Buku karya Rita Audriyanti |
Oleh: MUCH.
KHOIRI
Literasi diri, yang hakikatnya juga bagian dari budaya individu, memiliki potensi untuk mewarnai budaya kolektif suatu bangsa. Seberapa besar intensitas literasi diri menentukan seberapa signifikan pewarnaan yang ditimbulkannya. Sebagai budaya individu, literasi diri urgen dipraktikkan bagi siapapun juga yang berghirah besar untuk memperkaya budaya bangsa. Semakin banyak individu yang mempraktikannya, semakin cepat proses pewarnaan budaya itu.
Salah satu literasi diri yang terukur adalah literasi menulis. Ya, produk nyata dari menulis itu jelas—yakni berupa tulisan yang diterbitkan baik di blog, website, surat-kabar, majalah, jurnal, maupun buku. Dengan pikiran kritis pembaca dapat memetik informasi dan membaca sikap penulis dari tulisan itu. Dari tulisan itu pula pembaca menilai seberapa tinggi kualitasnya. Lalu, setelah mencermati tulisan itu, mungkin saja pembaca akan terinspirasi untuk menulis gagasanya sendiri dan akan menginspirasi pembaca selanjutnya.
Menulis itu sendiri, tak terelakkan lagi, menuntut kegiatan membaca yang kritis dan memadai. Tanpa membaca, menulis akan tersendat dan miskin data atau informasi pendukung. Sementara itu, pembacaan itu bukan hanya mengacu ke pembacaan teks tertulis, melainkan juga pembacaan teks tak tertulis—yang bertebaran tak terbatas. Maka, kontinuitas pengetahuan berestafet dari penulis ke pembaca, yang selanjutnya berkembang menjadi tulisan baru secara berkesinambungan. Penulis satu berutang pada penulis sebelumnya, dan seterusnya hingga ke maha-guru awalnya.
Meminjam perspektif J.J. Hoenigman, menulis itu pengejawantahan tiga wujud budaya, mulai wujud ideal (gagasan), wujud aktivitas, dan wujud artefak. Dalam proses menulis, seseorang bergulat dan bergelut dalam proses kreatif dengan berpikir tingkat tinggi, menjalaninya secara fisik sebagai aktivitas, dan menghasilkan artefak yang estetik berupa sebuah tulisan. Dengan menulis aneka gagasan berdasarkan pembacaan dan perenungan atas fenomena dan pengalaman sehari-hari, budaya individu diabadikan dalam artefak tulisan yang diharapkan, sesuai dengan ars poetica penulis.
Lalu, bagaimana budaya individu, khususnya literasi menulis, berperan dalam mewarnai budaya kolektif bangsa? Perlu dicatat, budaya individu yang aktif akan berpotensi mempengaruhi dan mewarnai budaya komunitas. Kemudian, budaya komunitas yang aktif akan mempengaruhi budaya masyarakat dan bangsa. Kuncinya, jika budaya individu ini memiliki kekuatan pengaruh yang besar; maka, warna budaya yang dipengaruhi juga kentara. Kumpulan individu penulis sangat potensial untuk ikut memberi warna pelangi budaya bangsa.
Praktisnya, menulis itu memiliki kekuatan keabadian yang jauh lebih kokoh dari pada pikiran, ucapan, dan tindakan. Apa yang kita pikirkan akan lenyap, apa yang kita ucapkan dan lakukan akan tak berbekas—kecuali benar-benar dituliskan. Padahal, gerak pikiran, ucapan, dan tindakan itu sendiri merupakan praktik budaya. Dalam hal ini literasi menulis merekam dan mengabadikan praktik budaya manusia.
Sementara itu, hasil tulisan itu akan dibaca sekian banyak orang. Tulisan-tulisan yang ada akan menyegarkan, mencerahkan, dan menginspirasi sekian banyak orang. Tulisan-tulisan itu akan beranak-pinak menjadi dua kali lipat, sepuluh kali lipat, atau seribu kali lipat dari pada sebelumnya. Jumlah tulisan yang tumbuh belakangan dapat tak terhingga karena melampaui batas ruang dan batas waktu.
Begitulah sistem kerjanya tulisan dalam membangun budaya kolektif bangsa. Ketika seseorang menghasilkan tulisan (terlebih dengan kualitas tinggi), dia akan mempengaruhi atau menginspirasi sekian banyak orang—baik untuk memperkaya wawasan, maupun untuk menulis tulisan lain secara estafet. Dalam hal ini dia telah ikut membangun kebudayaan—jika pun tidak tampak sekarang, dampaknya akan tampak entah berapa tahun lagi ke depan.
Tak sedikit tokoh negeri ini yang menulis—dan kemudian menginspirasi ribuan atau jutaan masyarakat; dan sebagian masyarakat itu juga terinspirasi untuk menulis dan akhirnya juga menginspirasi masyarakat lain untuk berkarya pula. Begitu seterusnya. Dengan demikian, akumulasi dari gagasan yang inspiratif, yang berkembang dan dikembangkan secara berkelanjutan itu, semakin meluas dan mendalam dalam sistem sosial masyarakat. Penulis semacam WS Rendra, Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Budi Darma, Emha Ainun Nadjib dan sebagainya pastilah memberikan sumbangsih penting bagi negeri ini.
Sekarang, tengoklah Rita Audriyanti, penulis buku HATI YANG SELESAI: Catatan dari Melbourne ini. Penulis sejumlah buku—juga ketua Sahabat Pena Nusantara cabang Malaysia—ini pada dasarnya juga mempraktikkan budaya individu lewat literasi diri. Membaca dan menulis telah menyatu dalam dirinya. Dengan gaya penuturan yang enak diikuti karena pelibatan emosi yang kental, dia mengabadikan pengalaman dan perenungan dari Melbourne, Australia, tempat bungsunya mengambil studi lanjut.
Pemahaman dan penghayatan yang utuh tentang topik-topik yang ditulisnya—antara lain “Cita-Cita Jadi Pilot”, “Proses Pendaftaran”, “Nyaris Batal Terbang”, “Kota Modern dengan Cita Rasa Kuno”, “Jumpa Craig McKenzy”, “Nostalgia dan Blusukan ke Kampus”, “Warna Warni Kota Melbourne”, “High Trust Society”, “Ada yang Berbeda”, “Hati yang Selesai”—membuat tulisan-tulisan yang dihimpun di dalam buku ini bernas dan meyakinkan. Semua ini karena penulis menulis apa yang paling diketahuinya.
Apakah artefak budaya individu penulis ini akan memungkinkan adanya kontribusi tertentu dalam mewarnai budaya kolektif bangsa? Ada baiknya kita menengok sejarah. Ada beberapa sastrawan di negeri ini yang memilih pengalaman pribadinya sebagai salah satu dari karyanya, semisal Ilya Dzirkvelov (Agen KGB), Kevin Aprilio (Kevin Aprilio Official Box: Out of The Box), Iwan Setyawan (9 Summers 10 Autums), Andrea Hirata (Laskar Pelangi), A. Fuadi (Negeri 5 Menara). Beberapa karya Asma Nadia juga dihasilkan berdasarkan pengalaman pribadi.
Buku-buku nonfiksi berbasis pengalaman, antara lain, karya Luthfiyah Nurlaela Ibu Guru, Saya Ingin Membaca (2012) dan Jangan Tinggalkan Kami (2013); karya BMI Miracle of Life, Sandiwara Upik Abu (2012); karya tim Kompas Ekspedisi Jejak Peradaban (2011); karya Much. Khoiri Jejak Budaya Meretas Peradaban (2014); dan karya Taufik Uiks Mengembara ke Masid-Masjid di Pelosok Dunia (2015). Sepintas buku-buku semacam ini hanya sekumpulan rekaman pengalaman (perjalanan), namun sebenarnya ia merupakan manifestasi budaya individu yang sarat muatan-muatan makna.
Untuk saat ini, rasanya tidak mudah mengukur keberhasilan penulis buku-buku tersebut—sama persis dengan kehadiran buku Rita Audriyanti. Namun, kita perlu optimistis, buku ini akan menerbarkan virus hikmah dan inspirasi menulis kepada keluarga, tetangga, sahabat, komunitas, dan siapapun yang membacanya. Ditambah hasil pembacaan karya-karya yang lain, para pembaca mungkin akan menulis karya mereka sendiri dan kemudian membuat pembaca selanjutnya menulis buku mereka sendiri.
