglang angkasa. Pun tanpa impian, hidup adalah ladang tandus yang
membeku bersama salju. Dus, impian haruslah dipegang erat-erat, dirawat dan
diwujudkan. Hanya dengan impian kuat, manusia memiliki arah hidup jelas dan
selalu terdorong untuk “menghidupkan” hidup dan menjadi manusia sesungguhnya.
Kualitas kehidupan yang sempurna dimulai dengan impian besar.
Ketiga, dalam buku ini akan dipaparkan 8 sumber impian
yang mendasari kita bersemboyan “Menulis atau Mati!”: menulis sebagai
kewajiban, menulis untuk melatih berpikir, menulis untuk penghidupan, menulis untuk
perjuangan, menulis untuk personal
branding, menulis untuk warisan, menulis untuk berbagi kebaikan, dan
menulis membangun peradaban.
Bagaimana cara kerja sumber impian itu dalam diri kita?
Menulis sebagai kewajiban, misalnya, menjadi sumber impian yang dahsyat. Selagi
ia mengobsesi dalam diri kita, misalnya, ia akan menggerakkan kita menulis
setiap saat yang kita inginkan. Jika tidak, kita akan merasa berdosa karena
telah mengabaikan kewajiban. Kekuatan menunaikan kewajiban inilah yang
mengejawantah menjadi kekuatan dahsyat sumber impian. Analogi yang sama berlaku
untuk sumber-sumber impian yang lain.
Secara akumulatif, semboyan “Menulis atau Mati!” akan
menjadi kekuatan tersendiri bagi pengamalnya. Menulis itu kewajiban; dan jika
tidak ditunaikan, dosalah yang menjadi akibatnya. Ekstrimnya, jika tidak
menunaikan kewajiban menulis, itu sama saja dengan memperpanjang daftar
kesalahan dan dosa. Daripada menanggung akibat seberat ini, mati itu agaknya
lebih terhormat. Maka, jika tidak ingin mati, menulis harus ditunaikan!
Semua itu akan dipaparkan di dalam buku ini. Bahkan,
buku ini juga membahas tentang apa yang sebaiknya ditulis, agar tulisan
langsung laris dalam pasar gagasan dan menginspirasi pembaca luas. Di sini tren
dan kecenderungan selera pembaca dibincangkan. Di dalamnya juga disinggung
tentang hakikat menulis sebagai ekspresi dan komunikasi dan sebagai seni.
Bahkan, menulis itu hakikatnya menjual.
Pada bagian berikutnya, buku ini membeberkan ulasan
khusus tentang keajaiban semboyan “Menulis atau Mati!”, terutama pengalaman
penulis dalam menghasilkan buku. Saya berharap Anda memerik buah-buah keajaiban
sebagaimana yang pernah saya alami, di antaranya terjaganya semangat dan
stamina menulis, meningkatnya produktivitas dan kreativitas, serta terbukanya
peluang meniti jalur writerpreneurship.
Lebih dari itu, buku ini akan berusaha menguatkan
semangat pembaca untuk bertekad menulis, bahkan dengan persuasi yang mendesak
dan menantang: menulis dari kata pertama. Di dalamnya disajikan tentang hakikat
dari satu kata topik, ide kebetulan, pengembangan tulisan, sisipan humor dalam
tulisan, ungkapan filosofis dalam tulisan, dan ars poetica penulis.
Mengingat menulis itu kewajiban yang begitu penting,
guna melengkapi kewajiban membaca, di bagian akhir buku ini ada saran bagi
pembaca untuk dilakukan guna meniti jalan menulis. Saran itu berbunyi: Ayo
menulis setiap hari. Kemudian, sebagai epilog, ada sebuah catatan penting untuk
direnungkan dan dicamkan secara mendalam: Jangan mati sebelum menulis buku.
Nah, sekarang silakan rileks sejenak, dan endapkan
pemahaman Anda saat ini betapa pentingnya kewajiban menulis dalam hidup ini. Lalu,
silakan endapkan lebih dalam lagi, guna menemukan mutiara semangat untuk
menulis sebuah buku Anda sendiri. Setelah itu, silakan Anda mengikuti buku ini
dengan membuka pikiran dan hati sebagaimana payung yang terbuka. Mari belajar
dan berbagi bersama untuk kebaikan.[]
Surabaya, 01 April 2017
#Dosen Unesa, penggerak literasi
#Trainer, editor, penulis 42 buku
#Blog-1: muchkhoiriunesa.blogspot.com
#Blog-2: muchkhoiri.gurusiana.id
#Website-1: jalindo.net
#Website-2: sahabatpenakita.id
#Instagram-1: @much.khoiri
#Instagram-2: @emcho_bookstore
*Tulisan
di atas diambil dari buku Much. Khoiri “Write or Die: Jangan Mati sebelum
Menulis Buku” (Pagan Press, Lamongan, 2017), halaman 2-7.
**Pesan buku, hubungi
HP/WA: 081331450689 / 081233838789
Buku ini sering saya pakai untuk referensi ketika menulis.Matur nuwun Pak Haji
ReplyDeleteMakasih, Bu hajjah Astuti. Sehat selalu, berkarya senantiasa.
DeleteMantap surantap. Semangat literasi yang tiada henti.
ReplyDeleteMas doktor, inggih sami2
Deleteterimakasih ilmunya
ReplyDeletehttp://berkaryasenirupa.blogspot.com
Pak Irwanto, sama2
Delete