Oleh MUCH.
KHOIRI
GEGAR budaya (culture
shock) kerap menimpa dan dialami siapapun yang masuk ke dalam lingkup
budaya baru dan “asing”. Di dalam prosesnya terjadi perubahan dan pemertahanan
sistem nilai dalam diri seseorang tatkala berhadapan dengan sistem nilai komu-nitas barunya. Sebagai pendatang baru, ia mengalami
keterkejutan budaya tertentu yang kerap tak diperhitungkan—dalam bathin ia
bertanya begini,”Kok begini ya?”
Ungkapan
spontan semacam itu, misalnya, bisa ke-luar dari kita andaikata kita
orang desa dengan segala kesederhanaannya tiba-tiba diundang untuk menghadiri
hajatan mantu di gedung megah sebuah kota metropolit-an. Melihat gedungnya saja kita bisa termangu
lama—teramat berbeda dengan hajatan mantu a-la pedesaan. Di gedung itu kita
bisa bingung tatkala dipersilakan untuk makan prasmanan; sebab, kita sudah
terbiasa dengan makan duduk bersila dan tak pernah makan sambil ber-diri. Terlebih, jika harus diinapkan hotel berbintang
dengan ranjang mendut-mentul, yang
sangat berbeda dengan “pring bed” (ranjang dari bambu), bisa-bisa kita tidak
bisa tidur akibat kasur empuk seperti kisah negeri dongeng.
Memang,
begitulah, gegar budaya beragam gejalanya. Seseorang mungkin mengalami
keterpanaan, keheranan, hingga kekhawatiran dan ketakutan, baik terang-terang-an maupun tersembunyi. Orang lain dapat membaca per-tanda gegar budaya seseorang itu bergantung pada ung-kapan-ungkapan verbal, sikap dan perilaku orang itu.
Itulah
sebabnya tingkat intensitas gegar budaya pun hakikatnya berbeda-beda antara
orang satu dan orang lain, mengingat setiap orang berbeda dengan orang lain
dalam berbagai hal, termasuk kepribadian, usia, setting, pola transaksi, intensitas pertemuan, dan sebagainya. Karena itu, “sembuhnya” seseorang dari gegar
budaya juga beragam, ada yang dalam waktu singkat, ada yang dalam waktu
panjang.
Buku ini
menghimpun tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh para dosen Jurusan Bahasa dan
Sastra Inggris FBS Universitas Negeri Surabaya. Kapasitasnya per individu
bercampur-aduk antara penulis sebagai individu dan sebagai akademisi. Sebab,
tulisan-tulisan yang hadir di sini kebanyakan dibuat berdasarkan pengalaman
penu-lis, sebagai individu dan sebagai akademisi. Karena
itulah tampak keanekaragaman di antara tulisan yang ada.
Tentu saja,
tidak semua naskah yang masuk layak terbit dari segi gagasan, organisasi, dan
penggunaan bahasa. Sebagai editor, saya perlu menempatkan diri sebagai orang
yang membantu memoles tulisan-tulisan tersebut dari tiga segi yang penting itu.
Dari gagasan, tidak banyak saya lakukan; karena, soal substansi hakikatnya
adalah wewenang, hak, dan tanggungjawab penulis.
Meski
demikian, dari segi organisasi gagasan, tak jarang saya perlu membantu
pembenahan keorganisasian tulisan. Paragraf yang terlalu panjang, misalnya,
perlu dipecah menjadi dua atau tiga paragraf lebih pendek, agar tidak
membosankan pembaca. Hubungan antar ka-limat (termasuk koherensi dan
keterpaduan) perlu saya jaga, sehingga kerangka pikir penulis mudah diikuti (ti-dak membingungkan).
Sementara
itu, dalam hal penggunaan bahasa, saya melakukan pemolesan seperlunya (tidak
merusak sub-stansi), agar komunikasi
penulis dengan pembaca tidak sampai terjadi. Kaidah-kaidah kebahasaan lebih
saya condongkan pada kontekstualitas bahasa daripada seka-dar gramatikalitas bahasanya. Disadari bahwa
tulisan-tulisan dalam antologi ini merupakan hasil kreatif dari dosen-dosen
yang berlatar bahasa Inggris, bukan bahasa Indonesia. Tidak semua dari mereka
mahir dalam Bahasa Indonesia.
