Lokasi: Sebuah fery di Lousiana, AS Sumber gambar: Dok. Pribadi |
Oleh MUCH.
KHOIRI
PETANG INI saya berselancar mengarungi dunia maya. Saya jelajahi kota-kota besar dunia. Sejenak mata saya terpaku ke kota New York.
Saya pandangi sebuah avenue, Broadway Ave. Itulah yang mempelantingkan saya ke
kenangan masa silam.
Hari itu Sabtu, sebuah petang, pertama 1993. Baru sehari kami para penulis dari berbagai
negara singgah di New York, kota terakhir yang harus dikunjungi dalam rangka International Writing Program. Beberapa hari ke depan kami dijadwalkan bersua
penulis dan penerbit, mengunjungi museum, gedung teater, galeri seni, dan
sebagainya. Hari ini, Sabtu petang pertama 1993, beberapa dari kami ingin melihat-lihat
kota tempat patung Liberty itu.
Dengan tujuan gedung Empire State Building (ESB), delapan
dari kami bergegas mengayun kaki di antara sapuan dingin musim winter. Sejak keluar dari Loewis Hotel
kami sudah kedinginan—seingat saya suhu sekitar 6 derajat, dan kami telah
membeli minum mix coffee di pinggir
taman. Kami harus melewati beberapa road
untuk sampai ke Broadway Avenue. (Avenue
itu ‘ibu’-nya street, dan street itu ‘ibu’-nya road.) Nanti kita tinggal berjalan lurus
sekitar 600 meter, dan gedung pencakar langit itu ada di sisi kiri kami.
Saat menyusuri avenue
itu, kami berjalan berombongan sambil bercakap-cakap apa saja—sedangkan saya
berada paling belakang. Biasa, naluri laki-laki, maunya melindungi. Tujuh
penulis di depan saya adalah perempuan; jadi, saya mengiringi mereka dari
belakang. Sementara itu, salju masih terus turun, sehingga dingin yang menusuk
tulang telah menggiring para pejalan kaki ke dalam gedung. Seakan hanya kami
yang menembus jalanan bersalju—dan tentu mobil-mobil yang (jarang-jarang) melintas
di avenue.
Tiba-tiba saya lihat ada seorang nenek yang hendak
menyeberang avenue (dari seberang
sana), sesuatu tindakan yang sebenarnya dilarang. Seharusnya pejalan kaki
menyeberang jalan lewat bawah tanah (undergroud),
sebab avenue dengan beberapa lajur
lintasan itu amat berbahaya untuk diseberangi pedestrian (pejalan kaki). Tapi
si nenek, yang berjalan perlahan itu, benar-benar nekad mempertaruhkan
nyawanya.
Maka, secepat kilat, tanpa menggubris teman-teman, saya melesat
dan membantu nenek itu. Beruntunglah di petang ini kendaraan cukup jarang
melintas di avenue; andaikata di hari
musim panas, misalnya, avenue itu
pastilah sangat padat dan tak mungkin
diseberangi. Sejurus kemudian saya sudah menuntun sang nenek hingga tepian avenue sini. Dia berterima kasih berat,
dan saya pun bersyukur karenanya.
Saya pun terhenyak. Tak satu pun teman saya ada di sini—bahkan
bayang-bayang mereka tak tampak di kejauhan, akibat tebalnya serpihan salju (flakes) yang berjatuhan. Jalanan begitu
senyap; supermarket sebaliknya. Di kejauhan tampak gedung ESB menjulang dengan
gagahnya. Saya sendirian, menghayati sisa-sisa hari saya di negeri Paman Sam.
Tiba-tiba ada seorang anak jalanan (street boy), berkulit hitam, setinggi 190 cm, dengan mantel salju
a-la rocker, mendekat. Kedua
tangannya terselip di saku mantel. Tubuhnya bergoyang ke kiri ke kanan. Dan,
secepat kilat, dia menempelkan “sesuatu” ke perut kiri saya. Andaikata baju
saya tidak rangkap empat—singlet, T-Shirt, hem panjang kotak-kotak, dan mantel
salju—pastilah tempelan “sesuatu” itu lebih terasa.
Lalu, pemuda hitam itu mengancam, “Your bag.”
Saya lirik “sesuatu” itu. Dalam kilauan lampu saya kenali
benda itu—dan ternyata bukan pistol, hanya
sepucuk pisau a-la marinir (yang bisa memanjang hanya dengan memijat knob-nya). Tampak kilauan sebagian
permukaannya. Andai itu pistol, matilah saya!
“Come on, your bag!”
bentaknya, sambil tetap menempel saya.
“What do you mean?”
Saya mengulur waktu, sambil mencari kesempatan.
“What do you mean by
‘your bag’?”
“All you have,” tegasnya,
sambil bermain permen karetnya.
“All I have, you
mean?”
Semuanya yang di tas pinggang ini? Gila betul orang senewen
ini. Di tas saya ini saya bawa paspor, travelers
cheque, semua uang saku tunai, dan kunci-kunci bagasi. Sementara, saya
yakin, wajib hukumnya membela harta dan nyawa dari orang yang akan merampasnya.
