Kumpulan Puisi karya Cecep Gaos |
Oleh MUCH. KHOIRI
Literasi cinta bukan semata membaca dan menulis (tentang)
cinta. Literasi cinta lamat-lamat disampaikan oleh penulis buku ini sebagai
kemampuan menangkap ruh informasi cinta, memahami, mengolahnya, dan
mengungkapkannya. Manusia yang literat cinta bukan hanya menghayatinya makna
cinta itu sendiri, melainkan juga mampu mengungkapkannya dengan berbagai moda
yang memungkinkan.
Penyair—tepatnya penulis buku ini—, dengan kapasitasnya
sendiri, telah mencoba menangkap ruh cinta, memahami, mengolah, dan
mengungkapkannya lewat bahasanya sendiri. Cinta itu, baginya, bukan hanya cinta
kepada kekasih, melainkan kepada cinta kepada siswa, keluarga, ibu, istri, dan
sesama. Cinta mengandung keluasan dan kedalaman yang sulit diukur namun bisa
diungkapkan—meski hanya sebagian dari keseluruhan. Seakan ia sedang
membicarakan fragmen-fragmen suara hati kepada yang dicintainya.
Inilah catatan pertama dari buku ini: puisi-puisi dalam
buku ini seakan persembahan-persembahan cinta dengan sepenuh penghayatan untuk
mereka yang dicintainya. Cinta kekasih, misalnya, dapat ditelisik di dalam
puisi “Bersandarlah di Bahuku”, cinta siswa di dalam “Itu Semua Karena Cinta”,
cinta keluarga di dalam “Malamku, Tidurku”, cinta ibu di dalam “Umnuha, Umnuha,
Umnuha”, dan cinta istri di dalam “Istriku, Aku Pena untuk Kertas Putihmu” atau
“Istriku, Kau Dokter Cintaku.”
Lewat puisi-puisi yang ada kita diajak untuk memahami
(kembali) atau memaknai cinta dengan aneka rasa. Sejatinya kita sangat akrab
dengan cinta, karena kita mengalaminya setiap waktu. Namun, kadangkala kita
terlena atau abai dalam mengungkapkannya dengan cerdas dan pas. Maka, kehadiran
buku ini mencubit kita untuk menyadari betapa cinta harus senantiasa dijaga,
dihidupkan, dan disuburkan—tidak cukup untuk dianggap sudah bersemayam di dalam
jiwa.
Catatan kedua, penulis buku menyelipkan judul
puisi-puisinya di dalam salah satu baris atau bait, baik di awal, di tengah,
maupun di akhir bagian. Menariknya, hal ini konsisten diterapkan, entah sengaja
atau tidak, dalam puisi-puisi yang ada. Jika dicermati, teknik demikian seakan
telah terbiasakan oleh penyair ini, seakan mengalir mengikuti luapan perasaan yang
deras, tanpa rekaan yang semu. Agaknya hal ini merupakan licentia poetica penyair, yakni kekhasan pengucapan dalam berkarya
yang berbeda dengan penyair lain, sehingga kekhasan itu merupakan ikon bagi
dirinya.
Misalnya, dalam puisi “Bersandarlah di Bahuku”, kita bisa
melacak judul ini di baris pertama bait keempat: Jika kau ingin berkeluh kesah, bersandarlah di bahuku. Telah kusediakan
bahu yang kokoh untukmu. Tuk menopang segala beban yang kaurasakan. Hingga ia
menjadi ringan, seringan kapas butih yang terbang melayang ditiup angin malam. Dalam
puisi “Ingin Kuungkap Sebuah Rahasia Malam”, kita juga bisa menengok judul ini
dalam bait kedua: Ingin kuungkap sebuah
rahasia malam. Rahasia tentang keindahan malam berpadunya insan dalam syahdunya
temaram.
Yang ketiga, buku kumpulan puisi ini adalah wahana
komunikasi penyampai pesan (speaker)
kepada sesuatu benda, person, atau
yang dipersonifikasikan. Ada semacam model komunikasi yang disampaikan oleh
“aku” kepada “kau” dalam arti luas. Seakan tidak ada jarak sosial dan emosional
antara “aku dan “kau”—bahkan kadang digunakan sebutan “kita”, sebuah upaya pelibatan
empatik pembaca di dalamnya. Hal ini tampak dalam puisi “Membicarakan Hati”
berikut ini:
Membicarakan hati
tak seperti memakan sepotong roti. Yang bisa
dimakan sesuka
hati. Tanpa harus menunggunya hingga basi.
Membicarakan hati
tak seperti bernyanyi di kamar mandi. Tak peduli
apakah ada orang
lain yang menikmati. Yang penting rasa senang di hati
sendiri sudah
terpenuhi.
Membicarakan hati
itu seperti meminum secangkir kopi. Sesekali kita
tiupi. Kita aduk
agar rasanya tak saling melebihi. Sesekali kita cicipi. Agar
tahu rasanya apakah
sudah pas di hati. Sesekali kita hirup aromanya.
Lalu kita
menikmatinya.
Dalam puisi ini penggunaan “kita” menyiratkan adanya
“aku” dan “kau” untuk diajak memahami hakikat membicarakan hati. Ada ruang
berbagi tentang membicarakan hati—yang bukan seperti memakan roti atau
bernyanyi di kamar mandi, melainkan seperti meminum secangir kopi. Simile yang
indah dan menarik: secangkir kopi—minuman yang rasanya bisa diatur dan diolah
sesuai selera peminumnya.
Komunikasi yang tanpa jarak inilah yang, agaknya, telah
menyebabkan penyair untuk mengungkapkan suara hatinya dengan lancar—bahkan
kadang terkesan begitu lugas dan telanjang. Bahkan penyair memposisikan diri
sebagai speaker sebegitu dekatnya
sehingga keduanya tak terpisahkan, menjadi kanal yang mulus untuk komunikasi.
Bagaimanapun, puisi merupakan wahana komunikasi.
Di samping itu, kita sebagai pembaca dapat mengambil
posisi sebagai “aku” ataupun “kau”—atau “kita” sekalian, namun kita mesti
bersiap untuk tidak menemukan pengelompokan tema cinta. Tema-tema cinta yang
ditanamkan oleh penyair disebar ke segala arah buku ini. Kita tidak disandera
olehnya untuk memahami cinta secara kaku; sebaliknya, kita diberi kebebasan
untuk memilih mana bunga-bunga cinta yang bermekaran di taman luas—yang telah
ditanam dengan penuh penghayatan.
Puisi, sebagaimana karya sastra lain, memang terbuka untuk
ditafsirkan, diinterpretasi; dan seberapa kualitas interpretasi bergantung pada
seberapa luas pengalaman penafsirnya. Karena itu, terhadap puisi-puisi yang
ada, kita mungkin memiliki keluasan dan kedalaman penafsiran yang berbeda. Itu
sah-sah saja, sebagaimana kita juga bebas memaknai ayat-ayat alam tak tertulis
sepanjang hidup ini.
Sejauh itu, itulah puisi. Puisi adalah bahasa jiwa.
Setiap penyair memiliki keunikan, kekhasan, dan seleranya sendiri dalam licentia poetica. Apapun bentuknya,
sebagai bahasa jiwa, puisi-puisi dalam buku ini adalah bukti betapa penyair
memiliki literasi cinta yang cukup paripurna. Sementara itu, sebagai pembaca,
mari menjadi pembaca baik dan cerdas. Seberapa dalam dan luas dampaknya bagi
kita, mari bawa hasil pembacaan kita ini untuk membaca literasi cinta kita
sendiri.
Selamat membaca serta memetik inspirasi dan hikmahnya.
*Artikel ini adalah kata pengantar untuk buku Cecep Gaos
berjudul “Literasi Cinta: Kumpulan Puisi” (Bogor,
Seraung Dharma Dahana, 2018). Terima kasih disampaikan kepada penulis
buku dan penerbit.
**Pesan buku, hubungi
HP/WA: 081331450689 / 081233838789
Terima kasih Pak Emcho atas perkenannya memberikan kata pengantaar untuk karya kecil saya 🙏🙏
ReplyDeleteSama-sama, Pak CepGa. Selamat terus berkarya dan sukses.
DeleteSelamat dan sukses bapak. kata pengantar yang indah dan menggugah penasaran untuk membaca bukunya secara utuh. Salam hormat dari muridmu.
ReplyDeleteMatur nuwun. Selamat terus berkarya. Sukses
DeleteSelamat. Kata pengantar yang indah. Semoga suatu saat mengimbas kepada saya.
ReplyDeletePak Omank, terima kasih telah berkenan mampir dan memberi komen. Pada saatnya insyaallah saya akan memberi pengantar buku panjenengan.
Delete