Kendati
demikian, ghirah (passion) para dosen
dalam karya ini menunjukkan kesadaran literasi yang membaik. Bahkan, bagi
sebagian kolega, penyertaan karya mereka dalam buku ini merupakan tonggak
penting dalam pro-ses kreatif mereka ke depan.
Mereka juga mengakui, ada keinginan besar yang membuncah untuk selalu ber-karya—di tengah kesibukan yang hampir tak pernah ber-henti. Ibaratnya, kesibukan itu mati satu tumbuh seribu.
Barangkali
peristiwa gegar budaya dalam buku ini pernah dialami oleh banyak orang lain. Peristiwanya belum tentu
instimewa. Namun, yang istimewa ialah ke-mauan para pelaku
peristiwa-peristiwa budaya itu untuk menuliskan apa yang diamati, dialami, dan
dipikirkan. Mereka menyadari bahwa apa yang dipikirkan akan hi-lang, apa yang dirasakan akan lenyap, dan apa yang
dialami akan musnah tak berbekas—kecuali bila semua itu ditulis alias
diabadikan. Menuliskan semua itu berarti mengabadikan peristiwa-peristiwa yang
ada, dan sebagi-an langkah mengabadikan
sejarah pribadi masing-ma-sing.
Lebih
lanjut, penghimpunan tulisan dalam buku ini adalah bukti nyata bahwa
keteladanan perlu ditunjuk-kan. Keteladanan dosen
sangatlah penting di mata maha-siswa. Tatkala dosen
membuktikan karya-karyanya, apa yang disampaikan kepada mahasiswa memiliki
dampak yang meyakinkan. Keteladanan bergaung jauh lebih ke-ras daripada sekadar kata-kata kosong. Dengan ketela-danan, amat boleh jadi mahasiswa akan terinspirasi dan
mengikuti jejak produktif dan kreatif yang dicontohkan oleh para dosen.
Adapun
bagaimana pemaknaan hikmah dan inspirasi dari tulisan-tulisan dalam buku ini
banyak bergantung pada siapa pemakna dan bagaimana cara memaknainya. Lebih
lanjut, bagaimana hikmah dan inspirasi itu kelak akan mengembang-biakkan dan
menebarkan virus-virus hikmah dan inspirasi baru adalah harapan besar yang saya
titipkan kepada pembaca budiman.
Untuk semua
itu, saya berterima kasih kepada Wakil Rektor 1 Bidang Akademik Dr. Yuni Sri
Rahayu yang telah memfasilitasi penerbitan himpunan tulisan ini. Terima kasih
juga saya sampaikan kepada Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Slamet
Setiawan, Ph.D., dan para penulis yang telah berkontribusi tulisan untuk buku
ini.
Akhir kata,
mudah-mudahan buku ini menemukan tempatnya yang tepat dan subur di hati pembaca
se-hingga ia akan tumbuh dan berkembang menjadi
tulisan-tulisan yang inspiratif di masa depan. Hanya dengan demikianlah harapan
besar penyusunan buku ini mene-mukan jawabannya.*
*Artikel ini adalah kata pengantar editor untuk
buku “Gegar Budaya: Menabur Hikmah
Merajut Makna.” (Surabaya: Unesa University Press, 2016). Terima kasih
disampaikan kepada para penulis buku dan penerbit.
Masyaallah. Jujur baru pertama saya mengerti tentang arti gegar budaya melalui tulisan Bapak. Apalagi naskahnya yang menyuguhkan pengalaman gegar budaya, pasti luar biasa.
ReplyDeleteAwsome 👍👍
ReplyDeleteCulture shock kadang kita butuhkan untuk dapat berada di makom yang lebih tinggi.
Di situ ada pengalaman yang didapat. As we know that experience is the best teacher...