Makin terasa tusukan pisau itu. Dia membentak lagi, “Give it now!”
Secepat kilat, dengan gerakan bela diri, saya menjauh dari
penodong itu. Saya pun berkuda-kuda, siap menghadapinya untuk duel. “No way. I will never give any penny to you.”
Saya juga tegaskan, andaikan dia sopan, pastilah saya akan memberinya—(kalau di
daerah Bronx, tip liar anak jalanan sekitar 10-15 dolar).
Maka, dia pun marah. “Don’t
push me. You give me no choice.”
“Since you are
impolite, I don’t give you any penny.”
Kemarahannya memuncak. Dia menyabetkan dan menusukkan pisau
itu dengan serampangan. Tampak sekali, dia ngawur.
Saya pun menghindar, bergaya Bruce Lee, dua-tiga kali.
Dia menyerang kembali. Kali ini saya sempat memukul
perutnya.
Wow, betapa jangkungnya orang ini. Andai saya tendang
ulu-hatinya pun, kaki saya mungkin tidak sampai. Maka, saya pun ambil jarak
mundur dua langkah. “Listen, I’m not a
Latino. I am Asian. Don’t play tricks on me.”
Begitu saya mengaku bukan orang Amerika Latin, tmelainkan
orang Asia, mimiknya sedikit berubah. Ada aura kecemasan menghadapi saya. Terlebih, serangannya gagal
untuk tiga-empat kali. Namun,
dia masih mencoba menyerang saya sekali lagi.
Saya pun makin menunjukkan jurus-jurus pertahanan diri. Seumur-umur
baru kali ini saya akan gunakan, modifikasi jurus kungfu lagi.
Maka, setelah gagal merampok saya, penodong itu mengeloyor
pergi, sambil bergumam berkali-kali, “What
a fucking shit! What a shit! Shit!”
Kembali ke posisi semula, saya pun bersyukur. Tuhan telah
menyelamatkan jiwa dan harta saya. Hanya dengan gerakan bela diri, penodong itu
kabur. Mungkin dia keder juga atas pengakuan saya sebagai orang Asia, yang saat
itu bisa diasumsikan identik dengan kungfu. Saat itu, ada sejumlah perguruan
kungfu Bruce Lee didirikan di AS, dan cukup disegani. (Di kota lain saya juga
pernah mendapati perguruan bela diri dari Indonesia. Kalau tidak salah, di San
Fransisco.)
Maka, saya segera berlari menyusul teman-teman penulis ke
gedung ESB si pencakar langit itu. Setiba di sana, ternyata mereka sedang
duduk, menunggu saya. Mereka kelihatan cemas. Begitu saya menghampiri, mereka
pun lega dan tersenyum.
“Ke mana saja adikku ini?” kata Kanchana Ugbabe, novelis
dari Nigeria, berdarah India. Saya memang peserta paling muda, dan dia sering
menyebut saya ‘young brother’ (adik). “Something
wrong happened?”
“Only a little story.”
Saya jawab dengan bercanda.
“Little story? Little
story that made us worried. What is that?” sambung Etidal Osman, novelis Mesir.
Sementara, Assamala Amoi, penulis Ivory Coast (Pantai Gading), masih tampak cemas.
Teman-teman penulis lain, dari Uganda, New Zealand, Romania, dan China, ikut
mendesak pengakuan saya.
Maka, dengan tenang saya mengisahkan pengalaman yang baru
saja menimpa saya. Saya sampaikan dengan detail dan penuh penghayatan. Mulai
awal hingga akhir. Dan mereka menyimaknya dengan serius, tak ingin melewatkan
sedikit pun bagian kisah nyata saya ini.
Setelah itu, mereka pun bergantian memeluk saya—pelukan
kakak kepada adiknya. Bahagia sekali saya punya saudara bangsa dari berbagai
sudut dunia ini. Maka, sambil menaiki lift ke lantai 23 ESB, tak henti-hentinya
saya bersyukur. Namun, ada satu ungkapan yang berkali-kali masih mereka
anekdotkan sambil ketawa kecil. “I am Asian. No play tricks on me.”*
#Blog-1: muchkhoiriunesa.blogspot.com
#Blog-2: muchkhoiri.gurusiana.id
#Web-1: jalindo.net
#Web-2: sahabatpenakita.id
#FB: much.khoiri.90
#IG-1: @much.khoiri
#IG-2: @emcho_bookstore
Ada Bruce Lee dari Suroboyo Rek
ReplyDeleteNekad, b hajjah. Nuwun
Deletetak terlupakan detilnya, rasanya sedang berada di layar Bruce Lee beraksi... ha ha... kerena
ReplyDeleteMencoba menggambarkan apa adanya.
DeleteHahaha... I"am Asian. No play tricks on me." Kereeen...
ReplyDeleteSaya ikut deg-degan bacanya.
Leres, Bu.
DeleteMantab Mr
ReplyDeleteMakasih bamyak
DeleteI think, no robber there, Sir.. Tibak o yo onok ya
ReplyDeleteDi sana malah nekad2
Delete