Buku karya Husni Mubarrok |
Oleh MUCH. KHOIRI
SESAAT selesai membaca naskah buku ini, setidaknya ada tiga hal penting
yang melekati benak. Pertama, penulis
buku ini, dengan antusiasme dan kelancaran bertutur, mengajak sesama guru untuk
menjadi guru berbeda alias guru istimewa. Katanya, “Menjadi guru yang berbeda
itu harus, menjadi guru yang istimewa itu keren.” Untuk itu, tiada cara lain bagi guru kecuali mengenali
potensi diri—menulis, khususnya—untuk dikembangkan. Tak ayal, penulis buku
mengarahkan guru untuk menjadi guru penulis.
Siapakah yang
dimaksud dengan guru penulis? Memang, konsep guru penulis (teacher-writer) dalam buku ini belum dinyatakan secara tegas
sebagaimana yang digunakan Christine M. Dawson dalam bukunya The Teacher
Writer: Creating Writing Groups for Personal and Professional Growth
(2016). Namun, penulis buku ini
memaksudkan guru penulis sebagai guru yang profesional dan melengkapi diri
dengan vokasi tambahan sebagai penulis. Guru penulis itu seorang guru dan
sekaligus penulis.
Kedua,
penulis buku yakin, menjadi guru penulis itu pasti dapat diwujudkan. Lewat judul
buku dia mengabarkan: Menjadi Guru yang
Berbeda: Merajut Asa, Mewujudkan Mimpi Menjadi Guru Penulis. Penulis buku begitu yakin dalam hal ini
karena dia sangat percaya nilai sebuah impian. Impian akan terwujud manakala
dijalani dengan penuh komitmen, aksi nyata, dan kegigihan dalam meraihnya. Tegasnya,
menjadi guru penulis,
pasti bisa diraih; menjadi guru penulis, pasti bisa direngkuh.
Ketiga,
penulis buku juga mengajak guru dengan memberikan berbagai uraian dan jurus
jitu yang mudah dipraktikkan. Penulis buku menyebutnya sebagai “ramuan” mujarab
yang berjumlah lima, yakni (1) percikan motivasi guru, (2) menyelami curhatan
siswa, (3) jalan menuju guru penulis, (4) celoteh perjalanan menulisku, (5)
Alhamdulillah, akhirnya aku bisa menjadi guru penulis. Masing-masing “ramuan”
memiliki sejumlah artikel yang kaya dan mencerahkan. Kelima “ramuan” disajikan
dengan cara dan bahasa yang mudah dipahami.
Sekarang, mengapa
penulis lancar menyampaikan gagasannya? Satu dan lain hal, dia mendasarkan
tulisan pada pengalaman dan proses reflektif atas aneka fenomena yang terjadi
dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Sementara itu, dia menulis apa yang
paling diketahui dan diakrabi, bahkan menyatu dengan dirinya. Dengan kondisi
demikian, dia begitu kaya bahan untuk disampaikan kepada orang lain—termasuk,
dalam hal ini, lewat tulisan dalam aneka sub-topik.
Selain itu, dia
memiliki kemampuan public speaking
yang bagus—namun dimanfaatkan untuk berkomunikasi secara tertulis. Dia juga cerdas
memilih sudut pandang menulis, dan menempatkan guru sebagai pembaca pada posisi
teman berbincang yang menyenangkan. Seakan tidak ada jarak emosional dan
sosial-psikologis antara dia dan pembacanya. Pada kesempatan tertentu, dia
seakan sedang bercakap kepada sahabatnya: Ayo
kenali potensimu, gali bakatmu dan poles ketrampilanmu hingga ia menjadi
istimewa dan menjadikanmu guru yang berbeda.
***
Catatan penting lain adalah bahwa penulis buku ini telah menjalani dunia
literasi diri hingga “lulus” menjadi guru penulis, dan ingin menularkannya
kepada orang lain. Dalam hal ini dia bertindak sebagai teladan dalam
pembudayaan literasi. Dia menjalani
literasi diri untuk kemudian mengarah ke orang lain.
Literasi diri,
yang hakikatnya juga bagian dari budaya individu, memiliki potensi untuk
mewarnai budaya kolektif suatu komunitas atau masyarakat. Seberapa besar intensitas literasi diri
menentukan seberapa signifikan pewarnaan yang ditimbulkannya. Sebagai budaya
individu, literasi diri urgen dipraktikkan bagi siapapun—tak terkecuali penulis
buku ini—juga yang
berghirah besar untuk memperkaya budaya komunitas atau masyarakat. Semakin banyak individu yang mempraktikannya,
semakin cepat proses pewarnaan budaya itu.
Lalu, bagaimana
budaya individu, khususnya literasi menulis, berperan dalam mewarnai budaya
kolektif masyarakat? Perlu dicatat,
budaya individu yang aktif akan berpotensi mempengaruhi dan mewarnai budaya
komunitas. Kemudian, budaya komunitas yang aktif akan mempengaruhi budaya
masyarakat. Kuncinya, jika budaya individu ini memiliki kekuatan pengaruh yang
besar; maka, warna budaya yang dipengaruhi juga kentara. Kumpulan individu
penulis sangat potensial untuk ikut memberi warna pelangi budaya masyarakat luas.
Praktisnya,
menulis itu memiliki kekuatan keabadian yang jauh lebih kokoh dari pada
pikiran, ucapan, dan tindakan. Apa yang kita pikirkan akan lenyap, apa yang
kita ucapkan dan lakukan akan tak berbekas—kecuali benar-benar dituliskan.
Padahal, gerak pikiran, ucapan, dan tindakan itu sendiri merupakan praktik
budaya. Dalam hal ini literasi menulis merekam dan mengabadikan praktik budaya
manusia.
Sementara itu,
hasil tulisan itu akan dibaca sekian banyak orang. Tulisan-tulisan yang ada
akan menyegarkan, mencerahkan, dan menginspirasi sekian banyak orang.
Tulisan-tulisan itu akan beranak-pinak menjadi dua kali lipat, sepuluh kali
lipat, atau seribu kali lipat dari pada sebelumnya. Jumlah tulisan yang tumbuh
belakangan dapat tak terhingga karena melampaui batas ruang dan batas waktu. Inilah yang agaknya
diimpikan oleh penulis buku ini.
***
Lalu, mengapa keteladanan? Sebeb, keteladanan sangat penting dalam pembudayaan
literasi. Keteladanan itu
sebetulnya bersumber dari proses mendidik diri (meliterasi diri), sebelum kemudian seseorang mendidik orang
lain. Sementara itu, tak dimungkiri, mendidik orang lain agar menjadi apa yang
kita inginkan, tidaklah mudah alias sangat sulit. Lebih sulit lagi adalah
mendidik diri sendiri agar mampu mendidik orang lain untuk menjadi apa yang
kita inginkan.
Untuk membuat
orang lain memiliki pengetahuan, sikap, dan perilaku sejalan dengan apa yang
kita inginkan, kita harus memiliki pengetahuan, sikap, dan perilaku yang patut
dididikkan. Implikasinya, kita harus bisa dijadikan cermin atau suri tauladan
yang pantas.
Dalam hal ini
seorang kiai, pendeta, pedanda, atau tokoh religi lain harus sudah ahli dalam
kitab suci yang merupakan pedoman dan pegangan untuk berdakwah. Dia juga
mengamalkan dzikir, semedi, sembahyang atau ritual lain dengan
sebenar-benarnya. Lalu, perilaku kesehariannya mencerminkan kesalehan kalbu dan
jiwanya. Jika tidak demikian,
hilanglah segala statusnya.
Mendidik diri
untuk keteladanan adalah memperdalam pengetahuan dan memperluas wawasan
mengenai sesuai yang kita didikkan kepada orang lain. Mendidik diri untuk
keteladanan juga membangun sikap dan perilaku agar patut diteladani; karena
itu, ia harus menghayatinya lebih dulu sebelum menerapkannya pada orang lain.
Maka, mendidik diri
untuk keteladanan juga “membudayakan” diri dalam apa yang kita tularkan kepada
orang lain. Kita harus membudayakan diri dengan mengaji, shalat, bersedekah,
dan sebagainya sebelum kita mendidik anak-anak untuk membudayakan hak
serupa. Demikian pula kita harus berbudaya literasi (termasuk membaca dan
menulis) dulu sebelum mengajak orang lain untuk berbudaya literasi.
Begitulah, penulis
buku ini telah meliterasi diri dan berupaya untuk memberikan teladan pada orang
lain, terutama mereka yang belum menjadi
guru penulis. Di bagian penutup dia, antara lain, menulis: Teruslah berjuang kawan, jangan pernah patah arang.
Teruslah berkarya kawan, jangan pernah merasa bosan. Teruslah menulis kawan
dengan goresan karya-karya indahmu agar dunia mengenalmu dan mencatatmu dalam
keabadian. Sebuah ungkapan yang sarat ajakan dan harapan yang
menggelora dan yakin akan hadirnya kenyataan.
Selamat
membaca buku ini dengan riang dan menemukan mutiara-mutiara hikmah dan
inspirasi dari dalamnya. Jika perlu, silakan baca lagi dan lagi, dan setelah
itu menulislah. Dalam hal ini, bahkan sejak awal pengantar ini, Anda memasuki
proses literasi diri untuk kemudian diharapkan mampu meliterasi orang lain.
Mudah-mudahan.[]
*Artikel ini adalah kata pengantar untuk
buku Husni Mubarrok berjudul “Menjadi Guru yang
Berbeda (Merajut Asa, Mewujudkan Mimpi Jadi Guru Penulis” (Bojonegoro, Pustaka
Intermedia, 2017). Terima kasih disampaikan kepada penulis buku dan
penerbit.
**Pesan
buku, hubungi HP/WA: 081331450689 / 081233838789
No comments:
Post a Comment
Terima kasih banyak atas apresiasi dan krisannya. Semoga sehat selalu.