Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Friday, April 3, 2020

DARI TANTANGAN, MENULIS SEJARAH DIRI

Buku karya Risa Elvia

Oleh MUCH. KHOIRI

KEKUATAN tantangan (the power of challenge) telah teruji oleh berbagi zaman. Mulai kisah mitos, legenda, hingga sejarah masa kini, tantangan (dengan aneka bentuk) telah ditawarkan bagi orang-orang terpilih untuk memenangkan. Yang terpilih—dan berani menjawab tantangan—juga bukan orang sembarangan. Tantangan dianggap bukan sebagai hantu menakutkan, melainkan sebagai motivasi kuat untuk meraih kesuksesan.

Beberapa bulan silam tantangan yang lebih-kurang sama juga saya berikan kepada penulis buku ini, Risa Elvia. Saya menantangnya begini: “Jika Mba Risa siap menulis setiap hari dalam sebulan penuh, saya siap untuk memeriksa tulisan-tulisan itu setiap hari pula. Lalu, ketika akhir bulan tulisan-tulisan itu sudah disusun ke dalam sebuah buku, saya siap untuk memberikan kata pengantar.” Begitulah kira-kira tantangan itu. Bagaimana bekerjanya tantangan ini di dalam dirinya, saya tidak tahu.

Namun, ternyata benar, penulis buku ini menjawab tantangan saya—sebagaimana dugaan saya sebelumnya bahwa dia bukan orang sembarangan; dia orang yang terpilih. Nyatanya, dalam sebulan penuh dia mampu menulis setiap hari. Sekelarnya dia menulis, dia selalu mengirimkan tulisannya ke WA saya untuk saya periksa dan beri masukan seperlunya. Setelah itu, dia mempostingnya di grup WA komunitas menulis Gerakan Guru Menulis (GGM) Kabupaten Malang. Atas postingan-potingannya, para anggota komunitas memberikan apresiasi, tanggapan, pujian, dan sebagainya.

Maka, sengaja atau tak sengaja, penulis buku ini, dengan menjawab tantangan, pada hakikatnya juga menulis lembaran “sejarah diri”. Ya, setiap manusia memiliki sejarahnya sendiri—betapapun kecilnya sejarah itu di mata manusia lain. Meski demikian, bagi si empunya sejarah itu sendiri, sejarah dirinya pastilah sejarah terpenting di sepanjang hidupnya—bahkan, mungkin, mengabadi dan bahkan melebihi batas ruang-waktunya sendiri.

Setidaknya, di mata anggota komunitas GGM, penulis buku ini telah dianggap sebagai seseorang yang rajin menulis—berbeda dengan anggota lain yang agak jarang atau hampir tidak pernah memposting artikel; dan berbeda dengan orang-orang yang hanya suka mengkopi dan menyebarkan artikel yang tak jelas asal-muasalnya. Selain itu, penulis buku ini jelas menulis sejarah diri lewat buku ini—mengabadikan apa yang dia pikirkan dan lakukan dalam waktu-waktu dari fragmen usia yang dimilikinya.

Sebagaimana diakui penulis buku, buku ini “berisi ulasan, pemaparan bagaimana untuk belajar menjadi manusia, ya manusia yang sesungguhnya! Bukan manusia yang setengah-setengah bahkan bukan pula manusia yang hanya manusia. Ya, manusia yang harus menghamba kepada Rabb-Nya, manusia yang senantiasa harus bersabar, teguh, optimis, ikhlas dan juga senantiasa berhusnudzan kepada-Nya, seperti paparan artikel-artikel di dalamnya.

Praktisnya, dalam buku ini dia mengelompokkan ulasannya ke dalam empat bagian: Pertama, mutiara ramadhan, dengan 16 artikel yang mengulas pemikiran dan refleksinya tentang dinamika hidup dalam rentang ramadhan: mulai “Marhaban Ya Ramadhan”, “Idul Fitri, Prasasti Ibadah Ramadhan” hingga “Memaknai Kupatan”. Bagian kedua, muhasabah diri, dengan 18 artikel yang mengulas tentang makna niat, ikhlas, syukur, jujur, berbaik sangka, sabar, pantang menyerah, dan sebagainya. Karena berbasis amatan dan pengalaman, tulisan-tulisan yang ada terkesan meyakinkan.

Bagian ketiga memaparkan tentang mendidik anak. Dia memulainya dengan artikel “Ibu, Pendidik Utama bagi Anak”—kemudian diikuti tujuh artikel lainnya seperti “Renungan bagi Orang Tua”, “The Power of Mom’s Hugs”, “Dongeng sebelum Tidur”, “Teknik Membangun Motivasi dan Kepercayaan Diri Anak”, “Membentuk Karakter Anak di Bulan Ramadhan”, serta “Bakti Tiada Henti”. Nuansa pengalaman pribadi penulis buku terasa kental di dalam artikel-artikel tersebut, sehingga pembaca diajak untuk menyelaminya dengan segenap hati.

Bagian keempat, dengan 20 artikel, membagikan aneka ulasannga tentang proses belajar tanpa jeda, sesuatu yang sangat diyakini penulis buku ini. Dialah pembelajar tanpa jeda, yang selalu belajar setiap saat. Dimulai dengan artikel “Bagai Mata Air Muncul Di Tengah Padang Pasir” dan diakhiri dengan artikel “Cinta Yang Benar”, bagian ini menyiratkan bagaimana penulis buku ini menikmati proses belajar tanpa jeda. Katanya, “Saya selalu belajar agar bisa selalu memetik hikmah dalam setiap peristiwa dari yang saya baca, saya dengar bahkan terkadang yang saya alami sendiri.

Buku ini bisa jadi bagian dari sejarah diri penulis buku—dan tentu saja merupakan hasil literasi diri, dan literasi diri hakikatnya adalah sebuah praktik budaya individu. Apakah literasi diri, juga budaya individu, mampu mempengaruhi budaya orang lain? Perlu dicatat bahwa budaya individu yang aktif akan berpotensi mempengaruhi dan mewarnai orang lain, lalu budaya komunitas, kemudian budaya masyarakat dan bangsa.

Kuncinya, jika budaya individu ini memiliki kekuatan pengaruh yang besar; maka, warna budaya yang dipengaruhi juga kentara. Kumpulan individu penulis sangat potensial untuk ikut memberi warna bagi budaya orang lain, komunitas, masyarakat, dan pelangi budaya bangsa. Praktisnya, menulis itu memiliki kekuatan keabadian yang jauh lebih kokoh dari pada pikiran, ucapan, dan tindakan. Apa yang kita pikirkan akan lenyap, apa yang kita ucapkan dan lakukan akan tak berbekas—kecuali benar-benar dituliskan.

Sementara itu, hasil tulisan itu akan dibaca sekian banyak orang. Tulisan-tulisan yang ada akan menyegarkan, mencerahkan, dan menginspirasi orang lain. Tulisan-tulisan itu mungkin akan beranak-pinak menjadi dua kali lipat, sepuluh kali lipat, atau seribu kali lipat dari pada sebelumnya. Jumlah tulisan yang tumbuh belakangan dapat tak terhingga karena melampaui batas ruang dan batas waktu. 

Tentu saja, tugas penulis buku ini adalah menulis dengan sebaik-baiknya; selebihnya pembacalah yang akan menindaklanjutinya— tepatnya, membaca dan mengembangkannya ke dalam gagasan atau tulisan selanjutnya. Generasi peneruslah yang akan membuktikannya—baik lewat ungkapan maupun karya mereka. Puncaknya, sejarah akan mencatat apakah buku ini memberikan kontribusi yang signifikan di masa depan.

Mudah-mudahan tulisan-tulisan yang terhimpun di dalam buku ini memberikan tantangan baru bagi pembaca yang budiman. Mudah-mudahan inspirasi yang dipetik akan berkembang dan berbuah tulisan-tulisan yang kelak juga akan menginspirasi pembaca selanjutnya. Betapa indahnya buah-buah artikel tersebut bergelantungan di kebun buah gagasan yang dihuni oleh para intelektual kreatif.[]

*Artikel ini kata pengantar untuk buku Risa Elvia berjudul “Belajar Menjadi Manusia” (Lamongan, Pagan Press, 2014). Terima kasih disampaikan kepada penulis buku dan penerbit.

**Pesan buku, hubungi HP/WA: 081331450689 / 081233838789

10 comments:

  1. Mr. Guru yang luar biasa sabar dan telaten...berhasil membuat sang murid tertantang menerbitkan sebuah buku dan Mbak Risa murid yang luar biasa pula bisa menjawab tantangan sang guru

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bu Suliswati, matur nuwun sanget. Mulai sekarang Mbak Risa akan bangkit kembali, insyaallah

      Delete
  2. Apalah menulis setiap hari, bila diarahkan untuk menerbitkan buku, sekalian memikirkan temanya, Pak? Atau yg penting menuliskan sesuatu ide yg kuat untuk ditulis? Terima kasih.

    ReplyDelete
    Replies
    1. B Mien, bisa membuat rancangan dulu, atau menulis spontan sehari-hari. Maana yang nyaman saja

      Delete
  3. Mantab...berangkat dari kebiasaan,terbiasa dan jadi budaya.

    ReplyDelete
  4. Luar biasa daya jangkit Virus Emcho 👍👍

    ReplyDelete

Terima kasih banyak atas apresiasi dan krisannya. Semoga sehat selalu.

Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts