Inilah Ruang Kreatif untuk Refleksi dan Narasi Literasi: Corong Virus Emcho Menyuarakan Pikiran, Imajinasi, dan Emosi Tanpa Batas Ruang dan Waktu. Gigih Berjuang Lewat Tulisan!

Friday, April 3, 2020

BELAJAR MENULIS PUISI SECARA DARING

Ini judul salah satu puisi karya Robert Frost

Oleh: Much. Khoiri

PUKUL 19.30 malam ini, hanya selepas shalat isya’,  saya diundang untuk berbagi tentang puisi oleh sebuah komunitas yang sedang menyiapkan buku antologi puisi. Mereka menulis puisi, tampaknya terkait dengan work from home (WFH) akibat korona. Kami berbagi dengan medium grup WA. Agar materi tidak lenyap dimakan waktu, berikut ini materi yang telah saya sampaikan.

Saya mengajak menyegarkan pemahaman tentang hakikat puisi. Sebagai salah satu genre utama Sastra, puisi (poem, poetry) merupakan abstraksi kehidupan dan pengalaman manusia. Kata kunci "abstraksi" ini penting, sebab puisi atau karya sastra secara umum bukan semata fakta mentah, melainkan saripati,cerminan, pantulan dari fakta.

Dengan kata lain, puisi hakikatnya sudah merupakan hasil olahan dari fakta. Ia adalah olahan dari fakta kehidupan dan pengalaman manusia, yang dibumbui dengan imajinasi. Jadi, puisi itu bukan semata fakta, juga bukan semata fiksi (imajinasi), melainkan gabungan dari keduanya.

Karena itu, jika kita ingin menulis puisi, kita perlu memegang prinsip bahwa kita tidak sedang menulis berita, fakta, fenomena secara mentah dan apa adanya. Fakta sebagai bahan puisi harus diolah, sesuai dengan kaidah penulisan puisi. Mengapa demikian? Puisi itu, sebagaimana genre sastra yang lain, memiliki kaidahnya sendiri. Kaidahnya berbeda dengan kaidah prosa (cerpen, novel, novelet) dan drama atau lakon. Meski prosa, puisi dan drama adalah abstraksi kehidupan manusia dan pengalamannya, namun puisi memiliki kaidah penulisan sendiri.

Puisi, antara lain, bentuknya terikat, tidak seperti prosa atau drama. Prosa lebih luwes; sedangkan drama melibatkan dialog. Kalau puisi, lebih terikat sejumlah "kaidah" yang sedikit rumit, yang sebenarnya tidak sulit jika terbiasa. Menulis puisi perlu mempertimbangkan imagery, simbol, rima dan ritma, serta majas. Unsur-unsur ini penting bagi puisi.

Imagery itu pembentukan suasana citraan (image) agar pembaca menangkap suasana, tempat, atmosfir mana puisi itu gambarkan. Dengan pilihan diksi yang tepat, pembaca bisa menangkap betapa penunggang kuda dalam puisi Robert Frost “Stopping by Woods on A Snowy Evening” berada dalam daerah bersalju yang atis. Pelukisan setting di sebuah hutan di musim dingin dan sunyi, membuat pembaca membayangkan betapa suara ringkik kuda pun menjadi sahabat yang baik.
Simbol juga perlu diperhatikan. Simbol bisa mengacu ke bentuk benda atau warna, misalnya. “Wajahnya mendung kelam”, ini simbolisasi atas kondisi sedihnya seseorang, yang sedang menahan air mata. Amat boleh jadi, ambrolnya air mata terbayang untuk segera terjadi. Kata “mendung” itu sendiri sudah merupakan symbol, dipertegas dengan kata “kelam”.

Lalu, apakah perlu rima setiap kali menulis puisi? Sebaiknya ya, sebab itu salah satu kaidah puisi, yang ada baiknya diikuti meski tidak sesaklek puisi tempo dulu (seperti syair, pantun). Ada puisi bebas (free verse) yang dulu sudah digelorakan Chairil Anwar lewat sajak "Aku". Dalam sajak itu rima-nya agak luwes. Demikian pun dalam puisi "Aku Ingin" karya Sapardi Djoko Damono.

Namun, jangan lupa rima itu perlu ditunjang dengan ritma. Ritma itu semacam ketukan atau stress yang bertumpu pada suku kata, yang lazimnya perlu dihitung ketika menulis. Tatkala dibaca di depan umum, ia terdengar enak. Ingat, dalam sebuah buku ditegaskan, bahwa puisi itu “sense and sound.”

Pertanyaannya, apakah harus berjumlah ritma tertentu seperti tembang Jawa? Untuk puisi-puisi lama semacam syair dan pantun, misalnya, jumlah ritma dan bunyi rima itu wajib diperhatikan. Namun, jika puisi itu sajak bebas, ritma ya tidak harus seragam per baris misalnya. Kalau tembang Jawa, itu masih sangat kuat dalam memegang guru lagu (rima) dan ritma-nya. Tembang Jawa bukan sajak bebas.

Sekarang, kita bicara tentang majas (figures of speech). Mengapa kita perlu majas? Ya karena puisi itu bukan semata fakta, melainkan abstraksi dari fakta kehidupan dan pengalaman manusia. Jadi, menyampaikannya ya tidak lewat bahasa lugas dan literal (denotatif), melainkan ada baiknya lebih banyak yang konotatif. Kalau lugas dan apa adanya itu bahasa untuk tulisan fakta, semisal opini atau PTK, tapi kalau bahasa puisi itu lebih "estetik".

Bukan berarti bahwa bahasa puisi itu harus berbunga-bunga (flowery words), namun diksi yang indah yang punya makna. Barisan diksi yang berbunga-bunga mungkin kosong makna, sebaliknya diksi yang tidak terlalu berbunga malah mengandung makna yang indah. “Kutitipkan rinduku pada angin….” Apakah makna di dalam barisan kata ini?

Perhatikan ini. Ketika Chairil Anwar menyebut "Aku ini binatang jalang dari kumpulannya terbuang....", adakah diksi yg indah? Tidak. Tapi isinya lah yang indah. Indah apanya? Ya maknanya yang dalam. Bahwa "aku" (termasuk kita) adalah binatang yang punya nafsu jalang. Wis duwe bojo ayu, ya matane jelalatan kalau ketemu wong ayu. Wis sarapan isuk, jam 10 ditawari bakso ya oke, jam 12 diajak maksi ya mangga, jam 3 siang diajak makan rujak ya budal. Itulah kejalangan kita. Chairil bisa mengabstraksikan nafsu jalang manusia.

Maka, kita memakai majas, misalnya personifikasi, metafora, simile, hiperbola, dsb. Personifikasi, itu menganggap benda mati seperti manusia, sehingga bilangnya misalnya: "Nyiur melambai", "Ombak yang menari-nari", "Angin yang membelai tanah seberang". Sementara, matafora itu pembandingan dua objek tanpa kata "seperti, laksana, bak, bagaikan". Misalnya: "Engkau matahariku, sayang", "Engkau nafasku, engkau hidupku, engkau segalaku"....

Adapun simile, mirip dengan metafora, tapi menggunakan kata "laksana, seperti, bak, bagai". Contohnya: "Engkau bagaikan bintang di langit", "Engkau laksana awan yang mengintai isi hatiku". Lalu hiperbola, melebih2kan, untuk memberi penyangatan atau aksentuasi. Misalnya: "Hatiku ambrol karena hantaman cintamu", "Matanya nanar memabakar bumi",

Itulah empat majas yang paling sering muncul di dalam puisi. Namun, masih ada beberapa yang lain. Silakan bisa ditanyakan Kiai Google saja. Yang penting, adalah bagaimana kita malatih diri dalam menulisnya. Untuk sementara, berikut ini saya berikan sebuah contoh puisi saya:

MENGAPA AKU RINDU KAU?

Puisi Much. Khoiri

Jika kau bertanya mengapa aku rindu kau?
Kini kujawab, laksana hujan tak perlu mendung
Untuk menjawab mengapa air tercurah
Menggenangi setiap jengkal tanah.

Jika kau bertanya mengapa aku rindu kau?
Kan kujawab, laksana angin tak perlu rumput
Untuk menjawab mengapa seluruh desaunya
Mendendang senandung gunung dan telaga.

Jika kau bertanya lagi mengapa aku rindu kau?
Kan kujawab lagi, laksana petang tak perlu subuh
Atau laksana malam tak perlu rembulan
Untuk menjawab mengapa rindu kita
Merentang tanpa batas rasa manusia.

Engkau matahariku, percayalah:
Jauhmu melimpahiku kekuatan
Dekatmu adalah jalan penyatuan
Kita akan menjadi abu bersama
Untuk menerima takdir: Cinta!

Gresik, 18.11.2013

Jika ada pertanyaan apakah kita perlu belajar pada karya-karya terdahulu? Saya tegaskan ya: Kita harus lebih banyak membaca karya penyair-penyair yang bagus. Di Indonesia, kalau mau belajar puisi dengan bahasa yang kelihatannya sederhana tapi dalam, silakan membaca karya WS Rendra, Sapardi Djoko Damono, Taufik Ismail, Emha Ainun Nadjib.

Di dunia Barat kita bisa membaca karya Emily Dickinson, Robert Frost, Langston Hughes misalnya. Tidak perlu membaca yang berat semisal William Shakespeare misalnya. Pengarang yang tersebut terakhir ini memang kelas berat, yang perlu konsentrasi lebih hanya untuk memahami puisi-puisinya.

Meski demikian, belajar menulis puisi itu, sebagaimana belajar menulis genre tulisan lain, kembali ke penulisnya. Kaidah ya kaidah, yang perlu dipertimbangkan untuk diikuti, agar tulisan yang dihasilkan berbeda bentuk dengan genre lain. Namun, setiap penulis akan berusaha berlatih dan akhirnya menemukan style-nya sendiri, tentu setelah mengarungi proses panjang. Bagaimana pun, practice makes all things perfect, praktik dan latihan membuat segalanya sempurna.*

Gresik, 2 April 2020


19 comments:

  1. Alhamdulillah, kau tau yang kumau Sungguh beruntung punya suhu yang luar biasa dan tidak pernah pelit ilmu.

    ReplyDelete
  2. Kadang ketika sedang sutuk juga tergerak membuat puisi. Namun belum memenuhi 4 syarat di atas. Sungguh tambahan ilmu yang mencerahkan . Trimakasih Mr. EMCHO

    ReplyDelete
  3. Insyaallah bisa terbakar semangat untuk menulis

    ReplyDelete
  4. Jos luar biasa Mr Emcho pencerahan yg mencerahkan. Mataur nuwun. Sy terus belajar

    ReplyDelete
  5. Makin ada pencerahan. Terima kasih Pak.

    ReplyDelete
  6. Masya Allah...indah nian. Terima kasih ilmunya Abah

    ReplyDelete
  7. Replies
    1. Bener banget. Aku juga suka nih sama puisinya❤️

      Delete
  8. Terima kasih atas tulisan Bapak yang sangat bermanfaat bagi saya dan bisa memberikan ilmu tambahan kepada saya tentang puisi. Puisi yang Bapak tuliskan juga sangat indah, Sehat selalu Bapak agar terus bisa menciptakan tulisan-tulisan bermanfaat dan puisi yang indah๐Ÿ™

    ReplyDelete

Terima kasih banyak atas apresiasi dan krisannya. Semoga sehat selalu.

Dulgemuk Berbagi (6): TULISAN MENUNJUKKAN PENULISNYA

Oleh Much. Khoiri DALAM cangkrukan petang ini, setelah menyimak video-video tentang tokoh yang mengklaim dan diklaim sebagai imam besar, P...

Popular Posts