Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Tuesday, March 31, 2020

MENGHIMPUN GEGAR BUDAYA DOSEN UNESA


Oleh MUCH. KHOIRI

GEGAR budaya (culture shock) kerap menimpa dan dialami siapapun yang masuk ke dalam lingkup budaya baru dan “asing”. Di dalam prosesnya terjadi perubahan dan pemertahanan sistem nilai dalam diri seseorang tatkala berhadapan dengan sistem nilai komu-nitas barunya. Sebagai pendatang baru, ia mengalami keterkejutan budaya tertentu yang kerap tak diperhitungkan—dalam bathin ia bertanya begini,”Kok begini ya?”

Ungkapan spontan semacam itu, misalnya, bisa ke-luar dari kita andaikata kita orang desa dengan segala kesederhanaannya tiba-tiba diundang untuk menghadiri hajatan mantu di gedung megah sebuah kota metropolit-an. Melihat gedungnya saja kita bisa termangu lama—teramat berbeda dengan hajatan mantu a-la pedesaan. Di gedung itu kita bisa bingung tatkala dipersilakan untuk makan prasmanan; sebab, kita sudah terbiasa dengan makan duduk bersila dan tak pernah makan sambil ber-diri. Terlebih, jika harus diinapkan hotel berbintang dengan ranjang mendut-mentul, yang sangat berbeda dengan “pring bed” (ranjang dari bambu), bisa-bisa kita tidak bisa tidur akibat kasur empuk seperti kisah negeri dongeng.

Memang, begitulah, gegar budaya beragam gejalanya. Seseorang mungkin mengalami keterpanaan, keheranan, hingga kekhawatiran dan ketakutan, baik terang-terang-an maupun tersembunyi. Orang lain dapat membaca per-tanda gegar budaya seseorang itu bergantung pada ung-kapan-ungkapan verbal, sikap dan perilaku orang itu.

Itulah sebabnya tingkat intensitas gegar budaya pun hakikatnya berbeda-beda antara orang satu dan orang lain, mengingat setiap orang berbeda dengan orang lain dalam berbagai hal, termasuk kepribadian, usia, setting, pola transaksi, intensitas pertemuan, dan sebagainya.  Karena itu, “sembuhnya” seseorang dari gegar budaya juga beragam, ada yang dalam waktu singkat, ada yang dalam waktu panjang.

Buku ini menghimpun tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh para dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris FBS Universitas Negeri Surabaya. Kapasitasnya per individu bercampur-aduk antara penulis sebagai individu dan sebagai akademisi. Sebab, tulisan-tulisan yang hadir di sini kebanyakan dibuat berdasarkan pengalaman penu-lis, sebagai individu dan sebagai akademisi. Karena itulah tampak keanekaragaman di antara tulisan yang ada.

Tentu saja, tidak semua naskah yang masuk layak terbit dari segi gagasan, organisasi, dan penggunaan bahasa. Sebagai editor, saya perlu menempatkan diri sebagai orang yang membantu memoles tulisan-tulisan tersebut dari tiga segi yang penting itu. Dari gagasan, tidak banyak saya lakukan; karena, soal substansi hakikatnya adalah wewenang, hak, dan tanggungjawab penulis.

Meski demikian, dari segi organisasi gagasan, tak jarang saya perlu membantu pembenahan keorganisasian tulisan. Paragraf yang terlalu panjang, misalnya, perlu dipecah menjadi dua atau tiga paragraf lebih pendek, agar tidak membosankan pembaca. Hubungan antar ka-limat (termasuk koherensi dan keterpaduan) perlu saya jaga, sehingga kerangka pikir penulis mudah diikuti (ti-dak membingungkan).

Sementara itu, dalam hal penggunaan bahasa, saya melakukan pemolesan seperlunya (tidak merusak sub-stansi), agar komunikasi penulis dengan pembaca tidak sampai terjadi. Kaidah-kaidah kebahasaan lebih saya condongkan pada kontekstualitas bahasa daripada seka-dar gramatikalitas bahasanya. Disadari bahwa tulisan-tulisan dalam antologi ini merupakan hasil kreatif dari dosen-dosen yang berlatar bahasa Inggris, bukan bahasa Indonesia. Tidak semua dari mereka mahir dalam Bahasa Indonesia.

Kendati demikian, ghirah (passion) para dosen dalam karya ini menunjukkan kesadaran literasi yang membaik. Bahkan, bagi sebagian kolega, penyertaan karya mereka dalam buku ini merupakan tonggak penting dalam pro-ses kreatif mereka ke depan. Mereka juga mengakui, ada keinginan besar yang membuncah untuk selalu ber-karya—di tengah kesibukan yang hampir tak pernah ber-henti. Ibaratnya, kesibukan itu mati satu tumbuh seribu.

Barangkali peristiwa gegar budaya dalam buku ini pernah dialami oleh  banyak orang lain. Peristiwanya belum tentu instimewa. Namun, yang istimewa ialah ke-mauan para pelaku peristiwa-peristiwa budaya itu untuk menuliskan apa yang diamati, dialami, dan dipikirkan. Mereka menyadari bahwa apa yang dipikirkan akan hi-lang, apa yang dirasakan akan lenyap, dan apa yang dialami akan musnah tak berbekas—kecuali bila semua itu ditulis alias diabadikan. Menuliskan semua itu berarti mengabadikan peristiwa-peristiwa yang ada, dan sebagi-an langkah mengabadikan sejarah pribadi masing-ma-sing.

Lebih lanjut, penghimpunan tulisan dalam buku ini adalah bukti nyata bahwa keteladanan perlu ditunjuk-kan. Keteladanan dosen sangatlah penting di mata maha-siswa. Tatkala dosen membuktikan karya-karyanya, apa yang disampaikan kepada mahasiswa memiliki dampak yang meyakinkan. Keteladanan bergaung jauh lebih ke-ras daripada sekadar kata-kata kosong. Dengan ketela-danan, amat boleh jadi mahasiswa akan terinspirasi dan mengikuti jejak produktif dan kreatif yang dicontohkan oleh para dosen.

Adapun bagaimana pemaknaan hikmah dan inspirasi dari tulisan-tulisan dalam buku ini banyak bergantung pada siapa pemakna dan bagaimana cara memaknainya. Lebih lanjut, bagaimana hikmah dan inspirasi itu kelak akan mengembang-biakkan dan menebarkan virus-virus hikmah dan inspirasi baru adalah harapan besar yang saya titipkan kepada pembaca budiman.

Untuk semua itu, saya berterima kasih kepada Wakil Rektor 1 Bidang Akademik Dr. Yuni Sri Rahayu yang telah memfasilitasi penerbitan himpunan tulisan ini. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Slamet Setiawan, Ph.D., dan para penulis yang telah berkontribusi tulisan untuk buku ini.

Akhir kata, mudah-mudahan buku ini menemukan tempatnya yang tepat dan subur di hati pembaca se-hingga ia akan tumbuh dan berkembang menjadi tulisan-tulisan yang inspiratif di masa depan. Hanya dengan demikianlah harapan besar penyusunan buku ini mene-mukan jawabannya.*

*Artikel ini adalah kata pengantar editor untuk buku “Gegar Budaya: Menabur Hikmah Merajut Makna.” (Surabaya: Unesa University Press, 2016). Terima kasih disampaikan kepada para penulis buku dan penerbit.

2 comments:

  1. Masyaallah. Jujur baru pertama saya mengerti tentang arti gegar budaya melalui tulisan Bapak. Apalagi naskahnya yang menyuguhkan pengalaman gegar budaya, pasti luar biasa.

    ReplyDelete
  2. Awsome 👍👍
    Culture shock kadang kita butuhkan untuk dapat berada di makom yang lebih tinggi.
    Di situ ada pengalaman yang didapat. As we know that experience is the best teacher...

    ReplyDelete

Terima kasih banyak atas apresiasi dan krisannya. Semoga sehat selalu.

Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts