Oleh: MUCH. KHOIRI
Saat dihadapkan pada bahan bacaan (sumber informasi) yang melimpah dan tugas menulis yang antri, obat yang cespleng adalah ini “Read better, write faster.” Bacalah lebih baik, menulislah lebih cepat. Inilah kalimat motivasi provokatif status profil WA saya, sebuah pengingat (reminder) untuk saya sendiri--dan mungkin menginspirasi orang lain.
Betapa tidak, setiap hari bahan bacaan hampir tak terbatas. Buku dan artikel jurnal amat mudah diakses dari berbagai sumber. Tak pernah saya membayangkan kondisi demikian. Artikel-artikel terpisah menggelontor lapak WA saya, terlebih saya mengikuti grup-grup peminatan yang beragam. Praktis, informasi yang terpampang di mata jauh melebihi kemampuan wajar saya untuk membaca serta menikmatinya.
Maka, tiada pilihan bagi saya, membaca lebih baik itu sebuah keniscayaan. Lebih baik memilah dan memilih bahan bacaan, lebih baik pula dalam menyerapnya. Bahkan di sela kesibukan pun, membaca demikian harus lebih baik, baik proses maupun hasilnya. Saya dituntut menjadi semacam "flash reader" yang cerdas dan cerdik, menangkap informasi yang banyak dan berkualitas. Bacaan sampah dan hoax harus dibuang atau diabaikan.
Penyertanya adalah “write faster”, menulis lebih cepat. Mengapa harus menulis lebih cepat dari pada kecepatan biasanya? Jika biasanya saya menulis sebuah artikel dalam dua jam, misalnya, saya harus mengubah mindset untuk merampungkannya dalam kurang dari dua jam. Intinya, waktu lebih pendek, tulisan lebih cepat tuntas. Para jurnalis sesungguhnya para penulis yang lebih cepat dari penulis kebanyakan.
Untuk menulis cepat, orang harus sudah mahir dalam menulis berbagai genre tulisan. Ini sama dengan menyetir mobil atau kendaraan lain. Orang boleh menyetir lebih cepat dari biasanya ketika dia sudah mahir menyetirnya. Jangan mengebut ketika masih kursus latihan menyetir. Jika belum mahir, menyetir cepat tidak disarankan, sebab dia akan menabrak sana-sini, dan akibatnya bisa fatal.
Untuk penulis yang mahir menulis, kecepatan itu berbanding lurus dengan produktivitas. Maksudnya, dengan meningkatnya kecepatan dalam menulis, jumlah tulisan akan lebih banyak. Misalnya, agar mudah mencapai target, sejak tahun 2013, saya telah mendidik diri menulis artikel 5500-6000 karakter dalam maksimum 1 jam. "Pendidikan diri" ini saya jalani dengan penuh perjuangan dan doa. Saya hanya yakin, jika saya menulis artikel sepanjang itu setiap hari, satu-dua bulan saya pasti bisa menyusun sebuah buku.
Buku yang mana? Pertama, buku yang kerangkanya sudah dirancang jauh-jauh hari. Menulis lebih cepat yang diarahkan untuk membahas bagian-bagian buku yang sudah dikerangkakan itu, akan menghasilkan manuskrip buku lebih cepat. Jika ada dua kerangka buku, saya yakin, saya bisa menyelesaikannya dalam setengah tahun selagi saya menulis setiap hari dan lebih cepat. Insyaallah tidak akan meleset dari target.
Saat dihadapkan pada bahan bacaan (sumber informasi) yang melimpah dan tugas menulis yang antri, obat yang cespleng adalah ini “Read better, write faster.” Bacalah lebih baik, menulislah lebih cepat. Inilah kalimat motivasi provokatif status profil WA saya, sebuah pengingat (reminder) untuk saya sendiri--dan mungkin menginspirasi orang lain.
Betapa tidak, setiap hari bahan bacaan hampir tak terbatas. Buku dan artikel jurnal amat mudah diakses dari berbagai sumber. Tak pernah saya membayangkan kondisi demikian. Artikel-artikel terpisah menggelontor lapak WA saya, terlebih saya mengikuti grup-grup peminatan yang beragam. Praktis, informasi yang terpampang di mata jauh melebihi kemampuan wajar saya untuk membaca serta menikmatinya.
Maka, tiada pilihan bagi saya, membaca lebih baik itu sebuah keniscayaan. Lebih baik memilah dan memilih bahan bacaan, lebih baik pula dalam menyerapnya. Bahkan di sela kesibukan pun, membaca demikian harus lebih baik, baik proses maupun hasilnya. Saya dituntut menjadi semacam "flash reader" yang cerdas dan cerdik, menangkap informasi yang banyak dan berkualitas. Bacaan sampah dan hoax harus dibuang atau diabaikan.
Penyertanya adalah “write faster”, menulis lebih cepat. Mengapa harus menulis lebih cepat dari pada kecepatan biasanya? Jika biasanya saya menulis sebuah artikel dalam dua jam, misalnya, saya harus mengubah mindset untuk merampungkannya dalam kurang dari dua jam. Intinya, waktu lebih pendek, tulisan lebih cepat tuntas. Para jurnalis sesungguhnya para penulis yang lebih cepat dari penulis kebanyakan.
