Buku karya Risa Elvia |
Oleh MUCH. KHOIRI
KEKUATAN tantangan (the power of challenge) telah teruji oleh berbagi zaman. Mulai
kisah mitos, legenda, hingga sejarah masa kini, tantangan (dengan aneka bentuk)
telah ditawarkan bagi orang-orang terpilih untuk memenangkan. Yang terpilih—dan
berani menjawab tantangan—juga bukan orang sembarangan. Tantangan dianggap
bukan sebagai hantu menakutkan, melainkan sebagai motivasi kuat untuk meraih
kesuksesan.
Beberapa bulan silam tantangan yang lebih-kurang sama
juga saya berikan kepada penulis buku ini, Risa Elvia. Saya menantangnya begini:
“Jika Mba Risa siap menulis setiap hari dalam sebulan penuh, saya siap untuk
memeriksa tulisan-tulisan itu setiap hari pula. Lalu, ketika akhir bulan
tulisan-tulisan itu sudah disusun ke dalam sebuah buku, saya siap untuk
memberikan kata pengantar.” Begitulah kira-kira tantangan itu. Bagaimana
bekerjanya tantangan ini di dalam dirinya, saya tidak tahu.
Namun, ternyata benar, penulis buku ini menjawab
tantangan saya—sebagaimana dugaan saya sebelumnya bahwa dia bukan orang
sembarangan; dia orang yang terpilih. Nyatanya, dalam sebulan penuh dia mampu
menulis setiap hari. Sekelarnya dia menulis, dia selalu mengirimkan tulisannya
ke WA saya untuk saya periksa dan beri masukan seperlunya. Setelah itu, dia
mempostingnya di grup WA komunitas menulis Gerakan Guru Menulis (GGM) Kabupaten
Malang. Atas postingan-potingannya, para anggota komunitas memberikan
apresiasi, tanggapan, pujian, dan sebagainya.
Maka, sengaja atau tak sengaja, penulis buku ini,
dengan menjawab tantangan, pada hakikatnya juga menulis lembaran “sejarah
diri”. Ya, setiap manusia memiliki sejarahnya sendiri—betapapun kecilnya
sejarah itu di mata manusia lain. Meski demikian, bagi si empunya sejarah itu
sendiri, sejarah dirinya pastilah sejarah terpenting di sepanjang hidupnya—bahkan,
mungkin, mengabadi dan bahkan melebihi batas ruang-waktunya sendiri.
Setidaknya, di mata anggota komunitas GGM, penulis
buku ini telah dianggap sebagai seseorang yang rajin menulis—berbeda dengan
anggota lain yang agak jarang atau hampir tidak pernah memposting artikel; dan
berbeda dengan orang-orang yang hanya suka mengkopi dan menyebarkan artikel
yang tak jelas asal-muasalnya. Selain itu, penulis buku ini jelas menulis
sejarah diri lewat buku ini—mengabadikan apa yang dia pikirkan dan lakukan
dalam waktu-waktu dari fragmen usia yang dimilikinya.
Sebagaimana diakui penulis buku, buku ini “berisi ulasan, pemaparan bagaimana untuk belajar
menjadi manusia, ya manusia yang sesungguhnya! Bukan manusia yang
setengah-setengah bahkan bukan pula manusia yang hanya manusia. Ya, manusia
yang harus menghamba kepada Rabb-Nya, manusia yang senantiasa harus bersabar,
teguh, optimis, ikhlas dan juga senantiasa berhusnudzan kepada-Nya, seperti
paparan artikel-artikel di dalamnya.”
Praktisnya, dalam buku ini dia mengelompokkan
ulasannya ke dalam empat bagian: Pertama,
mutiara ramadhan, dengan 16 artikel yang mengulas pemikiran dan refleksinya
tentang dinamika hidup dalam rentang ramadhan: mulai “Marhaban Ya Ramadhan”, “Idul Fitri, Prasasti Ibadah Ramadhan” hingga “Memaknai Kupatan”. Bagian kedua, muhasabah diri, dengan 18 artikel yang mengulas tentang
makna niat, ikhlas, syukur, jujur, berbaik sangka, sabar, pantang menyerah, dan
sebagainya. Karena berbasis amatan dan pengalaman, tulisan-tulisan yang ada
terkesan meyakinkan.
Bagian ketiga
memaparkan tentang mendidik anak. Dia memulainya dengan artikel “Ibu,
Pendidik Utama bagi Anak”—kemudian diikuti tujuh artikel lainnya seperti “Renungan bagi Orang Tua”, “The Power of Mom’s Hugs”, “Dongeng sebelum Tidur”, “Teknik Membangun Motivasi dan Kepercayaan Diri Anak”, “Membentuk Karakter Anak di Bulan Ramadhan”, serta “Bakti Tiada Henti”. Nuansa pengalaman pribadi
penulis buku terasa kental di dalam artikel-artikel tersebut, sehingga pembaca
diajak untuk menyelaminya dengan segenap hati.
Bagian keempat,
dengan 20 artikel, membagikan aneka ulasannga tentang proses belajar tanpa
jeda, sesuatu yang sangat diyakini penulis buku ini. Dialah pembelajar tanpa
jeda, yang selalu belajar setiap saat. Dimulai dengan artikel “Bagai Mata Air Muncul Di Tengah Padang Pasir” dan diakhiri dengan artikel
“Cinta Yang Benar”, bagian ini menyiratkan
bagaimana penulis buku ini menikmati proses belajar tanpa jeda. Katanya, “Saya selalu belajar agar bisa selalu memetik hikmah
dalam setiap peristiwa dari yang saya baca, saya dengar bahkan terkadang yang
saya alami sendiri.”
Buku ini bisa jadi bagian dari sejarah diri penulis
buku—dan tentu saja merupakan hasil literasi diri, dan literasi diri hakikatnya
adalah sebuah praktik budaya individu. Apakah literasi diri, juga budaya
individu, mampu mempengaruhi budaya orang lain? Perlu dicatat bahwa
budaya individu yang aktif akan berpotensi mempengaruhi dan mewarnai orang lain, lalu budaya komunitas, kemudian budaya
masyarakat dan bangsa.
Kuncinya, jika budaya individu ini memiliki
kekuatan pengaruh yang besar; maka, warna budaya yang dipengaruhi juga kentara.
Kumpulan individu penulis sangat potensial untuk ikut memberi warna bagi budaya orang lain, komunitas, masyarakat, dan pelangi budaya
bangsa. Praktisnya, menulis
itu memiliki kekuatan keabadian yang jauh lebih kokoh dari pada pikiran,
ucapan, dan tindakan. Apa yang kita pikirkan akan lenyap, apa yang kita ucapkan
dan lakukan akan tak berbekas—kecuali benar-benar dituliskan.
Sementara itu, hasil tulisan itu akan dibaca
sekian banyak orang. Tulisan-tulisan yang ada akan menyegarkan, mencerahkan,
dan menginspirasi orang lain. Tulisan-tulisan itu mungkin akan
beranak-pinak menjadi dua kali lipat, sepuluh kali lipat, atau seribu kali
lipat dari pada sebelumnya. Jumlah tulisan yang tumbuh belakangan dapat tak
terhingga karena melampaui batas ruang dan batas waktu.
Tentu saja, tugas penulis buku ini adalah menulis dengan sebaik-baiknya; selebihnya pembacalah
yang akan menindaklanjutinya— tepatnya, membaca dan
mengembangkannya ke dalam gagasan atau tulisan selanjutnya. Generasi peneruslah
yang akan membuktikannya—baik lewat ungkapan maupun karya mereka. Puncaknya,
sejarah akan mencatat apakah buku ini memberikan kontribusi yang signifikan di
masa depan.
Mudah-mudahan
tulisan-tulisan yang terhimpun di dalam buku ini memberikan tantangan baru bagi
pembaca yang budiman. Mudah-mudahan inspirasi yang dipetik akan berkembang dan
berbuah tulisan-tulisan yang kelak juga akan menginspirasi pembaca selanjutnya.
Betapa indahnya buah-buah artikel tersebut bergelantungan di kebun buah gagasan
yang dihuni oleh para intelektual kreatif.[]
*Artikel ini kata pengantar untuk buku Risa Elvia
berjudul “Belajar Menjadi
Manusia” (Lamongan, Pagan Press, 2014). Terima kasih
disampaikan kepada penulis buku dan penerbit.
**Pesan
buku, hubungi HP/WA: 081331450689 / 081233838789
Sebuah Pengantar yang jos gandos
ReplyDeleteMatur nuwun sanget, Bu hajjah.
DeleteMr. Guru yang luar biasa sabar dan telaten...berhasil membuat sang murid tertantang menerbitkan sebuah buku dan Mbak Risa murid yang luar biasa pula bisa menjawab tantangan sang guru
ReplyDeleteBu Suliswati, matur nuwun sanget. Mulai sekarang Mbak Risa akan bangkit kembali, insyaallah
DeleteApalah menulis setiap hari, bila diarahkan untuk menerbitkan buku, sekalian memikirkan temanya, Pak? Atau yg penting menuliskan sesuatu ide yg kuat untuk ditulis? Terima kasih.
ReplyDeleteB Mien, bisa membuat rancangan dulu, atau menulis spontan sehari-hari. Maana yang nyaman saja
DeleteMantab...berangkat dari kebiasaan,terbiasa dan jadi budaya.
ReplyDeleteBetul sekali. Harus dibiasakan
DeleteLuar biasa daya jangkit Virus Emcho 👍👍
ReplyDeleteMakasih, pak CepGa
Delete