![]() |
Kumpulan Puisi Hidayatun Mahmudah |
Oleh: MUCH. KHOIRI
PADA MULANYA istilah 'Ars Poetica' digunakan dalam dunia menulis kreatif. Itu judul puisi Horace (19 SM), terdiri atas 476 baris, yang menasihati para penyair tentang seni menulis puisi dan drama. Ia berpengaruh besar dalam sastra Eropah, terutama drama Prancis. Horace mendekati puisi sebagai karya seni (praktisnya), bukan pendekatan teoretis seperti Aristotle, Plato, dan Socrates.
Judul puisi yang sama, "Ars Poetica", juga pernah ditulis Archibald Macleish (1917-1982). Dalam puisi pendek ini, dia mendefinisikan puisi dengan metafora yang menarik. Antara lain, puisi itu "worldless" dan "motionless". Di bait terakhir, dia menulis: "A poem should not mean But be." Puisi seharusnya tidak bermakna lain kecuali (makna) ia sendiri.
Kedua judul puisi di atas menyiratkan pentingnya nilai seni dalam menulis puisi (dan karya kreatif). "Ars" atau art (karya seni) mengacu ke karya cipta dengan nilai estetika, plus bobot isi yang bagus. Karena bertradisi di kalangan penulis kreatif (pengarang dan penyair), ars poetica seakan hanya milik eksklusif para sastrawan. Hal ini berlangsung berabad lamanya.
Kemudian dewasa ini eksklusivitas tersebut telah mencair. Berkembanglah pemahaman bahwa karya kreatif mengalami pemekaran genre, bukan hanya prosa, puisi, dan drama--melainkan juga esai kreatif, jurnalistik, journal writing, dsb. Penulis non-kreatif pun mengadopsi dan mengadaptasi teknik penulisan karya kreatif. Maka, berkembang pulalah pemahaman orang tentang ars poetica. Sebutan pengarang (author) dan penulis (writer) kerap dipertukaristilahkan, bahkan keduanya dianggap sama.
Dengan demikian, ars poetica bukan semata milik sastrawan yang sangat kental dengan nilai estetikanya. Ars poetica juga menjadi hak penulis umum yang telah mencapai tingkat kemahiran tertentu. Penggunaan sebutan ars poetica semakin inklusif dan disampaikan dalam berbagai fora dan momentum.
Kini, dalam praktiknya, ada perluasan makna ars poetica, yakni ciri pemerlain gaya pengucapan atau gaya tulisan penulis yang sifatnya ikonik-representatif. Ini mengingat, dewasa ini telah berkembang gaya tulisan non-fiksi yang menyerupai tulisan fiksi. Journal writing, yakni catatan harian, ditulis begitu memukau sehingga mirip sebuah memoar atau novel.
Dalam konteks ini, setiap penulis seharusnya "menemukan" ars poetica-nya sendiri. Penemuan ini ditempuh dengan serangkaian latihan tak kenal lelah, sehingga dia mendapati bahwa gaya tulisan tertentu sangat tepat dan nyaman baginya untuk menciptakan karya. Latihannya bisa memakan waktu berbulan, bisa pula bertahun-tahun, bergantung intensitas latihan dan kepiawaian penulis.
Bagi penulis pemula, ars poetica biasaya belum melekat padanya. Maqam-nya masih syariat, menulis masih sesuai kaidah-kaidah yang mengikat. Lalu, ketika berlatih keras, dia akan melalui maqam thariqat (jalan) menulis. Dengan passion belajar yang tinggi, dia mencoba berbagai teknik menulis, berdasarkan pengetahuan, teladan, dan pengembangan sendiri.
Pada maqam hakikat menulis, dia telah menemukan jati dirinya—keunikan-diri—dalam menulis. Ars poetica-nya melekat pada dirinya. Terlebih, jika dia telah mencapai makrifat menulis, di mana telah terbuka hijab antara diri dan saripati objek tulisan. Area abstrak dan kearifan sudah menjadi bagian tulisannya. Orang seperti ini akan bisa menghasilkan tulisan yang bernas dan mendalam, meski pengucapannya sederhana.
Jika penulis telah berpengalaman, anggaplah mencapai maqam hakikat atau makrifat, maka ars poetica-nya sudah ikonik-representatif baginya. Maksudnya, tulisannya merupakan wakil atau representasi atas keberadaannya. Andaikata tulisannya tanpa tertulis namanya, orang bisa mengenali bahwa tulisan itu adalah karyanya. Jika tulisan itu diplagiat orang lain, mudah untuk membuktikan siapa penulis sebenarnya (mana yang asli dan mana yang palsu).
Ya, ars poetica tidak bisa dipertukarkan, itu merek atau hak paten seorang penulis. Dalam menulis novel absurd, Budi Darma berbeda dengan Iwan Simatupang, Kuntowijoyo, atau Danarto. Puisi-puisi WS Rendra juga tak sama dengan puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail, Emha Ainun Nadjib, Sosiawan Leak. Drama-drama Riantiarno juga berbeda dengan drama garapan WS Rendra, Putu Wijaya, dan dramawan kontemporer.
Dalam esai gaya satire Mahbub Djunaidi tentu tidak sama dengan esai-esai karya Goenawan Mohammad, Kang Sobari, Dahlan Iskan, atau AS Laksana. Demikian pun kalau kita membaca esai Gus Dur, Rhenald Kasali, dan sejumlah kolumnis negeri ini. Masing-masing memiliki cirikhasnya sendiri. Mereka punya hak paten menulis sendiri.
Ars poetica itu bisa disebut semacam atribut, emblem, atau kartu nama bagi penulis. Itu ciri pemerlain (pembeda) baginya dari penulis lain. Ars poetica itu melepaskan diri dari tindakan epigon (mengekor) dan plagiarisme (pencurian karya). Ars poetica adalah jati diri dan martabat penulis di mata penulis lain, kritikus, pengamat, dan pembaca umum.
PADA MULANYA istilah 'Ars Poetica' digunakan dalam dunia menulis kreatif. Itu judul puisi Horace (19 SM), terdiri atas 476 baris, yang menasihati para penyair tentang seni menulis puisi dan drama. Ia berpengaruh besar dalam sastra Eropah, terutama drama Prancis. Horace mendekati puisi sebagai karya seni (praktisnya), bukan pendekatan teoretis seperti Aristotle, Plato, dan Socrates.
Judul puisi yang sama, "Ars Poetica", juga pernah ditulis Archibald Macleish (1917-1982). Dalam puisi pendek ini, dia mendefinisikan puisi dengan metafora yang menarik. Antara lain, puisi itu "worldless" dan "motionless". Di bait terakhir, dia menulis: "A poem should not mean But be." Puisi seharusnya tidak bermakna lain kecuali (makna) ia sendiri.
Kedua judul puisi di atas menyiratkan pentingnya nilai seni dalam menulis puisi (dan karya kreatif). "Ars" atau art (karya seni) mengacu ke karya cipta dengan nilai estetika, plus bobot isi yang bagus. Karena bertradisi di kalangan penulis kreatif (pengarang dan penyair), ars poetica seakan hanya milik eksklusif para sastrawan. Hal ini berlangsung berabad lamanya.
Kemudian dewasa ini eksklusivitas tersebut telah mencair. Berkembanglah pemahaman bahwa karya kreatif mengalami pemekaran genre, bukan hanya prosa, puisi, dan drama--melainkan juga esai kreatif, jurnalistik, journal writing, dsb. Penulis non-kreatif pun mengadopsi dan mengadaptasi teknik penulisan karya kreatif. Maka, berkembang pulalah pemahaman orang tentang ars poetica. Sebutan pengarang (author) dan penulis (writer) kerap dipertukaristilahkan, bahkan keduanya dianggap sama.
Dengan demikian, ars poetica bukan semata milik sastrawan yang sangat kental dengan nilai estetikanya. Ars poetica juga menjadi hak penulis umum yang telah mencapai tingkat kemahiran tertentu. Penggunaan sebutan ars poetica semakin inklusif dan disampaikan dalam berbagai fora dan momentum.
Kini, dalam praktiknya, ada perluasan makna ars poetica, yakni ciri pemerlain gaya pengucapan atau gaya tulisan penulis yang sifatnya ikonik-representatif. Ini mengingat, dewasa ini telah berkembang gaya tulisan non-fiksi yang menyerupai tulisan fiksi. Journal writing, yakni catatan harian, ditulis begitu memukau sehingga mirip sebuah memoar atau novel.
Dalam konteks ini, setiap penulis seharusnya "menemukan" ars poetica-nya sendiri. Penemuan ini ditempuh dengan serangkaian latihan tak kenal lelah, sehingga dia mendapati bahwa gaya tulisan tertentu sangat tepat dan nyaman baginya untuk menciptakan karya. Latihannya bisa memakan waktu berbulan, bisa pula bertahun-tahun, bergantung intensitas latihan dan kepiawaian penulis.
Bagi penulis pemula, ars poetica biasaya belum melekat padanya. Maqam-nya masih syariat, menulis masih sesuai kaidah-kaidah yang mengikat. Lalu, ketika berlatih keras, dia akan melalui maqam thariqat (jalan) menulis. Dengan passion belajar yang tinggi, dia mencoba berbagai teknik menulis, berdasarkan pengetahuan, teladan, dan pengembangan sendiri.
Pada maqam hakikat menulis, dia telah menemukan jati dirinya—keunikan-diri—dalam menulis. Ars poetica-nya melekat pada dirinya. Terlebih, jika dia telah mencapai makrifat menulis, di mana telah terbuka hijab antara diri dan saripati objek tulisan. Area abstrak dan kearifan sudah menjadi bagian tulisannya. Orang seperti ini akan bisa menghasilkan tulisan yang bernas dan mendalam, meski pengucapannya sederhana.
Jika penulis telah berpengalaman, anggaplah mencapai maqam hakikat atau makrifat, maka ars poetica-nya sudah ikonik-representatif baginya. Maksudnya, tulisannya merupakan wakil atau representasi atas keberadaannya. Andaikata tulisannya tanpa tertulis namanya, orang bisa mengenali bahwa tulisan itu adalah karyanya. Jika tulisan itu diplagiat orang lain, mudah untuk membuktikan siapa penulis sebenarnya (mana yang asli dan mana yang palsu).
Ya, ars poetica tidak bisa dipertukarkan, itu merek atau hak paten seorang penulis. Dalam menulis novel absurd, Budi Darma berbeda dengan Iwan Simatupang, Kuntowijoyo, atau Danarto. Puisi-puisi WS Rendra juga tak sama dengan puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri, Taufiq Ismail, Emha Ainun Nadjib, Sosiawan Leak. Drama-drama Riantiarno juga berbeda dengan drama garapan WS Rendra, Putu Wijaya, dan dramawan kontemporer.
Dalam esai gaya satire Mahbub Djunaidi tentu tidak sama dengan esai-esai karya Goenawan Mohammad, Kang Sobari, Dahlan Iskan, atau AS Laksana. Demikian pun kalau kita membaca esai Gus Dur, Rhenald Kasali, dan sejumlah kolumnis negeri ini. Masing-masing memiliki cirikhasnya sendiri. Mereka punya hak paten menulis sendiri.
Ars poetica itu bisa disebut semacam atribut, emblem, atau kartu nama bagi penulis. Itu ciri pemerlain (pembeda) baginya dari penulis lain. Ars poetica itu melepaskan diri dari tindakan epigon (mengekor) dan plagiarisme (pencurian karya). Ars poetica adalah jati diri dan martabat penulis di mata penulis lain, kritikus, pengamat, dan pembaca umum.
***
Tak
dimungkiri, setiap penulis—sengaja atau tidak sengaja—membangun ars poetica-nya sendiri sepanjang proses
kreatifnya. Begitu pula Hidayatun Mahmudah, penulis kumpulan puisi ini. Pada
hakikatnya dia juga sedang dan telah membangun ars poetica-nya sendiri, yang membedakannya dengan penulis lain.
Bagaimanapun, keunikan ars poetica memiliki
nilai khusus di mata orang lain.
Dalam kumpulan ini, penulis pada hakikatnya
sedang berkomunikasi—tentang perasaan, kegalauan, dan berbagai emosi lain yang
mengaduk dirinya—kepada manusia, alam, dan Tuhan. Dalam puisi “Lepas,
Terbanglah Merpatiku”, misalnya, penulis tampak sedang mengkomunikasikan
sesuatu kepada seseorang, sebagaimana tampak dalam kutipan bait terakhir ini:
.......
bebaskan
saja aku
hingga
sayapmu tak lagi berat mengepak
karena
kakimu tak lagi mencengkeram hatiku
yang
nyata tak pernah ada dalam hidupmu
kuikhlaskan
semua
biarkan
hatiku tetap bersama CintaNya yang tak pernah meninggalkanku.
Yang
paling kentara adalah bagaimana penulis berkomunikasi dengan Tuhan. Pada
kutipan di atas pun, penulis menautkan speaker
(penyampai pesan) kepada Tuhan yang (diyakini) tak pernah meninggalkannya. Ada sebuah
kesadaran mendalam (di balik ketidaksadaran) yang senantiasa ingin menghadirkan
Tuhan di dalam hidupnya.
Kesadaran
menghadirkan Tuhan sudah menampak sejak puisi kedua “Beliung”: Rinai hujan-Mu, suburkan seluruh penduduk
bumi/pohon-pohon menjulang tinggi/menari kadang angin yang memainkannya/adalah
takdir-Mu. Indikasi ini pun terpantul dari puisi-puisi lain. Kesadaran
inilah yang membawa penulis menyertakan Tuhan di dalam sebagian besar puisinya.
Semacam pantulan religiositas penulis dalam puisi yang dapat ditangkap oleh
pembaca.
Itulah
mengapa penulis tidak berbasa-basi dalam memilih diksinya. Dia menggunakan
pilihan diksi yang sederhana, tidak berbunga-bunga—meski tidak kehilangan makna
yang diharapkan. Jika masih ada kekurangsempuranaan dalam pilihan diksi dan
bagaimana menyusunnya ke dalam bangunan puisi yang ideal, itulah yang saya
sebutkan dalam judul pengantar ini. Sebagaimana penulis lain, Hidayatun
Mahmudah juga telah dan sedang membangun ars
poetica-nya sendiri.
Apakah
Hidayatun Mahmudah akan konsisten dalam membangun ars poetica-nya sehingga dia menemukan ars poetica yang ikonik?
Pertanyaan ini biarlah dijawab sendiri oleh Hidayatun Mahmudah dalam menjalani
proses kreatifnya—sebagaimana saya kerap memberikan pertanyaan sama kepada
penulis lain. Sementara itu, waktulah yang bakal menyaksikan apakah ars poetica yang ditargetkan tercapai.
Tentu saja, saya berharap, Hidayatun Mahmudah, sebagaimana penulis lain, berhasil membangun ars poetica yang ikonik dan unik di mata orang lain. Sekali lagi, ars poetica adalah jati diri dan martabat penulis yang patut diperjuangkan. Tengoklah 110 penerima hadiah Nobel Sastra: Mereka menerima penghargaan tertinggi dalam dunia menulis itu berkat ars poetica dan keunikan konsisten yang dimiliki dan diperjuangkannya.[]
Tentu saja, saya berharap, Hidayatun Mahmudah, sebagaimana penulis lain, berhasil membangun ars poetica yang ikonik dan unik di mata orang lain. Sekali lagi, ars poetica adalah jati diri dan martabat penulis yang patut diperjuangkan. Tengoklah 110 penerima hadiah Nobel Sastra: Mereka menerima penghargaan tertinggi dalam dunia menulis itu berkat ars poetica dan keunikan konsisten yang dimiliki dan diperjuangkannya.[]
*Artikel ini adalah kata pengantar untuk buku Hidayatun
Mahmudah berjudul “Munajat Cinta” (Gresik, Semesta Aksara, 2018). Terima kasih
disampaikan kepada penulis buku dan penerbit.
**Pesan buku, hubungi
HP/WA: 081331450689 / 081233838789
Sebuah Pengantar yang membuat pembacanya.penasaran
ReplyDeleteMakasih banyak, bu hjjah
DeleteLuar biasa 👍👍
ReplyDeletemakasih banyak, pak cepga. sehat selalu
Delete