Tentu saja, tugas Rita Audriyanti sebagai penulis tentu bukan mengukur apa yang dilakukannya. Tugas utamanya adalah menulis dengan sebaik-baiknya; selebihnya pembacalah yang akan menindaklanjutinya. Generasi penerus kitalah yang akan membuktikannya—baik lewat ungkapan maupun karya mereka. Puncaknya, sejarah akan mencatat apakah buku ini memberikan kontribusi yang signifikan di masa depan.
Meski demikian, penulis mesti menjunjung harapan dan keyakinan, bahwa tulisan tidaklah diam mematung, melainkan bergerak menemukan makna dan konteks barunya. Tulisan kita bahkan menyejarah lebih lanjut—ia akan berkembang dan dikembangkan menjadi pengetahuan-pengetahuan baru dari masa ke masa. Di sinilah ungkapan Pramoedya Ananta Toer “menulis untuk keabadian” menemukan konteksnya.[]
*Artikel ini adalah kata pengantar untuk buku Rita Audriyanti berjudul “Hati yang Selesai: Catatan dari Melbourne” (Yogyakarta, Diandra Kreatif, 2018). Terima kasih disampaikan kepada penulis buku dan penerbit.
Literasi diri, yang hakikatnya juga bagian dari budaya individu, memiliki potensi untuk mewarnai budaya kolektif suatu bangsa. Seberapa besar intensitas literasi diri menentukan seberapa signifikan pewarnaan yang ditimbulkannya. Sebagai budaya individu, literasi diri urgen dipraktikkan bagi siapapun juga yang berghirah besar untuk memperkaya budaya bangsa. Semakin banyak individu yang mempraktikannya, semakin cepat proses pewarnaan budaya itu.
Salah satu literasi diri yang terukur adalah literasi menulis. Ya, produk nyata dari menulis itu jelas—yakni berupa tulisan yang diterbitkan baik di blog, website, surat-kabar, majalah, jurnal, maupun buku. Dengan pikiran kritis pembaca dapat memetik informasi dan membaca sikap penulis dari tulisan itu. Dari tulisan itu pula pembaca menilai seberapa tinggi kualitasnya. Lalu, setelah mencermati tulisan itu, mungkin saja pembaca akan terinspirasi untuk menulis gagasanya sendiri dan akan menginspirasi pembaca selanjutnya.
Menulis itu sendiri, tak terelakkan lagi, menuntut kegiatan membaca yang kritis dan memadai. Tanpa membaca, menulis akan tersendat dan miskin data atau informasi pendukung. Sementara itu, pembacaan itu bukan hanya mengacu ke pembacaan teks tertulis, melainkan juga pembacaan teks tak tertulis—yang bertebaran tak terbatas. Maka, kontinuitas pengetahuan berestafet dari penulis ke pembaca, yang selanjutnya berkembang menjadi tulisan baru secara berkesinambungan. Penulis satu berutang pada penulis sebelumnya, dan seterusnya hingga ke maha-guru awalnya.
Meminjam perspektif J.J. Hoenigman, menulis itu pengejawantahan tiga wujud budaya, mulai wujud ideal (gagasan), wujud aktivitas, dan wujud artefak. Dalam proses menulis, seseorang bergulat dan bergelut dalam proses kreatif dengan berpikir tingkat tinggi, menjalaninya secara fisik sebagai aktivitas, dan menghasilkan artefak yang estetik berupa sebuah tulisan. Dengan menulis aneka gagasan berdasarkan pembacaan dan perenungan atas fenomena dan pengalaman sehari-hari, budaya individu diabadikan dalam artefak tulisan yang diharapkan, sesuai dengan ars poetica penulis.
Lalu, bagaimana budaya individu, khususnya literasi menulis, berperan dalam mewarnai budaya kolektif bangsa? Perlu dicatat, budaya individu yang aktif akan berpotensi mempengaruhi dan mewarnai budaya komunitas. Kemudian, budaya komunitas yang aktif akan mempengaruhi budaya masyarakat dan bangsa. Kuncinya, jika budaya individu ini memiliki kekuatan pengaruh yang besar; maka, warna budaya yang dipengaruhi juga kentara. Kumpulan individu penulis sangat potensial untuk ikut memberi warna pelangi budaya bangsa.
Praktisnya, menulis itu memiliki kekuatan keabadian yang jauh lebih kokoh dari pada pikiran, ucapan, dan tindakan. Apa yang kita pikirkan akan lenyap, apa yang kita ucapkan dan lakukan akan tak berbekas—kecuali benar-benar dituliskan. Padahal, gerak pikiran, ucapan, dan tindakan itu sendiri merupakan praktik budaya. Dalam hal ini literasi menulis merekam dan mengabadikan praktik budaya manusia.
Sementara itu, hasil tulisan itu akan dibaca sekian banyak orang. Tulisan-tulisan yang ada akan menyegarkan, mencerahkan, dan menginspirasi sekian banyak orang. Tulisan-tulisan itu akan beranak-pinak menjadi dua kali lipat, sepuluh kali lipat, atau seribu kali lipat dari pada sebelumnya. Jumlah tulisan yang tumbuh belakangan dapat tak terhingga karena melampaui batas ruang dan batas waktu.
Begitulah sistem kerjanya tulisan dalam membangun budaya kolektif bangsa. Ketika seseorang menghasilkan tulisan (terlebih dengan kualitas tinggi), dia akan mempengaruhi atau menginspirasi sekian banyak orang—baik untuk memperkaya wawasan, maupun untuk menulis tulisan lain secara estafet. Dalam hal ini dia telah ikut membangun kebudayaan—jika pun tidak tampak sekarang, dampaknya akan tampak entah berapa tahun lagi ke depan.
Tak sedikit tokoh negeri ini yang menulis—dan kemudian menginspirasi ribuan atau jutaan masyarakat; dan sebagian masyarakat itu juga terinspirasi untuk menulis dan akhirnya juga menginspirasi masyarakat lain untuk berkarya pula. Begitu seterusnya. Dengan demikian, akumulasi dari gagasan yang inspiratif, yang berkembang dan dikembangkan secara berkelanjutan itu, semakin meluas dan mendalam dalam sistem sosial masyarakat. Penulis semacam WS Rendra, Iwan Simatupang, Putu Wijaya, Budi Darma, Emha Ainun Nadjib dan sebagainya pastilah memberikan sumbangsih penting bagi negeri ini.
Sekarang, tengoklah Rita Audriyanti, penulis buku HATI YANG SELESAI: Catatan dari Melbourne ini. Penulis sejumlah buku—juga ketua Sahabat Pena Nusantara cabang Malaysia—ini pada dasarnya juga mempraktikkan budaya individu lewat literasi diri. Membaca dan menulis telah menyatu dalam dirinya. Dengan gaya penuturan yang enak diikuti karena pelibatan emosi yang kental, dia mengabadikan pengalaman dan perenungan dari Melbourne, Australia, tempat bungsunya mengambil studi lanjut.
Pemahaman dan penghayatan yang utuh tentang topik-topik yang ditulisnya—antara lain “Cita-Cita Jadi Pilot”, “Proses Pendaftaran”, “Nyaris Batal Terbang”, “Kota Modern dengan Cita Rasa Kuno”, “Jumpa Craig McKenzy”, “Nostalgia dan Blusukan ke Kampus”, “Warna Warni Kota Melbourne”, “High Trust Society”, “Ada yang Berbeda”, “Hati yang Selesai”—membuat tulisan-tulisan yang dihimpun di dalam buku ini bernas dan meyakinkan. Semua ini karena penulis menulis apa yang paling diketahuinya.
Apakah artefak budaya individu penulis ini akan memungkinkan adanya kontribusi tertentu dalam mewarnai budaya kolektif bangsa? Ada baiknya kita menengok sejarah. Ada beberapa sastrawan di negeri ini yang memilih pengalaman pribadinya sebagai salah satu dari karyanya, semisal Ilya Dzirkvelov (Agen KGB), Kevin Aprilio (Kevin Aprilio Official Box: Out of The Box), Iwan Setyawan (9 Summers 10 Autums), Andrea Hirata (Laskar Pelangi), A. Fuadi (Negeri 5 Menara). Beberapa karya Asma Nadia juga dihasilkan berdasarkan pengalaman pribadi.
Buku-buku nonfiksi berbasis pengalaman, antara lain, karya Luthfiyah Nurlaela Ibu Guru, Saya Ingin Membaca (2012) dan Jangan Tinggalkan Kami (2013); karya BMI Miracle of Life, Sandiwara Upik Abu (2012); karya tim Kompas Ekspedisi Jejak Peradaban (2011); karya Much. Khoiri Jejak Budaya Meretas Peradaban (2014); dan karya Taufik Uiks Mengembara ke Masid-Masjid di Pelosok Dunia (2015). Sepintas buku-buku semacam ini hanya sekumpulan rekaman pengalaman (perjalanan), namun sebenarnya ia merupakan manifestasi budaya individu yang sarat muatan-muatan makna.
Untuk saat ini, rasanya tidak mudah mengukur keberhasilan penulis buku-buku tersebut—sama persis dengan kehadiran buku Rita Audriyanti. Namun, kita perlu optimistis, buku ini akan menerbarkan virus hikmah dan inspirasi menulis kepada keluarga, tetangga, sahabat, komunitas, dan siapapun yang membacanya. Ditambah hasil pembacaan karya-karya yang lain, para pembaca mungkin akan menulis karya mereka sendiri dan kemudian membuat pembaca selanjutnya menulis buku mereka sendiri.
Tentu saja, tugas Rita Audriyanti sebagai penulis tentu bukan mengukur apa yang dilakukannya. Tugas utamanya adalah menulis dengan sebaik-baiknya; selebihnya pembacalah yang akan menindaklanjutinya. Generasi penerus kitalah yang akan membuktikannya—baik lewat ungkapan maupun karya mereka. Puncaknya, sejarah akan mencatat apakah buku ini memberikan kontribusi yang signifikan di masa depan.
Meski demikian, penulis mesti menjunjung harapan dan keyakinan, bahwa tulisan tidaklah diam mematung, melainkan bergerak menemukan makna dan konteks barunya. Tulisan kita bahkan menyejarah lebih lanjut—ia akan berkembang dan dikembangkan menjadi pengetahuan-pengetahuan baru dari masa ke masa. Di sinilah ungkapan Pramoedya Ananta Toer “menulis untuk keabadian” menemukan konteksnya.[]
*Artikel ini adalah kata pengantar untuk buku Rita Audriyanti berjudul “Hati yang Selesai: Catatan dari Melbourne” (Yogyakarta, Diandra Kreatif, 2018). Terima kasih disampaikan kepada penulis buku dan penerbit.
**Pesan buku, hubungi HP/WA: 081331450689 /
081233838789
Mantab bapak. Kata pengantar yang indah, mengalir dan enak dibaca. Semoga terus sehat dan sukses selalu njih. Salam ta'dzim dari muridmu.
ReplyDeleteMatur nuwun sanget atas apresiasi dan doa yang dipanjatkan.
DeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteKarakter tulisan Pak Haji memang oke banget .Tidak heran kalau harus antri untuk mendapatkannya.Saya harus banyak belajar agar naik kelas
ReplyDeleteMatur nuwun sanget Bu Hajjah
DeleteOke..ikut berlayar menjelajahi palung ilmu literasi. Trima kasih
ReplyDeleteTerima kasih, Pak, telah brkenan mampir dan memberikan apresiasi
DeleteTulisan Mr.Emcho selalu memberi semangat dan suport bagi penulis dan pembacanya...Mantabs
ReplyDeleteBu Suliswati, matur nuwun atas apresiasinya. Mari saling menguatkan
DeleteMenarik, Mister. Mengaliiiiir..... Dan indah.
ReplyDeleteBu Lina, matur nuwun atas apresiasinya. Mari saling menguatkan
DeleteMenarik, Mister. Mengaliiiiir..... Dan indah.
ReplyDeleteNuwun
DeleteJadi pingin punya buku yg ada pengantar dari Bapak. Hehe.... (Insyaallah)
ReplyDeleteInsyallah akan terkabul, Bu. Selamat berkarya
DeleteLuar biasa Pak Emcho. Selalu menginspirasi dan memberikan manfaat untuk orang lain...
ReplyDeletePak CepGa, matur nuwun atas apresiasinya. Mari saling menguatkan
DeleteTulisan bergizi. Selalu inspiratif.
ReplyDeleteBu Yanti, matur nuwun atas apresiasinya. Mari saling menguatkan
DeleteTulisannya sangat inspirasi sekali bapak
ReplyDeleteMas Kacong, ayo terus berkarya
Delete