Untuk menulis cepat, orang harus sudah mahir dalam menulis berbagai genre tulisan. Ini sama dengan menyetir mobil atau kendaraan lain. Orang boleh menyetir lebih cepat dari biasanya ketika dia sudah mahir menyetirnya. Jangan mengebut ketika masih kursus latihan menyetir. Jika belum mahir, menyetir cepat tidak disarankan, sebab dia akan menabrak sana-sini, dan akibatnya bisa fatal.
Untuk penulis yang mahir menulis, kecepatan itu berbanding lurus dengan produktivitas. Maksudnya, dengan meningkatnya kecepatan dalam menulis, jumlah tulisan akan lebih banyak. Misalnya, agar mudah mencapai target, sejak tahun 2013, saya telah mendidik diri menulis artikel 5500-6000 karakter dalam maksimum 1 jam. "Pendidikan diri" ini saya jalani dengan penuh perjuangan dan doa. Saya hanya yakin, jika saya menulis artikel sepanjang itu setiap hari, satu-dua bulan saya pasti bisa menyusun sebuah buku.
Buku yang mana? Pertama, buku yang kerangkanya sudah dirancang jauh-jauh hari. Menulis lebih cepat yang diarahkan untuk membahas bagian-bagian buku yang sudah dikerangkakan itu, akan menghasilkan manuskrip buku lebih cepat. Jika ada dua kerangka buku, saya yakin, saya bisa menyelesaikannya dalam setengah tahun selagi saya menulis setiap hari dan lebih cepat. Insyaallah tidak akan meleset dari target.
Buku-buku saya
dalam kategori pertama ini antara lain Pagi
Pegawai Petang Pengarang (2015), SOS
Sapa Ora Sibuk: Menulis dalam Kesibukan (2016), Write or Die: Jangan Mati sebelum Menulis Buku (2017), dan Writing is Selling (2018). Di antara
empat buku ini, buku SOS-lah
yang paling cepat saya selesaikan, yakni dalam 9 (sembilan) malam. “Keajaiban”
itu belum pernah saya rasakan lagi sampai saatnya saya menulis artikel ini.
Kedua, buku yang disusun dari artikel-artikel lepas (tidak dikerangkakan sejak awal), hasil refleksi atau pemikiran atas fenomena yang berkembang. Buku Jejak Budaya Meretas Peradaban_(2014), Rahasia Top Menulis (2014), Bukan Jejak Budaya (2016), dan Mata Kata: Dari Literasi Diri (2017) adalah contoh buku yang saya susun dari artikel-artikel lepas. Semuanya saya tulis setiap hari (setiap pukul 03.00-04.00) dengan kecepatan lebih tinggi dari biasanya.
Saya yakin, praktik literasi semacam itu bisa dilakukan. Mudah-mudahan saya bisa istiqamah menjalaninya. Saya hanya perlu komitmen kuat untuk membaca lebih baik dan menulis lebih cepat, kemudian melatih diri dengan sungguh-sungguh. Saya selalu memotivasi diri: Bukankah practice makes all things perfect? Ya, praktik dan latihan membuat segala sesuatu sempurna. Saya telah merasakannya selama ini.[]
*Much. Khoiri adalah dosen, editor, dan penulis 42 buku dari Unesa Surabaya.
Kedua, buku yang disusun dari artikel-artikel lepas (tidak dikerangkakan sejak awal), hasil refleksi atau pemikiran atas fenomena yang berkembang. Buku Jejak Budaya Meretas Peradaban_(2014), Rahasia Top Menulis (2014), Bukan Jejak Budaya (2016), dan Mata Kata: Dari Literasi Diri (2017) adalah contoh buku yang saya susun dari artikel-artikel lepas. Semuanya saya tulis setiap hari (setiap pukul 03.00-04.00) dengan kecepatan lebih tinggi dari biasanya.
Saya yakin, praktik literasi semacam itu bisa dilakukan. Mudah-mudahan saya bisa istiqamah menjalaninya. Saya hanya perlu komitmen kuat untuk membaca lebih baik dan menulis lebih cepat, kemudian melatih diri dengan sungguh-sungguh. Saya selalu memotivasi diri: Bukankah practice makes all things perfect? Ya, praktik dan latihan membuat segala sesuatu sempurna. Saya telah merasakannya selama ini.[]
*Much. Khoiri adalah dosen, editor, dan penulis 42 buku dari Unesa Surabaya.
Write fasternya udah dicoba,tapi read better-nya belum maksimal ini.thanks motivasinya pak.
ReplyDeleteSemoga harapan B Ning segera tercapai. Hanya perlu latihan dan konsisten. makasih
Deletekeren pak saya banyak belajar dari tulisan2 panjenengan, belajar dalam sunyi karena belum bisa menghasilkan tulisan, tapi saya semangat untuk belajar dan belajar
ReplyDeleteTerima kasih banyak. Kita saling belajar. Mudah2an ke depan kita akan lebih baik.
Delete