Ini judul salah satu puisi karya Robert Frost |
Oleh: Much. Khoiri
PUKUL 19.30 malam ini, hanya selepas shalat isya’, saya diundang untuk berbagi tentang puisi oleh
sebuah komunitas yang sedang menyiapkan buku antologi puisi. Mereka menulis
puisi, tampaknya terkait dengan work from
home (WFH) akibat korona. Kami berbagi dengan medium grup WA. Agar materi
tidak lenyap dimakan waktu, berikut ini materi yang telah saya sampaikan.
Saya mengajak menyegarkan pemahaman tentang hakikat puisi. Sebagai
salah satu genre utama Sastra, puisi (poem,
poetry) merupakan abstraksi kehidupan dan pengalaman manusia. Kata kunci
"abstraksi" ini penting, sebab puisi atau karya sastra secara umum
bukan semata fakta mentah, melainkan saripati,cerminan, pantulan dari fakta.
Dengan kata lain, puisi hakikatnya sudah merupakan hasil olahan
dari fakta. Ia adalah olahan dari fakta kehidupan dan pengalaman manusia, yang
dibumbui dengan imajinasi. Jadi, puisi itu bukan semata fakta, juga bukan
semata fiksi (imajinasi), melainkan gabungan dari keduanya.
Karena itu, jika kita ingin menulis puisi, kita perlu
memegang prinsip bahwa kita tidak sedang menulis berita, fakta, fenomena secara
mentah dan apa adanya. Fakta sebagai bahan puisi harus diolah, sesuai dengan
kaidah penulisan puisi. Mengapa demikian? Puisi itu, sebagaimana genre sastra yang
lain, memiliki kaidahnya sendiri. Kaidahnya berbeda dengan kaidah prosa
(cerpen, novel, novelet) dan drama atau lakon. Meski prosa, puisi dan drama adalah
abstraksi kehidupan manusia dan pengalamannya, namun puisi memiliki kaidah
penulisan sendiri.
Puisi, antara lain, bentuknya terikat, tidak seperti prosa
atau drama. Prosa lebih luwes; sedangkan drama melibatkan dialog. Kalau puisi,
lebih terikat sejumlah "kaidah" yang sedikit rumit, yang sebenarnya
tidak sulit jika terbiasa. Menulis puisi perlu mempertimbangkan imagery, simbol, rima dan ritma, serta
majas. Unsur-unsur ini penting bagi puisi.
Imagery itu
pembentukan suasana citraan (image)
agar pembaca menangkap suasana, tempat, atmosfir mana puisi itu gambarkan. Dengan
pilihan diksi yang tepat, pembaca bisa menangkap betapa penunggang kuda dalam puisi
Robert Frost “Stopping by Woods on A Snowy Evening” berada dalam daerah
bersalju yang atis. Pelukisan setting di sebuah hutan di musim dingin dan sunyi,
membuat pembaca membayangkan betapa suara ringkik kuda pun menjadi sahabat yang
baik.
Simbol juga perlu diperhatikan. Simbol bisa mengacu ke bentuk
benda atau warna, misalnya. “Wajahnya mendung kelam”, ini simbolisasi atas
kondisi sedihnya seseorang, yang sedang menahan air mata. Amat boleh jadi,
ambrolnya air mata terbayang untuk segera terjadi. Kata “mendung” itu sendiri
sudah merupakan symbol, dipertegas dengan kata “kelam”.
Lalu, apakah perlu rima setiap kali menulis puisi? Sebaiknya
ya, sebab itu salah satu kaidah puisi, yang ada baiknya diikuti meski tidak
sesaklek puisi tempo dulu (seperti syair, pantun). Ada puisi bebas (free verse) yang dulu sudah digelorakan
Chairil Anwar lewat sajak "Aku". Dalam sajak itu rima-nya agak luwes.
Demikian pun dalam puisi "Aku Ingin" karya Sapardi Djoko Damono.
Namun, jangan lupa rima itu perlu ditunjang dengan ritma.
Ritma itu semacam ketukan atau stress
yang bertumpu pada suku kata, yang lazimnya perlu dihitung ketika menulis.
Tatkala dibaca di depan umum, ia terdengar enak. Ingat, dalam sebuah buku
ditegaskan, bahwa puisi itu “sense and sound.”
Pertanyaannya, apakah harus berjumlah ritma tertentu seperti
tembang Jawa? Untuk puisi-puisi
lama semacam syair dan pantun, misalnya, jumlah ritma dan bunyi rima itu wajib
diperhatikan. Namun, jika puisi itu sajak bebas, ritma ya tidak harus seragam
per baris misalnya. Kalau tembang Jawa, itu masih sangat kuat dalam memegang
guru lagu (rima) dan ritma-nya. Tembang Jawa bukan sajak bebas.
Sekarang, kita bicara tentang majas (figures of speech). Mengapa kita perlu majas? Ya karena puisi itu
bukan semata fakta, melainkan abstraksi dari fakta kehidupan dan pengalaman
manusia. Jadi, menyampaikannya ya tidak lewat bahasa lugas dan literal (denotatif),
melainkan ada baiknya lebih banyak yang konotatif. Kalau lugas dan apa adanya
itu bahasa untuk tulisan fakta, semisal opini atau PTK, tapi kalau bahasa puisi
itu lebih "estetik".
Bukan berarti bahwa bahasa puisi itu harus berbunga-bunga (flowery words), namun diksi yang indah
yang punya makna. Barisan diksi yang berbunga-bunga mungkin kosong makna,
sebaliknya diksi yang tidak terlalu berbunga malah mengandung makna yang indah.
“Kutitipkan rinduku pada angin….” Apakah makna di dalam barisan kata ini?
Perhatikan ini. Ketika Chairil Anwar menyebut "Aku ini
binatang jalang dari kumpulannya terbuang....", adakah diksi yg indah?
Tidak. Tapi isinya lah yang indah. Indah apanya? Ya maknanya yang dalam. Bahwa
"aku" (termasuk kita) adalah binatang yang punya nafsu jalang. Wis duwe bojo ayu, ya matane jelalatan kalau
ketemu wong ayu. Wis sarapan isuk, jam 10 ditawari bakso ya oke, jam 12 diajak
maksi ya mangga, jam 3 siang diajak makan rujak ya budal. Itulah kejalangan
kita. Chairil bisa mengabstraksikan nafsu jalang manusia.
Maka, kita memakai majas, misalnya personifikasi, metafora,
simile, hiperbola, dsb. Personifikasi, itu menganggap benda mati seperti
manusia, sehingga bilangnya misalnya: "Nyiur melambai", "Ombak
yang menari-nari", "Angin yang membelai tanah seberang".
Sementara, matafora itu pembandingan dua objek tanpa kata "seperti,
laksana, bak, bagaikan". Misalnya: "Engkau matahariku, sayang",
"Engkau nafasku, engkau hidupku, engkau segalaku"....
Adapun simile, mirip dengan metafora, tapi menggunakan kata
"laksana, seperti, bak, bagai". Contohnya: "Engkau bagaikan
bintang di langit", "Engkau laksana awan yang mengintai isi
hatiku". Lalu hiperbola, melebih2kan, untuk memberi penyangatan atau
aksentuasi. Misalnya: "Hatiku ambrol karena hantaman cintamu",
"Matanya nanar memabakar bumi",
Itulah empat majas yang paling sering muncul di dalam puisi.
Namun, masih ada beberapa yang lain. Silakan bisa ditanyakan Kiai Google saja.
Yang penting, adalah bagaimana kita malatih diri dalam menulisnya. Untuk
sementara, berikut ini saya berikan sebuah contoh puisi saya:
MENGAPA AKU RINDU KAU?
Puisi Much. Khoiri
Jika kau bertanya
mengapa aku rindu kau?
Kini kujawab, laksana
hujan tak perlu mendung
Untuk menjawab mengapa
air tercurah
Menggenangi setiap
jengkal tanah.
Jika kau bertanya mengapa
aku rindu kau?
Kan kujawab, laksana
angin tak perlu rumput
Untuk menjawab mengapa
seluruh desaunya
Mendendang senandung
gunung dan telaga.
Jika kau bertanya lagi
mengapa aku rindu kau?
Kan kujawab lagi,
laksana petang tak perlu subuh
Atau laksana malam tak
perlu rembulan
Untuk menjawab mengapa
rindu kita
Merentang tanpa batas
rasa manusia.
Engkau matahariku,
percayalah:
Jauhmu melimpahiku
kekuatan
Dekatmu adalah jalan
penyatuan
Kita akan menjadi abu
bersama
Untuk menerima takdir:
Cinta!
Gresik, 18.11.2013
Jika ada pertanyaan apakah kita perlu belajar pada
karya-karya terdahulu? Saya tegaskan ya: Kita harus lebih banyak membaca karya penyair-penyair
yang bagus. Di Indonesia, kalau mau belajar puisi dengan bahasa yang kelihatannya
sederhana tapi dalam, silakan membaca karya WS Rendra, Sapardi Djoko Damono,
Taufik Ismail, Emha Ainun Nadjib.
Di dunia Barat kita bisa membaca karya Emily Dickinson,
Robert Frost, Langston Hughes misalnya. Tidak perlu membaca yang berat semisal
William Shakespeare misalnya. Pengarang yang tersebut terakhir ini memang kelas
berat, yang perlu konsentrasi lebih hanya untuk memahami puisi-puisinya.
Meski demikian, belajar menulis puisi itu, sebagaimana
belajar menulis genre tulisan lain, kembali ke penulisnya. Kaidah ya kaidah,
yang perlu dipertimbangkan untuk diikuti, agar tulisan yang dihasilkan berbeda
bentuk dengan genre lain. Namun, setiap penulis akan berusaha berlatih dan
akhirnya menemukan style-nya sendiri,
tentu setelah mengarungi proses panjang. Bagaimana pun, practice makes all things perfect, praktik dan latihan membuat
segalanya sempurna.*
Gresik, 2 April 2020
Alhamdulillah ilmu yang maknyus
ReplyDeleteMakasih banyak, insyallah
DeleteAlhamdulillah, kau tau yang kumau Sungguh beruntung punya suhu yang luar biasa dan tidak pernah pelit ilmu.
ReplyDeleteB hajjah, matur nuwun, saking menguatkan
DeleteKadang ketika sedang sutuk juga tergerak membuat puisi. Namun belum memenuhi 4 syarat di atas. Sungguh tambahan ilmu yang mencerahkan . Trimakasih Mr. EMCHO
ReplyDeleteInggih, sama2, makasih
DeleteInsyaallah bisa terbakar semangat untuk menulis
ReplyDeleteSemoga segera banyak menulis puisi
DeleteLuar biasa Pak Emcho
ReplyDeleteMatur nuwun sanget
DeleteCool, Sir ๐๐
ReplyDeleteSiap ikut belajar, Suku Emcho
ReplyDeleteJos luar biasa Mr Emcho pencerahan yg mencerahkan. Mataur nuwun. Sy terus belajar
ReplyDeleteMakin ada pencerahan. Terima kasih Pak.
ReplyDeletemantul master ๐
ReplyDeleteMasya Allah...indah nian. Terima kasih ilmunya Abah
ReplyDeletepuisi yang sangat indah,sir
ReplyDeleteBener banget. Aku juga suka nih sama puisinya❤️
DeleteTerima kasih atas tulisan Bapak yang sangat bermanfaat bagi saya dan bisa memberikan ilmu tambahan kepada saya tentang puisi. Puisi yang Bapak tuliskan juga sangat indah, Sehat selalu Bapak agar terus bisa menciptakan tulisan-tulisan bermanfaat dan puisi yang indah๐
ReplyDelete